Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA:

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

I.

ANATOMI PROSTAT

Prostat adalah organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika. Mempunyai panjang kurang-lebih 1 inci (3 cm), terletak di antara collum vesicae di atas dan diafragma urogenital di bawah. Prostat dikelilingi capsula fibrosa, di luar kapsul terdapat selubung fibrosa yang merupakan bagian paling viseral dari fascia pelvis. Prostat berbentuk kerucut, mempunyai basis prostata pada superior yang berhadapan dengan collum vesicae, dan apex prostata yang terletak di inferior dan berhadapan dengan diafragma urogenital. Kedua ductus ejaculatorius (persatuan antara ductus deferens dan ductus vesicula seminalis) menembus bagian atas facies posterior prostat untuk bermuara ke uretra pars prostatica pada pinggir lateral utriculus prostaticus. Di anterior, prostat berbatasan dengan lemak ekstraperitoneal yang terdapat dalam spatium retropubicum (cavun Retzius), prostat terhubung ke posterior os pubis oleh ligamentum puboprostatica. Di posterior, prostat dipisahkan dari rectum oleh septum retrovesicale (fascia Denonvillier). Bagian lateral prostat difiksasi oleh serabut anterior musculus levator ani.1 Uretra pars prostatica berasal dari collum vesicae, berjalan dari basis prostata sampai apex prostata, lalu berlanjut menjadi uretra pars membranasea. Uretra pars prostatica merupakan bagian yang paling lebar dan berdiameter terbesar dari seluruh uretra. Pada dinding posterior terdapat peninggian longitudinal yang disebut crista urethralis, pada setiap sisi crista terdapat alur yang disebut sinus prostaticus, glandula prostat bermuara pada sinus ini. Pada puncak crista urethralis terdapat cekungan, yaitu utriculus prostaticus, yang analog dengan uterus dan vagina pada perempuan. Pada pinggir utriculus terdapat muara kedua ductus ejaculatorius.1

Prostat terbagi menjadi lima lobus, yaitu lobus anterior, medius, posterior, dextra dan sinistra. Lobus anterior terletak di depan uretra dan tidak mempunyai kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang uretra dan di bawah ductus ejaculatorius, juga mengandung kelenjar. Lobus dextra dan sinistra terletak di samping uretra dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostat. Lobus lateral ini mengandung banyak kelenjar.1

Pembagian prostat berdasarkan lobus adalah pembagian lama. Saat ini, lebih sering digunakan pembagian prostat berdasarkan zona, karena lebih relevan terhadap patologinya. Terdapat beberapa zona antara lain zona transisional, zona sentral, dan zona perifer.

Zona transisional dimulai dari collum vesicae/ bladder neck sampai uretra pars membranasea. Epitelnya terdiri atas epitel transisional seperti pada vesica urinaria. Zona ini adalah tempat tersering terjadinya BPH. Zona transisi memiliki 2 lobus lateral dan lobus medius. Zona sentral adalah area di sekitar ductus ejaculatorius, mengandung 25% jaringan kelenjar. Sangat sedikit adenokarsinoma yang dapat ditemukan di sini. Zona perifer
3

mengandung 70% jaringan kelenjar. Zona ini mengandung bagian posterior dan lateral prostat. Bagian inilah yang teraba saat pemeriksa melakukan digital rectal examination/ DRE, di sini sekitar 70% adenokarsinoma ditemukan. Lokasi ini pula tempat tersering terjadinya prostatitis kronik.2

Pendarahan prostat adalah dari cabang arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media. Vena membentuk plexus venosus prostaticus, yang terletak di antara capsula prostatica dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menampung darah dari vena dorsalis penus dan vena vesicalis, selanjutnya bermuara ke vena iliaca interna. Persarafan prostat berasal dari plexus hypogastricus inferior, saraf simpatis merangsang otot polos prostat saat ejakulasi.1

II.

