Anda di halaman 1dari 17

MODEL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Ahmad Asroni dan Indriyani Marifah
1oeravce v.titvte, Yog,aarta
.vre: abvaa.a.rovigvai.cov,ivari,avivarifabgvai.cov
Abstrak
Pvraita. aav erbeaaav vervaav reaita. ebiavav ,avg tiaa aaat
tereaav. ^avvv aeviiav, .ebagiav va.,araat vaove.ia vravg
vevabavi aav vev,aaariv,a. Merebav,a ovfi aav eera.av berba.i.
.R. ai vaove.ia aaaab bvti babra .ebagiav va.,araat vaove.ia
bevv vevabavi vava vraita.. Oeb areva itv, evtivg vvtv
vevrovo.iav viaiviai eraavaiav aav toerav.i, .aab .atvv,a aaaab
veavi evaiaiav vvtivtvra aaav evaiaiav .av. ecara vvvv,
evaiaiav vvtivtvra aaat aiaefvi.iav .ebagai voae evaiaiav ,avg
vevga;arav .igvifav.i eragavav aav erbeaaav aaav va.,araat.
Moae evaiaiav ivi aaat aia;arav ai evbaga evaiaiav .av, bai
forva aav vovforva aav tiaa barv. vev;aai vata ea;arav,viab
ter.evairi. Pevaiaiav vvtivtvra aaat aiivtegra.iav aaav vata
ea;arav,viab ,avg teab aaa. 1vi.av ivi vev;ea.av bagaivava oa
ivtegra.i evaiaiav vvtivtvra aaav evaiaiav .av.
Pvrai.v i. a acage of Coagirev reait, to bvvav. orerer, tbi. rivcie
i. oftev vegectea a. re bare .eev vav, covfict. a. cov.eqvevce. of aifferevce.
avovg vaove.iav.. or tbe vro.e of aeaivg ritb tbe robev, tberefore
eavcatiov ba.ea ov vvticvtvrai.v i. iveratire to ivevevt. 1brovgb
tbe .irit of vvticvtvrai.v iv eavcatiov, toeravce ava eacefv irivg are
evabea to trav.fer. 1bi. aer aea. ritb tbe ivortavce of vvticvtvrai.v iv
.avic eavcatiova iv.titvtiov.. t argve. tbat tbe rivcie of vvticvtvrai.v
90 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
.bova be evba.iea vore iv tbe iv.titvtiov for tbe .ae of barvov,irivg
avovg vaove.iav..
Kata Kunci: pendidikan multikultural, pendidikan Islam, pluralitas
A. Pendahuluan
Keragaman dan perbedaan merupakan desain Tuhan (sunatullah)
yang tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan, covaitio .ive qvo vov.
1
Pepatah Arab menyebutnya sebagai viv ariv aba,b, keniscayaan
hidup. Kehadirannya akan senantiasa ada. Kendati demikian, ternyata
nilai-nilai pluralitas dan multikulturalitas kurang cukup diapresiasi oleh
kebanyakan orang. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya individu yang
ingin meniadakan kebhinekaan, menggantinya dengan ketunggalan dan
keseragaman (vviforvit,). Kekerasan, terorisme, dan peperangan dengan
mengatasnamakan agama dan etnisitas adalah beberapa contoh tindakan
yang menghendaki keseragaman.
Pengeboman World Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika,
pengeboman di stasiun kereta di Madrid, konnik laten di kawasan 1imur
1engah, dan sederet konnik dan kekeraasan di berbagai belahan bumi
lainnya merupakan contoh kongkrit betapa manusia belum memahami
perbedaan. Indonesia juga tidak kalah dalam hal konnik dan kekerasan.
Tercatat ada banyak kasus yang memilukan --sekaligus memalukan-- di
negeri multikultur ini. Sebut saja misalnya pengeboman di Bali, konnik
berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) di Ambon dan
Palu, konnik etnis di Sambas dan Sampit, pembakaran masjid milik
jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia, penyerangan jemaat
Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, kerusuhan dan perusakan
sejumlah gereja di Temangggung, Jawa Tengah, penyerangan terhadap
pondok pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang,
Jawa Timur, teror bom buku ke sejumlah tokoh, bom Jumat di
Mapolres Cirebon, bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS)
Solo, serta penembakan polisi di Solo dan Poso. Sederet aksi kekerasan
tersebut membalikkan argumen toleransi masyarakat Indonesia. Bangsa
1
Ahmad Asroni, Membendung Radikalisme Islam: Upaya Merajut Kerukunan
Antar Umat Beragama, dalam Erlangga Husada, dkk., Ka;iav .av Kovtevorer (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm. 36.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 91
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
yang dulu dikenal publik dunia dengan keramahan dan tingkat toleransi
yang tinggi, tiba-tiba berubah seperti bangsa bar-bar yang tak beradab.
