Anda di halaman 1dari 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cedara Kepala 1.

Pengertian Cidera Kepala Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus (Mansyoer, 2007). Cedera kepala adalah trauma yang dapat mengakibatkan trauma langsung dan trauma tidak langsung pada otak. Cedera kepala adalah komplikasi segera setelah trauma biomekanik pada otak, lapisan yang menutupinya atau organorgan ekstra kranial penopang otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya (Brunner, 2010). Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Clevo, 2012). Komplikasi paling penting pada cedera kepala adalah proses yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang lebih lanjut, dan ini merupakan proses dinamik. Agar proses dinamik ini tidak berjalanlebih lanjut di mana akan

menyebabkan kerusakan neural lebih banyak maka perlu dilakukan pemantauan ketat pada pasien yang mengalami cedera kepala. 2. Etiologi Penyebab trauma kepala menurut antara lain : a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. c. Cedera akibat kekerasan. d. Trauma benda tumpul dan benda tajam (Brunner, 2006). 3. Manifestasi klinis Manifestasi klinis dari trauma kepala yang mungkin muncul menurut Nugroho (2011) antara lain : a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih b. Kebingungan c. Iritabel d. Pucat e. Peningkatan TIK f. Edema otak g. Herniasi h. Mual dan muntah i. Pusing / nyeri kepala j. Terdapat hematoma k. Kecemasan

l. Sukar untuk dibangunkan m. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. 4. Macam-macam / jenis Cedera Kepala Macam-macam/jenis cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya menurut Herry (2012), adalah: a. Cedera Kepala Ringan ( CKR) Cedera kepala ringan (CKR) merupakan kelompok risiko rendah, yaitu ditandai dengan : skor GCS antara 13 sampai 15, (atentif, sadar penuh, dan orientatif), tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi), tidak ada tanda intoksikasi alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita : abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala, tidak ada kriteria cedera kepala sedang-berat. b. Cedera Kepala Sedang (CKS) Cedera Kepala sedang (CKS) Merupakan risiko sedang , yang ditandai dengan: skor GCS antara 9 sampai 12 (konfusi, letargi, atau stupor), konkusi, amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun ,hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal), kejang. c. Cedera Kepala Berat (CKB) Cedera kepala berat (CKB) merupakan risiko berat, ditandai dengan: skor GCS antara 3 sampai 8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara

progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. 5. Patofisiologi Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler, patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampat kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia,iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Nugroho, 2011). Infeksi, fraktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran meningen sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya

berbahaya karena keadaan ini memiiki potensi menyebar ke sistem saraf yang lain (Nugroho, 2011). Berdasarkan kerusakan jaringan otak : komusio serebri (gegar otak) merupakan gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hingga kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa amnesia, mual muntah dan nyeri kepala, kontusio serebri (memar) : gangguan kerusakan neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas jaringan otak masih utuh, hingga kesadaran lebih dari 10, kenfusio serebri : gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial. Tipe trauma kepala terbagi menjadi 2 macam, yaitu : trauma terbuka, menyebabkan fraktur terbuka pada tengkorak, laterasi durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak , trauma tertutup : kontusio serebri gegar otak adalah merupakan bentuk trauma kapitis ringan, kontusio serebri atau memar merupakan perdarahan kecil pada otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, hal ini bersama sama denga rusaknya jaringa saraf atau otak yang menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya, bila daerah yang mengalami cidera cukup luas maka akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Rendy, 2012). 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut prioritas, yang ideal penatalaksanaan tersebut dilakukan

oleh tim yang terdiri dari perawat yang terlatih dan dokter spesialis saraf dan bedah saraf, radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik (Rendy, 2012). Klien dengan cedera kepala harus dipantau terus dari tempat kecelakaan, selama transportasi : di ruang gawat darurat, unit radiology, ruang perawatan dan unit ICU sebab sewaktu-waktu dapat berubah akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. 7. Pemeriksaan penunjang a. CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan. b. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma. c. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis. d. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). e. BAER (Brain Auditori Evoker Respon) : menentukan fungsi korteks dan batang otak. f. PET (Position Emission Yomography) menunjukan perubahan aktivitas metabolisme pada otak. g. Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid. h. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan status mental (Doengoes, 2005).

8. Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala Standar operasional prosedur penanganan cedera kepala menurut Herry (2012): 1. Defenisi Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala Prosedur tindakan yang sudah ditetapkan dalam melakukan tindakan penanganan pasien ya ng mengalami cedera kepala akibat adanya suatu trauma. 2. Tujuan Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala a) Mencegah kerusakan otak sekunder b) Mempertahankan pasien tetap hidup 3. Indikasi Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala a) Kontusio serebri b) Kommotio serebri 4. Persiapan alat Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala a) Petugas menggunakan alat pelindung diri (kaca mata safety, masker, handsckun, scort) b) Neckcollar c) Suction lengkap d) Oksigen lengkap e) Intubasi set f) Long spine board g) Infus set

h) Cairan ringer lactat hangat i) Pulse oksimetri j) Monitor EKG k) Gastric tube l) Folley chateter + urine bag 5. Pelaksanaan tindakan Standar Operasional Prosedur Penanganan Cedera Kepala a) Petugas menggunakan alat pelindung diri (kaca mata safety, masker, handscoen, scort) b) Bersihkan jalan nafas dari kotoran (darah, secret, muntah) dengan suction) c) Imobilisasi C spine dengan neck collar d) Jika tiba-tiba muntah miringkan dengan teknik Log Roll. e) Letakkan pasien di atas long spine board f) Bila pasien mengorok pasang oropharingeal airway dengan ukuran yang sesuai oropharingeal jangan difiksasi g) Membantu dokter pasang intubasi (jika ada indikasi) h) Pertahankan breathing dan ventilation dengan memakai masker oksigen dan berikan oksigen 100 % diberikan dengan kecepatan 10-121/menit i) Monitor circulasi dan stop perdarahan, berikan infus RL 1-2 liter bila ada tanda-tanda syok dan gangguan perfusi, hentikan perdarahanluar dengan cara balut tekan. j) Periksa tanda lateralisasi dan nilai Glasgow Coma Scale nya

k) Pasang foley cateter dan pipa nasogastrik bila tak ada kontraindikasi l) Selimuti tubuh penderita setelah diperiksa seluruh tubuhnya, jaga jangan sampai kedinginan. m) Persiapkan pasien untuk pemeriksaan diagnostik / foto kepala 6. Hal yang perlu diperhatikan a) Gangguan kesadaran dan perubahan kesadaran dengan skala koma galasgow lebih kecil dari 9 yaitu E-1, M-5, V= 1-2 b) Pupil anisokor, dengan perlambatan reaksi cahaya c) Hemifarese d) Monitor tanda-tanda vital secara ketat 9. Prinsip Penanganan Pasien Cedera Kepala di IGD Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera kepala meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulation, Disability, expsoure menurut Herry (2012):

1. Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil

tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. 2. Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin pernafasannya (Breathing) diperhatikan frekwensinya normal antara 16 18 x/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO2 antara 28 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg, jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. 3. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. 4. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika

penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. 5. Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka, apakah ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan. 6. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

B. Relaksai Nafas Dalam (Slow Deep Breating) Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stres, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Potter & Perry, 2010). Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya aktifitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari respons relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi, jumlah pernapasan, penurunan tekanan darah, dan konsumsi oksigen (Potter & Perry, 2010)

Relaksasi dapat menurunkan nyeri dan mengontrol tekanan darah. Samsyudin (2009) mengatakan yang dilakukan pada 34 anak post operasi dengan melakukan terapi relaksasi napas dalam secara signifikan dapat mengurangi intensitas nyeri. Pengendalian pengaturan pernapasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernapasan yang spontan atau automatik dilakukan oleh medulla oblongata (Martini, 2006). Napas dalam lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas metabolik. Stimulasi saraf parasimpatis dan penghambatan stimulasi saraf simpatis pada slow deep breathing juga berdampak pada vasodilatasi pembuluh darah otak yang memungkinkan suplay oksigen otak lebih banyak sehingga perfusi jaringan otak diharapkan lebih adekuat (Downey, 2009). Mekanisme penurunan metabolisme tubuh pada pernapasan lambat dan dalam masih belum jelas, namun menurut hipotesanya napas dalam dan lambat yang disadari akan mempengaruhi sistem saraf otonom melalui penghambatan sinyal reseptor peregangan dan arus hiperpolarisasi baik melalui jaringan saraf dan nonsaraf dengan mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paru paru, sistem limbik, dan korteks serebri. Selama inspirasi, peregangan jaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yang mengakibatkan adaptasi

reseptor peregangan lambat atau slowly adapting stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblas. Kedu penghambat impuls dan hiperpolarisasi ini dikenal untuk menyinkronkan unsur saraf yang menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktivitas metabolik yang merupakan status saraf parasimpatis. Pengaturan pernapasan dalam dan lambat menyebabkan penurunan secara signifikan konsumsi oksigen. Teknik pernapasan dengan pola yang teratur juga dapat dilakukan untuk relaksasi, manajemen stres, kontrol psikofisiologis dan meningkatkan fungsi organ. Latihan napas dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respons saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskuler, mengurangi efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental (Larson & Jane, 2008). Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang. Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit (Breathesy, 2007). Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut University of Pittsburgh Medical Center, (2003). a. Atur pasien dengan posisi duduk b. Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut

c. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas d. Tahan napas selama 3 detik e. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah. f. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit. g. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari. C. Nyeri Pada Pasien Cidera Kepala Nyeri kepala menurut The Internasional Association for the Study of Pain (IASP, dalam Black & Hawks, 2009) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan atau potensial kerusakan jaringan otak. Nyeri kepala diklasifikasikan atas nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tanpa disertai adanya penyebab struktural organik (Sjahrir, 2008). Jenis nyeri kepala ini diantaranya migrain, nyeri kepala tension dan nyeri kepala cluster. Sedangkan nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disertai adanya perubahan struktur organik otak, misalnya nyeri kepala karena trauma kepala atau posttrauma headache, infeksi otak atau penyakit lainnya (Sjahrir, 2009). Nyeri kepala post trauma dikelompokkan menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik. Nyeri kepala akut yaitu nyeri kepala yang terjadi sesaat setelah

terjadi trauma sampai dengan 3 minggu, sedangkan nyeri kepala kronik adalah nyeri kepala yang terjadi setelah 3 bulan post trauma (Barker & Ellen, 2009). Cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan permanen dari jaringan otak atau juga dapat mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit (Arifin, 2008) Keadaan tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya tekanan intrakranial, dan menurunnya perfusi jaringan serebral (Deem, 2007). Iskemik jaringan otak juga disebabkan oleh peningkatan metabolisme otak karena peningkatan penggunaan glukosa pada 30 menit pertama post trauma yang kemudian kadar glukosa akan dipertahankan lebih rendah pada 5 10 hari (Madikians & Giza, 2007). Peningkatan metabolisme glukosa berasal dari hiperglikolisis dari kekacauan gradian ionik membran sel dan aktivasi energi dari pompa ionik pada jaringan otak (Madikians & Giza, 2007). Peningkatan metabolisme otak menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen otak karena metabolisme membutuhkan oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Jika kebutuhan oksigen otak tidak terpenuhi, maka metabolisme akan beralih dari aerob ke metabolisme anerob. Pada keadaan ini dihasilkan asam laktat yang menstimulasi terjadinya nyeri kepala (Arifin, 2008). Komplikasi lain yang terjadi pada cedera kepala adalah peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang serebral akibat bertambahnya

volume otak melebihi ambang toleransi dalam ruang kranium yang disebabkan karena edema serebri dan perdarahan serebral. Salah satu gejala dari peningkatan tekanan intrakranial adalah adanya nyeri kepala. Nyeri kepala posttraumatik dikelompokkan menjadi dua yaitu nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik. Nyeri kepala akut terjadi setelah trauma sampai dengan 7 hari, sedangkan nyeri kepala kronik dapat terjadi setelah 3 bulan paska cedera kepala (Perdossi, 2010) Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) (2010) mengkategorikan nyeri kepala post trauma kepala menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik. 1. Nyeri kepala akut post trauma kepala Nyeri kepala akut post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala akut post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala akut post trauma kepala ringan. a. Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepalA sedang sampai berat Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut : 1). Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4) 2). Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan di Bawah ini: a) Hilang kesadaran selama > 30 menit b) Glasgow Coma Scale (GCS) < 13 c) Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam

4) Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatik (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang tengkorak). . Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali. d) Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini : 1) Nyeri kepala hilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala 2) Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma b. Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan. Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut: a. Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4) b. Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini : 1) Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit. 2) Glasgow Coma Scale (GCS) >13 3) Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan. c. Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala. d. Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini: 1) Nyeri kepala menghilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala. 2) Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma

2. Nyeri kepala kronik post trauma kepala Nyeri kepala kronik post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala kronik post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala kronik post trauma kepala ringan. a. Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut : 1) Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4) 2) Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan dibawah ini a) Hilang kesadaran selama > 30 menit b) Glasgow Coma Scale (GCS) < 13 c) Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam d) Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatic (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang 3) Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali. 4) Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan sejak trauma

traumatengkorak. 3. Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan. Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut : 1) Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)

2) Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini: a) Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit b) Glasgow Coma Scale (GCS) >13 c) Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan 3) Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala 4) Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan setelah trauma trauma

Anda mungkin juga menyukai

  • Rumus Eksperimen
    Rumus Eksperimen
    Dokumen42 halaman
    Rumus Eksperimen
    mardios
    50% (2)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • TBC
    TBC
    Dokumen3 halaman
    TBC
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Kuisioner
    Kuisioner
    Dokumen6 halaman
    Kuisioner
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BAB II Oke
    BAB II Oke
    Dokumen29 halaman
    BAB II Oke
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen2 halaman
    Dapus
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • BAB II Keperawatan
    BAB II Keperawatan
    Dokumen45 halaman
    BAB II Keperawatan
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen6 halaman
    Bab Iii
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen19 halaman
    Bab Ii
    Angga Nugraha
    Belum ada peringkat