HISTOLOGI PROSTAT

Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika. Zona-zona prostat terbagi menjadi zona transisional, sentral, dan perifer. Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas pada orang dewasa.3

III. FISIOLOGI PROSTAT

Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti susu yang mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke uretra pars prostatica. Kelenjar prostat mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan sekresi vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang sedikit basa. Prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan prostat bekerja pada fibrinogen dari vesicula seminalis untuk menghasilkan fibrin, yang membekukan semen sehingga sperma yang diejakulasikan tetap tertahan di dalam saluran reproduksi wanita. Segera setelah itu, bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisin dari prostat, sehingga sperma motil yang dikeluarkan dapat bebas bergerak di dalam saluran reproduksi wanita.1,4

IV. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Hiperplasia prostat jinak adalah suatu diagnosis histologik yang ditandai oleh proliferasi elemen-elemen selular prostat, yang menyebabkan terjadinya obstruksi kronik saluran kemih.5

V.

EPIDEMIOLOGI

BPH adalah tumor jinak tersering pada pria. 20% pada pria berusia 41-50, 50% pada pria berusia 51-60, dan lebih dari 90% pada pria di atas 80 tahun. Faktor risiko yang mempengaruhi BPH masih belum diketahui, namun beberapa studi menunjukkan adanya faktor genetik, yang kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.6

VI. ETIOLOGI

Secara histologi, BPH ditandai dengan adanya peningkatan sel-sel epitel dan stroma pada area periuretra di prostat. Terbentuknya formasi kelenjar epitel baru secara normal hanya ditemukan pada masa fetal, sehingga muncul konsep embryonic reawakening dari potensi induktif sel stroma. Etiologi molekuler dari proses hiperplastik ini masih belum diketahui. Adanya proliferasi sel-sel epitel dan stroma yang disertai gangguan sistem apoptosis sel menyebabkan terjadinya akumulasi sel. Faktor-faktor yang menyebabkan proses hiperplastik pada jaringan prostat antara lain:7

1.

Hiperplasia

Jumlah sel dan volume suatu organ tergantung pada keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Pembesaran suatu organ terjadi dapat karena peningkatan proliferasi ataupun penurunan kematian sel. Hormon seperti androgen bukan hanya berperan dalam proliferasi sel namun juga terhadap inhibisi kematian sel. BPH juga dapat dipandang sebagai suatu stem cell disease. Setelah fase embrionik, sel-sel punca pada prostat akan memasuki keadaan dorman yang masih memiliki potensi untuk berkembang. Normalnya, sel-sel punca yang dorman tersebut tidak akan berproliferasi lagi, namun pada BPH terjadi proliferasi kembali membentuk sel-sel yang mampu melakukan sintesis DNA sehingga dapat mempertahankan jumlah sel di prostat.7
6

2.

Androgen

Perkembangan BPH membutuhkan adanya androgen dari testis selama pertumbuhan prostat, selama pubertas dan proses aging. Pasien yang mengalami kastrasi sebelum pubertas, atau yang mengalami gangguan androgen, tidak mengalami BPH. Jumlah dihidrotestosteron (DHT) dan reseptor androgen (AR) tetap tinggi selama aging, meskipun jumlah testosteron perifer menurun. Pada otak, otot skelet, dan tubulus seminiferus, testosteron digunakan secara langsung dalam metabolisme. Namun pada prostat, testosteron direduksi oleh 5-alfa reduktase, suatu enzim steroid, yang mengubah testosteron menjadi DHT, androgen utama pada jaringan prostat. 90 persen dari total androgen prostat ada dalam bentuk DHT, yang memiliki afinitas lebih tinggi terhadap reseptor androgen pada prostat. Kompleks DHT/AR akan berikatan dengan DNA dan menyebabkan transkripsi gen-gen yang androgen-dependent (misalnya PSA/ prostate-specific antigen) sehingga menstimulasi sintesis protein. Jika jumlah androgen mulai berkurang, gen-gen androgen-dependent mengalami inaktivasi, dan mulai terjadi mekanisme apoptosis.7

3.

Reseptor Androgen

Jumlah reseptor androgen pada prostat tetap tinggi selama proses penuaan, dimungkinkan karena ada hubungan dengan kadar estrogen yang meningkat selama terjadinya penurunan androgen saat proses penuaan. Dengan demikian, ekspresi gen reseptor androgen semakin meningkat dan akibatnya prostat menjadi membesar, tanpa adanya mekanisme apoptosis, meskipun kadar androgen dan DHT sudah menurun.7

4.