Ironisnya, para pelaku kekerasan tersebut mengatasnamakan Tuhan untuk
membenarkan sikap keji mereka.
Fokus utama artikel ini adalah urgensi implementasi pendidikan
multikultural dalam pendidikan Islam dalam menyikapi dan mencegah
aksi-aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Diskusi dalam
artikel ini dibagi ke dalam tiga pembahasan yang saling terkait, yaitu
siignikansi pendidikan multikultural dalam konteks Indonesia,
pendidikan multikultural dalam Islam, dan bagaimana mengimplementasi
pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam.
B. Indonesia dan Pendidikan Multikultural
Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk yang dihuni oleh
sekitar 230 juta manusia dengan beragam agama, etnis, bahasa, dan
budaya.
2
Apabila dapat dikelola dengan baik, kemajemukan sejatinya
merupakan modal sosial yang amat berharga bagi pembangunan bangsa.
Sebaliknya, jika tidak dapat dikelola dengan baik, maka kemajemukan
berpotensi menimbulkan konnik dan gesekan-gesekan sosial. Namun
faktanya bangsa Indonesia ternyata belum cukup mampu mengelola
kemajemukan dengan baik, sehingga konnik dan tindak kekerasan
(rioevce) terjadi di berbagai belahan bumi nusantara ini. Kalau dikaji
secara sosio-psikologis, merebaknya konnik dan tindak kekerasan di
Indonesia, disadari atau tidak, berakar dari prasangka-prasangka sosial
(.ocia re;vaice). Prasangka-prasangka tersebut berpengaruh terhadap
interaksi sosial antara berbagai golongan masyarakat dan biasanya
diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat pribumi misalnya, hidup
dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan Cina, dan sebaliknya.
2
Bukti bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang majemuk (plural) dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural-geogras Indonesia yang beragam. 1ercatat, jumlah
pulau yang ada di Indonesia sekitar 13.000 pulau, baik pulau besar maupun kecil.
Populasinya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan
hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, penduduk Indonesia menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,
Konghucu serta bermacam-macam aliran kepercayaan. M. Ainul Yaqin, Pevaiaiav
Mvtivtvra: Cro..Cvtvra |vaer.tavaivg vvtv Devora.i aav Keaaiav (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005), hlm. 4.
92 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
Umat Islam menyimpan sejumlah prasangka terhadap umat Kristiani,
dan demikian juga sebaliknya.
Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat
statis, tetapi dinamis. Ia dapat berubah-ubah seiring dengan berjalannya
proses interaksi sosial suatu masyarakat. Ia dapat menuju interaksi sosial
yang lebih baik ataupun lebih buruk. Dalam kurun waktu tertentu,
golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai,
saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Hal ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk
dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka
sosial yang ada dalam diri masyarakat. Prasangka sosial pada gilirannya
dapat memunculkan stereotip dan diskriminasi satu kelompok terhadap
kelompok lain.
3
Untuk dapat mengelola prasangka-prasangka sosial supaya tidak
mengarah pada hal-hal yang destruktif-disintegratif, maka diperlukan
upaya untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai multikultural yang
apresiatif terhadap segenap perbedaan ke seantero negeri, sehingga akan
mengikis prasangka-prasangka sosial. Salah satu ranah yang dapat digarap
untuk mendakwahkan nilai-nilai multikultural adalah melalui pendidikan
yang enyediakan ruang-ruang bagi penanaman dan pengimplimentasian
nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan semata-mata trav.fer of
voreage saja, tetapi juga trav.fer of rave.. 1rav.fer of rave. yang dimaksud
adalah pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu
kepada generasi berikutnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang demikian multikultural,
pendidikan yang tepat untukmenanamkan dan menggaungkan nilai-nilai
pluralitas atau multikultural adalah pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural merupakan sebuah ikhtiar untuk mengurangi gesekan-
gesekan atau ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan-
perbedaan dalam masyarakat. Pendidikan multikultural merupakan upaya
mereduksi berbagai jenis prasangka sosial yang secara potensial hidup
dalam masyarakat pluralis.
4
James A. Bank mendenisikan pendidikan mutlikultural sebagai
3
Hairus Salim dan Suhadi, Mevbavgvv Pvrai.ve aari arab (Yogyakarta: LKiS,
2007), hlm. 16-7.
