Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PROJECT BEST LEARNING

GANGGUAN SISTEM IMUN


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS ( SLE )

Oleh :
ANGGI YUWITA SRIRAHAYU
105070203111003

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011

1. KLASIFIKASI
Secara umum ada 3 jenis penyakit lupus yang diketahui sampai
sekarang ini yaitu :
a. Cutaneus Lupus
Seringkali disebut dicoid dimana penyakit ini sering menyerang
bagian kulit saja. Untuk mengetahui gambaran penyakit ini yakni:
Adanya ruam yang muncul didaerah kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung dan dada leher, atau bahkan
ruam pada seluruh tubuh
SLEi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh
batas erithemayang meninggi, skuama, sumbatan falikuler
dan telangiektasia
(http://www.scribd.com/doc/62400839/askep-kita-SLE)
Salah satu bagian tubuh dan/atau seluruh tubuh berwarna
merah sampai bersisik.
Kadang-kadang sampai gatal dan hampir semua golongan
ini akan berubah menjadi sistemik.
Penyakit ini menimbulkan kecacatan karena SLEi ini
memperlihatkan jaringan parut.
(http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/3-Fredy.pdf)
b. Sistemik Lupus
Yaitu penyakit lupus yang menyerang organ tubuh seperti
persendian, otak/saraf, darah, pembuluh darah, paru-paru, ginjal,
jantung, hati, dan mata. Penyakit ini adalah jenjang penyakit lupus
yang sangat berat karena jenis ini menyerang organ-organ vital
baik

satu

dan/atau

beberapa

organ

vital

lainnya.

(http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/3-Fredy.pdf)
c. Drug Induced Lupus (DIL)
Obat banyak

terakumulasi

ditubuh

sehingga

memberikan

kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini

direspon benda asing oleh tubuh sehingga tubuh manusia


membentuk kompleks antibody antinuklir ( ANA ) untuk
menyerang

benda

asing

tersebut.

(http://www.scribd.com/doc/62400839/askep-kita-SLE)
Timbul setelah sering menggunakan obat-obat tertentu. Obatobat antibiotic seperti golongan sulfa, oabt-obat antituberkulosa
sperti NH, golongan obat hydralazin untuk hipertensi dan
golongan obat prokainamid untuk jangtung, namun untuk
beberapa tahun terakhir ini obat hydrlazin dan prokainamid
sudah jarang sekali dipakai.
(http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/3Fredy.pdf)
2. DEFINISI
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dikenal juga
dengan penyakit Lupus yang dalam bahasa Latin berarti anjing hutan,
penyakit dengan kelainan kulit didaerah wajah yang dikira disebabkan
oleh gigitan anjing hutan (Lahita, 1998 ; Bimanesh, 1990)
Dalam perkembangannya ternyata penyakit lupus tidak hanya
mengenai kulit wajah saja tetapi juga dapat menyerang hamper
seluruh organ tubuh. Istilah lengkap penyakit lupus adalah Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE). Eritematosus artinya kemerahan,
sedangkan sistemik berarti tersebar luas diberbagai organ tubuh,
tetapi dalam pembicaraan sehari-hari SLE disebut lupus saja (Philips,
1996 ; Heru, 2002)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multi-sistem akibat kerusakan jaringan. Penyakit SLE khas
ditandai oleh kerusakan pembuluh darah yang terjadi secara berulang
diseluruh tubuh. Penyakit SLE terjadi karena penumpukan kompleks
imun dan antibody, terutama pada jaringan vaskuler (Nasution dan
Kasjmir, 1995 ; Simon, Etkin, Godine, et al, 1999)

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun


sistemik yang

ditandai

dengan

adanya

autoantibodi

terhadap

autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi system


imun,

menyebabkan

kerusakan

pada

beberapa

organ

tubuh.

