Anda di halaman 1dari 76

Pengembangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan

Isu-Isu Strategis Perkotaan Nasional dan di Sumatera


Serta Usulan Awal Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional

[a work in progress]

Palembang, 21 - 22 Juli 2009

Kerangka Penyajian
1. Latar Belakang Penyusunan KSPN (dan KSPD) 2. Pendekatan dalam Penyusunan KSPN (dan KSPD) 3. Telaah Kebijakan/Peraturan-Perundangan Terkait

4. Telaah Lingkungan Strategis dan Pembelajaran dari Negara/Kota Lain


5. Kajian Awal Permasalahan Perkotaan Nasional dan di Sumatera 6. Usulan Awal Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional 7. Diskusi dan Penutup

Latar Belakang KSPN


Tantangan urbanisasi (sebagai negara urban; kebutuhan ruang kota dan kelengkapan fisiksosial-ekonomi-kelembagaannya) Tantang globalisasi (kota-kota sebagai driver pertumbuhan ekonomi, sekaligus peningkatan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan)

Tantangan desentralisasi dan demokratisasi (perubahan peran dan penentuan arah di dalam tata-kelola pembangunan dan penyelenggaraan kota)
Terdapat berbagai peraturan-perundangan RTRWN (PP 26/2008) KSNP-Kota (Permen 494//2005), Rancangan RTR-Pulau dll. Serta berbagai studi terkait (NUDS 1985, 2000) dll. Tapi kondisi kota-kota Indonesia umumnya masih memprihatinkan

Latar Belakang KSPN


urbanisasi > 50%

Latar Belakang KSPN


Tujuan KSPN
Memberikan arah yang jelas dan terukur bagi pembangunan dan penyelenggaraan kota-kota di Indonesia agar sumber daya yang terbatas dan potensi yang ada dapat digunakan sebaik-baiknya dalam menciptakan kota-kota yang nyaman, berkelanjutan, berkeadilan bagi semua golongan masyarakat dan berperan sebagai pendorong bagi peningkatan kesejahteraan rakyat maupun pertumbuhan ekonomi lokal / regional / nasional

Tujuan Lokakarya Wilayah Sumatera (21 - 22 Juli 2009)


Mengidentifikasi berbagai permasalahan strategis perkotaan di Sumatera serta menggali masukan bagi penyusunan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (umpan balik bagi draft awal KSPN)

Lingkup dan Keluaran


A. Penyusunan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional
Proses formulasi: Diskusi-diskusi awal, lokakarya regional (di 5 wilayah), seminar nasional (experts dan stakeholders). Keluaran: Draft Akhir KSPN (Oktober 2009), Final KSPN (May 2010), disertai makalah teknis pendukung (9 Technical Working Papers: masing-masing kelompok isu, review kebijakan, studi komparasi, indikators untuk mengukur progres).

B. Institusionalisasi KSPN
Identifikasi basis hukum yang menjamin keterlaksanaan KSPN (termasuk pembentukan forum perkotaan, mekanisme monitoring dan evaluasi partisipatif berkala). Juga harus masuk ke RPJM-N 2010 2014

C. Penyusunan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Daerah


Proses formulasi: pendampingan serta diskusi dan lokakarya lokal. Keluaran: KSPD adalah implikasi KSPN di daerah dipadu dengan aspirasi daerah. KSPD juga harus diupayakan institusionalisasinya.

Pendekatan dalam Perumusan


Persiapan Institutionalisasi KSPN
TASK B

Lembaga Pendukung dan Status Hukum KSPN

TOR
TASK A

Pemahaman TOR
Kaji Kondisi Kebijakan & Linkungan Strategis

Lokakarya-5 Lokakarya-4 Lokakarya-3 Lokakarya-2 Lokakarya-1

Draft Rev-1e

Seminar Experts Draft Rev-2 KSPN Seminar Draft Final KSPN Masalah Kebijakan Strategi Final KSPN Masalah Kebijakan Strategi

Draft Rev-1d
Draft Rev-1c Draft Rev-1b Draft Rev-1a

Draft Awal KSPN


Masalah Kebijakan Strategi

Stakeholders

Draft Rev-3 KSPN


Persiapan peny. KSPD Draft Awal KSPD Feedbacks Dari Daerah

TASK C

Pendampingan & LoKa KSPD

Final KSPD

Pendekatan dalam Perumusan KSPN


1
Telaah

Kebijakan / Peraturan Perundangan


(RPJP-N, RPJM-N, RTRW-N, RTRW-Pulau, dan lain-lain)

Telaah

Penentuan

Kondisi &Tipologi Perkotaan di Indonesia


saat ini

Perumusan

Visi dan Misi Pembangunan Perkotaan


jk menengah & panjang

Kebijakan & Strategi


jangka menengah dan panjang serta mekanisme monitoring

Where are we now?

Where do we want to be? When do we want to be there?

How do we get there? How far we have gone?

Telaah

Lingkungan Strategis
Perkembangan Global / Nasional / Lokal (Konteks / Tantangan / Pembelajaran)

Telaah Kebijakan / Peraturan


UU 32/2004
Pemerintahan Daerah

UU 25/2004
SPPN

UU 26/2007
Penataan Ruang

Berbagai UU Lain
Yang terkait UU 33/2004 UU 17/2003 UU 4/1992

UU 17/2007
RPJP-N 2005-2025

PP 65/2005
SPM

PP 7/2005
RPJM-N 2004-2009

PP 26/2008
RTRW-N

Berbagai PP Lain
Yang terkait

PP 34/2009
Pengelolaan Kws Kota

PP .. / .
RPJM-N 2010-2014

PerPres .. /.
RKP tahunan

PerPres .. /.
RTR-Pulau

PerPres .. /.
Terkait lainnya

PerMendagri
SPP dan lain-lain

PerMenPU
KSNP-Kota dan lain-lain

KSPN

UU 17/2007 tentang RPJP-N 2005-2025


RPJM I (2004-2009)
menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat

RPJM ke-2 (2010 2014)


memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.

RPJM ke-3 (2015 2019)


memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat

RPJM ke-4 (2020 2024)


mewujudkan masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.

UU 17/2007 tentang RPJP-N 2005-2025


Terkait masalah internal perkotaan: Pemenuhan perumahan dengan prasarana dan sarana yang layak Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (air minum dan sanitasi) Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan kerjasama antar daerah Terkait masalah eksternal perkotaan (sistem kota-kota): Peningkatan keterkaitan kota-desa Pengembangan wilayah, khususnya daerah yang tertinggal Pembangunan infrastruktur antarwilayah untuk menciptakan daya saing kota yang tinggi.