4
H.A.R. Tilaar, Mvtivtvrai.ve: 1avtavgavtavtavgav Coba Ma.a Deav aaav
1rav.forva.i Pevaiaiav ^a.iova (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 104.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 93
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya
keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya
hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
5
Kurang lebih
senada dengan Bank, Sonia Nieto mengemukakan bahwa pendidikan
multikultural merupakan proses pendidikan yang komprehensif dan
mendasar bagi semua peserta didik. Model pendidikan ini menentang
segala bentuk rasisme dan bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat
dengan menerima serta mengarmasi pluralitas ,etnik, ras, bahasa, agama,
ekonomi, jender dan lain sebagainya, yang tereneksikan di antara peserta
didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Lebih lanjut menurutnya,
pendidikan multikultural ini haruslah melekat dalam kurikulum dan
strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan
di antara para guru, murid, dan keluarga serta keseluruhan suasana
belajar-mengajar. Pendidikan multikultural merupakan pedagogi kritis
dan renekti yang menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat.
Pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi
dalam berkeadilan sosial.
6
Sementara itu, Bikkhu Parekh mendenisikan pendidikan
multikultural sebagai sebuah pendididikan yang bebas dari prasangka
dan bias entosentris serta bebas untuk mengeksplorasi dan mempelajari
berbagai budaya dan perspektif lain.
7
Dalam perspektif Azyumardi Azra,
pendidikan multikultural merupan suatu model pendidikan untuk atau
tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demogras
dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.
8
Sementara itu, Musya Asy`arie mendenisikan pendidikan
multikultural sebagai proses penanaman cara hidup menghargai, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
5
James A. Bank dan Cherry A. Mc Gee (eds.), avaboo of Re.earcb ov
Mvticvtvra avcatiov (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), hlm. 28.
6
Sonia Nieto, Language, Cvtvre ava 1eacbivg (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum,
2002), hlm. 29.
7
Bikkhu Parekh, Retbivivg Mvticvtvrai.v: Cvtvra Direr.it, ava Poitica 1beor,
(Cambridge: Harvard University Press, 2000), hlm. 230.
8
Azyumardi Azra, Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia, Maaab
disampaikan pada Orasi Budaya, Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies
(IMPULSE), di Auditorium Kanisius, Yogyakarta, pada 30 Agustus 2007.
94 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
masyarakat plural.
9
Senada dengan pendapat Musa Asyarie, Zakiyuddin Baidhawy
mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah gerakan
pembaharuan dan inovasi pendidikan dalam rangka menanamkan
kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan,
dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling
memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan
agama-agama, sehingga terjalin suatu relasi dan interdependensi dalam
situasi saling mendengar dan menerima perbedaan pendapat dalam
pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konnik dan
menciptakan perdamaian melalui kasih sayang antar sesama.
10
Sementara itu, Choirul Mahfud memaknai pendidikan multikultural
sebagai respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam
konteks ini, pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti jender, etnis, ras, budaya,
strata sosial, dan agama.
11
Fokus program pendidikan multikultural tidak
lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural
dominan atau mainstream, namun pula diarahkan kepada kelompok
kultural minoritas.
12
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang datang dari
berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal agama,
budaya, cara hidup, adat-istiadat, kebiasaan yang berbeda. Lebih dari
itu, peserta didik diajari untuk memahami, mengakui, dan menghormati
bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut
caranya masing-masing. Dengan mengajarkan pendidikan multikultural,
para peserta didik sedini mungkin dibimbing untuk memahami makna
Bhinneka Tunggal Ika dan mengimplimentasikannya dalam kehidupan
9
Musa Asy`arie, Pendidikan Multikultural dan Konnik Bangsa`, http,,
www.64.2 03.71. 11/kompas/cetak/0409/03/opini/1246546.htm. Diakses pada 2
Oktober 2009.
10
Zakiyuddin Baidhawy, Pevaiaiav .gava errara.av Mvtivtvra (Jakarta:
Erlangga, 2005), hlm. 85.
11
Choirul Mahfud, Pevaiaiav Mvtivtvra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 169.
12
H.A.R. Tilaar, Pervbabav o.ia aav Pevaiaiav: Pevgavtar Peaagogi 1rav.forvatif
vvtv vaove.ia (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 498.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 95
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
sehari-hari. Pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk
rora rier (pandangan dunia) peserta didik untuk senantiasa menghargai
perbedaan dan keragaman.
Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui
implementasi strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada
pemanfaatan keragaman yang terdapat dalam masyarakat, khususnya yang
ada pada peserta didik seperti pluralitas etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, jender, kemampuan, umur, dan ras. Strategi pendidikan ini
tidak hanya bertujuan supaya siswa mudah memahami pelajaran yang
dipelajarinya, namun juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar
senantiasa berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Hal terpenting
yang perlu digarisbawahi dalam praktek pendidikan multikultural bahwa
seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara
profesional mata pelajaran yang diajarkan, namun seorang guru juga
harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme.
