Anda di halaman 1dari 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pendidikan Kesehatan 2.1.

1 Definisi Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya, pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau

mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan jika sakit, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2007: 12) 2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan Menurut Benyamin Bloom (1908) tujuan pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan 3 domain perilaku yaitu kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain), dan psikomotor

(psychomotor domain). (Notoatmodjo, 2003: 127) Menurut Notoatmodjo (2007: 139) dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni: a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan: 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2) Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk

menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. b. Sikap (attitude) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: 1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4)

Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

c.

Praktik atau tindakan (practice) Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan: 1) Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. 2) Respon terpimpin (guided response) Dapat dilakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua. 3) Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. 4) Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah

dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan kesehatan, tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan, dan tingkat pelayanan pendidikan kesehatan. (Herawani dkk, 2001: 4) a. Sasaran pendidikan kesehatan Dari dimensi sasaran, ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: 1) 2) 3) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok Pendidikan masyarakat b. Tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan Menurut dimensi pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung diberbagai tempat sehingga dengan sendirinya sasarannya juga berbeda. Misalnya: 1) Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid, yang pelaksanaannya diintegrasikan dalam upaya kesehatan sekolah (UKS) 2) Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, dilakukan di pusat kesehatan masyarakat, balai kesehatan, rumah sakit kesehatan masyarakat dengan sasaran

umum maupun khusus dengan sasaran pasien dan keluarga pasien 3) Pendidikan kesehatan di tempat tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan. c. Tingkat pelayanan pendidikan kesehatan Dalam dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel dan Clark, yaitu: 1) Promosi kesehatan (health promotion) Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan, pemeriksaan kesehatan berkala, peningkatan gizi, dan kebiasaan hidup sehat. 2) Perlindungan khusus (specific protection) Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Misalnya tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap penyakit, pada anak, maupun orang dewasa. 3) Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran

masyarakat akan kesehatan dan penyakit yang terjadi dimasyarakat. 4) Pembatasan cacat (disability limitation) Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena masyarakat sering didapat tidak mau melanjutkan pengobatannya sampai tuntas atau tidak mau melakukan pemeriksaan dan pengobatan penyakitnya secara tuntas. Pada tingkat ini kegiatan meliputi perawatan untuk menghentikan penyakit, mencegah komplikasi lebih lanjut, serta fasilitas untuk mengatasi cacat dan mencegah kematian. 5) Rehabilitasi (rehabilitation) Pada tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan karena setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, seseorang mungkin menjadi cacat. Untuk memulihkan kecacatannya itu diperlukan latihan latihan. Untuk melakukan suatu latihan yang baik dan benar sesuai program yang ditentukan, diperlukan adanya pengertian dan kesadaran dari masyarakat yang bersangkutan. 2.1.4 Metode Pendidikan Kesehatan Dibawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual, kelompok, dan massa (public). (Notoatmodjo, 2003: 104) a. Metode pendidikan individual (perorangan)

Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakannya pendekatan individual ini disebabkan karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara lain: 1) 2) b. bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling), wawancara (interview).

Metode pendidikan kelompok Dalam memilih metode pendidikan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektifitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan. 1) Kelompok besar Yang dimaksud kelompok besar disini adalah apabila peserta penyuluhan itu lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini antara lain ceramah dan seminar. 2) Kelompok kecil Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang disebut kelompok kecil. Metode metode yang cocok untuk

kelompok kecil ini antara lain diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snow bolling), kelompok kecil kecil (bruzz group), memainkan peran (role play), permainan simulasi (simulation game). c. Metode pendidikan massa (public) Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk

mengkomunikasikan pesan pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa. Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak langsung. Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Contoh metode ini antara lain: ceramah umum (public speaking). 2.1.5 Media Pendidikan Kesehatan Menurut Machfoedz dan Suryani (2008), yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah Alat Bantu Pendidikan. Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau klien. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3, yakni : a. Media cetak

Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan sangat bervariasi antara lain, booklet, leaflet, flyer, flip chart, rubrik, poster, dan juga foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Leaflet sebagai media pendidikan kesehatan. Leaflet adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dalam bentuk kalimat maupun gambar, atau kombinasi. b. Media Elektronik Media elektronik sebagai sasaran untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan jenisnya berbeda-beda, antara lain, televisi, radio, video, dan slide. c. Media Papan (Bill Board) Papan (Bill board) yang dipasang ditempat umum dapat dipakai diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan. Media papan disini juga mencakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada kendaraan-kendaraan umum (bus atau taksi).

