Anda di halaman 1dari 20

ATYPICAL WOUND

(SINDROM STEVEN JOHNSON)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Wound Management Dosen Pengampu Ns. Sunarto, S.Kep.

Disusun oleh : 1. M. Ali Yafie 2. Muji Haryanti 3. Nur Azizah 4. Nurul Yakin 5. Akhmad Edy S. 1003059 1003063 1003065 1003067 1003105

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESESHATAN KARYA HUSADA SEMARANG 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala petunjuk-Nya sehingga makalah dengan judul Atypical Wound dapat terselesaikan dengan baik dan lancar. Penyusun mengucapankan terima kasih kepada orang tua dan keluarga yang telah mendukung penyusunan makalah baik secara moral, material dan spiritual. Tidak lupa terima kasih juga penulis haturkan kepada Ns. Sunarto, S.Kep. Selaku dosen Pembimbing serta teman-teman sekalian yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Wound Management mengenai Atypical Wound. Serta Penugasan harian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai konsep dasar, pengkajian, diangnosa keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi dari asuhan yang diberikan. Demikian penulisan makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi penulis khusunya, dan pembaca pada umumnya. Penyusun mohon maaf jika dalam penulisan terdapat kesalahan. Tidak lupa penulis menantikan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah yang akan datang.

Semarang, 28 Oktober 2012

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN Menurut Websters New World Medical Dictionary, Sindrom Stephen Johnson didefinisikan sebagai reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu. Sindrom Stephen-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium, serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI ATYPICAL WOUND Luka sekunder untuk sumber yang tidak biasa lebih banyak disebut luka atipikal, dan sebagai hasilnya beberapa langka dan rumit di alam. Luka atipikal memiliki spektrum etiologi yang mencakup proses inflamasi, vasculopathies, penyakit menular, gangguan metabolik, penyakit genetik, neuropati, neoplastik originasi, dan trauma eksternal atau cedera.

B. ETIOLOGI ATYPICAL WOUND Beberapa etiologi paling sering ditemui untuk luka atipikal termasuk penyebab inflamasi, infeksi, vasculopathies, penyebab metabolik dan genetik, keganasan, dan penyebab eksternal. Namun, melalui sejarah medis, termasuk paparan epidemiologi, riwayat keluarga, kebiasaan pribadi, dan penyakit sistemik bersamaan, bersama dengan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dalam kombinasi dengan evaluasi histologis dan pengujian laboratorium, akan memberikan informasi penting yang diperlukan untuk diagnosis yang benar dari luka atipikal .

C. JENIS ATYPICAL WOUND Ada beberapa penyakit yang termaksuk dalam atypical wound yaitu : 1. Sindrom Steven Johnson 2. Sistemik Lupus Eritematosus 3. Dermatitis 4. Selulitis, dll.

D. DEFENISI SINDROM STEVEN JOHNSON Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127). Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480). Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

E. ETIOLOGI Penyebab yang pasti belum diketahui, ada angapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol, metapiron, dan parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi (bakteri,virus, jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson INFEKSI Virus, Jamur, Bakteri, Parasit Streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, Salmonela Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksiniakoksidioidomikosis, Histoplasma

Malaria OBAT Salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik MAKANAN FISIK LAIN-LAIN Coklat Udara dingin, sinar matahari, sinar X Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

F. GEJALA Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di : 1. Kulit Pada kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. 2. Mukosa Pada mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran

mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. 3. Mata Konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

G. PATOFISIOLOGI Patogenesis pada sindrom steven johnson belum jelas, diperkirakan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Arif Muttaqin, 2011: 122) . 1. Reaksi Hipersensitif tipe III Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi

radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

H. MANIFESTASI KLINIS Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa : 1. Kelainan Kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura. 2. Kelainan Selaput lender di orifisium Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan Mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah. 2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis. 3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

4. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat. 5. Determine renal function and evaluate urine for blood. 6. Pemeriksaan elektrolit. 7. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi. 8. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. 9. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

J. KOMPLIKASI Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal. Kompilikasi lain adalah: 1. Oftalmologi; ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan. 2. Gastroenterologi; Esophageal Strictures. 3. Genitourinaria; nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, panile scarring, vagina. 4. Pulmonari; pneumonia. 5. Kutaneus; timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder 6. Infeksi sistemik, sepsis. 7. Kehilangan cairan tubuh, shock.