Dengan pengimplementasian strategi pendidikan yang memiliki
visi-misi yang selalu menegakkan dan menghargai multikulturalisme,
demokrasi, dan humanisme, maka diharapkan para siswa dapat menjadi
generasi yang senantiasa menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan,
kepedulian humanistik, dan kejujuran dalam berperilaku sehari-sehari.
Dengan demikian, diharapkan problematika yang melilit bangsa ini lambat
laun dapat diminimalisasi lantaran tumbuhnya generasi multikultural
yang menghargai perbedaan, demokrasi, keadilan, serta kemanusiaan.
13
Pendidikan multikultural diyakini bakal mampu mencegah berbagai
konnik primordial ,baca: SARA, dan bentuk-bentuk konnik yang lain.
Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat menjadi solusi nyata
bagi konnik dan disharmoni yang terjadi di tengah masyarakat, terutama
untuk masyarakat Indonesia yang pluralistik.
14
Selain itu, pendidikan
multikultural mampu menyediakan ruang-ruang sosial bagi peserta
didik untuk terbiasa menghadapi dan menghargai keragaman, sehingga
saat terjun ke masyarakat, mereka dapat mengaktualisasikan nilai-nilai
multikulturalitas yang mereka terima di bangku sekolah dalam bentuk
13
M. Ainul Yaqin, Pevaiaiav, hlm. 5. Lihat pula, Ngainun Naim dan Achmad
Sauqi, Pevaiaiav Mvtivtvra: Kov.e aav .ia.i (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),
hlm. 49.
14
Choirul Mahfud, Pevaiaiav, hlm. 208.
96 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
perilaku sehari-hari.
C. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam
Pendidikan multikultural sejatinya inheren dalam Islam. Hal ini
dapat ditilik dari doktrin dan sejarah Islam. Al-Quran secara sangat
eksplisit menyebutkan adanya multikulturalitas. Beberapa di antaranya
adalah dalam Q.S. Al-Maidah: 48, Jika Allah menghendaki, niscaya Ia
akan membuat kamu satu umat, tetapi ia akan menguji kamu dengan apa
yang Ia berikan kepada kamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Kepada Allah-lah kamu akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan
kepada kamu (kebenaran) apa yang kamu perselisihkan itu.
Penyataan yang kurang lebih sama juga disebutkan dalam Q.S. Hu> d:
118, Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Selain ke dua ayat
di atas, statement yang sama juga dapat dilihat dalam Q.S. An-Nah}l: 93,
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu
akan ditanya tentang apa yang Telah kamu kerjakan.
Multikulturalisme juga dijelaskan dalam Q.S. al-Iujarat: 13, Iai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. Multikulturalisme juga tampak jelas dalam Q.S. al-Baqarah:
256, Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ayat
lain yang menjelaskan pengakuan Tuhan akan multikulturalisme adalah
Q.S. Al-Maidah: 69, Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka)
yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 97
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural tampak nyata pula dalam sejarah
Islam. Nabi Muhammad SAW pernah mempraktikannya ketika beliau
memimpin masyarakat Madinah. Nabi SAW berhasil mengembangkan
prinsip toleransi dan desentralisasi menyangkut keberadaan agama-
agama lain.
15
Dengan toleransi, Nabi SAW menginginkan supaya umat
Islam memandang agama lain sebagai musuh, namun sebagai teman
dalam menciptakan masyarakat damai. Sementara dengan desentralisasi,
Nabi SAW memberikan kebebasan kepada umat beragama lain untuk
menjalankan ajaran agamanya, kendatipun mereka dalam kekuasaan
pemerintahan Islam. Wujud kongkrit desentralisasi antara lain menyangkut
kebijakan bea cukai di wilayah Islam. Pedagang Byzantium yang akan
berniaga ke Madinah ditarik bea cukai sebesar cukai pemerintahan
Byzantium kepada pedagang Madinah. Demikian juga di wilayah Persia,
pedagang muslim tidak ditarik cukai, dan sebaliknya pedagang Persia
yang hendak berniaga ke Madinah juga bebas bea cukai.
Di kota Madinah, Nabi SAW sukses menjadi pemimpin yang
memutus sekat-sekat primordialisme dan tribalisme yang ketika itu
masih sangat kuat dianut oleh masyarakat Arab. Lebih dari itu, bersama
komunitas ab aitb (non-muslim), beliau mendeklarasikan Piagam
Madinah yang isinya memuat norma-norma dalam berinteraksi dengan
komunitas non-muslim. Sebenarnya, jauh sebelum deklarasi Piagam
madinah, praktik toleransi (baca: multikulturalisme) antara umat Islam
dengan umat non-muslim telah terjadi, tepatnya pada masa hijrah
pertama, yaitu pada waktu melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. Hijrah
ini dilakukan karena kondisi umat Islam di bawah ancaman kaum Quraisy.
