Anda di halaman 1dari 3

ASUHAN KEPERAWATAN POST KRANIOTOMI BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Sistem persarafan terdiri atas otak, medula spinalis, dan saraf perifer. Strukt ur ini bertanggung jawab mengendalikan dan menggordinasikan aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls tersebut berlangsung me lalui serat-serat saraf dan jaras-jaras. Secara langsung dan terus menerus. Peru bahan potensial elektrik menghasilkan respons yang akan mentransmisikan sinyal-s inyal ( Batticaca, F., 2008 ). Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi otot, peristiw a viseral yang berubah dengan cepat, menerima ribuan informasi dari berbagai org an sensoris dan kemudian mengintegrasikannya untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh. Membran sel bekerja sebagai suatu sekat pemisah yang amat efekt if dan selektif antara cairan ektraselular dan cairan intraselular antara caira n ektraselular dan cairan intraselular . Didalam ruangan ekstra selular ektrasel ular, disekitar neuron terdapat cairan dengan kadar ion natrium dan klorida, sed angkan dalam cairan intraselular terdapat kalium dan protein yang lebih tinggi. Perbedaan komposisi dan kadar ion-ion didalam dan diluar sel mengakibatkan timbu lnya suatu potensial membran ( Syaifuddin, 2006). Tugas pokok sistem saraf meliputi: 1) Kontraksi otot rangka seluruh tubuh. 2) K ontraksi otot polos dalam organ internal. 3) Sekresi kelenjar eksokrin dan endok rin dalam tubuh ( Syaifuddin, 2006 ). Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian kra nium(adakalanya disebut kalvaria) terdiri atas delapan tulang, dan kerangka waja h terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan dalam di tandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah ( Pearce, E., 2002 ). Fungsi tengkorak adalah 1) Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengara n. 2) Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala. 3) Sebagai tempat penyangga gigi ( Gibson, J., 2002 ). Otak adalah merupakan organ yang paling mengangumkan dari seluruh organ. Kita me ngetahui bahwa seluruh angan-angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan ingatan merupakan hasil akhir dari aktifitas otak ( Muttaqin, A., 2008 ). Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa(sekitar 3 pon) . Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen t ubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan y ang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasa l dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebu tuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah bersifat konstan ( Price, S. A., 2005 ). Otak dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu serebrum, batang otak, dan serebelum . Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat tulang yang be rhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal, parietal, temporal d an oksipital ( Batticaca, F., 2008 ). Dasar otak tengkorak terdiri atas tiga bagian fossa yaitu bagian fossa anterior (berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer), bagian fossa tengah (berisi lob us parietal, temporal dan oksipital) dan bagian fossa posterior (berisi batang otak dan medula) ( Batticaca, F., 2008 ). Cedera kepala adalah merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau desele rasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak ( Pierce & Bo rley, 2006 ). Cedera kepala adalah satu diantara kebanyakan bahaya yang menimbulkan kematian p ada manusia . Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat sekitar tahun 19 85, 49% disebabkan oleh kecelakaan motor , dan jatuh merupakan penyebab umum ya ng kedua. Cedera kepala paling sering ditemukan pada usia 15-24 tahun. Dan dua k ali lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita ( Hudak, C. M., 2010 ). Penyebab dari cidera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan ind ustri , kecelakaan olahraga dan luka pada persalinan. Adapun mekanisme dari cede ra kepala adalah dapat diakibatkan oleh tiga tipe kekuatan yaitu: a) Perubahan b