2.2 Konsep Hipertensi 2.2.1 Pengertian Hipertensi Hipertensi adalah penyakit kelainan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, dimana tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan morbiditas dan angka mortalitas (kematian). Tekanan yang abnormal tinggi pada pembuluh darah

menyebabkan resiko terhadap stroke, cacat jantung atau serangan jantung dan kerusakan ginjal Millestone, 2000).

Berusia < 45 tahun dinyatakan hipertensi jika tekanan darah pada waktu berbaring 130/90 mmHg atau lebih, sedangkan yang berusia > 45 tahun dinyatakan hipertensi jika tekanan darahnya 145/ 95 mmHg atau lebih (Tjokronegoro Arjatmo, 2001). 2.2.2 Jenis Hipertensi 1. Hipertensi primer atau esensial ini tidak diketahui penyebabnya, terdapat 90% kasus, biasanya banyak faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok. 2. Hipertensi sekunder: hipertensi sekunder ini terdapat 10% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan estrogen,

penyakit ginjal hipertensi aldosteronisme, primer, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan (Arif Mansjoer, 2000).

2.2.3

Etiologi Hipertensi Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu dengan penyebab yang tidak diketahui (hipertensi esensial/ primer atau idiopatik) dan dengan penyebab diketahui (hipertensi sekunder). Sebagian besar kasus hipertensi sekitar 90% diklasifikasikan sebagai hipertensi esensial, yaitu tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatik, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi natrium, peningkatan natrium dan kalsium intraseluler, serta faktor-faktor yang dapat

meningkatkan resiko seperti : obesitas, alkohol, rokok, serta polisitemia (Tjay, 2002). Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebabnya diketahui dan ini menyangkut 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005). Menurut Nafrialdi (2007), yang termasuk dalam kelompok ini adalah hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan syaraf pusat, obat-obatan.

2.2.4

Patofisiologi Hipertensi Corwin (2001) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme, namun peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi (Astawan, 2002). Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan

peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik (Amir, 2002). Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Peningkatan Total Peripheral Resistance membuat jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar), sehingga kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat dan ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup (Hayens, 2003).

2.2.5

Klasifikasi Hipertensi Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa Klasifikasi tekanan darah pada dewasa No Kategori 1 Normal Tekanan darah sistolik 120 mmHg 130 mmHg Tekanan darah diastolic 85 mmHg 95 mmHg Untuk para lansia tekanan diastolik 140 mmHg masih dianggap normal 90 mmHg 99 mmHg 100 mmHg 109 mmHg 110 mmHg 119 mmHg

2 3 4

Hipertensi ringan Hipertensi sedang Hipertensi berat

140 mmHg 159 mmHg 160 mmHg 179 mmHg 180 mmHg 209 mmHg

2.2.6

Gejala Hipertensi Pada sebagian besar hipertensi tidak menimbulkan gejala, masa laten ini menyelubungi perkembangan hipertensi sampai terjadi kerusakan organ yang spesifik. Kalaupun menunjukkan gejala, gejala tersebut biasanya ringan dan tidak spesifik, misalnya : pusing-pusing. Akan tetapi jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati bisa timbul gejala antara lain : sakit kepala, kelelahan, telinga berdengung, nyeri didaerah kepala bagian belakang (Millestone, 2009 : 49).