Hijrah umat Islam ini disambut baik oleh raja Neguis (Najasyi) yang
beragama Kristen. Selain itu, Nabi SAW pernah mengizinkan delegasi
Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk berdoa di kediaman
beliau. Bahkan, ketika mendengar wafatnya raja Najasyi, Nabi SAW
menganjurkan kepada para sahabatnya untuk melakukan salat untuk
saudaramu yang meninggal di negeri lain. Lebih dari itu, Nabi SAW
pernah bersabda: Siapa yang mengganggu kaum aivvi (minoritas non-
muslim), maka ia telah mengganggu aku.
Contoh lain pasca-Nabi Muhammad adalah ketika Abu Ubayd
15
Ustadi Hamzah, Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan Pluralitas Agama
di Indonesia, Reigio.a, edisi I/II/Th. 2006, hlm. 46-47.
98 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
Allah al-Mahdi (909-934), seorang khalifah pertama dinasti Fatimiyah
di Maghrib, meminta nasehat kepada seorang tokoh Kristen untuk
mencarikan lokasi yang tepat untuk dijadikan ibukota negara. Sejarah
juga mencatat, kedatangan Islam di Spanyol telah mengakhiri politik
monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintahan
Islam yang berkuasa kurang lebih lima ratus tahun telah menciptakan
masyarakat Spanyol yang multikulturalistik. Pemeluk tiga agama: Islam,
Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun.
16
Dalam
hubungannya dengan umat Kristen dan Yahudi, Islam memandang
keduanya sebagai saudara sekandung, sama-sama satu nasab. Secara
geneologis, ketiga agama ini berasal dari bapak yang sama, yaitu Ibrahim,
Bapak Orang Beriman.
17
D. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan
Islam
Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini belum pernah
didapati mata pelajaran yang secara khusus mengajarkan pluralitas-
multikulturalitas. Kalaupun ada, itu hanya di perguruan tinggi Islam
tertentu seperti UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN (Institut Agama
Islam Negeri), dan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri). Itu
pun tidak berdiri sendiri sebagai mata kuliah tersendiri. Ia ivcvae dalam
mata kuliah semisal Sejarah Agama-agama. Mata kuliah tersebut pun
lebih banyak memperbincangkan dimensi historis dan teologis agama-
agama. Jika pun mata kuliah tersebut menyinggung multikulturalisme,
porsinya tidaklah banyak dan sebatas membicarakan multikulturalisme
agama-agama. Sementara dimensi-dimensi lain dari multikulturalisme
seperti keragaman budaya, jender, etnisitas, ras, dan bahasa tidak (atau
belum) terwadahi.
Mengingat sangat signikannya pendidikan multikultural bagi
kehidupan bangsa, menurut penulis, sudah semestinya para pemangku
kepentingan (.taeboaer.) terutama institusi pengambil kebijakan
pendidikan di negeri ini, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
16
Heru Nugroho, Islam dan Pluralisme, dalam M. Quraish Shihab, dkk., Atas
^ava .gava: !acava .gava aaav Diaog eba. Kovfi (Bandung: Pustaka Hidayah,
1998), hlm. 65.
17
Ahmad Asroni, Membendung Radikalisme Islam: Upaya Merajut Kerukunan
Antar Umat Beragama, dalam Erlangga Husada, dkk., Ka;iav, hlm. 38.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 99
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
dan Kementerian Agama memasukkan mata pelajaran/kuliah pendidikan
multikultural ke dalam sistem pendidikan nasional. Harus diakui bahwa
selama ini pendidikan multikultural hanya sebatas wacana di berbagai
perguruan tinggi Islam. Kalau hanya sekedar wacana tanpa dibarengi
realisasi, maka diskursus pendidikan multikultur tidaklah fungsional.
Hanya dengan oitica ri (kemauan politik) dari pemerintah, maka
pendidikan multikultural akan dapat direalisasikan. Tanpa itu semua, ia
hanya akan selamanya menjadi wacana dan tidak bermakna (veavivge..).
Pendidikan Islam sebagai bagian integral dari pendidikan nasional
semestinya dapat mengambil peran untuk memperkenalkan pendidikan
multikultural. Dalam konteks ini, Kementerian Agama misalnya dapat
memasukkan mata pelajaran/mata kuliah tersebut dalam kurikulum
pendidikan Islam. Kalaupun tidak menjadi mata pelajaran/mata kuliah
tersendiri, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam mata
pelajaran/kuliah lain.
Kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam
penting adanya karena praktik pendidikan Islam selama ini tidak cukup
mampu atau gagal dalam menelorkan generasi yang multikulturalis. Salah
satu buktinya adalah banyaknya orang muslim yang terlibat dalam kasus
terorisme. Ironisnya lagi, aksi terorisme juga banyak melibatkan pelajar
dan mahasiswa muslim.