Dihidrotestosteron dan 5-alfa reduktase

Konsentrasi DHT pada usia tua biasanya tetap sama, tidak menurun, karena aktivitas reseptor androgen yang juga tidak menurun meskipun kadar androgen menurun. Dengan demikian pertumbuhan sel terus terjadi. Enzim steroid 5-alfa reduktase yang mengubah testosteron menjadi DHT terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Tipe 1 adalah predominan pada jaringan ekstraprostat, seperti kulit dan hepar, dan tidak sensitif terhadap finasterid. Sedangkan tipe 2 adalah yang terbanyak ditemukan pada jaringan prostat, dan sensitif terhadap finasterid. Yang kemungkinan menyebabkan hiperplasia prostat ialah 5-alfa
7

reduktase tipe 2. Enzim ini paling banyak terdapat pada bagian stroma, dan sedikit pada epitel. Penurunan kadar androgen menyebabkan efek pada prostat berupa efek vaskular yaitu vasokonstriksi.7

5.

Estrogen

Peningkatan kadar estrogen menyebabkan induksi reseptor androgen, sehingga dapat menyebabkan hiperplasia jaringan prostat. Terdapat dua bentuk reseptor estrogen, tipe alfa dan tipe beta. Tipe alfa ditemukan pada sel-sel stroma prostat, dan tipe beta pada sel-sel epitel.7

6.

Regulasi Apoptosis

Mekanisme apoptosis adalah krusial bagi pengaturan homeostasis normal. Pada proses ini terjadi kondensasi sel dan fragmentasi, yang diikuti fagositosis dan degradasi oleh enzim lisosom. Apoptosis terjadi tanpa melibatkan sistem imun namun membutuhkan sintesis protein dan RNA. Androgen berupa testosteron dan DHT dapat mensupresi mekanisme apoptosis.7

7.

Interaksi Stroma dan Epitel

Sel-sel stroma dan epitel pada prostat dapat melakukan komunikasi secara parakrin. Pertumbuhan sel-sel epitel dapat diregulasi dengan interaksi dengan membrana basalis dan sel-sel stroma. Diferensiasi sel-sel epitel juga dipengaruhi oleh protein-protein pada stroma. Pada BPH, kemungkinan terdapat defek pada komponen stroma yang seharusnya bertugas menghambat proliferasi. Hubungan antara stroma dan epitel terjadi karena adanya growth factor pada matriks ekstraselular. Adanya hubungan ini dapat digunakan untuk terapi prostat dengan cara memodulasi mekanisme autokrin dan parakrin tersebut.7

8.

Growth factor

Growth factor adalah molekul-molekul peptida yang menstimulasi pembelahan sel dan proses diferensiasi sel. Interaksi antara growth factor dan hormon-hormon steroid dapat mengubah keseimbangan proliferasi sel dan apoptosis sehingga dapat menyebabkan BPH. Di
8

antaranya adalah basic fibroblastic growth factor/ bFGF, keratinocyte growth factor/ KGF, transforming growth factor/ TGF-, dan epidermal growth factor/ EGF.7

9.

Sel-Sel Inflamasi Prostat

Sumber tambahan dari growth factor pada jaringan prostat kemungkinan adalah sel-sel inflamasi yang menginfiltrasi jaringan prostat, yang diaktivasi oleh sel T. Infiltrasi sel T menyebabkan ekspresi vascular endothelial growth factor/ VEGF, suatu mitogen epitel yang poten sehingga dapat menyebabkan hiperplasia stroma dan kelenjar.7

10.