PP 26/2008 RTRW-Nasional
Telah menetetapkan Sistem Perkotaan Nasional yang berhirarki (PKN Pusat Kegiatan Nasional, PKW Pusat Kegiatan Wilayah, dan PKSN Pusat Kegiatan Strategis Nasional) PKN, PKW dan PKSN merupakan pusat kegiatan (industri dan jasa) dan simpul transportasi antar wilayah Memberikan arahan terhadap pengembangan infrastruktur perkotaan dan perdesaan untuk mendukung sistem kegiatan industri jasa berskala nasional, provinsi dan kabupaten, serta mendukung sistem kegiatan industri/jasa di kawasan andalan Mengharuskan kawasan perkotaan untuk memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, terutama di kota-kota pantai, metropolitan dan besar, antara lain melalui mekanisme pengendalian

PP 26/2008 RTRW-Nasional
Pulau Sumatera Jawa-Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Total PKN 9 11 2 5 5 2 3 37 PKW 56 38 10 28 24 11 11 178 PKSN 4 0 3 10 2 4 3 26

Keterangan : PKN PKW PKSN/KOTA PERBATASAN


(Catatan: PKL ditetapkan dalam RTRWP)

Permen PU No. 494/PRT/M/2005 KSNP-Kota


Kebijakan 1: Pemantapan Peran dan Fungsi Kota dalam Pembangunan Nasional
Dengan Strategi: (i) Penyiapan Prasarana-Sarana Perkotaan Nasional untuk Pengembangan Ekonomi Nasional, (ii) Penyiapan Kota sebagai Simpul Pelayanan dan Simpul Aksesibilitas dan Distribusi dalam Wilayah, (iii) Pengembangan Kota Berfungsi Nasional/Internasional dan Kawasan Kerjasama Internasional, (iv) Pengembangan Kota Khusus, Berkarakter Khusus, Kawasan Perbatasan dan Tertinggal

Kebijakan 2: Pengembangan Permukiman yang Layak Huni, Sejahteran, Berbudaya dan Berkeadilan Sosial
Dengan Strategi: (i) Pengembangan Prasarana dan saranan dan Pelayanan Dasar Perkotaan yang Memadai dan Berkeadilan, (ii) Pengembangan Perumahan dan Permukiman yang Layak Huni dan Terjangkau, (iii) Pengembangan Proses Pendanaan dan Penyediaan Tanah bagi Pembangunan Permukiman yang Partisipatif, (iv) Pengembangan Ekonomi Perkotaan Berdaya Saing Global, dan (v) Penciptaan Iklim Kehidupan Sosial Budaa yang Saling Menghargai, Saling Mendukung serta Mengapresiasi Budaya

Kebijakan 3: Peningkatan Kapasitas Manajemen Pembangunan Perkotaan


Dengan Strategi: (i) Peningkatan Kapasitas SDM serta Kelembagaan Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Pembangunan Perkotaan, (ii) Peningkatan Kapasitas Pembiayaan Pemerintah Daerah, (III) Peningkatan Pola dan Mekanisme Pelibatan Stakeholders dalam Pengelolaan Pembangunan Perkotaan yang Inklusif, dan (iv) Pembentukan Sistem Informasi Perkotaan di Tingkat Nasional dan di Tingkat Daerah

Rancangan Peraturan Presiden RTR-Pulau Sumatera


Sedang disusun Rancangan RTR Pulau Sumatera untuk operasionalisasi RTRWN agar menghasilkan pertumbuhan, keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah di Pulau Sumatera, kawasan pesisir Barat bagian Tengah kawasan pesisir Timur dan Kepulauan RTR-Pulau tidak hanya mencakup sistem perkotaan, tetapi juga jaringan transportasi, jaringan energi, jaringan telekomunikasi serta sistem sumber daya air. RTR-Pulau juga dimaksudkan untuk mewujudkan kawasan lindung nasional, kawasan budi daya, kawasan andalan dan kawasan strategis nasional. Produk ini mengandung kebijakan dan strategi operasionalisasi untuk mewujudkan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah nasional di Pulau Sumatera Strategi yang diusulkan dalam Rancangan RTR-Pulau Sumatera ini antara lain: (a) mengembangkan dan meningkatkan fungsi PKN untuk kotakota Lhokseumawe, Padang, Pekan Baru, Dumai, Jambi, Palembang dan Bandar Lampung; (b) merevitalisasi fungsi kota-kota PKN Mebidangro dan Batam; (iii) Mengembangkan dan meningkatkan kota-kota PKW, dan lainlain

Fungsi Kota-Kota di Sumatera


Berdasarkan Rancangan PerPres RTR-Pulau Sumatera
Provinsi Provinsi NAD Kota Lhokseumawe Sabang Banda Aceh Langsa Takengon Meulaboh Medan Tebingtinggi Sidikalang Pematang Siantar Balige Rantau Prapat Kisaran Sibolga Padang Sidempuan Gunung Sitoli Tanjung Balai Padang Pariaman Bukittinggi Muarasiberut Sawahlunto Pekanbaru Dumai Bangkinang Siak Sri Indrapura Bengkalis Bagan Siapi-api Tembilahan Rengat Pasir Pangarayan Taluk Kuantan Batam Ranai Tanjung Pinang Tanjung Balai Karimun Tarempa (kawasan Natuna) Daik Lingga (kawasan Natuna) Dabo/Singkep Fungsi Kota PKN PKW / PKSN PKW PKW PKW PKW PKN / PKSN PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKN PKW PKW PKW PKW PKN PKN / PKSN PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKN / PKSN PKSN PKW / PKSN PKW PKW PKW PKW

Di Pulau Sumatera terdapat 10 propinsi dan 66 kota yang terbagi atas 6 Kota PKN, 3 PKN/PKSN, 2 PKSN, 2 PKW/PKSN, 53 PKW, dengan 2 Kota Metropolis, 4 Kota Besar.
Provinsi Provinsi Jambi

Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Bengkulu

Provinsi Lampung

Kota Jambi Muara Bulian Muara Bungo Sarolangun Kuala Tungkal Palembang Muara Enim Lahat Lubuk Linggau Sekayu Kayu Agung Baturaja Prabumulih Bengkulu Manna Muko Muko Pangkal Pinang Tanjung Pandan Muntok Manggar Bandar Lampung Metro Kalianda Kota Agung Menggala Kotabumi Liwa

Fungsi Kota PKN PKW PKW PKW PKW PKN PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKW PKN PKW PKW PKW PKW PKW PKW

Provinsi Sumatera Barat

Provinsi Riau

Provinsi Kepulauan Riau

Telaah Lingkungan Strategis


Konteks Global / Nasional / Lokal
Konteks perkembangan global: Globalisasi ekonomi yang diiringi dengan persaingan antar kotakota di dunia sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi regional / negara masing-masing. Hal ini ditambah dengan resesi global yang saat ini terjadidan diperkirakan akan lamaakan berpengaruh kepada pola pembangunan, setidaknya dalam jangka menengah Konteks perkembangan nasional: Desentralisasi dan demokratisasi tata pemerintahan mempengaruhi efektifitas kebijakan nasional, khususnya yang terkait dengan pembangunan skala lokal. Kerja-sama antar kota menjadi penting. Sementara itu peran propinsi perlu diperjelas. Konteks perkembangan lokal / daerah (khususnya Sumatera): Kapasitas daerah dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan masih terbatas. Diperlukan terobosan dalam hal ini.