K. PENATALAKSANAAN 1. Hindari obat yang diduga menyebabkan SJS Semakin cepat obat penyebab dihentikan, akan semakin baik pula prognosisnya. Pada pasien yang terpapar obat dengan waktu paruh eliminasi panjang, resiko kematian akan meningkat. Untuk mengidentifikasi obat penyebab, kronologi administrasi obat harus diketahui dan obat-obat yang pernah dilaporkan dapat menyebabakan SJS harus dievaluasi. Biasanya, waktu antara pertama kali pasien minum obat dengan munculnya gejala adalah 1-4 minggu.

2. Terapi Suportif Pasien SJS harus dibawa ke unit luka bakar (burn unit) atau ruangan yang steril untuk mencegah terjadinya infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pasien dirawat di unit luka bakar, akan menurunkan mortalitas dan morbititas dengan signifikan serta menurunkan lama perawatan di rumah sakit. Untuk menghindari hilangnya panas tubuh melalui kulit, temperatur ruangan perawatan pasien SJS harus diatur 30-32 C. Pasien SJS memiliki resiko tinggi mengalami infeksi dan sepsis sehingga sebaiknya dilakukan kultur secara rutin. Pemberian antibiotik profilaksis tidak disarankan. Manajemen kebutuhan cairan dan elektrolit pasien harus diperhatikan. Terapi dengan cairan intravena dapat diberikan untuk tetap menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kebutuhan nutrisi pasien juga harus dipenuhi. Asupan energi yang disarankan adalah 120% dari laju metabolik basal yang diperkirakan dan asupan protein yang disarankan 3 g/kg berat badan untuk membantu proses penyembuhan luka. Perawatan luka dapat dilakukan tanpa debridement kulit (pengangkatan jaringan kulit yang mati). Lapisan kulit tersebut dapat menjadi dressing alami pada luka. Wound dressing non adhesive dapat digunakan dan hindari penggunaan obat topikal yang mengandung sulfa seperti silver sulfadiazine (Burnazine). Untuk pasien yang mengalami gejala pada mata, gunakan opthalmic lubricant dan pasien juga harus ditangani oleh dokter spesialis mata untuk mencegah terjadinya kerusakan mata yang menetap. Obat analgesik dan antipiretik dapat diberikan bila diperlukan.

3. Terapi dengan Obat a. Steroid Sistemik. Efikasi penggunaan kortikosteroid secara sistemik pada SJS belum terbukti. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat dari penggunaan kortikosteroid sistemik, tetapi pada penelitian lain penggunaan kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas karena resiko terjadinya komplikasi, infeksi dan perdarahan pada saluran pencernaan.

b. Imunoglobulin Intravena. Penggunaan Imunoglobulin intravena pada SJS dan TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) masih kontroversial. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di Singapura tahun 2009, penggunaan Imunoglobulin intravena 3 mg/kg berat badan menunjukkan manfaat pada pasien dengan TEN. Beberapa penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada tingkat mortalitas dan morbiditas serta lama waktu penyembuhan pada pasien TEN yang menerima Imunoglobulin intravena. c. Plasmapheresis/Plasma Exchange. Data yang ada belum cukup kuat untuk membuktikan efikasi penggunaan plasmapheresis pada terapi SSJ.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN 1. Identitas Pasien a. Nama b. Jenis kelamin c. Umur d. Status perkawinan e. Pekerjaan f. Agama

g. Pendidikan terakhir h. Alamat. i. Nomor register

2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan b. Riwayat Kesehatan Sekarang Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan. c. Riwayat Kesehatan Dahulu Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien. d. Riwayat Kesehatan Keluarga Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama. e. Riwayat Psikososial Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial. f. Riwayat pengobatan

3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum b. Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan. c. Pemeriksaan Fisik SSJ Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson

1) Kelainan pada kulit a) Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen. b) Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik. c) Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi pada kulit.Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. d) Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik. e) Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas. f) Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum. g) Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batang tabuh.