2.2.7

Komplikasi Komplikasi hipertensi terjadi karena kerusakan organ yang diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama. Organ-organ yang paling sering rusak antara lain : 1. Otak Pada otak : hipertensi akan menimbulkan komplikasi cukup mematikan. Berdasarkan penelitian sebagian besar kasus stroke disebabkan hipertensi. Apabila hipertensi tersebut dapat

dikendalikan resikonyapun menjadi menurun, selain stroke komplikasi pada organ otak akibat hipertensi ini adalah dimensia atau pikun. 2. Mata Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah halus pada retina (bagian belakang mata) robek, darah merembes ke jaringan sekitarnya sehingga dapat menimbulkan kebutaan. 3. Gagal jantung Gagal jantung, yaitu suatu keadaan ketika jantung tidak kuat untuk memompa darah keseluruh tubuh sehingga banyak organ lain rusak karena kekurangan darah dan tidak kuatnya otot jantung dalam memompa darah kembali ke jantung. 4. Arteriosklerosis

Arteriosklerosis atau pengerasan pembuluh darah arteri, pengerasan pada dinding arteri ini terjadi karena terlalu besarnya tekanan, karena hipertensi, lama kelamaan dinding arteri menjadi kebal dan kaku, pengerasan pada arteri ini mengakibatkan tidak lancarnya aliran darah sehingga dibutuhkan tekanan yang lebih kuat lagi sebagai kompensasinya. 5. Aterosklerosis Arterosklerosis atau penumpukan lemak pada lapisan dinding pembuluh darah arteri, penumpukan lemak dalam jumlah besar disebut plak. Pembentukan plak dalam pembuluh darah sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga organ tubuh akan kekurangan pasokan darah. Aterosklerosis paling sering terjadi pada arteri yang melewati jantung, otak dan ginjal, juga pada pembuluh darah besar yang disebut aorta abdominalis di dalam perut dan tungkai. 6. Areurisma Areurisma yaitu terbentuknya gambaran seperti balon pada dinding pembuluh darah akibat melemah atau tidak elastisnya pembuluh darah akibat kerusakan yang timbul. Areurisme paling sering terjadi pada pembuluh daraharteri yang melalui otak dan pembuluh darah aorta yang melalui perut. Areurisma sangat berbahaya karena bisa pecah mengakibatkan pendarahan yang sangat fatal.

7.

Penyakit pada arteri koronaria Arteri koronaria adalah pembuluh darah utama yang memberi pasokan darah pada otot jantung. Apabila arteri ini mengalami gangguan misalnya karena plak aliran darah ke jantung akan terganggu sehingga kekurangan darah.

8.

Hipertensi bilik kiri jantung. Bilik kiri jantung atau serambi kiri jantung adalah ruang pompa utama jantung akibat otot yang bekerja terlalu berat ketika memompakan darah ke aorta karena hipertensi, akhirnya terjadi hipertensi atau penebalan otot serambi kiri tersebut sehingga mengakibatkan semakin besarnya ruang serambi kiri jantung. Semakin besarnya serambi menyebabkan semakin bertambahnya pasokan darah. Dilain pihak penyempitan pembuluh darah karena hipertensi menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan darah tersebut sehingga jantung akan rusak dan akan bekerja lebih kuat lagi dalam memompakan darah.

9.

Gagal ginjal Komplikasi hipertensi timbul karena pembuluh darah dalam ginjal mengalami aterosklerosis karena tekanan darah terlalu tinggi sehingga darah keginjal akan menurun dan ginjal tidak dapat melaksanakan fungsinya. Apabila tidak berfungsi, bahan sisa makanan akan menumpuk dalam darah dan ginjal akan mengecil dan berhenti berfungsi (Marliani L, 2007 : 28 29).