Telaah Lingkungan Strategis


Konteks Global / Nasional / Lokal
Persaingan ekonomi global akan semakin menuntut kota-kota berlomba menjadi kota yang tidak hanya memiliki sarana dan prasarana memadai, tetapi juga: (i) atraktif bagi investasi, (ii) menarik untuk dikunjungi, (iii) aman dan nyaman untuk dihuni, (iv) memiliki amenities maupun lingkungan yang kondusif bagi meningkatnya produktifitas dan kreativitas. [Tanpa karakteristik ini, sulit bagi kota-kota kita untuk berperan secara optimal sebagai pendorong pertuimbuhan ekonomi wilayah dan meningkatkan kesejahteraan warga] Tingginya kesenjangan kondisi ekonomi dan pembangunan fisik baik di tingkat nasional / regional (antara kota-kota) maupun di dalam kota itu sendiri (antara bagian-bagian kota).

Studi Banding untuk Inspirasi


Kebijakan dan Strategi Perkotaan di China
Ketika China membuka diri di bawah Deng Xiao Ping di akhir 1970-an, dihadapi oleh kenyataan terlalu banyak penduduk di pertanian, China menerapkan kebijakan urbanisasi, tetapi melihat skala (penduduk) kota Shanghai dan Beijing sudah terlalu besar Diterapkan kebijakan secara bertahap dan konsisten dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa untuk menumbuhkan kota-kota menengah dan SEZs yang diprioritaskan menjadi pusat pertumbuhan yang baru (sebagian dengan fungsi-fungsi khusus seperti pusat industri manufaktur, inovasi / high-tech, sektor ekonomi khusus lain) Diiringi kebijakan kependudukan yang hanya memungkinkan orang desa pindah ke kota-kota menengah, tapi tidak ke kota-kota besar (walau tidak sepenuhnya berhasil) Diiringi dengan perbaikan sarana dan prasarana bagi masyarakat untuk tinggal (termasuk ruang interaksi komunitas)

Studi Banding untuk Inspirasi


Kebijakan dan Strategi Perkotaan di Brazil
Di Brazil, pertumbuhan perkotaan juga terkonsentrasi di sepanjang pantai Timur, membentuk sebuah aglomerasi perkotaan yang sangat besar dari Rio de Janeiro, Sao Paulo, Curitiba hingga Porto Alegre di Selatan. Upaya mengurangi disparitas regional telah lama dilakukan dengan membuat jalan-jalan raya yang masuk ke daerah pedalaman serta membangun ibukota baru Brazilia di pedalaman Amazon. Namun proses ini kurang berhasil dan berhenti pada tahun 1980-an karena berbagai faktor yang kurang mendukung (lingkungan, ekonomi, budaya dan lain-lain) Yang kemudian dilakukan adalah mendorong kota-kota menjadi menarik dikunjungi, nyaman ditinggali (dengan sistem transportasi publik yang efisien (meskipun hanya mengandalkan busway, misalnya), dan membuka partisipasi warga kota sehingga terwujud kota-kota yang secara ekonomi kompetitif. Namun hingga kini kota-kota Brazil pun masih tetap ditandai dengan kontras yang cukup tinggi antara permukiman kaya dan miskin

Studi Banding untuk Inspirasi


Inovasi TOD di Curitiba, Brazil

Kota Curitiba, Brazil (1,8 juta penduduk) Keterpaduan antara landuse planning dan transportation planning serta urban design menciptakan kota yang efisien
Kota ini juga terkenal sangat environmental-friendly

Studi Banding untuk Inspirasi


Urban Retrofit di Vancouver, Canada
Vancouver, Canada (pop. 600,000) Menerapkan kebijakan untuk membuat kota dan sekitarnya menjadi nyaman bagi pejalan kaki melalui pemadatan (densifikasi) pusat kota dan simpulsimpul transportasi dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus oleh setidaknya dua walikota yang berbeda berturut-turut

Studi Banding untuk Inspirasi


Pemanfaatan Potensi Lokal di Bangkok, Thailand
Revitalisasi transportasi air (yang terintegrasi dengan perbaikan sistem sanitasi kota dan lain-lain) menimbulkan manfaat ganda menambah pilihan sarana transportasi dan sekaligus daya tarik wisata (pemanfaatan potensi lokal) Kota Bangkok--dimotori oleh CODI--juga menerapkan berbagai inovasi penyediaan perumahan bagi kaum miskin

Studi Banding untuk Inspirasi


Perencanaan Kota Hanoi, Vietnam
Hanoi -- Vietnam Perencanaan kota secara sederhana : (1) kondisi sekarang, (2) kondisi masa datang yang diinginkan dan (3) bagaimana mencapainya
Where we are now

Where we want to be

Proses yang terbuka dipamerkan selama satu bulan sebelum disyahkan. Masyarakat dapat memberi komentar secara rinci pada setiap panel ulasan saat ini, usulan masa datang dan strategi pencapaiannya

How to get there

Studi Banding untuk Inspirasi


Perumahan Kaum Miskin di Solo dan Pekalongan

Solo dan Pekalongan di Jawa Tengah adalah salah satu contoh dari kota-kota yang secara aktif berinisiatif dan menerapkan target untuk memastikan bahwa semua anggota masyarakat mendapat perumahan / permukiman yang layak Solo juga merupakan contoh dari kota-kota yang banyak melakukan berbagai inisiatif lain bagi perbaikan kota dan masyarakatnya (termasuk dalam penanganan pedagang kaki lima (PKL) / sektor informal

Studi Banding untuk Inspirasi


Pembangunan Berimbang di Tarakan, Kaltim
Tarakan, Kaltim, menerapkan prinsip pembangunan yang berimbang antara tujuan ekonomi, sosial (pendidikan, kesehatan, OR, dll) dan lingkungan Banyak pula terobosan-terobosan lain yang berhasil meningkatkan perekonomian lokal dan kesejahteraan rakyat

Kondisi Umum Perkotaan Nasional


Pola urbanisasi dan aktivitas perkotaan di Indonesia:
Kota-kota dan kawasan perkotaan masih sangat terpusat di pulau Jawa-Bali dan Sumatera serta Sulawesi Selatan Pulau Jawa diperkirakan akan menjadi pulau-kota (padahal juga merupakan pulau yang paling subur untuk pertanian) Bahkan di kawasan tersebut di atas, dominasi Jabodetabek sangat menonjol Kota-kota besardengan bbrp pengecualianumumnya berada di sepanjang pantai Laut Jawa dan Selat Malaka (awalnya berorientasi laut, walau sekarang lebih berorientasi in-land)

Kondisi umum kota-kota di Indonesia:


Kota-kota metropolitan dan besar menghadapi tekanan penduduk yang tinggi dan memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan papan, sarana dan prasarana Pencemaran lingkungan terkait dengan kemiskinan, industri dan konsumsi Kota-kota kecil dan sedang umumnya memiliki sarana dan prasarana yang sederhana. Sanitasi umumnya buruk