18
Bukti lain dari kegagalan penyelenggaraan
pendidikan Islam dapat ditilik dari hasil survei yang dilakukan Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta yang memaparkan bahwa mayoritas guru pendidikan agama Islam
dan pelajar Islam di sekolah-sekolah di Jawa tidak toleran dan menolak
pluralitas agama.
19
Meskipun ruang lingkup penelitian PPIM UIN Syarif
18
Ada banyak pelaku terorisme yang masih berstatus sebagai pelajar dan
mahasiswa seperti Dani Dwi Permana, Maruto Jati Sulistyo, Fajar Firdaus, Sonny Jayadi,
Afham Ramadhan, Agus jati, Nugroho, Arga, Joko Lelono, dan Yuda.
19
Survei ini melibatkan 500 orang pelajar Islam dan guru se-Pulau Jawa
sebagai responden. Hasil survei PPIM menunjukkan bahwa 62,4% dari para guru
agama Islam yang disurvei, yang berasal dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,
menolak kepemimpinan non-muslim. Survei tersebut mengungkapkan 68,6% dari
responden menolak prinsip-prinsip non muslim menjadi peraturan di sekolah mereka
dan 33,8% menolak keberadaan guru non muslim di sekolah-sekolah mereka. Sekitar
73,1% dari para guru itu tidak menghendaki para penganut agama lain membangun
rumah ibadahnya di lingkungan mereka. Sekitar 85,6% dari para guru melarang para
siswa mereka untuk ikut merayakan hari-hari besar yang merupakan bagian dari tradisi-
100 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
Hidayatullah hanya terfokus pada guru agama Islam dan pelajar Islam,
namun hasil survei tersebut sedikit banyak mengilustrasikan bahwa
penyelenggaraan pendidikan Islam secara umum gagal dalam menelorkan
peserta didik yang multikulturalis, inklusif, dan toleran.
Kegagalan pendidikan Islam di Indonesia disebabkan karena
pendidikan agama (Islam) selama ini lebih bercorak eksklusivistik, yakni
menampilkan Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar
dan satu-satunya jalan keselamatan (.aratiov ava trvtb caiv) sembari
merendahkan agama orang lain.
20
Klaim kebenaran dan keselamatan
tersebut sebenarnya sah-sah saja, asal tidak boleh dipaksakan dan
menghargai klaim kebenaran agama lain. Kegagalan pendidikan Islam
disebabkan pula oleh penekanannya pada aspek kognitif, sehingga
pendidikan Islam pada umumnya kurang memperhatikan aspek spiritual
dan aspek sosial yang merupakan bentuk dari kesalehan sosial yang harus
dimiliki oleh setiap manusia. Alhasil, peserta didik kurang memiliki
sensivitas sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan
kemanusiaan.
21
Padahal, pendidikan Islam sejatinya merupakan upaya
penanaman nilai-nilai etik-religius kepada peserta didik dengan berbasis
wahyu untuk dipraktikkan dalam realitas empiris. Pengajaran pendidikan
tradisi bangsa Barat (seperti Valentin Day), sementara 87% melarang para siswanya
untuk mempelajari agama-agama lain. Sekitar 48% guru lebih menyukai kalau para
pelajar perempuan dan laki-laki dipisahkan ke dalam kelas yang berbeda. Survei itu juga
menunjukkan 75,4% dari responden para guru meminta kepada para siswa mereka untuk
mengajak para guru yang non-muslim untuk berpindah ke agama Islam, sementara itu
61,1% menolak keberadaan sekte baru di dalam Islam. Sejalan dengan keyakinannya
yang tegas, 67,4% responden mengatakan bahwa mereka lebih merasa sebagai muslim
dibandingkan sebagai bangsa Indonesia. Mayoritas dari responden juga mendukung
adopsi hukum syariah di dalam negeri untuk membantu kejahatan perang. Menurut
survei, 58,9% responden berpendapat hukuman rajam (dilempari dengan batu) adalah
bentuk hukuman untuk bermacam-macam kejahatan dan 47,5% berkata hukuman untuk
kasus pencurian adalah dengan dipotong tangan, sementara itu 21,3% menghendaki
hukuman mati bagi mereka yang murtad atau keluar dari agama Islam. Hanya 3% dari
para guru tersebut yang merasakan bahwa tugas mereka adalah untuk menghasilkan
siswa yang bersikap toleran. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah, Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa,
http://www.ppim.or.id/riset/?id=2009030923 3154. Diakses pada 27 Maret 2009.
20
Zakiyuddin Baidhawy, Pevaiaiav, hlm. 31.