Faktor Genetik

Terdapat hubungan yang sangat kuat antara BPH dengan faktor familial. 95% pasien BPH memiliki riwayat keluarga inti pria yang juga menderita BPH. Kembar monozigot memiliki hubungan lebih besar dibandingkan kembar dizigot. Beberapa studi menunjukkan penyebab gangguan ini adalah mutasi DNA, hipometilasi DNA, abnormalitas ekspresi protein matriks nukleus, bermacam-macam polimorfisme genetik, dan ekspresi abnormal gen tumor.7

VII. PATOFISIOLOGI

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bawah atau lower urinary tract symptoms/ LUTS yang dahulu dikenal sebagai gejala prostatismus.8

Fase penebalan detrusor disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Apabila terjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih terasa tidak tuntas karena masih ada sisa urin dalam vesica. Lama-kelamaan akan terjadi kemacetan total ketika penderita tidak mampu lagi miksi. Suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter, akan terjadi inkontinensia paradoks.9 Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Normalnya rasio stroma:epitel adalah 2:1, pada BPH meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat. Dalam hal ini, massa prostat adalah penyebab suatu obstruksi komponen statik, sedangkan tonus otot polos prostat adalah komponen dinamik penyebab obstruksi prostat.8 Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan menyebabkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan gagal ginjal. Pada waktu miksi, penderita
10

harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria, dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.8,9

VIII. MANIFESTASI KLINIS

Secara umum gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada BPH ialah gejala dan tanda obstruksi dan iritasi:
o

Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala obstruksi di antaranya adalah harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi melemah, dan rasa belum puas sehabis miksi.9

Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemuh sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria.9

IX. DIAGNOSIS

Anamnesis

Anamnesis yang ditanyakan meliputi:

Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan).

Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.10

Saat ini telah dikembangkan International Prostate Symptoms Score/ IPSS, analisis gejalanya terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan
11

total maksimum 35. Keadaan pasien BPH digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh sebagai berikut: Skor 0-7: gejala ringan Skor 8-19: gejala sedang Skor 20-35: gejala berat10

12

Pemeriksaan Fisik

Dapat dilakukan pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli, teraba massa kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin. Perlu pula dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromuskular ekstremitas bawah.8,10

Pemeriksaan Rectal Toucher

Colok dubur atau digital rectal examination/ DRE merupakan pemeriksaan yang penting. Di sini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat, serta simetri antarlobus dan batas prostat. Di samping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus, untuk menyingkirkan adanya buli-buli neurogenik, juga mukosa rektum.8,10 Pada BPH, didapatkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras, teraba nodul, dan mungkin di antara lobus prostat tidak simetris.8

13

Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis:9

Derajat I II III IV

Colok dubur Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai Batas atas prostat tidak dapat diraba

Sisa volume urin <50 ml 50-100 ml >100 ml Retensi urin total

Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis Dapat melihat adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi ISK atau batu saluran kemih. Bila perlu dilakukan kultur urin dan pemeriksaan sitologi urin jika curiga keganasan.10

Faal ginjal Rata-rata gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 13.6%. Berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas.10

Prostate Specific Antigen/ PSA PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. Dalam hal ini jika kadar PSA tinggi, berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat laju pancaran urin lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Kadar PSA serum dapat meningkat pada peradangan, setelah manipulasi prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia tua. Serum PSA meningkat pada saat terjadinya retensi urin akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang normal berdasarkan usia:10 40-49 tahun: 0-2.5 ng/ml 50-59 tahun: 0-3.5 ng/ml 60-69 tahun: 0-4.5 ng/ml 70-79 tahun: 0-6.5 ng/ml

14

Voiding diaries/ catatan harian miksi Memiliki reliabilitas dan validitas yang cukup baik terutama pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urin yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau karena poliuria akibat konsumsi air berlebih. Sebaiknya dilakukan 7 hari berturut-turut.10

Uroflometri Pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara elektronik. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum, pancaran rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini mudah dan noninvasif.10

Pemeriksaan residual urin Post voiding residual urine/ PVR adalah sisa urin yang tertinggal di buli-buli setelah miksi. Jumlah normal resideu adalah 0.09-2.24 ml. Dilakukan secara invasif yaitu dengan melakukan pengukuran langsung melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, juga dapat secara noninvasif yaitu dengan mengukur lewat USG atau bladder scan.10
15