Permasalahan Perkotaan Nasional


A. Aspek Kependudukan-Sosial-Budaya A-1. Keterbatasan antisipasi dan kemampuan fasilitasi pertambahan penduduk perkotaan (urbanisasi) beserta karakteristiknya (a.l. dengan piramida penduduk yang meningkatnya jumlah penduduk remaja dan anak-anak) A-2. IPM masyarakat perkotaan yang secara umum relatif masih rendah (walau sudah lebih tinggi daripada masyarakat perdesaan) A-3. Ketaatan hukum yang masih sangat rendah seiring dengan menurunnya modal sosial di masyarakat perkotaan A-4. Belum termanfaatkannya secara optimal potensi budaya dan kearifan lokal dalam pembangunan perkotaan

B. Aspek Ekonomi-Finansial B-1. Belum termanfaatkannya secara optimal potensi ekonomi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serya daya saing kota B-2. Belum terkendalinya ekonomi informal perkotaan (dan belum adanya strategi yang jelas untuk menghadapi pertumbuhan ekonomi informal) B-3. Masih tingginya tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan B-4. Masih terbatasnya kapasitas fiskal/finansial pemerintah daerah

Permasalahan Perkotaan Nasional


C. Aspek Sarana-Prasarana-Perumahan C-1. Keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan sarana-prasarana dasar perkotaan (termasuk sanitasi dan air minum serta energi/listrik) C-2. Keterbatasan penyediaan rumah layak dan terjangkau serta masih tumbuhnya (belum tertanganinya secara memadai) permukiman kumuh C-3. Belum adanya sistem transportasi massal yang efisien C-4. Belum meratanya infrastruktur TIK (teknologiinformasi-komunikasi) yang semakin penting di dalam pembangunan di masa datang serta masih terbatasnya karakteristik kota-kota Indonesia yang kondusif bagi pertumbuhan industri kreatif

Permasalahan Perkotaan Nasional


D. Aspek Tata Ruang dan Ketimpangan Regional D-1. Masih besarnya ketimpangan antar-wilayah dalam hal pembangunan dan taraf hidup warga. D-2. Masih tingginya migrasi desa-kota yang diakibatkan oleh ketimpangan desa-kota (perbedaan kualitas hidup dan perbedaan kesempatan peningkatan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan). D-3. Belum terwujudnya hirarki dan tata peran kota-kota yang jelas sebagaimana yang diatur dalam RTRWN (PKN, PKW, PKSN dan lain-lain). D-4. Urban sprawling (pertumbuhan kawasan perkotaan yang meluas, kepadatan rendah, boros lahan/memakan lahan pertanian) yang sudah menggejala tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga kota sedang/menengah D-5. Keterbatasan ruang publik di perkotaan serta pemanfaatan ruang publik yang ada pun seringkali tidak sesuai dengan fungsi yang ada.

Permasalahan Perkotaan Nasional


E. Aspek Tata Kelola dan Kelembagaan E-1. Kurangnya kepemimpinan kota yang visioner dan berpihak kepada rakyat (walau telah ada segelintir contoh yang baik seperti Solo, Tarakan dll.) E-2. Keterbatasan dalam penerapan tata-pemerintahan yang baik serta manajemen perkotaan yang efektif dan efisien. E-3. Keterbatasan kapasitas SDM aparat pengelola kota E-4. Belum berkembangnya kerjasama antar-wilayah dan antar-pihak yang efektif dan efisien serta melindungi kepentingan publik E-5. Masih belum jelasnya pola partisipasi publik dalam proses-proses pengambilan keputusan publik F. Aspek Lingkungan dan Mitigasi Bencana

F-1. Kualitas lingkungan perkotaan yang cenderung menurun (polusi dll) F-2. Tapak ekologis perkotaan yang cenderung meningkat F-3. Tata bangunan dan lingkungan yang belum memperhatikan daya dukung lingkungan setempat F-4. Kurangnya kesiapan antisipasi dan upaya mitigasi bencana

Kondisi Umum Perkotaan Sumatera


Pola urbanisasi dan aktivitas perkotaan di Sumatera:
Kota-kota besar umumnya berada di sepanjang pantai (khususnya Timur), dengan orientasi Selat Malaka / Singapore / Malaysia Lintas Tengah umumnya kurang berkembang.
Kegiatan perkotaan di bagaian Selatan pulau ini cenderung berorientasi ke pulau Jawa / Jakarta Medan dan Palembang pusat perkotaan paling utama, inter-koneksi relatif baik

Kondisi umum kotakota di Sumatera:

Sarana dan prasarana kota pada umumnya cukup tersedia (walaupun sederhana), tetapi kota-kota besar menghadapi keterbatasan. Kesiapan terhadap bencana (mis. tsunami di Pantai Barat) masih terbatas.
Terdapat kantong-kantong kemiskinan yang cukup serius di Palembang dan Medan. Dua kota metropolitan ini juga mengalami fiscal gap yang paling serius

Tingkat Urbanisasi Sumatera


PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM 2000 23.6 2005 28.8 2010 34.3 2015 39.7 2020 44.9 2025 49.9

SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN

42.4
29.0 43.7 28.3 34.4

46.1
34.3 50.4 32.4 38.7

50.1
39.8 56.6 36.5 42.9

54.4
45.3 62.1 40.6 47.0

58.8
50.6 66.9 44.5 50.9

63.5
55.6 71.1 48.4 54.6

BENGKULU LAMPUNG
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

29.4 21.0
43.0

35.2 27.0
47.8

41.0 33.3
52.2

46.5 39.8
56.5

51.7 46.2
60.3

56.5 52.2
63.9

Sumber: Proyeksi Penduduk 2000 2025 (http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi diakses 2/6/2009)

Tiga propinsi memiliki penduduk perkotaan > penduduk perdesaan, yang lainnya antara 33% hingga 43% urban

Masalah Perkotaan di Sumatera


Secara umum, karakteristik permasalahan perkotaan nasional sebagaimana dipresentasikan di muka juga merupakan cermin permasalahan perkotaan di Sumatera (kurang lebih sama). Namun tentu terdapat permasalahan yang bersifat spesifik. Lokakarya kali ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan-permasalahan spesifik tersebut. Dalam aspek Kependudukan-Sosial-Budaya, pada dekade 1970-80-an arus migrasi dari Sumatera ke Jawa masih relatif seimbang dengan arus sebaliknya, namun pada dekade setelah itu arus dari Jawa ke Sumatera menurun sedangkan sebaliknya tetap. IPM penduduk kota di Sumatera rata-rata lebih tinggi daripada di kota-kota di Jawa. Sementara itu terlihat ada upaya kota-kota untuk menggali karakteristik budaya lokal (agamis), namun sebarapa jauh hal ini mendorong tingkat kesejahteraan warga yang semakin plural perlu dicermati. Dari segi Ekonomi-Finansial, dua kota terbesar, Medan dan Palembang, justru memiliki kapasitas fiskal rendah (karena besarnya permasalahan yang dihadapi). Sebagian besar pekerja di Sumatera adalah di sektor informal.Berbeda dengan di Pulau Jawa, tingkat kemiskinan di perkotaan di Sumatera rata-rata lebih rendah daripada tingkat kemiskinan di perdesaan di pulau ini.