Perjalanan penyakitnya bersifat episodic (berulang) yang diselingi


periode sembuh.
(http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosussistemik.pdf)
Systemic Lupus Erythematosus adalah penyakit autoimun
dimana sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi terhadap selsel dalam tubuh menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan
luas (http://www.cdc.gov/arthritis/basics/lupus.htm)
Lupus

eritematosus

sistemik

atau

systemic

lupus

erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang


sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut atau fulminan (kronik) remisi dan eksaserbasi, disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
SLE merupakan prototype penyakit autoimun multi-sistem.
Berbeda dengan penyakit autoimun yang organ-spesifik (misalnya
diabetes mellitus tipe 1, miastenia gravis, penyakit Graves, dsb)
dimana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap
suatu

jaringan

tertentu

dan

menimbulkan

gejala

klinis

yang

karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun


abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinik. Dulu
penyakit ini disebut juga Lupus Eritematosus Diseminata. (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
3. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika yang merupakan Negara yang sudah maju pun
terjadi lebih dari 16.000 kasus baru setiap tahunnya, menurut survey

lebih banyak orang mendapat penyakit lupus dibandingkan AIDS,


serebral palsi, multiple sclerosis, dll. Lupus mengenai 1 dari 185 orang
Amerika dan tahun 1990 diperkirakan sekitar 1,4 juta sampai 2 juta
penduduk AS menderita penyakit lupus (Zubairi, 2002)
Dalam survei terindikasi bahwa penyakit lupus terdapat dalam 2
sampai 3 kasus lebih banyak daripada ras Afrika, Asia, Hispanik dan
Amerika asli. Beberapa angka dari kawasan Asia yang dapat
digunakan untuk memperoleh gambaran penyakit ini ialah survei
masal yang dilakukan di India dan Cina. Survei yang dilakukan di India
adalah 1 dari 25.000 penduduk, di Cina 70 dari 100.000 penduduk
(Malaviya, 1989 ; Jiang, 1989)
Pemyakit ini dapat ditemukan pada semua usia. Tetapi paling
banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada
wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,59) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug-induced
LE), rasio lebih rendah yaitu 3 : 2. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi 3, 1996)
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien
yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di bagian Ilmu Penyakit
Dalam

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia

RS

Mangunkusumo Jakarta yang melakukan penelitian pada periode


yang berbeda diperoleh data sebagai berikut :

Antara tahun 1969 1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali)

Selama periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus SLE


dari setiap 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per
10.000 perawatan)

Antara tahun 1988 1990 (3 tahun) insidensi rata-rata ialah


sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.
(Bimanesh, 1991)

Ketiganya menggunakan criteria berbeda-beda yaitu berturutturut criteria Dubois, criteria pendahuluan ARA, dan criteria ARA yang
telah diperbaiki.(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Insidensi di RS. Sardjito Yogyakarta insiden 10,1 per 10.000
perawatan dalam 4 tahun, sedangkan di RSU Dr. Pirngadi Medan
1,42 per 10.000 perawatan selama 3 tahun (purwanto, 1987 ; Tarigan,
1987)
4. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan
yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktorfaktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin,

prokainamid,

isoniazid,

klorpromazin

dan

beberapa

preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa


turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obatobatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi

antigen

yang

selanjutnya

merangsang

antibodi

tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.


Kelainan sistem imun pada SLE ditandai dengan berbagai
faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut
yang mungkin sudah didasari kelainan genetik. Antigen dari luar yang
akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh,
sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal (selanjutnya
disebut Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A.

Antigen tersebut akan diproses seperti umumnya antigen lain oleh


APC dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat
oleh sel B pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu
antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh peptida
ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak
organ target (glomerulus, sel endotel dan thrombosit). Di sisi lain
antibodi juga dapat berikatan dengan antigennya untuk membentuk
komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh bila
terjadi endapan.
Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh
gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan
cara pembersihan antigen atau komplek imun di dalam sirkulasi.
Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat
mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke dalam
sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit
dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan
glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di sisi lain
antibodi juga dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit
dan eritrosit yang akhirnya akan menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan pada
penderita SLE dan keadaan ini sering menimbulkan kerusakan
jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun tersebut dapat juga
berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan
reseptor C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis.
Bila komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi dengan cara
mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG.
Ketidakmampuan

kedua

organ

tersebut

akan

menimbulkan

manifestasi klinik berupa hemolisis.


Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena
melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan berbagai mediator
inflamasi lainnya yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel

pembuluh darah. Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada SLE


ialah penurunan jumlah IL-1 dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6.
Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B
untuk membentuk antibodi. Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang
terjadi pada SLE:
Sel T
Sel B
Limfopenia
Aktivasi dan poliklonal sel B
Penurunan sel T supresor
Peningkatan terhadap respon
Peningkatan sel T helper
sitokin
Penurunan memori dan CD4
Penurunan aktivasi sel T supresor
Peningkatan aktivasi sel T helper
Untuk mengetahui lebih jelasnya dapat dilihat skema pohon
masalah Systemic Lupus Erythematosus pada halaman lampiran.
5. FAKTOR RESIKO
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga factor
genetic, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel jaringan tubuh sendiri. Penyimpanan reaksi imunologi
ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga
berperan

dalam

pemebentukan

kompleks

imun

sehingga

mencetuskan penyakit inflamsi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. (http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE)


Dalam

keadaan

normal

system

kekebalan

berfungsi

mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus


dan penyakit autoimun lainnya system pertahanan tubuh ini berbalik
melawan tubuhnya, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan
jaringan

tubuh,

sehingga

terjadi

penyakit

menahun.

(http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE)
Faktor

resiko

terjadinya

SLE

berdasarkan

http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE adalah sebagai berikut :


a. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih


sering daripada pria dewasa.

Umur, biasanyalebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.

Etnik, factor keturunan, dengan frekuensi 20 kali lebih


sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan
penyakit tersebut

b. Faktor Resiko Hormon


Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen
mengurangi resiko ini.
c. Sinar UV
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
d. Imunitas
Pada paisen SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
e. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien
tertentu dan minimum dalam jangka waktu tertentu dapat
mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus
atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat
adalah :

Obat

yang

pasti

menyebabkan

Lupus

Obat

Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan


isoniazid

Obat yang mungkin menyebabkan Lupus Obat : dilantin,


penisilamin, dan kuinidin.

Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis


antibiotic (terutama golongan sulfa dan penisilin) dan
griseofurvin.

f. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadangkadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g. Stress
Stress berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi.
Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya
berbagai system dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
system imun. Pada tipe menahun terdapa remisi dan eksaserbasi.
Remisisnya mungkin berlangsung bertahun-tahun. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan
menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar
(butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia
(kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi
sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan
sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan,
tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan
kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit,
dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien yang
tidak responsive pada terapi kortikosteroid. Pengendalian hipertensi
sangat

penting

untuk

mempertahankan

fungsi

ginjal.

(http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosussistemik.pdf)
Genetically susceptible individual

Genes involved:
MHC Class II Complement
Additional unidentified genes
Environmental Trigger(s)
Unknown
T-cell driving force CD4-dependent
(Spesificities unknown)
IgG autoantibody production
Self-antigen driven
Autoantibody-mediated clinical
manifestations
Gambar 1 : Model pathogenesis Lupus Erythematosus Sistemic
Onset penyakitnya dapat spontan atau didahului factor
presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri,
obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma
fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas
seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam,
kadang-kadang disertai menggigil. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi 3, 1996)
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala

yang

sering

pada

SLE

adalah

gejala

musculoskeletal. Berupa arthritis atau artralgia (93%) dan


acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kai. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi
sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-

kadang termasuk kelas II (inflamasi. Kaku pagi jarang ditemukan.


Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Arthritis biasanya
simetris,

tanpa

menyebabkan

deformitas,

kontraktur

atau

ankilosis. Adakalanya terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis


avaskuler dapat terjadi pada pasien yang mendapat pengobatan
dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
adalah kaput femoris. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi 3, 1996)
b. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lender ditemukan pada
85% kasus SLE. SLEi kulit yang paling sering ditemukan pada
SLE ialah SLEi kulit akut, subakut, discoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosis SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu(butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematous
pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). SLEi ini termasuk SLEi
kulit akut. SLEi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
SLEi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisk keratin disertai
adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama
maka akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis

kulit

dapat

menyebabkan

ulserasi

dari

berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak


perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat
sering ditemui pada SLE. Kelainanan kulit yang jarang ditemukan
adalah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie, dan
purpura. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)

c. Ginjal
Kelainan

ginjal

ditemukan

pada

68%

kasus

SLE.

Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan/atau hematuria.


Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi
hanya terdapat 25% kasus SLE yag urinnya menunjukkan
kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis
lupus difus (paling berat) dan nefritis lupus membranosa
(jarang ditemukan). Nefritis lupus difus manifestasinya biasanya
tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan
fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa
ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan
serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau
lambat tapi progesif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan ialah
pielonefritis

kronik,

tuberculosis

ginjal,

dsb.

Gagal

ginjal

merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik. (Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
d. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai
berat (efusi

perikard), iskemia miokard dan endokarditis

verukosa (Libman Sacks)


e. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada
bilateral. Mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura.
Biasanya efusi meghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat.
Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika
factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkolosis, dsb
telah disingkirkan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3,
1996)

f.

Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, hal ini
mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala akan
menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan

yang

adekuat.

Nyeri

yang

timbul

mungkin

disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah


kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pancreatitis. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
g. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anakanak, tetapi jaarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa
bulan akan menghilang/kembali normal. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
h. Kelenjar Getah Bening
Pembesaran kelenjar getah bening sering ditemukan
(50%). Biasanya berupa limfadenopati difus dan sering pada
anak-anak.

Limfadenopati

difus

kadang-kadang

disangka

sebagai limfoma. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3,


1996)
i. Kelenjar parotis
Kelenjar parotis membesar pada 6% kasus SLE. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
j. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik
dan motorik. Biasanya bersifat semetara. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
k. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan
utama yaitu psikosis organic dan kejang-kejang. Penyakit otak
organnik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif

SLE pada system-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala


delusi/halusinasi disamping gejala yang khas kelainan organic
otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup
mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organic yang
secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus.
Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis
lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis
steroid sebaliknya.
Kejang-kejang

yang

timbul

biasanya

termasuk tipe

grandma. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea.


Kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis tranversal,
hemiplagia, afasia, dsb.
Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak
selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peran antara lain :
vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus. (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
l. Mata
Kelainan

mata

dapat

berupa

konjungtivitis,

edema

periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis, dan adanya


badan sitoid di retina. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi 3, 1996)
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA)
menetapkan criteria baru untuk klasifikasi lupus eritematosus sistemik.
Kriteria ini merupakan perbaikan dari criteria yang lama, yang diajukan
pada tahun 1971.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada satu periode
pengamatan ditemukan 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria dibawah

ini, baik secara berturut-turut maupun serentak : (Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
a. Ruam (rash) didaerah Malar
Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya
didaerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabilialis.
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
b. SLEi discoid
SLEi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik
keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada SLEi
yang lama mungkin terbentuk sikatriks (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
c. Fotosensitivitas
Terjadi SLEi kulit sebagai akibat reaksi ab-normal terhadap
cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui pengamatan dokter.
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
d. Ulserasi Mulut
Ulserasi mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui
melalui pemeriksaan dokter. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi 3, 1996)
e. Artritis
Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer diatandai oleh
nyeri, bengkak, atau efusi. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi 3, 1996)
f.