21
Musthofa Rembangy, Pevaiaiav 1rav.forvatif: Pergvatav Kriti. Mervvv.av
Pevaiaiav ai 1evgab Pv.arav .rv. Cobai.a.i (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 208.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 101
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
Islam dinilai berhasil tatkala ia mampu menderivasikan ayat-ayat Tuhan
yang masih berada pada level makna dan sakralitas yang tinggi ke ranah
praktik kehidupan sehari-hari.
22
Basis utama pendidikan Islam berbasis multikulturalisme dilandaskan
pada ajaran Islam. Sebab, dimensi Islam menjadi dasar pembeda sekaligus
titik tekan dari kontruksi pendidikan multikultural. Penggunaan kata
pendidikan Islam tidak bermaksud menegasikan ajaran agama lain atau
pendidikan non-Islam. Sebaliknya, untuk meneguhkan bahwa Islam dan
pendidikan Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-
multikultural.
23
Pendidikan Islam berbasis multikulturalisme merupakan
suatu strategi pembelajaran yang diorientasikan bagi penciptaan suatu
situasi belajar untuk mencapai kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan
melampaui sekat-sekat primordialisme. Pendidikan multikultural
melampaui batas-batas teritori kebangsaan/nasionalitas dan keagamaan.
24
Pendidikan multikultural dapat diajarkan di berbagai jenjang dan
institusi pendidikan Islam formal semisal SD/MI, SMP/MTS, SMA/
MA, dan perguruan tinggi (PT). Sekolah dan perguruan tinggi sebagai
institusi pendidikan dapat mengembangkan pendidikan multikultural
dengan model masing-masing sesuai dengan asas otonomi pendidikan
atau sekolah tersebut.
25
Selain itu, pendidikan multikultural dapat pula
diterapkan dan diajarkan di luar pendidikan formal seperti pesantren,
pengajian, majelis talim, dan lain-lain. Hal ini sangat memungkinkan
karena pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses sepanjang hidup
yang dapat mengambil tempat di berbagai lingkungan dan konteks yang
tak terbatas.
26
Terkait dengan sumber atau materi pendidikan multikultural selain
dari doktrin Islam, dapat juga berasal dari berbagai media; mulai dari buku,
media massa, internet hingga kearifan lokal (oca ri.aov). Semua materi
22
Paryanto, Cita-Cita Pendidikan Agama Menurut Islam, ., No. 07-08,
Tahun Ke-52, Juli-Agustus 2003, hlm. 46.
23
Ngainun Naim dan Achmad Syauqi, Pevaiaiav, hlm. 51.
24
Abdul Munir Mulkhan, Pendidikan (Agama) Berbasis Budaya. Epilog dalam
buku Choirul Mahfud, Pevaiaiav Mvtivtvra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 262.
25
Choirul Mahfud, Pevaiaiav, hlm. 208.
26
George R. Knight, i.afat Pevaiaiav, terj. Mahmud Arif (Yogyakarta: CDIE
Tarbiyah Faculty of UIN Sunan Kalijaga & Gama Media, 2007), hlm. 16.
102 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
tersebut tentu saja harus mengandung nilai-nilai pendidikan multikultural.
Penekanan pengajaran pendidikan multikultural harus diorientasikan
pada pembangunan moral (vora bviaivg) peserta didik. Oleh karena itu,
seorang pendidik (guru/dosen) mata pelajaran pendidikan multikultural
mesti bisa menjadi uswatun hasanah, teladan moral yang baik bagi
peserta didiknya. Dalam konteks ini, seorang pendidik tidak hanya
dituntut menguasai teori-teori tentang pendidikan multikultural, namun
juga dituntut memiliki prilaku sebagai seorang multikulturalis. Prilaku
multikulturalis adalah prilaku atau sikap yang mampu menghormati setiap
perbedaan dan pluralitas. Pendidikan multikultural dikatakan berhasil
manakala terbentuk pada diri peserta didik sebuah sikap hidup saling
toleran, tidak bermusuhan, dan menghargai segenap perbedaan budaya,
suku, bahasa, adat-istiadat, dan lain-lain.
27
Dalam ranah praktis, selain mengajarkan materi-materi yang
sarat dengan muatan pendidikan multikultural, seorang pendidik dapat
mengajak anak didiknya untuk berinteraksi dan berdialog dengan
komunitas yang berbeda dengan mereka. Pendidik misalnya dapat
mengajak peserta didiknya berdiskusi dengan komunitas umat beragama/
budaya lain. Dari situ, selain bisa berbaur, peserta didik dapat memiliki
empati kepada terhadap kelompok lain, sehingga di benak mereka akan
senantiasa tertanam pandangan yang toleran-inklusif terhadap eksistensi
kelompok lain (tbe otber.).