Masalah Perkotaan di Sumatera


Keterbatasan Sarana-Prasarana-Perumahan dapat dilihat pada permukiman kumuh sepanjang Sungai Musi (sebagai contoh) sementara dari segi akses ke sanitasi yang layak di kota-kota di Sumatera kurang lebih hampir sama dengan rata-rata kota-kota Indonesia (di bawah kota-kota Pulau Jawa, tetapi lebih baik daripada kota-kota di pulau-pulau lain). Belanja daerah untuk fasos/fasum relatif masih rendah. Dalam hal Tata-Ruang dan Ketimpangan Regional yang paling menonjol adalah lebih berkembangnya kawasan perkotaan di sepanjang Pantai Timur dibanding kawasan Pantai Barat ataupun jalur tengah. Penggunaan ruang publik yang tidak sesuai juga masih banyak terjadi. Dari segi Tata-Kelola dan Kelembagaan, keterbatasan dan tantangan ada tidak jauh berbeda dengan umumnya kota-kota Indonesia lainnya. Demikian pula dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan Lingkungan dan Kesiapan / Mitigasi Bencana, padahal kota-kota di Pantai Barat dapat dikategorikan rawan tsunami sementara kota-kota di Pantai Timur juga rawan terhadap kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Secara umum, polusi perkotaan di Sumatera pun meningkat.

Usulan Visi Pembangungan Kota


Terwujudnya kota-kota di Indonesia termasuk kota-kota Sumaterayang nyaman (livable), berkelanjutan (sustainable), berkeadilan (just) bagi semua golongan masyarakat dan berperan sebagai pendorong (drivers) peningkatan kesejahteraan rakyat maupun pertumbuhan ekonomi regional/nasional

Kebijakan Perkotaan Nasional (12 Usulan Awal)


K-1 Secara makro (keseluruhan), menerapkan kebijakan pembangunan berbasis perkotaan (urban-led development policy) melalui pendekatan decentralized concentration di mana urbanisasi dan investasi infrastruktur diarahkan kepada sejumlah tertentu konsentrasi pertumbuhan (city-cluster development) yang terdesentralisasi. Pendekatan ini dapat meningkatkan sinergi antar-sektor maupun antar-wilayah serta bersifat inklusif K-2 Memastikan bahwa bahwa setiap kota dapat memenuhi kebutuhan sosialbudaya warganya dan menciptakan iklim kehidupan sosial-budaya yang taat hukum, saling menghargai dan berkelanjutan secara sosial, serta memanfaatkan potensi budaya dan kearfian lokal.

K-3 Memastikan bahwa setiap kota mampu memanfaatkan potensi ekonomi lokal untuk kesejahteraan warganya serta untuk meningkatkan dayasaing sesuai dengan perannya (baik di tingkat regional, nasional ataupun internasional) dan bahwa setiap kota dapat menangani permasalahan ekonomi informal dan kemiskinan melalui pendekatan yang berkeadilan.

Kebijakan Perkotaan Nasional (12 Usulan Awal)


K-4 Memastikan bahwa setiap kota memiliki kapasitas finansial, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan warganya yang paling mendasar. K-5 Memastikan bahwa setiap kota dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana warganya (sesuai dengan karakteristik setempat) serta memastikan bahwa kota-kota yang ditugasi untuk bersaing di tingkat global/internasional dapat memiliki prasarana TIK yang kompetitif.

K-6 Memastikan bahwa kebutuhan warga kota akan perumahan yang layak dan terjangkau dapat terpenuhi serta bahwa permukiman kumuh dapat diperbaiki / dihapuskan. K-7 Mendorong kota-kota untuk menerapkan pembangunan kota yang berbasis angkutan umum massal (transit-oriented development), dimulai sejak sebelum kota menjadi besar dan sprawling.

Kebijakan Perkotaan Nasional (12 Usulan Awal)


K-8 Menyikapi ketimpangan regional dengan mendorong berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia pada khususnya dan kawasan perkotaan lain di luar pulau Jawa. Kenyataan bahwa ketimpangan regional akan tetap selalu ada akan diimbangi dengan mengupayakan agar pelayanan dasar yang minimum tersedia di mana pun di Indonesia
K-9 Menerapkan pengendalian terhadap pola-pola pertumbuhan kota yang melebar (urban sprawl) dengan menerapkan berbagai instrumen seperti urban growth boundaries secara terencana dan konsisten serta instrumen perkotaan lainnya yang dapat sekaligus mendorong terwujudnya RTH 30% sebagaimana diamanatkan oleh UU 26/2007

Kebijakan Perkotaan Nasional (12 Usulan Awal)


K-10 Mendorong penerapan tata-pemerintahan kota yang baik, munculnya kepemimpinan kota yang visioner dan berpihak kepada rakyat, serta terwujudnya kapasitas pengelola kota yang memadai, efisien dan efektif. K-11 Memastikan terciptanya kualitas lingkungan kota yang baik (polusi dan lain-lain di bawah ambang batas) dan dipertimbangkannya daya dukung lingkungan dalam pembangunan serta membatasi peningkatan tapak ekologis perkotaan. . K-12 Mendorong upaya-upaya mitigasi dan kesiapan terhadap bencana, termasuk yang terkait dengan perubahan iklim, gempa bumi, tsunami (untuk kota-kota pantai tertentu), land subsidence (yang juga bisa diakibatkan oleh perbuatan manusia seperti penggunaan air tanah secara berlebihan) dan lain-lain.

Strategi Pewujudan
S-1 Penerapan sasaran terukur dan terikat waktu (measurable and time-bound) di semua aspek pembangunan yang bisa diukur. S-2 Penerapan pendekatan insentif dan disinsentif, baik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah maupun dari pemerintah pada umumnya kepada masyarakat dan swasta S-3 Mendorong kerjasama antar-daerah dan antar-pihak. S-4 Penguatan kapasitas yang terus-menerus serta pengembangan knowledge management. S-5 Penerapan mekanisme monitoring dan akuntabilitas yang partisipatif.

S-6 Mendorong kota-kota untuk fokus pada satu atau segelintir produk atau fungsi unggulan (tanpa mengurangi atau melemahkan keharus kotakota untuk memenuhi standard pelayanan perkotaan) sehingga dapat menjadi city brand yang kuat dan menonjol bagi kota tersebut.

