dampaknya di seluruh dunia. Ketakutan akan munculnya the new Great Depression membawa
banya kekhawatiran dalam berbagai bidang di seluruh dunia. Kian hari kian banyak negara yang
harus mengalami penurunan pada pertumbuhan ekonominya, yang merupakan efek domina dari
krisis global ini. Selain itu, jumlah konglomeratnya pun ikut berkurang hingga meningkatnya
jumlah pengangguran dan semakin banyak orang-orang yang memilih bunuh diri karena tidak
sanggup bertahan dalam kondisi ekonomi yang kian sulit.
Membaca berita-berita yang hadir dalam sektor ekonomi baik domestik maupun global, hamper
semuanya mengkaitkan kondisi-kondisi yang disebutkan tersebut dengan krisis ekonomi (atau
krisis finansial?) global. Lihat berita yang dituliskan di Kompas 8 Januari 2009 dengan judul
Bunuh Diri karena Bangkrut yang merupakan berita yang bertemakan Krisis Ekonomi.
Selain itu pada berita tanggal 13 Maret 2009, Kompas menginformasikan perihal menurunnya
jumlah orang-orang kaya di dunia pada tahun 2008 tercatat 1125 orang sebagai miliarder
sedangkan pada 2009 jumlah tersebut turun sepertiga menjadi 793 orang. Hal ini terjadi akibat
banyaknya miliader yang mengalami penyusutan pada asetnya akibat krisis global yang terjadi.
Kemudian fakta-fakta yang juga mulai diberitakan adalah bahwa negara-negara Asia yang
diharapkan mampu mengawali pulihnya perekonomian yang ditargetkan akan terjadi di tahun
2010 harus menelan kekecewaan akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi China pada triwulan
IV-2008 menjadi 6,8 persen dari sebelumnya 8 persen. Pada saat bersamaan seluruh
perekonomian negara Industri Baru yang disebut Macan Asia mangalami kontraksi ekonomi.
Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan mencatat pertumbuhan negatif , masing-masing
minus 4,2 persen; minus 3,4 persen; minus 2,5 persen; dan minus 8,4 persen. Sedangkan negara
maju sendiri sudah mengalami resesi dengan pertumbuhan triwulan IV-2008 untuk AS minus 0,8
persen; Inggris minus 1,2 persen; Uni Eropa minus 1,8 persen; dan Kanada minus 7 persen.
Sedang perihal kondisi ekonomi di tahun 2009 semakin sulit diprediksikan. IMF terpaksa berkali-
kali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, terakhir pada 0,5 persen untuk tahun
2009. Bahkan Bank Dunia (World Bank) meramalkan ekonomi global akan mengalami kontraksi
(pertumbuhan negatif) hingga 1-2 persen.
Semua kondisi ini merupakan bukti bahwa fluktuasi ekonomi dan finansial akan mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan. Seperti yang diuangkapkan oleh A. Prasetyantoko (2008: 15),
“setiap masalah yang terjadi pada pasar keuangan akan selalu berdampak pada
pasar keuangan akan selalu berdampak pada perekonomian secara umum, yang
akhirnya memengaruhi kehiduoan masyarakat luas. Tinggal derajatnya saja yang
berbeda-beda. Dalam kasus fluktuasi yang bersifat ringan, kebijakan pemerintah
melalui berbagai instrument kebijakannya bisa meredamnya. Demikian pula
dengan Bank Sentral yang salah satu tugasnya meredam berbagai gejolak di pasar
keuangan agar tidak berdampak langsung pada keberlangsungan (sustainability)
perekonomian yang pada akhirnya akan memengaruhi hajat hidup orang banyak”
Krisis ekonomi global ini memang menjadi tugas berat berat bagi setiap pemerintah di seluruh
negara di dunia. Mereka harus mampu melakukan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
membantu terciptanya kembali stabilitas ekonomi agar tidak tumbang dalam ekonomi global.
Serta harus mampu menjaga kepercayaan rakyatnya agar tidak muncul lagi masalah baru yang
akan semakin meperburuk kondisi ekonomi domestik.
Hingga kini, hampir semua orang bertanya, kapan krisis ini akan berakhir? Apakah sudah
mencapai titik terendah atau masih akan menyusur lebih dalam lagi? Pertanyaan-pertanyaan ini
akan terus hadir jika kestabilan ekonomi dunia tidak kunjung membaik dan daya beli masyarakat
terus menurun. Hingga kini semua negara sedang berjuang melawan keterpurukan yang lebih
dalam lagi akibat krisis ekonomi ini. Sekarang saatnya semua negara memanfaatkan semua
sarana yang dimilikinya baik dengan memaksimalkan potensi dalam negeri maupun dengan
menjalin kerja sama dengan negara lain untuk menyelamatkan kedaulatan negara dan
kesejahteraan rakyatnya denga tetap mempertimbangkan akibat tindakannya untuk masa depan
baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Krisis global ini terjadi bukanlah merupakan sebuah proses yang mengejutkan bagi mereka yang
terus mengamati perkembanga ekonomi global. Proses resesi ekonomi ini mulai muncul sejak
tahun 2007.