Pencitraan traktus urinarius Pemeriksaan radiologi tidak direkomendasikan kecuali pada pemeriksaan awal ditemukan adanya hematuria, ISK, insufisiensi renal, riwayat urolitiasis, dan riwayat pernah mengalami pembedahan urogenitalia. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu USG, yang dapat dilakukan jika akan menjalani terapi: 5-alfa reduktase inhibitor, termoterapi, pemasangan stent, TUIP, atau prostatektomi terbuka. Jika terdapat peningkatan PSA, pemeriksaan USG transrektal juga dibutuhkan.10

Uretrosistoskopi Tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin BPH, hanya dikerjakan saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Secara visual dapat mengetahui keadaan uretra, vesica, dan bulibuli.10

Pemeriksaan urodinamika Pressure flow study dapat membedakan pancaran urin yang lemah disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau karena kelemahan kontraksi otot detrusor. Merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Merupakan pemeriksaan invasif.10

X.

PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi adalah: memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal, mengurangi volume residu
16

urin setelah miksi, dan mencegah progresivitas penyakit. Dapat dilakukan dengan cara konservatif, medikamentosa, maupun pembedahan.8

Watchful Waiting

Ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS di bawah 7, yaitu keluhan ringan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apa pun, dan setiap 6 bulan pasien diminta untuk kontrol mengenai keluhan yang dirasakan, skor IPSS, pemeriksaan laju pancaran urin dan volume residu urin.10 Edukasi yang dapat diberikan pada pasien yang menjalani watchful waiting adalah berupa reassurance, periodic monitoring dan lifestyle advice, sesuai European Association of Urology adalah sebagai berikut: Penjelasan mengenai prostat, BPH, dan LUTS, meyakinkan pasien bahwa dengan mengendalikan gaya hidup dengan baik maka komplikasi-komplikasi buruk dapat dihindari. Penjelasan mengenai kanker prostat dan risikonya. Pasien harus secara berkala memeriksaan diri. Asupan cairan dikurangi pada waktu-waktu tertentu misalnya pada malam hari sebelum tidur, atau sebelum pergi keluar rumah untuk mencegah pasien menahan miksi. Total asupan cairan yang direkomendasikan adalah 1500 ml. Menghindari alkohol dan kafein yang memiliki efek diuretik dan iritan. Teknik-teknik relaksasi seperti latihan napas ketika pasien menghadapi situasi-situasi sulit berkemih dan gejala-gejala iritasi. Bladder re-training untuk meningkatkan kapasitas buli-buli. Pembatasan penggunaan obat-obatan yang bisa meningkatkan frekuensi berkemih. Pemberian bantuan jika terjadi gangguan mobilisasi atau status mental.11

Medikamentosa 1. Antagonis adrenergik reseptor Bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamin adalah yang pertama ditemukan, namun kurang disukai karena memiliki komplikasi sistemik berupa hipotensi postural dan kelainan kardiovaskular lain. Efek kardiovaskular berupa dizziness dan astenia.
17

Penyulit lain dapat berupa ejakulasi retrograd yang banyak terjadi pada pemakaian tamsulosin. Dibandingkan dengan 5-alfa reduktase inhibitor, golongan ini lebih efektif dalam meningkatkan skor IPSS, dan pemberian kombinasi dengan finasteride hasilnya tidak berbeda. Karena efeknya pada kardiovaskular, untuk terapi jangka panjang perlu dilakukan titrasi dosis obat.8 Terbagi menjadi: a. Nonselektif (fenoksibenzamin) b. Selektif, short-acting (prazosin, afluzosin, indoramin) c. Selektif, long-acting (doksazosin, terazosin, tamsulosin)

2. 5-alfa reduktase inhibitor (finasteride, dutasteride) Menghambat pembentukan DHT dari testosteron, sehingga menurunkan sintesis protein dan replikasi sel. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak kemerahan di kulit. Dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.8

3. Fitofarmaka (Pygeum africanum, Serenoa repens, dll) Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan dapat dipakai, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktifnya belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai antiestrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin/ SHBG, inhibisi basic fibroblast growth factor/ bFGF dan epidermal growth factor/ EGF, mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat.8

Pembedahan

Pembedahan direkomendasikan pada pasien yang: tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi urin, ISK berulang, hematuria, gagal ginjal, batu saluran kemih, atau penyulit lain.