Strategi Pewujudan
100% kawasan perkotaan
Peningkatan kapasitas pengelola kota dan dukungan bagi penerapan tata-kelola yang baik

kota-kota yg sdh memenuhi SPP

60% kawasan perkotaan

Peningkatan kapasitas pengelola kota dan dukungan bagipPenerapan tatakelola yang baik

kota-kota yg sdh memenuhi SPP

kota-kota yg mjd pusat regional

30% kawasan perkotaan

kota-kota yg sdh memenuhi SPP kota-kota yg mjd pusat regional kota-kota yg mjd kota internasional

kota-kota yg mjd pusat regional kota-kota yg mjd kota internasional kota-kota yg mjd kota internasional

RPJM-N II 2010 - 2014

RPJMN III 2015 - 2019

RPJMN IV 2025 2020 - 2024

Contoh Kemungkinan Indikator Sasaran Nasional


Kondisi 2010
Kondisi PSD perkotaan 2010 sebagai baseline

Kondisi 2015
Std pelayanan perkotaan min. diterapkan di 30% kota Akses ke ICT dimiliki oleh 20% penduduk perkotaan Indonesia Setidaknya 20% kota-kota besar dan metropolitan menerapkan prinsip TOD (termasuk urban growth boundary) Permukiman kumuh tinggal 60% dari baseline (kondisi 2010)

Kondisi 2020
Std pelayanan perkotaan min. diterapkan di 60% kota Akses ke ICT dimiliki oleh 40% penduduk perkotaan Indonesia Setidaknya 40% kota-kota besar dan metropolitan menerapkan prinsip TOD (termasuk urban growth boundary) Permukiman kumuh tinggal 30% dari baseline (kondisi 2010)

Kondisi 2025
Std pelayanan perkotaan min. diterapkan di semua kota Akses ke ICT dimiliki oleh 60% penduduk perkotaan Indonesia Setidaknya 60% kota-kota besar dan metropolitan menerapkan prinsip TOD (termasuk urban growth boundary) Tidak ada lagi permukiman kumuh di kota-kota di Indonesia

Ketersediaan Sarana-prasarana Kota (termasuk ICT)

Penerapan konsep TOD kota-kota

Kondisi transportasi dan tata ruang kota (termasuk urban sprawl)

Perbaikan Permukiman Kumuh

Besaran permukiman kumuh th 2010 sebagai baseline

Contoh Kemungkinan Indikator Sasaran Nasional


Kondisi 2010
Kondisi lingkungan perkotaan 2010 sebagai baseline

Kondisi 2015
Tingkat polusi menjadi 75% dari base-line. Tapak ekologis perkotaan untuk kota besar/metro, kota sedang, kota kecil turun ..% 30% kota memenuhi syarat RTH UU 26/2007 Setidaknya 3 kota masuk dalam kota livable Asia/ dunia Setidaknya 30% kota-kota memiliki mekanisme mitigasi / antisipasi bencana yang berkekuatan hkm

Kondisi 2020
Tingkat polusi mjd 50% dari base-line. Tapak ekologis perkotaan untuk kota besar/metro, kota sedang, kota kecil turun ..% 60% kota memenuhi syarat RTH UU 26/2007 Setidaknya 6 kota masuk dalam kota livable Asia/ dunia Setidaknya 60% kota-kota memiliki mekanisme mitigasi / antisipasi bencana yang berkekuatan hkm

Kondisi 2025
Tingkat polusi mjd 25% dari base-line. Tapak ekologis perkotaan untuk kota besar/metro, kota sedang, kota kecil turun ..% Semua kota memenuhi syarat RTH UU 26/2007 Setidaknya 10 kota masuk dalam kota livable Asia/ dunia Setidaknya 90% kota-kota memiliki mekanisme mitigasi / antisipasi bencana yang berkekuatan hkm

Kondisi Lingkungan Kota

Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Kota

Kondisi RTH dan amenities kota tahun 2010 sebagai baseline

Kesiapan / Mitigasi Bencana

Kondisi kesiapan dan mitigasi bencana 2010 sebagai baseline

Contoh Kemungkinan Indikator Sasaran Nasional


Kondisi 2010
Kapasitas keuangan daerah 2010 sebagai baseline Kondisi umum ekonomi lokal perkotaan dan daya saing kota-kota tahun 2010 sbg baseline

Kondisi 2015
30% kota memiliki kap-fiskal untuk memenuhi SPP dan designasi peran nasional Setidaknya 30% memiliki iklim usaha kondusif Setidaknya 3 kota memiliki daya saing tinggi tingkat Asia Setidaknya 10% kota-kota yang berpotensi agropolitan berfungsi dg baik Penduduk kota yang miskin tidak lebih dari 15%

Kondisi 2020
60% kota memiliki kap-fiskal untuk memenuhi SPP dan designasi peran nasional Setidaknya 60% memiliki iklim usaha kondusif Setidaknya 6 kota memiliki daya saing tinggi tingkat Asia Setidaknya 30% kota-kota yang berpotensi agropolitan berfungsi dg baik Penduduk kota yang miskin tidak lebih dari 10%

Kondisi 2025
100% kota punya kap-fiskal untuk memenuhi SPP dan designasi peran nasional Setidaknya 90% memiliki iklim usaha kondusif Setidaknya 10 kota memiliki daya saing tinggi tingkat Asia Setidaknya 10% kota-kota yang berpotensi agropolitan berfungsi dg baik Penduduk kota yang miskin tidak lebih dari 5%

Kondisi Keuangan Kota

Kondisi Ekonomi Lokal

Kemiskinan Kota

Kondisi kemiskinan perkotaan 2010 sbg baseline

Contoh Kemungkinan Indikator Sasaran Nasional


Kondisi 2010
Kondisi umum sosial-budaya perkotaan 2010 sebagai baseline

Kondisi 2015
20% kota-kota menyediakan sarana komunitas dan budaya serta memiliki perda perlindungan cagar budaya 30% kota-kota berkategori mampu secara kelembagan (memiliki visi, LUSP dan sarana utk mewujudkan visi/LUSP tsb Kontribusi penduduk perkotaan Pulau Jawa menjadi 65%

Kondisi 2020
40% kota-kota menyediakan sarana komunitas dan budaya serta memiliki perda perlindungan cagar budaya 60% kota-kota berkategori mampu secara kelembagan (memiliki visi, LUSP dan sarana utk mewujudkan visi/LUSP tsb Kontribusi penduduk perkotaan Pulau Jawa menjadi 60%

Kondisi 2025
60% kota-kota menyediakan sarana komunitas dan budaya serta memiliki perda perlindungan cagar budaya 100% kota-kota berkategori mampu secara kelembagan (memiliki visi, LUSP dan sarana utk mewujudkan visi/LUSP tsb Kontribusi penduduk perkotaan Pulau Jawa menjadi 50%

Kondisi SosialBudaya di Perkotaan

Kondisi Kelembagaan / Tata Kelola

Kondisi umum kelembagaan perkotaan 2010 sebagai baseline

Ketimpangan Perkotaan Regional

Kondisi ketimpangan regional dan RUL 2010 sebagai baseline

Strategi Pewujudan
Peraturan / insentif-disinsentif yang disertai dengan dukungan kerjasama dan penguatan kapasitas:
Peraturan-panduan / Insentif-disinsentif bantuan teknis / finansial / jaringan dari pemerintah pusat
Kabupaten / agropolitan

Kerjasama dengan swasta (PPP)

Kerjasama antar-daerah / antar-kota

Kota setara / sejenis

Penguatan kapasitas pemkot dan penguatan kapasitas masyarakat sipil untuk dapat selalu memonitor perkembangan Kota besar /metropolitan