Satu pendapat tambahan mengenai latar belakang krisis ekonomi ini adalah bahwa salah satu
sumber terjadinya masalah ini adalah karena kelemahan system Bretton Woods yang dinilai
memberikan hegemoni yang terlalu besar bagi Amerika Serikat di dalam system dunia sehingga
ketika terjadi guncangan ekonomi di dalam negeri Amerika Serikat maka akan member efek
domino bagi negara-negara lain akibat digunakannya Dollar AS sebagai mata uang internasional.
Sebuah kondisi yang dirasa cukup bodoh karena Bretton Woods lahir karena adaya trauma Great
Depression di tahun 1930’an namun ternyata pada akhirnya membawa ke The New Great
Depression yang dampaknya jauh lebih lusa lagi di tahun 2008-2009.
Analisis
Terjadinya krisis ekonomi global 2008-2009 bagi sebagian orang adalah bukti kegagalan dari
kapitalisme yang menyerahkan pasar kepada para swasta yang malah memunculkan para
spekulan yang lebih cenderung bersikap tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan
kepentingannya saja. Yang berarti bahwa pada pada akhirnya krisis ekonomi global ini malah
membawa ekonomi menjauh dari liberalism dan kapitalisme. Hal ini ditandai dengan tindakan
Amerika Serikat yang dikenal sebagai pengikut Kapitalisme dan Liberalisme yang melakukan
bailout (dana talangan pemerintah) yang merupakan noda bagi pelaksanaan liberalism karena
besarnya peranan pemerintah dalam menangani krisis ini.
Liberalism yang membawa semangat kebebasan individu yang berusaha menekan peranan dalam
ekonomi dan memberikan peluang kepada swasta untuk mengelola pasar pada akhirnya
membawa mimpi buruk bagi ekonomi masa kini. Dalam liberalism ekonomi dimunculkan
“interdependensi” yang pada akhirnya berdampak buruk bagi perekonomian saat ini. Akibat
munculnya tingkat ekspor yang tinggi dari satu negara ke negara lain malah menimbulkan
masalah yang berkepanjangan. Dalam krisis ekonomi global ini, negara yang menumpukan
pemasukan domestiknya kepada ekspor yang dilakukannya ke negara-negara lain terutama
kepada Amerika Serikat dan Eropa akan menelan pil pahit. Sebab krisis ekonomi global
membawa negara-negara tersebut menjadi awal dari terjadinya resesi. Akhirnya negara
pengekspor tersebut yang tadinya tidak terganggu oleh krisis ekonomi tersebut akhirnya
mendapat efek domino akibat berkurangnya daya beli konsumen yang selama ini menjadi tujuan
penjualannya, yang pada akhirnya membawa negara pengekspor tersebut mengalami penurunan
jumlah devisa yang masuk atau mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Hal ini terbukti dengan kondisi yang nampak di Jepang, Korea Selatan yang menjadikan Amerika
Serikat dan Eropa sebagaia pasar utamanya. Negara-negara tersebut menurun pertumbuhan
ekonomi akibatnya tertutupnya pasar yang ditujunya akibat menurunnya daya beli konsumen dan
upaya pemerintah masing-masing negara untuk memproteksi usaha domestiknya agar bisa terus
bertahan.
Dalam memahami posisi setiap negara akhirnya semua seolah bersepakata bahwa inilah saatnya
peran aktif pemerintah mulai dilakukan. Hal ini diawali oleh sikap pemerintah AS yang akhirnya
menyediakan dana talangan guna membantu perusahaan-perusahaan yang sudah bangkrut secara
mendadak guna menghidupkan kembali ekonomi domestik. Hal ini pun diikuti oleh sikap negara-
negara lain seperti Indonesia yang meningkatkan jumlah jaminan dana agar meningkatkan
kepercayaan masyarakat agar tetap menyimpan uangnya di Bank. Karena simpanan masyarakat
tersbut penting sebagai dana yang dapat dimanfaatkan sebagai dana bagi investor yang ingin
meminjam dana di Bank. Hal ini diharapkan agar investasi dan ekonomi domestik bisa terus
bernafas meski pada akhirnya tetap saja ngos-ngosan dalam melawan arus krisis ekonomi global.
Namun, paling tidak semua tindakan pemerintah ini memunculkan optimism di masyarakat
bahwa krisis global ini akan segera berakhir dan negara mereka akan bisa bangkit kembali meski
tingkat pertumbuhan masing-masing negara akan berbeda satu sama lain.
Selain itu, di masa krisis ini pemerintah berusaha meningkatkan kerjasama dengan negara-negara
lain dalam upaya mendapatkan dukungan dengan negara lain, mulai dengan upaya untuk
memperoleh pinjaman dari negara-negara lain atau rezim internasional, memperoleh aliran dana
beruapa investasi serta dengan menyatukan kekuatan untuk menekan tempat-tempat atau negara-
negara Tex Heaven yang dianggap sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi global ini.