entuk tengkorak kepala. b) Percepatan dan perlambatan, dimana tengkorak kepala b ergerak lebih cepat dari pada masa otak dan mengakibatkan perubahan tekanan. c) Pergerakan kepala yang menyebabkan rotasi dan distorsi dari jaringan otak. Kekua tan ini dapat menyebabkan kompresi, ketegangan dan kerusakan pada jaringan otak ( Widagdo, W., 2008 ). Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu: a) Lo kasi dari tempat benturan langsung. b) Kecepatan dan energi yang dipindahkan. c) Daerah permukaan energi yang dipindahkan. d) Keadaan kepala saat benturan. Ben tuk cedera sangat bervariasi dari luka pada kulit kepala yang kecil hingga kontu sio dan fraktur terbuka dengan kerusakan berat pada otak ( Widagdo, W., 2008 ). Komplikasi yang ditakutkan pada cedera kepala adalah terjadinya hematoma subdura l atau epidural, yang dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan batang otak yan g berakibat fatal (Weiner, H. L., 2001). Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan keparahan, yaitu: 1) Berdasarkan mekanisme: adanya penetrasi durameter. a) trauma tumpul: kecepat an tinggi (tabrakan mobil) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) b) trauma te mbus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya) 2) Berdasarkan keparahan ced era: a. Ringan: gcs 14-15 b.sedang: gcs 9-13 c.berat: gcs 3-8 ( Mansjoer, A., 2000 ). Menilai tingkat keparahan yaitu: 1) Cedera kepala ringan ( kelompok risiko renda h) adalah skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, orientatif), tidak a da kehilangan kesadaran misalnya konkusi, tidak ada intoksikasi, alkohol, atau o bat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat mende rita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala, tidak adanya kriteria cedera s edang-berat. 2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang) adalah skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor), konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium, kejang. 3) Cedera kepala berat (kelo mpok resiko berat) adalah skor skala koma Glasgow 3-8 (koma),penurunan derajat k esadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium ( Mansjoer, A., 2000 ). Penatalaksanaan fraktur tulang tengkorak adalah 1) fraktur tulang tengkorak yang tidak terdepresi umumnya tidak membutuhkan tindakan pembedahan; tetapi membutuh kan pemantauan pasien yang ketat. 2) fraktur tulang tengkorak yang terdepresi me mbutuhkan tindakan pembedahan ( Baughman, D. L., 2000 ). Penatalaksanaan non pembedahan pada pasien dengan cidera kepala meliputi: Glukok ortikoid (dexamethasone ) untuk mengurangi edema, diuretic osmotic (manitol) dib erikan melalui jarum dengan filter untuk mengeluarkan kristal-kristal mikroskopi s, diuretik loop (misalnya Furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan intra kranial, obat paralitik (Pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi meka nik untuk mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko pen ingkatan tekanan intrakranial, selanjutnya penatalaksanaan pembedahan pada pasie n dengan cedera kepala yaitu kraniotomi diindikasikan untuk mengatasi subdural a tau epidural hematoma, mengatasi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak ter kontrol, mengobati hidrosefalus ( Widagdo, W., 2008). Kraniotomi adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk m eningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk meghi langkan tumor, mengurangi tekanan intakranial, mengevaluasi bekuan darah dan men gontrol hemoeragi ( Brunner & Suddarth, 2002 ). Pada pasien kraniotomi akan terlihat tanda dan gejala berupa pada penurunan kesa daran, nyeri kepala sebentar kemudian membaik beberapa waktu kemudian timbul gej ala yang berat dan sifatnya progresif seperti: nyeri kepala hebat, pusing, penur unan kesadaran, pada kepala terdapat hematoma subkutan, pupil dan isokor, kelema han respon motorik konta lateral, reflek hiperaktif atau sangat cepat, bila hem atoma semakin meluas maka timbul gejala deserebrasi dan gangguan tanda vital ser ta fungsi respirasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ). Setiap dilakukan tindakan kraniotomi, biasanya pasien selalu lebih sensitif terh adap suara yang keras. Pada pasien bisa juga terjadi afasia, kemungkinan lain ya ng bisa terjadi adalah paralisis, buta, dan kejang. Pasien yang tidak mengalami komplikasi, kemungkinan dapat segera keluar dari rumah sakit. Gangguan kognitif dan bicara setelah operasi memerlukan evaluasi psikologis, terapi bicara, dan re

habilitasi ( Brunner & Suddarth, 2002 ). Komplikasi bedah kraniotomi meliputi peningkatan tekanan intraokuler (TIK), infe ksi dan defisit neurologik. Selanjutnya peningkatan TIK dapat terjadi sebagai ak ibat edema serebral atau pembengkakan dan diatasi dengan manitol, diuretik osmot ik, Disamping itu pasien juga memerlukan intubasi dan penggunaan agens paralisis . Infeksi mungkin karena insisi terbuka, pasien harus mendapat terapi antibiotik dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan dra inase,bau menyengat,drainase purulen dan kemerahan serta bengkak sepanjang garis insisi, defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pasca operas i status neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan, apabila tindakan ini tidak segera dilakukan akan menyebabkan kematian ( Brunner & Sudda rth, 2002 ). Masalah keperawatan yang muncul pada pasien post kraniotomi yaitu, nyeri, peruba han nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas ( Doengoes, 2000 ) Menurut data yang penulis dapat dari register Ruang rawat bedah pria Badan Pelay anan Kesehatan Rumah Sakit umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh mulai tanggal 2 0 juni-2010 sampai 20 juni 2011 dari 950 pasien yang dirawat diruang rawat bedah pria 84(8,8%) pasien yang mengalami post kraniotomi, 74(88%) pasien yang pulang /sembuh akibat post kraniotomi, 3(3,35%) pasien yang pulang paksa dan 7(8.3%) pa sien yang meninggal akibat post kraniotomi. Masalah keperawatan yang mungkin timbul pasca operasi pada kraniotomi adalah per ubahan perfusi jaringan serebral, nyeri, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas, defisit perawatan diri, risiko tidak efektifnya j alan nafas, gangguan persepsi sensori, defisit volume cairan, resiko injuri, gan gguan mobilitas fisik ( Doengoes, 2000 ). Penatalaksanaan pada pasien dengan post kraniotomi berdasarkan prioritas masalah adalah menurunkan nyeri, mempercepat proses penyembuhan dan mencegah infeksi da n untuk mengurangi rasa nyeri dengan terapi obat-obatan, ganti verban setiap har i dan buka benang heating bila luka sudah kering. Kolaborasi dengan tim medis un tuk pemberian obat analgetik yang dapat menghilangkan nyeri, awasi tanda-tanda v ital, memberikan makanan yang tinggi kalori, protein, vitamin, mengatur posisi t idur pasien ( Doengoes, 2000 )

Anda mungkin juga menyukai