18

1. Prostatektomi terbuka Dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Dianjurkan untuk prostat yang sangat besar, >100 gram. Penyulit yang sering terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd.8

2. Endoneurologi a. TURP Reseksi transuretra dengan menggunakan cairan irigan/ pembilas agar daerah yang direseksi tidak tertutup darah. Cairan yang digunakan berupa larutan nonionik, agar tidak terjadi hantaran listrik saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan murah adalah aquades. Namun sifatnya hipotonik sehingga dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka saat reseksi, sehingga dapat terjadi hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air yaitu sindroma TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan bradikardi. Lama-kelamaan menyebabkan edema otak. Sehingga operator harus membatasi untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.8

Untuk prostat yang tidak terlalu besar dapat dilakukan TUIP atau BNI/ bladder neck incision. Penyulit TURP selama operasi di antaranya perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi. Pasabedah dini dapat terjadi perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik, dan pascabedah lanjut dapat terjadi inkontinensi, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktur uretra.8

19

b.

Elektrovaporisasi Sama dengan TURP namun memakai roller ball spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat untuk membuat vaporisasi kelenjar prostat. Untuk prostat yang tidak terlalu besar, <50 gram.8

c.

Laser prostatektomi Kelenjar prostat pada suhu 60-65C akan mengalami koagulasi dan pada suhu lebih dari 100C mengalami vaporisasi. Komplikasi lebih sedikit namun membutuhkan terapi ulang setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak bisa diambil jaringan untuk PA.8

3. Tindakan invasif minimal a. Termoterapi Pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 MHz dipancarkan melalui antena di dalam uretra. Sehingga terjadi destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi.8 b. TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate) Memakai energi frekuensi radio yang menimbulkan panas sehingga terjadi nekrosis jaringan prostat.8 c. Pemasangan stent Dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat lewat dengan leluasa. Dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.8 d. HIFU (High Intensity Focused Ultrasound) Energi panas untuk nekrosis berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik berfrekuensi 0.5-1.0 MHz. Alat diletakkan transrektal dan difokuskan pada prostat.8

XI. KOMPLIKASI

ISK Batu saluran kemih Hidronefrosis, hidroureter Gagal ginjal

Hernia Hemoroid8

20

XII. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari derajat penyakit dan penatalaksanaan yang adekuat, namun BPH adalah penyakit yang 90% ditemukan pada pria di atas 70 tahun, sehingga kemungkinan untuk terjadi berulang lebih besar, meskipun kemungkinan tersebut menurun jika telah dilakukan terapi berupa pembedahan.

21

KESIMPULAN

Pasien laki-laki 69 tahun datang dengan keluhan sulit BAK dan didiagnosis menderita BPH, serta dilakukan operasi TURP. Prostat adalah organ pada sistem urogenitalia pria yang berfungsi untuk memberi suasana alkalis pada semen, yang letaknya di sekitar uretra pars prostatika sehingga akan menyebabkan obstruksi bila mengalami pembesaran. Penyebab BPH diduga ada bermacam-macam, di antaranya faktor androgen, estrogen, dan genetik. Gejala klinis yang dapat muncul berupa gejala obstruktif dan iritasi. Penatalaksanaan BPH dapat berupa konservatif, medikamentosa, dan pembedahan. Komplikasi yang dapat terjadi berupa ISK, batu saluran kemih, sampai gagal ginjal.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. 2. Muruve NA. Prostate Anatomy. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1923122-overview. Accessed February 16, 2014. 3. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2004. 4. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1996. 5. Deters LA. Benign Prostatic Hyperthrophy. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Accessed February 16, 2014. 6. Tanagho EA, McAninch JW. Smiths General Urology. 16th ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2003. 7. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. 8. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. 3rd ed. Jakarta: CV Sagung Seto; 2011. 9. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2003. 10. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Available at: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. Accessed February 16, 2014. 11. Rosette J, Alivizatos G, Madersbacher S, Sanz CR, Nordling J, Emberton M, et al. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European Association of Urology; 2006. Available at:

http://www.uroweb.org/fileadmin/user_upload/Guidelines/11%20BPH.pdf. Accessed February 16, 2014.

23

Anda mungkin juga menyukai