2) Kelainan pada Selaput lendir di orifisium a) Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), 50% pada lubang alat genitalia, jarang pada lubang hidung dan anus (masingmasing 8% dan 4%). b) Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecahsehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapattimbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring danesofagus. c) Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan. d) Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas. e) Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapisebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.

3) Kelainan Mata Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.

4) Tanda-tanda yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan a) Demam b) Ortostasis c) Takikardia d) Hipotensi e) Penurunan kesadaran f) Epistaksis g) Konjungtivitis h) Ulkus kornea i) j) Vulvovaginitis erosiva atau balanitis Kejang, koma

4. Pola Fungsional Gordon a. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya? 2) Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan konsumsi obatobatan tertentu? 3) Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?

Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat konsumsi obatobatan tertentu.

b. Pola nutrisi - metabolik Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama dirawat di rumah sakit? 2) Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu? 3) Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah sakit? 4) Kaji makanan dan minuman kesukaan klien? 5) Apakah klien mengalami mual dan muntah? 6) Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau sebaliknya?

Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sariawan pada mulut, dan kesulitan menelan.

c. Pola eliminasi Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ? 2) Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi? 3) Kaji konsistensi BAB dan BAK klien 4) Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?

Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin, konstipasi, membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.

d. Pola aktivitas - latihan Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di rumah sakit? 2) Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri 3) Kaji tingkat ketergantungan klien 0 = mandiri 1 = membutuhkan alat bantu 2 = membutuhkan pengawasan 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain 4 = ketergantungan 4) Apakah klien mengeluh mudah lelah?

Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas, sehingga sulit untuk beraktifitas. e. Pola istirahat - tidur Yang harus dikaji : 1) Apakah klien mengalami gangguang tidur? 2) Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang? 3) Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?

Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan istirahat karena nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.

f.

Pola kognitif - persepsi Yang harus dikaji :

1) Kaji tingkat kesadaran klien 2) Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah mengalami perubahan? 3) Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien? 4) Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?

Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada penglihatannya, serta rasa nyeri dan panas di kulitnya.

g. Pola persepsi diri - konsep diri Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah dialaminya? 2) Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien? 3) Apakah klien merasa rendah diri? klien memandang dirinya terhadap penyakit yang

Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu dengan keadaan tersebut, dan mengalami gangguan pada citra dirinya.

h. Pola peran - hubungan Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya? 2) Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien? 3) Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat sekitarnya?

i.

Pola reproduksi dan seksualitas Yang harus dikaji : 1) Bagaimanakah status reproduksi klien? 2) Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?

j.

Pola koping dan toleransi stress Yang harus dikaji : 1) Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini? 2) Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya? 3) Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?

k. Pola nilai dan kepercayaan Yang harus dikaji : 1) Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien 2) Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kerusakan integritas kulit 2. Ketidak seimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan 3. Resiko tinggi infeksi 4. Nyeri 5. Defisit perawatan diri 6. Gangguan gambaran diri (citra tubuh) 7. Ansietas