2.2.8

Gejala-Gejala Yang Menandakan Mengalami Komplikasi Kerusakan pada otak yang menyebabkan stroke ditandai dengan gejala berikut : sakit kepala hebat, muntah hebat berulang, kejang, gangguan kesadaran sampai lama, pada mata gejala yang timbul adalah gangguan penglihatan mulai dari penglihatan buram akhirnya kebutaan. Pada organ jantung dari pembuluh darah kerusakan yang ditimbulkan akan menyebabkan gejala tersebut : sesak nafas, sakit dada yang menjalar ke lengan kiri, bunyi jantung yang tidak teratur, pembengkakan pada kaki, sakit perut berkepanjangan. Kerusakan pada organ ginjal ditandai dengan : sakit yang hebat daerah pinggang, berkurangnya atau tidak lancarnya air seni (Marliani L, 2007).

2.2.9

Faktor Resiko Terjadinya Hipertensi Kasus hipertensi yang kebanyakan adalah hipertensi primer, umumnya karena faktor genetik, jika seorang dari keluarga mempunyai hipertensi 25% kemungkinan anda akan mendapatkannya. Apabila kedua orang tua memiliki hipertensi 60% kemungkinan anda akan mengidapnya. Hipertensi yang lebih banyak dijumpai pada kembar identik dari pada kembar non identik, semakin menguatkan bahwa faktor genetik merupakan penyebab hipertensi. Faktor resiko lain yang dominan adalah stress (Marliani L, 2007). 2.1.9.1 Faktor Hipertensi Yang Dapat Diubah

1.

Obesitas a. Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for Health USA (NIH, 1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar

internasional). Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat

menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal. Peningkatan konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik potensial menyebabkan

terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan tekanan darah secara terus menerus. b. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf

simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. 2. Alkohol Alkohol dapat merusak fungsi saraf pusat maupun tepi. Apabila saraf simpatis terganggu, maka pengaturan tekanan darah akan mengalami gangguan pula. Pada seorang yang sering minum minuman dengan kadar alkohol tinggi, tekanan darah mudah berubah dan cenderung meningkat tinggi. Alkohol juga meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental. Kekentalan darah ini memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, agar darah dapat sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup. Ini berarti terjadi peningkatan tekanan darah. 3. Merokok a. Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah.

Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. b. Rokok mengandung ribuan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, seperti tar, nikotin dan gas karbon monoksida. Tar merupakan bahan yang dapat meningkatkan kekentalan darah, sehingga memaksa jantung untuk

memompa darah lebih kuat lagi. Nikotin dapat memacu pengeluaran zat catecholamine tubuh seperti hormon adrenalin. Hormon adrenalin memacu kerja jantung untuk berdetak 10 sampai 20 X per menit, dan meningkatkan tekanan darah 10 sampai 20 skala. Hal ini berakibat volume darah meningkat dan jantung menjadi cepat lelah. Karbon monoksida (CO) dapat meningkatkan keasaman sel darah, sehingga darah menjadi lebih kental dan menempel di dinding pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, sehingga tekanan darah meningkat. Selain orang yang merokok (perokok aktif), orang yang tidak merokok tetapi menghisap asap rokok juga memiliki resiko hipertensi. Orang ini disebut perokok pasif. Resiko perokok pasif bahayanya 2X dari perokok aktif. 4. Stress Salah satu tugas saraf simpatis adalah merangsang pengeluaran hormon adrenalin. Hormon ini dapat

menyebabkan jantung berdenyut lebih cepat dan menyebabkan penyempitan kapiler darah tepi.Hal ini berakibat terjadi peningkatan tekanan darah.

Saraf simpatis di pusat saraf pada orang yang stres atau mengalami tekanan mental bekerja keras. Bisa dimaklumi, mengapa orang yang stres atau mengalami tekanan mental jantungnya berdebar-debar dan mengalami peningkatan

tekanan darah. Hipertensi akan mudah muncul pada orang yang sering stres dan mengalami ketegangan pikiran yang berlarut-larut. (http://www.scribd.com/doc/ 33775298/HASILPENELITIAN-Hipertensi). 2.1.9.2 Faktor Hipertensi Yang Tidak Dapat Diubah 1. Genetik a. Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan kemungkinan komplikasinya. b. Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar

sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak

mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. 14 Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. 2. Jenis Kelamin Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami

menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. 3. Ras Etnis Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada orang

kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitifitas terhadap vasopressin lebih besar. (http://www.forsal3.com/forum/viewtopic.php?f=52&t= 5003) 2.2.10 Pencegahan Hipertensi Hipertensi bisa di atasi dengan modifikasi gaya hidup, pengobatan dengan anti hipertensi diberikan jika modifikasi gaya hidup tidak berhasil. Dengan demikian hipertensi mungkin dapat dikendalikan dengan terapi tanpa obat (non farmakoterapi) atau terapi dengan obat (farmakoterapi). Semua pasien tanpa memperhatikan apakah terapi dengan obat dibutuhkan, sebaiknya dipertimbangkan juga untuk terapi tanpa obat dengan cara antara lain: mengendalikan berat badan, menjaga kondisi tubuh agar tetap releks, meninggalkan kebiasaan merokok dan minum alkohol. Tujuaan pengobatan tersebut adalah untuk mengurangi morbiditas kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggi seminimal mungkin agar tidak mengganggu kualitas hidup pasien. Artinya, tekanan darah harus diturunkan serendah mungkin yang tidak mengganggu fungsi ginjal,otak, jantung, maupun kualitas hidup sambil dilakukan pengendalian faktor resiko kardiovaskuler ( M. Adib, 2009). 2.2.11 Tata Laksana Penanganan Hipertensi 1. Umum Setelah diagnosa hipertensi ditegakkan dan diklasifikasikan menurut golongan atau derajatnya, maka dapat dilakukan 2 strategi penatalaksanaan dasar :

1) Non farmakologik Non farmakologik yaitu tindakan-tindakan upaya untuk mengurangi faktor resiko yang telah diketahui akan menyebabkan atau menimbulkan komplikasi seperti misalnya menghilangkan obesitas, menghentikan kebiasaan merokok, alkohol, mengurangi asupan garam (natrium), kalsium dan magnesium, sayuran, serta olah raga dinamik seperti lari, berenang, dan bersepeda. Salah satu anjuran yang umumnya sulit dilakukan anjuran hidup tanpa stres (relaks) terutama dalam kondisi kehidupan pada penderita hipertensi ringan dan dicoba selam enam bulan dengan tetap diamati bila pada akhir periode pengamatan tekanan darah ternyata tetap atau malah lebih tinggi maka dapat ditambahkan, namun bila tekanan darah menurun terapi ini dapat diteruskan. 2) Farmakologik Farmakologik yaitu pemberian obat atau obat-obat anti hipertensi yang telah terbukti kegunaannya dan keamanannya bagi penderita. Banyak golongan obat yang tersedia dan mampu memanipulasi tekanan darah , baik yang bekerja secara sistemik maupun perifer dan baik dalam bentuk cairan suntik untuk keadaan darurat seperti hipertensi klinis maupun dalam bentuk tablet oral dimana akhir-akhir ini terdapat kecenderungan kearah penggunaan dosis tunggal atau dosis 2 x perhari meningkatkan compiensi terapi. demi

Pemilihan obat yang akan dipakai pada seorang penderita dewasa ini tidak lagi berdasarkan metode step core yang kaku, tetapi justru disesuaikan dengan keadaan penderita sakit (farloret) untuk mengurangi efek samping dan komplikasi obat atau penyakit yang mungkin sudah ada atau yang akan timbul pada penderita misalnya hipertensi dengan diabetes, asma bronchial, insufiensi ginjal, penyakit jantung koroner. 2. Khusus Upaya terapi khusus terutama dilakukan untuk penderita hipertensi sekunder yang jumlahnya kurang lebih 10% dari penderita hipertensi total. Pada penderita hipertensi sekunder, secara teoritis kelainan dapat dikoreksi dengan obat yang ideal berdasarkan pada sifat farmakologik dan farmakolodinamik serta pengalaman masa lalu sehingga hipertensinya dapat sembuh. Namun umumnya pada penderita ini diperlukan pemeriksaan khusus dengan sarana yang canggih dan rujukan ke sentra kedokteran tertentu. Pada keadaan ini, tanda-tanda etiologi yang menyertai hipertensi seperti gejala gagal ginjal, peokromositoma Stenosis arteri renalis, tumor otak perlu