Semua ini menujukkan bahwa saat ini Liberalisme sudah tidak lagi sesuai dengan zaman
melainkan harus berpindah aliran ke merkantilisme. Semau hal ini didukung dengan pendapat
Jerman dan Perancis yang sempat mengancam akan walkout dari KTT G-20 karena menganggap
mengabaikan forum ini mengabaikan akan pentingnya pengaturan keuangan. Pada akhirnya
Presiden Amerika, Barack Obama, pun mengakui hal yang sama bahwa lemahnya peraturan
sektor keuangan di Amerika Serikat member kontribusi pada krisis global. Kelemahan
pengaturan itu membuat aksi spekulasi di sector keuangan menjadi amat liar.
Dengan adanya kesepakatan akan pentingnya pengaturan sector keuangan maka ini menjadi bukti
bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan adalah dengan berpindah haluan kea rah
merkantilisme. Dimana dalam hal ini tidak berarti bahwa peran swasta akan dimatikan melainkan
hanya ditertibkan. Pemerintah harus mampu menempatkan posisinya dengan baik yakni sebagai
pengatur, pengawas dan penyokong bagi ekonomi nasional. Swasta dibiarkan dan diberi hak
untuk melakukan usaha guna menambah jumlah lapangan kerja dan mewujudkan stabilitas
ekonomi domestik yang diharapkan bisa terus berputar dengan hadirnya swasta atau individu
dalan pasar.
Ketika membaca lebih jelas apa yang terjadi pada masyarakat global saat ini yakni krisis ekonomi
global, maka kita bisa melihat bahwa betapa dunia ini telah terkoneksi sedemikian rupa sehingga
menghasilkan efek domina yang mengerikan ketika di salah satu negara core mengalami krisis
atau pun resesi. Akibat terbentuknya system dunia yang mengintegrasikan dunia, maka dampak
krisis ini menjadi begitu terasa ke seluruh belahan dunia. Dunia yang kini secara struktural
membentuk sebuah system yang saling terintegrasi satu sama lain membuat posisi seluruh negara
menjadi diperlukan dalam upaya keluar dari krisis ekonomi global. Hal ini terlihat dengan
maraknya konfrensi-konfrensi yang mempertemukan persepsi negara-negara untuk membahas
mengenai krisis ekonomi global. Pada akirnya setiap negara menyadari bahwa dalam menangani
krisis ekonomi global ini, yang dilakukan tidaklah hanya mengandalkan kebijakan moneter
masing-masing negara saja, tetapi perlu adanya kerja sama internasional untuk mengoptimalkan
dampak positif dari setiap kebijakan stimulus fiskal.
Keberadaan Bretton Woods system sebenarnya mulai menggelisahkan banyak negara sehingga
muncul insiatif dari negara-negara tertentu untuk menjalin kerjasama tersendiri dalam mengatur
pembayaran antarnegara tanpa perlu mempergunakan dollar AS. Hal ini dicontohkan dengan
tindakan Indonesia yang diwakili oleh Bank Indonesia meneken perjanjian bilateral currency
swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 trilliun atau 100 miliar renminbi. Di
bawah paying perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata
uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-
masing dengan negara mitra dagang.
Dalam hal ini tidak perlu lagi ada mata uang perantara –yang menjadi tugas dollar AS selama ini-
dalam perdagangan bilateral atau bahkan regional (seperti mata uang Euro di Uni Eropa).
Akhirnya perjanjian semacam ini kian marak terutama di ASEAN + 3, yakni sepuluh negara
ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos
dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.
Selain itu seluruh negara harus berusaha membangun pasar domestiknya masing-masing yakni
dengan mengembangkan pasar-pasar tradisional sehingga akan menghidupkan secara langsung
ekonomi masyarakat. Keberadaan Mall-mall seperti di Indonesia hanya akan mematikan pasar
domestik atau tradisional dan sungguh ironis bahwa di tengah kondisi harus bersaing dengan
mall-mall, pasar tradisional malah tidak diperhatikan oleh pemerintah. Untuk itu, dalam
menyikapi krisis ekonomi, maka pemerintah perlu memberikan dukungan penuh terhadap produk
domestik dengan memberikan promosi bahkan jika perlu membuat aturan agar konsumsi atas
produk domestik meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetiantono, A Tony. 2009.”Menuju Sistem Moneter Dunia Baru” dalam Kompas, 30 Maret
2009.
Syarkawi, Rauf.2009. “Signifikasi Kerja Sama Internasional” dalam Fajar Makassar, 2 April
2009.
_______. 2009. “Gates Orang Terkaya di Dunia” dalam Kompas, 13 Maret 2009.
______. 2009. “Bunuh Diri karena Bangkrtu” dalam Kompas, 8 Januari 2009.
______. 2009. “Sektor Keuangan Diatur Ketat” dalam Kompas, 3 April 2009.