Serositis
1) Pleuritis

: adanya riwayat nyeri pleural atau

terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter atau


adanya efusi pleura
2) Perikarditis

: diperoleh dari gambaran EKG atau

terdengarnya bunyi gesekan perikard atau adanya efusi


perikard
g. Kelainan Ginjal

1) Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+


atau
2) Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin
granular, tubular atau campuran.
h. Kelainan Neurologis
1) Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang
dapat menyebabkan atau kelainan metabolic seperti
uremia,

ketosidosis

dan

gangguan

keseimbangan

elektrolit
atau
2) Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat
yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolic seperti
uremia,

ketosidosis

dan

gangguan

keseimbangan

elektrolit
i.

Kelainan Hematologik
1) Anemia hemolitik dengan retikulositosis
atau
2) Leucopenia, < 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
lebih
atau
3) Limfopenia, < 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau
lebih
atau
4) Trombositopenia, < 100.000/mm3, tanpa adanya obat
yang mungkin menyebabkannya.

j.

Kelainan Imunologi
1) Adanya sel LE
atau
2) Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA)
dengan titer abnormal
atau

3) Anti-Sm

: adanya antibodi terhadap antigen inti otot

polos
atau
4) Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling
sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi
Troponema pallidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi
troponema.
k. Antibodi Antinuklear
Titer abnormal antibodi antinuclear yang diukur dengan cara
lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena
obat
8. PENATALAKSANAAN
Sampai sekarang SLE belum disembuhkan dengan sempurna.
Meskipun demikian, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala
klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut, dan
dengan demikian memperpanjang remisi dan survival rate. (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Penatalaksaan SLE harus mencakup obat, diet, aktivitas yang
melibatkan banyak ahli. Alat pemantau pengobatan pasien SLE
adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk menyesuaikan
obat dan mengenali serta menangani aktivitas penyakit. Lupus adalah
penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan
selamanya.

(http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-

eritematosus-sistemik.pdf)
Tujuan

pengobatan

SLE

adalah

mengontrol

manifestasi

penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik


tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius
yang dapat menyebabkan kematian.
(http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosussistemik.pdf)

a. Obat Obatan
Bentuk pengobatan SLE ditentukan antara lain oleh aktivitas
penyakit. Meskipun agak sulit ditetapkan secara tepat, aktivitas
penyakit, sebenarnya merupakan gabungan antara gambaran klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mencerminkan adanya
inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
1) NSAID dan Salisilat
NSAID dipakai pada SLE dengan gejala ringan. Sering
juga diapaki bersama-sama dengan kortikosteroid untuk
mengurangi dosis kortikosteroid. Dapat dipakai sebagai terapi
simtomatis pada atritis/atralgia, mialgia dan demam. Preparat
salisilat atau preparat lain seperti indometasin (3x25 mg/hari),
asetaminofen (6x650 mg/hari) dan ibuprofen (4x300-400
mg/hari). Ini harus disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi
simtomatis lain misalnya diperlukan pada : (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)

Eritema

Terapi local dengan krem/salep kortikosteroid

Ulserasi mulut dan nasofaring diberi terapi local

Fenomen Raynoud
Pencegahan timbulnya fenomen ini diusahakan dengan
protective clothing

2) Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat penting dalam
pengobatan SLE. Dapat digunakan secara topical untuk
manifestasi kulit, dalam dosis rendah untuk aktivitas minor dan
dalam dosis tinggu untuk aktivitas mayor (Tabel 1 di halaman
Lampiran) (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Pada keadaan yang berat, terutama gangguan susunan
saraf pusat dengan kejang-kejang dan psikosis, diberikan

prednisone dosis tinggi (100-200 mg/hari atau 2 mg/kg


BB/hari) (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996).
Setelah

kelainan

klinis

menajadi

tenang,

dosis

kortikosteroid diturunkan (tapering) dengan kecepatan 2,5-5,0


mg/minggu sampai dosis pemeliharaan yang diberikan selang
sehari. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan biopsy ginjal
untuk memastikan jenis kerusakan ginjal. Glomerulus nefritis
lupus fokal memberikan respon yang baik terhadap pengobatan
atau dapat sembuh spontan. Biasanya diberikan prednisone
atau prednisolon