Strategi Pewujudan
Pemantuan dan evaluasi berkala:
- Oleh pemerintah (pusat / propinsi) - Oleh masyarakat (citizen report cards)

2010

2015

2020

2025

Masukan Sumatera
(Untuk Kebijakan dan Strategi Nasional)

KSPN dan kontribusi pemerintah pusat

Kondisi Perkotaan Sumatera tahun 2025

Kondisi Perkotaan Indonesia yang diharapkan terwujud 2025

Pewujudan melalui KSPD dan kontribusi pemerintah daerah dan masyarakat

Kondisi Perkotaan Sumatera Saat ini

Lokakarya ini sebagai upaya menggali masukan daerah / regional untuk kebijakan dan strategi perkotaan nasional

Selamat Berlokakarya Semoga Bermanfaat Bagi Perbaikan Kota-Kota Indonesia

Terima Kasih

(A) Aspek Sosial-BudayaKependudukan


Nasional

(A-1) Keterbatasan antisipasi dan kemampuan fasilitasi


pertambahan penduduk perkotaan (urbanisasi) beserta karakteristiknya (a.l. dengan piramida penduduk yang meningkatnya jumlah penduduk remaja dan anak-anak)

Sebagai contoh, kondisi pelayanan air minum di kota-kota di Indonesia masih belum sepenuhnya baik, dan akan terus mengalami tantangan untuk melayani kebutuhan penduduk kota yang semakin besar

(A-2) IPM masyarakat perkotaan yang secara umum


relatif masih rendah
0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5 0.45 0.4 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2003 Malaysia T hailand Philipines China Vietnam Indonesia India Myanmar Cambodia Lao PDR T imor Leste

IPM Indonesia lebih rendah dari Malaysia, Filipina, Thailand, Cina dan bahkan Vietnam

Kota

Kota Malang

Kota Sukabumi

Kota Madiun

Kota Tegal

Kota Depok

Kota Banjar

Kota Blitar

Kota Batu

Kota Surakarta

Kota Bandung

Kota Semarang

Kota Cilegon

Kota Probolinggo

Kota Yogyakarta

Kota Magelang

Kota Pekalongan

Kota Mojokerto

Kota Tangerang

Kota Denpasar

Kota Pasuruan

Kota Cirebon

Kota Bekasi

Kota Kediri

Kota Surabaya

Kota Salatiga

DKI Jakarta

Kota Bogor

Kota Cimahi

77 76 75 74 73 72 71 70

78 76 74 72 70 68 66 64

Rata-rata HDI kota-kota Sumatera lebih tinggi dari kota-kota di Jawa dan Bali

10000 100 200 400 500 600

20000

40000

50000

60000

30000

300

0 0 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat

(A-3) Ketaatan hukum yang masih sangat

rendah seiring dengan menurunnya modal sosial di masyarakat perkotaan

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA 2005 2004 2003

Tingkat resiko terjadinya tindakan kriminal yang masih diatas 50 per 100.000 orang, sebagai indikasi rendahnya ketaatan hukum

2005

2004

2003

(A-4) Belum termanfaatkannya secara optimal potensi budaya dan kearifan


lokal dalam pembangunan perkotaan
Banda Aceh Kota budaya, sebagai pusat kerajaan Aceh banyak menyimpan khazanah budaya, monumen, tempat-tempat bersejarah, dan makam raja-raja seperti makam Sultan Isakandar Muda dan makam Syekh Abdurrauf Syiah Kuala Karena banyaknya kandungan nilai sejarah yang dimiliki Kota Sabang sehingga menjadi salah satu kota tujuan wisata di Provinsi NAD, di Weh terdapat peninggalan jaman Jepang dan Belanda ini menjadi tempat wisata sejarah untuk mengenang peperangan Letak Kota Sibolga yang sepi di tepi pantai merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki. Keindahan alam tepi pantai, dengan pesona deretan pulau-pulau yang ada menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik wisatawan. Dengan keindahan alam tepi pantai ini, Kota Sibolga sangat berpotensi untuk mengembangkan paket wisata bahari. Pulau-pulau yang berpotensi mengembangkan wisata bahari adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Panjang dan Pulau Sarudi
Selain Empek-empek, kota ini juga memiliki produk khas lain yaitu tenun songket. Kerajinan tenun dikenal sejak Kerajaan Sriwijaya. Motifnya beraneka ragam, seperti Lepus, Jando Berias, Bungo Inten, dan Tretes Midar. Motif-motif ini sangat digemari peminat songket yang sentra kerajinannya dapat dijumpai di Kecamatan Ilir Barat II. Di daerah ini rumah-rumah panggung didesain sedemikian rupa, menjadi tempat kerja sekaligus tempat memajang hasil karya mereka. Industri makanan dan tenun songket merupakan bagian dari lapangan usaha industri pengolahan. Lapangan usaha ini menjadi penyu mbang utama kegiatan ekonomi Kota Palembang. Kota kecil yang luasnya hanya 0,06 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat ini populer dengan sebutan Kota Jam Gadang. Jam Gadang yang artinya jam besar menjadi simbol sekaligus pusat keramaian kota. Dari menara tempat berdiri Jam Gadang inilah kegiatan wisata dan belanja bisa segera dimulai. Pasalnya, tempat-tempat bernuansa sejarah yang menjadi saksi perkembangan kota di masa lalu seperti bekas kediaman Bung Hatta, Benteng Fort de Kock, dan Lubang Jepang berada tak jauh darinya. Kota Sawah lunto dikenal sebagai kota tambang karena sebagaian besar perkekonomian penduduknya ditopang dari sektor pertamban gan, hasil tambang terbesarnya berupa batu bara terdapat di Ombilin dan Sawah lunto, juga terdapat cukup banyak simpanan batu kapur, grafit, andesit, granit, kalsit, kaolin, pasir kuarsa, fosfat, silika, lempung kuarsit, dan emas. Kerajinan sulaman indah dan bordir adalah hasil keluaran industri kerajinan yang banyak digeluti masyarakat setempat. Keduanya berpotensi mempercepat pergerakan ekonomi kota dan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Komoditas yang sekaligus berfungsi sebaga i cendera mata itu telah merambah hingga ke mancanegara, khususnya ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Australia.

Kota Sabang

Kota Sibolga

Palembang

Kota Bukit Tinggi

Kota Sawahlunto Kota Pariman

Kota Dumai

Di sektor pariwisata, Sebagai gerbang utama untuk memasuki Riau Daratan, beberapa turis sudah berulang kali mengunjungi Dumai, terutama yang ingin mengunjungi Malaka. Dumai sangat mudah dicapai karena transportasinya yang lancar. Ada beberapa objek wisata yang menarik dalam perjalanan menuju Dumai, seperti adanya suku terbelakang yang dinamakan suku Sakai, hutan tropis di sepanjang jalan, dan air sungai yang warnanya unik seperti warna teh. Selain itu juga dapat dilihat beratus pipa angguk yang mengangkat minyak dari perut bumi.