dikenali sehingga penderia dapat dirujuk lebih dini dan terapi yang tepat dapat dilakukan dengan cepat (Lilian Yuwono, 1996). 2.3 Konsep Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Kepatuhan adalah suatu tingkat dimana perilaku individu (misalnya

dalam kaitan dengan mengikuti pengobatan, mengikuti instruksi diet, atau membuat perubahan gaya hidup) sesuai atau tepat dengan anjuran kesehatan (Sackett, 1976 dalam Smet, 2002). Kepatuhan juga didefenisikan sebagai tingkatan dimana individu mengikuti instruksi yang diberikan untuk mendukung pengobatan terhadap sakitnya (Morrison, 2004). Shillinger (1983, dalam Isnanda, 2005) mengatakan bahwa kepatuhan mengacu pada proses dimana seorang klien mampu mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Akhir dari kepatuhan diimplikasikan individu pada tingkat yang lebih aktif, sukarela, dan keterlibatan pasien dalam melatih perilaku tersebut (Meichenbaum & Turk, 1998 dalam Mairani, 2006). Menurut Feuer Stein, et al. dalam Niven (2002), ada beberapa faktor yang dapat mendukung sikap patuh pasien, diantaranya: a. Pendidikan Pendidikan pasien daat meningkatkan kepatuhan sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku dan lain-lain. b. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang lebih mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan sementara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang terlalu tinggi atau rendah, akan membuat kepatuhan pasien berkurang.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan, seperti pengurangan berat badan dan lainnya. d. Perubahan model terapi Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien. Hal penting memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi diagnosis. Menurut Brunner dan Suddarth (2002) dalam buku ajar Keperawatan Medikal Bedah, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah: a. Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosial ekonomi dan pendidikan. b. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi. c. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping obat yang tidak menyenangkan. d. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya, dan biaya financial dan lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen.

Penderita hipertensi sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah dan faktor resiko guna meningkatkan derajat kesehatannya. Suhardjono (2008) menyatakan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyebab tersering yang menimbulkan kesakitan dan kematian akibat komplikasi penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan hal tersebut maka kepatuhan pasien hipertensi dalam mengontrol tekanan darah adalah tindakan yang sangat penting. Kepatuhan pasien hipertensi dapat dilihat dari perilaku pasien hipertensi yang menaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan medis guna mencapai keberhasilan pengobatan. Kepatuhan mencakup kombinasi antara kontrol tekanan darah dan penurunan faktor resiko yang dilakukan pasien. Keberhasilan dalam mengendalikan tekanan darah tinggi merupakan usaha bersama antara pasien dan dokter yang menanganinya. Kepatuhan seorang pasien yang menderita hipertensi tidak hanya dilihat berdasarkan kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi tetapi juga dituntut peran aktif pasien dan kesediaannya untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta perubahan gaya hidup sehat yang dianjurkan (Burnier, 2001). Hal ini didukung juga oleh pendapat Nazir (2008) berdasarkan hasil studinya yang menyatakan bahwa kepatuhan pasien hipertensi dalam mengontrol tekanan darah dan menghindari komplikasi penyakit dapat dilihat dari perilaku pasien dalam mengkonsumsi obat antihipertensi secara teratur sesuai dengan anjuran dokter, menghindari konsumsi garam yang berlebihan dalam setiap masakan atau makanan dan rajin melakukan olahraga. Kepatuhan pasien hipertensi melalui modifikasi gaya hidup menurut Evi