40-60 mg/hari selama beberapa minggu

sampai gejala klinis menghilang, diteruskan dengan dosis


pemeliharaan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3,
1996)
Pada kerusakan fokal yang berat, glomerulonefritis difus
atau membranosa, pemberian dosis tinggi (prednisone atau
prednisolon 150-200 mg/hari) ternyata dapat memberikan
perbaikan pada beberapa pasien. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
3) Obat Antimalaria
Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit,
musculoskeletal dan kelainan sistemik ringan pada SLE.
Kadang-kadang juga terdapat adenopati hilus serta kelainan
paru ringan dan artralgia ringan. Preparat yang paling sering
dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis
200-500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus
control ke Ahli Mata setiap 3-6 bulan, karena adanya efek
toksik berupa degenerasi macula. Mekanisme kerjanya belum
diketahui, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan seperti
antiinflamasi,

imunosupresif,

fotoprotektif,

dan

stabilisasi

nucleoprotein. Klorokuin mengikat DNA sehingga tidak dapat

bereaksi dengan anti-dsDNA. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Jilid I Edisi 3, 1996)
4) Obat Imunosupresif
Biasanya obat imunosupresif diberikan bersama-sama
dengan kortikosteroid. Pemakaiannya didasarkan atas efeknya
terhadap

fungsi

imun.

Penggunaan

obat

imunosupresif

sebenarnya masih diperdebatkan. Umumnya hanya dianjurkan


pada kasus gawat atau SLEi difus dan membranosa pada ginjal
yang tidak memberikan respon baik terhadap kortikosteroid
dosis tinggi. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3,
1996)
Yang

paling

sering

diapakai

ialah

azatioprin

dan

siklofosfamid. Dosis awal azatioprin adalah 3-4 mg/kg BB/hari


(maks 200 mg/hari) kemudian ditururnkan menjadi 1-2 mg/kg
BB/hari jika timbul gejala toksik. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 100-150 mg/hari.
Diduga efek kedua obat ini pada SLE lebih bertindak sebagai
antivirus daripada obat imunosupresif. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 3, 1996)
5) Lain-Lain

Metrotreksat

Siklosporin A : mungkin diperlukan pada wanita hamil


untuk mengontrol aktivitas SLE dan tidak ditemukan efek
samping pada ibu maupun bayi.

Imunoglobulin IV : untuk trombositopenia

Infus plasma : untuk SLE yang disertai defisiensi C2

Retinoid dan metabolitnya : untuk SLEi kluit discoid dan


subakut yang refrakter terhadap pengobatan biasa.

Dapson dan Talidomid : untuk SLEi kulit yang berat.

b. Diet
Retriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian
besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang
diperbolehkan adalah yang mencakup sukup kalsium, rendah
lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan
suplemen

makanan

dan

obat

tradisional.

(http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosussistemik.pdf)
c. Aktivitas
Pasien

Lupus

sebaiknya

tetap

beraktivitas.

Olah

raga

diperlukan untuk mempertahankan sensitas tulang dan berat badan


normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk
menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproff sunblock)
setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan
timbulnya SLEi kulit pada pasien SLE.
9. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah
dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2) Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka
atau leher.
3) Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura.
SLEi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis

menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,


siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tanga.
4) Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5) Sistem integument
SLEi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupukupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6) Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7) Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan SLEi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8) Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9) Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejangkejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
b. Diagnosa
Analisa Data
Etiologi

Diagnosa Keperawatan
c. Intervensi
d. Evaluasi

Masalah Keperawatan

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI:Jakarta.1996.
2. http://www.scribd.com/doc/62400839/askep-kita-SLE
3. http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/3-Fredy.pdf
4. http://adulgopar.fiSLE.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosussistemik.pdf
5. http://www.cdc.gov/arthritis/basics/lupus.htm
6. http://www.scribd.com/doc/20459556/SLE
7.

Anda mungkin juga menyukai