C. INTERVENSI 1. Kerusakan integritas kulit Integritas Jaringan : Kulit dan Membran Mukosa Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x klien menunjukan Integritas Jaringan : Kulit dan Membran Mukosa tidak ada gangguan, yang dibuktikan dengan : a. Eritema pada kulit minimal. b. Pasien/keluarga menunjukan rutinitas perawatan kulit yang optimal. Intervensi :

a. Perawatan Luka Aktivitas : 1) Membandingkan dan mencatat secara teratur perubahan-perubahan pada luka 2) Menjauhkan tekanan pada luka 3) Mengajarkan pasien dan anggota keluarga prosedur perawatan luka 4) Memberikan pemeliharaan lokasi IV 5) Menyediakan pemeliharaan luka korekan sesuai kebutuhan 6) Memberikan pemeliharaan kulit luka bernanah sesuai kebutuhan 7) Mencukur rambut sekeliling daerah yang terluka, jika perlu 8) Mencatat karakteristik luka 9) Mencatat katakteristik dari beberapa drainase

b. Managemen Cairan / Elektrolit Aktivitas: 1) Memantau ketidaknormalan tingkat serum elektrolit sesuai dengan kebutuhan 2) Memantau berat badan harian dan memandang kecendrungannya. 3) Memberikan cairan yang sesuai.

4) Mengatur kecocokan tambahan intravena (atau tranfusi darah) tingkat rendah. 5) Memberikan nasogastritik sesuai dengan yang diresepkan sebagai pengganti pengeluaran. 6) Memantau efek samping dari suplemen elektrolit yang diresepkan 7) Memantau tanda-tanda vital 8) Memantau respon pasien untuk resep terapi elektrolit. 9) Memantau manifestasi ketidakseimbangan elektrolit

c. Pemantauan Elektrolit Aktivitas : 1) Memantau tingkat serum elektrolit. 2) Memantau tingkat serum albumin dan total protein, sebagai indikasi. 3) Memantau berhubungan. 4) Mengidentifikasi penyebab yang mungkin dari ketidakseimbangan elektrolit. 5) Mengenali dan melaporkan kehadiran ketidakseimbangan elektrolit. 6) Memantau kehilangan cairan dan kehilangan elektrolit yang berhubungan hubungan ketidakseimbangan asam-asam pokok yang

2. Ketidak seimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh Status Gizi : Asupan Makanan dan Cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x klien memperlihatkan Status Gizi : Asupan Makanan dan Cairan yang adekuat, yang dibuktikan dengan : a. Klien mampu menjelaskan komponen diet yang bergizi dan adekuat b. Klien mampu mentoleransi diet yang dianjurkan c. Klien mampu mempertahankan masa tubuh atau berat tubuh dalam batas normal d. Klien mampu menggungkapkan tekad untuk mematuhi diet

Intervensi

a. Pemantauan Nutrisi Aktivitas :

1) Menanyakan apakah pasien mempunyai alergi terhadap makanan 2) Menentukan makanan pilihan pasien 3) Tunjukkan intake kalori yang tepat sesuai tipe tubuh dan gaya hidup 4) Anjurkan menambah intake zat besi makanan, jika diperlukan 5) Memberi makanan yang sehat, bersih, dan lunak, jika diperlukan

6) Memberi pengganti gula, jika diperlukan 7) Membuat catatan yang berisi intake nutrisi dan kalori 8) Memberi informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya 9) Ajarkan teknik pengolahan dan pemeliharaan makanan yang aman

b. Pemantauan Cairan Aktivitas :

1) Menimbang berat badan harian dan pantau gejala yang terjadi 2) Memelihara keakuratn laporan jumlah intake dan output cairan 3) Memasang kateter urin, jika diperlukan 4) Memantau status cairan (e.g. kelembaban membrane mukosa, kecukupan denyut nadi, dan tekanan darah ortostatis), jika diperlukan 5) Mengukur tanda-tanda vital, jika perlu 6) Memantau indikasi cairan yang berlebihan (e.g. peningkatan CVP tekanan pembuluh darah kapileredema, vena di leher, dan asites), jika diperlukan

3. Resiko tinggi infeksi 4. Nyeri 5. Defisit perawatan diri 6. Gangguan gambaran diri (citra tubuh) 7. Ansietas

REFRENSI

http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/

http://farmasiklinis.rkzsurabaya.com/2012/08/stevens-johnson-syndrome-toxic-epidermal-necrolysis-bagian2/

Anda mungkin juga menyukai