Kota Pangkalpinan g

Di sektor pariwisata, Kota Pangkalpinang memiliki potensi yang dapat diandalkan dalam hal kepariwisataan. Kunjungan tamu ke Kabupaten Bangka dan Belitung umumnya melalui atau transit dari daerah ini . Wisata yang menonjol adalah wisata pantai, khususnya di Kota Pangkalpinang dengan pantai Pasir Padinya yang memiliki panorama alam yang mempesona.

(B) Aspek Finansial-Ekonomi


Nasional

B-1) Belum termanfaatkannya secara optimal potensi


ekonomi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta daya saing kota

mengambil contoh rendahnya tingkat daya saing kota di Pulau Sumatera


EGI SCORE
80

70

60

50
EGI SCORE

40

EGI SCORE 30 AVG EGI INDONESIA 2007

20

10

0 MEDAN BATAM TJ BALAI TJ PINANG PEMATANG SIANTAR LUBUK LINGGAU SIBOLGA

METROPOLITAN

BESAR

SEDANG

SEDANG
KOTA

SEDANG

KECIL

KECIL

Rata-rata EGI Score nasional adalah 60, dan terlihat bahwa hanya kota Lubuk Linggau yang memiliki EGI diatas rata-rata score nasional.

B-2 Belum terkendalinya ekonomi informal perkotaan (dan


belum adanya strategi yang jelas untuk menghadapi pertumbuhan ekonomi informal)

(B-3) Masih tingginya tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan

Angka kemiskinan di daerah urbanized sangat tinggi (warna cokelat dalam peta)

Angka kemiskinan di perkotaan yang meningkat

(B-4) Keterbatasan kapasitas Fiskal


Kota Kota Medan Kota Padang Kota Pekanbaru Kota Jambi Kota Palembang Indeks 0.386 0.918 1.9307 0.9096 0.358 Keterangan
2.5

Index Kap. Fiskal


2
1.5 1 0.5 0

Rendah Sedang Tinggi Sedang Rendah

Kota Prabumulih
Kota Bengkulu Kota Bandar Lampung Kota Metro Kota Batam Kota Tanjung Pinang

1.5543
0.6753 0.416 1.5845 1.5412 2.366

Tinggi
Sedang Rendah Tinggi Tinggi Sangat tinggi

Terlihat rendahnya kapasitas fiskal di kotakota besar di Sumatera yang mengindikasikan kurangnya kemampuan kota untuk memenuhi kebutuhan finansial dalam pembangunan kota.

Sumber: Departemen Keuangan -2008

(C) Aspek Sarana Prasarana


Nasional

(C-1) Keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan saranaprasarana dasar perkotaan (termasuk sanitasi dan air minum serta energi/listrik)

Dari berbagai pelayanan, hanya pelayanan air minum di Indonesia yang kualitasnya di atas rata-rata negara berpenghasilan rendah dan menengah. Itupun masih dibawah negara-negara di ASEAN.

(C-2) Keterbatasan penyediaan rumah yang layak dan terjangkau serta masih belum tertanganinya secara memadai pemukiman kumuh

Kawasan kumuh seluas 54.000 hektar di tahun 2004 diperkirakan tersebar di 10.065 lokasi di seluruh Indonesia, dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta penduduk

(C-3) Belum adanya sistem transportasi massal yang efisien


Kinerja Pelayanan Trayek yang belum 100%

Tidak semua kota Metro dan Besar memiliki bus besar

Pertambahan kendaraan pribadi yang signifikan, dan tidak diiringi dengan pertambahan angkutan umum (bus)

Sumber Ditjen Hubdat 2004

(C-4) Belum meratanya


infrastruktur TIK (teknologiinformasi-komunikasi) yang semakin penting di dalam pembangunan di masa datang serta masih terbatasnya karakteristik kota-kota Indonesia yang kondusif bagi pertumbuhan industri kreatif

C-3.

Seluruhnya dibawah ratarata teledensitas infrastruktur telekomunikasi dan informatika negara di Asia.

(D) Aspek Tata Ruang dan Ketimpangan Regional

(D-1) Masih besarnya ketimpangan antar-wilayah dalam hal pembangunan dan taraf hidup warga.
Kesenjangan antar wilayah tercermin dari perbedaan kesejahteraan masyarakat
Kemiskinan di DKI : 3,2 persen penduduk, sedangkan di Papua sekitar 38,7 persen. Penduduk di DKI rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya 5,8 tahun 30 persen penduduk di DKI yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, sedangkan di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen. Di bidang pelayanan kesehatan, jika di DKI hampir seluruh bayi yang lahir mendapat pertolongan dari dokter dan/atau tenaga medis lainnya, sedangkan Maluku Utara kurang dari 40 persen.

Perbedaan Pembangunan Infrastruktur


KBI yang luas wilayahnya hanya 31,25 persen dari luas wilayah nasional dilayani jalan nasional dan propinsi yang total panjangnya mencapai 37.687,5 km. Sementara itu wilayah KTI yang luasnya mencakup 68,75 persen dari luas wilayah nasional dilayani jalan nasional dan propinsi yang total panjangnya justru lebih rendah yaitu 33.241,2 km. Kesenjangan pelayanan jalan ini semakin parah bila melihat kondisi jalan per Maret 2006, di mana lima provinsi tertinggi yang memiliki jalan dengan kondisi rusak berat sebagian besar di KTI, yaitu Kalteng (76,0 persen), Gorontalo (59,9 persen), Sulsel (54,2 persen), dan Maluku Utara (51,6 persen)(Data tahun 2004).

(D-2) Masih tingginya migrasi desa-kota yang diakibatkan oleh ketimpangan desa-kota (perbedaan kualitas hidup dan perbedaan kesempatan peningkatan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan).

D-3. Belum terwujudnya hirarki dan tata peran kota-kota yang jelas sebagaimana yang diatur dalam RTRWN (PKN, PKW, PKSN dan lainlain).

Primacy Jakarta lebih kuat lagi jika mempertimbangkan perkiraan bahwa sekitar 60 70% uang di Indonesia beredar di Jakarta / Jabodetabek [evidence masih dicari]

(E) Aspek Tata Kelola dan Kelembagaan


Nasional

Birokrasi pemerintah kota yang tidak efisien merupakan hambatan terkuat dalam menjalankan usaha menurut survey

(F) Aspek Lingkungan dan Mitigasi Bencana


Nasional

F-1 Kualitas lingkungan perkotaan yang cenderung


menurun (dari tingginya tingkat polusi)

Mengambil contoh tingkat Polusi di kota Medan

F-2 Tapak Ekologis perkotaan yang cenderung meningkat

Pertumbuhan kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat tajam

F-3 Tata bangunan dan lingkungan yang belum memperhatikan daya dukung lingkungan setempat rendahnya belanja untuk penanganan kualitas lingkungan hidup

F-4 Kurangnya kesiapan antisipasi dan upaya mitigasi bencana

Anda mungkin juga menyukai