E. Penutup
Pendidikan multikultural urgen untuk diperkenalkan dan diajarkan
dalam pendidikan Islam. Pendidikan multikultural sendiri sejatinya
kompatibel dengan Islam. Tidak sedikit doktrin dan sejarah Islam yang
sarat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan Islam memiliki peran
yang strategis dalam mendiseminasikan pendidikan multikultural. Hal ini
lantaran pendidikan Islam tumbuh dan mengakar kuat dalam masyarakat
muslim yang notabene merupakan penghuni terbesar di Indonesia.
Dengan mengajarkan pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam,
diharapkan pendidikan Islam mampu melahirkan peserta didik yang
religius sekaligus memiliki kesadaran dalam menghargai pluralitas agama,
sosial, budaya, etnisitas, ras, bahasa, dan lainnya. Dengan demikian,
27
Choirul Mahfud, Pevaiaiav, hlm. 209.
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 103
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
pendidikan Islam bisa menjadi salah satu resolusi konnik sekaligus
berkontribusi dalam menumbuh-kembangkan nilai-nilai perdamaian di
bumi nusantara.
104 Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
DAFTAR PUSTAKA
Asroni, Ahmad, Membendung Radikalisme Islam: Upaya Merajut
Kerukunan Antar Umat Beragama, dalam Erlangga Husada, dkk.,
Ka;iav .av Kovtevorer, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2007.
Asy`arie, Musa, Pendidikan Multikultural dan Konnik Bangsa`, http,,
www.64.2 03.71.11/kompas/cetak/0409/03/opini/1246546.htm.
Diakses pada 2 Oktober 2009.
Azra, Azyumardi, Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia.
Maa ab di sampai kan pada Orasi Budaya, Insti tute for
Multiculturalism and Pluralism Studies (IMPULSE), di Auditorium
Kanisius, Yogyakarta, pada 30 Agustus 2007.
Baidhawy, Zakiyuddin, Pevaiaiav .gava errara.av Mvtivtvra, Jakarta:
Erlangga, 2005.
Bank, James A. dan Cherry A. Mc Gee (eds.), avaboo of Re.earcb ov
Mvticvtvra avcatiov, San Francisco: Jossey-Bass, 2001.
Departemen Agama, .Qvr`av aav 1er;evabv,a, Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Quran Departemen Agama RI, 1982.
Hamzah, Ustadi, Yang Satu dan Yang Banyak: Islam dan Pluralitas
Agama di Indonesia, Reigio.a, edisi I/II/Th. 2006.
Knight, George R., i.afat Pevaiaiav, terj. Mahmud Arif, Yogyakarta:
CDIE Tarbiyah Faculty of UIN Sunan Kalijaga & Gama Media,
2007.
Mahfud, Choirul, Pevaiaiav Mvtivtvra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pevaiaiav Mvtivtvra: Kov.e aav
.ia.i, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Nieto, Sonia, avgvage, Cvtvre ava 1eacbivg, New Jersey: Lawrence
Earlbaum, 2002.
Nugroho, Heru, Islam dan Pluralisme, dalam M. Quraish Shihab,
dkk., .ta. ^ava .gava: !acava .gava aaav Diaog eba. Kovfi,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Parekh, Bikkhu, Retbivivg Mvticvtvrai.v: Cvtvra Direr.it, ava Poitica
Mvaaaivab, Vol. 19, No. 1, 2013 105
A. Asroni dan I. Marifah: Implementasi Pendidikan Multikultural
1beor,, Cambridge: Harvard University Press, 2000.
Paryanto, Cita-cita Pendidikan Agama Menurut Islam, ., No.
07-08, Tahun Ke-52, Juli-Agustus 2003.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah,
Sikap dan Perilaku Sosial-Keagamaan Guru-Guru Agama di Jawa,
http://www.ppim.or.id/riset/?id=2009030923 3154. Diakses pada
27 Maret 2009.
Rembangy, Musthofa, Pevaiaiav 1rav.forvatif: Pergvatav Kriti. Mervvv.av
Pevaiaiav ai 1evgab Pv.arav .rv. Cobai.a.i, Yogyakarta: TERAS,
2008.
Salim, Hairus dan Suhadi, Mevbavgvv Pvrai.ve aari arab, Yogyakarta:
LKiS, 2007.
Tilaar, H.A.R., Pervbabav o.ia aav Pevaiaiav: Pevgavtar Peaagogi
1rav.forvatif vvtv vaove.ia, Jakarta: Grasindo, 2002.
----, Mvtivtvrai.ve: 1avtavgavtavtavgav Coba Ma.a Deav aaav
1rav.forva.i Pevaiaiav ^a.iova, Jakarta: Grasindo, 2004.
Yaqin, M. Ainul, Pevaiaiav Mvtivtvra: Cro..Cvtvra |vaer.tavaivg vvtv
Devora.i aav Keaaiav, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Anda mungkin juga menyukai