(2008) yaitu dengan menurunkan berat badan apabila kegemukan, membatasi konsumsi minuman beralkohol, meningkatkan aktivitas fisik, menurunkan konsumsi sodium (natrium), mempertahankan asupan potassium,

mempertahankan asupan kalsium dan magnesium untuk kesehatan, berhenti merokok, serta menurunkan asupan lemak jenuh dan kolesterol untuk kesehatan kardiovaskuler. Menurut Lisnawati (2001), pasien hipertensi dianjurkan untuk melakukan gaya hidup sehat yang menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang dialami. Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Perilaku sehat (healthy behavior) yang dimaksud mencakup beberapa hal antara lain : a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet), mencakup pola makan sehari-hari yang memenuhi kebutuhan nutrisi yang memenuhi kebutuhan tubuh baik menurut jumlahnya (kuantitas) maupun jenisnya (kulitas). b. Olahraga teratur, mencakup kualitas (gerakan) dan kuantitas dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Kedua

aspek ini tergantung dari usia dan status kesehatan yang bersangkutan. c. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol serta tidak menggunakan narkoba d. Istirahat yang cukup, berguna untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Istirahat yang cukup adalah kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan kesehatannya. e. Pengendalian atau manajemen stress. Stress tidak dapat dihindari oleh siapapun namun hanya dapat dilakukan dengan mengatasi, mengendalikan atau mengelola stress tersebut agar tidak

mengakibatkan gangguan kesehatan baik kesehatan fisik maupun mental. Penanganan hipertensi dilakukan bersama dengan diet rendah kolesterol atau, diet tinggi serat dan diet rendah energi bagi penderita hipertensi yang juga obesitas. Selain itu penderita hipertensi juga harus mempunyai pengetahuan dan sikap kepatuhan untuk dapat menyesuaikan penatalaksanaan hipertensi dalam kehidupan sehari- hari (Willy, 2007). Penderita hipertensi juga tidak sadar dengan gejala yang timbul tenggelam. Ketika penderita hipertensi dinyatakan bisa berhenti minum obat karena tekanan darahnya bisa normal, dia sering menganggap

kesembuhannya permanen, padahal sekali divonis hipertensi, pasien hipertensi akan menyandang penyakit tersebut seumur hidup. Pada sebagian kasus, hipertensi memang bisa disembuhkan total tetapi presentasenya kecil, itu pun hanya sebatas prehipertensi atau hipertensi ringan. Maka yang bisa

dilakukan pasien adalah mengontrolnya dengan mengomsumsi obat penurun hipertensi dan menjalankan pola hidup sehat (Lawrance, 2002). Ketidakpatuhan adalah tingkat dimana perilaku seseorang gagal dalam penyesuaian dengan kegiatan yang mendukung kesehatannya atau rencana terapi tidak dilaksanakan oleh individu. Menurut Niven (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak patuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu: a. Pemahan tingkat instruksi Tidak seorangpun dapat memenuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan. b. Kualitas interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. c. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. d. Keyakinan, sikap, dan kepribadian Becker et al (1979) dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

2.4 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian menurut (Notoatmodjo, 2005) pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan.

Hipertensi: Pengertian Hipertensi Jenis Hipertensi Etiologi Tanda dan gejala Faktor Resiko Komplikasi Penatalaksanaan Hipertensi : Farmakologis Non farmakologis Pencegahan

Pendidikan Kesehatan dengan Leaflet tentang Hipertensi:

Kepatuhan dalam Pelaksanaan Terapi pada Pasien Hipertensi

Gambar. 2.1 Kerangka konsep Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan menggunakan Leaflet Terhadap Kepatuhan dalam Pelaksanaan Terapi pada Pasien Hipetensi di Puskesmas Bandung. Keterangan :

: Diteliti : Tidak Diteliti

2.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008).

H1

= Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan menggunakan Leaflet Terhadap Kepatuhan dalam Pelaksanaan Terapi Hipertensi di Puskesmas Bandung.

H0

Tidak

Ada

Pengaruh

Pendidikan

Kesehatan

dengan

menggunakan Leaflet Terhadap Kepatuhan dalam Pelaksanaan Terapi Hipertensi di Puskesmas Bandung.

Anda mungkin juga menyukai