Anda di halaman 1dari 10

Diakhir tahun 2008 muncul gelombang besar dalam ekonomi yang kian hari kian terasa

dampaknya di seluruh dunia. Ketakutan akan munculnya the new Great Depression membawa
banya kekhawatiran dalam berbagai bidang di seluruh dunia. Kian hari kian banyak negara yang
harus mengalami penurunan pada pertumbuhan ekonominya, yang merupakan efek domina dari
krisis global ini. Selain itu, jumlah konglomeratnya pun ikut berkurang hingga meningkatnya
jumlah pengangguran dan semakin banyak orang-orang yang memilih bunuh diri karena tidak
sanggup bertahan dalam kondisi ekonomi yang kian sulit.

Membaca berita-berita yang hadir dalam sektor ekonomi baik domestik maupun global, hamper
semuanya mengkaitkan kondisi-kondisi yang disebutkan tersebut dengan krisis ekonomi (atau
krisis finansial?) global. Lihat berita yang dituliskan di Kompas 8 Januari 2009 dengan judul
Bunuh Diri karena Bangkrut yang merupakan berita yang bertemakan Krisis Ekonomi.

“Setelah kematian manajer investasi asal Perancis, Thierry de la Villehucher, pada


bulan lalu karena kerugian satu milar dollar AS lebih, kisah kematian terkait krisis
masih terus berlanjut. Jumlah kekayaan tidak mampu menangkal kegundahan
akibat terpaan krisi global yang merambah ke mana-mana.
Pebisnis kaya raya Jerman, Adolf Merckle, menabrakkan diri ke kereta api yang
sedang melaju di Blaubeuren di barat daya Jerman, Selasa (6/1). Kinerja kerajaan
bisnis Merckle memberuk terkena dampak krisis global. Masalah ditambah lagi
dengan kerugian sangat besar pada investasi di perdagangan saham Volkswagen
AG.”
Dalam berita yang sama disebutkan pula usaha bunuh diri seorang pengusaha Amerika Serikat di
Chicago, Steven Good, dengan menembak kepalanya sendiri. Di akhir beritanya diungkapkan
mengenai tingkat bunuh diri di Jepang yang amat tinggi dan ditakutkan akan terus meningkat
akibat krisis ekonomi. Kutipan tersebut menampilkan bahwa betapa krisis ekonomi global ini
mempengaruhi usaha-usaha kecil, menengah hingga besar sehingga menuntut para pelaku
ekonomi harus kuat mental dan modal dalam menyikapi krisis global ini.

Selain itu pada berita tanggal 13 Maret 2009, Kompas menginformasikan perihal menurunnya
jumlah orang-orang kaya di dunia pada tahun 2008 tercatat 1125 orang sebagai miliarder
sedangkan pada 2009 jumlah tersebut turun sepertiga menjadi 793 orang. Hal ini terjadi akibat
banyaknya miliader yang mengalami penyusutan pada asetnya akibat krisis global yang terjadi.
Kemudian fakta-fakta yang juga mulai diberitakan adalah bahwa negara-negara Asia yang
diharapkan mampu mengawali pulihnya perekonomian yang ditargetkan akan terjadi di tahun
2010 harus menelan kekecewaan akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi China pada triwulan
IV-2008 menjadi 6,8 persen dari sebelumnya 8 persen. Pada saat bersamaan seluruh
perekonomian negara Industri Baru yang disebut Macan Asia mangalami kontraksi ekonomi.
Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan mencatat pertumbuhan negatif , masing-masing
minus 4,2 persen; minus 3,4 persen; minus 2,5 persen; dan minus 8,4 persen. Sedangkan negara
maju sendiri sudah mengalami resesi dengan pertumbuhan triwulan IV-2008 untuk AS minus 0,8
persen; Inggris minus 1,2 persen; Uni Eropa minus 1,8 persen; dan Kanada minus 7 persen.

Sedang perihal kondisi ekonomi di tahun 2009 semakin sulit diprediksikan. IMF terpaksa berkali-
kali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, terakhir pada 0,5 persen untuk tahun
2009. Bahkan Bank Dunia (World Bank) meramalkan ekonomi global akan mengalami kontraksi
(pertumbuhan negatif) hingga 1-2 persen.

Semua kondisi ini merupakan bukti bahwa fluktuasi ekonomi dan finansial akan mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan. Seperti yang diuangkapkan oleh A. Prasetyantoko (2008: 15),

“setiap masalah yang terjadi pada pasar keuangan akan selalu berdampak pada
pasar keuangan akan selalu berdampak pada perekonomian secara umum, yang
akhirnya memengaruhi kehiduoan masyarakat luas. Tinggal derajatnya saja yang
berbeda-beda. Dalam kasus fluktuasi yang bersifat ringan, kebijakan pemerintah
melalui berbagai instrument kebijakannya bisa meredamnya. Demikian pula
dengan Bank Sentral yang salah satu tugasnya meredam berbagai gejolak di pasar
keuangan agar tidak berdampak langsung pada keberlangsungan (sustainability)
perekonomian yang pada akhirnya akan memengaruhi hajat hidup orang banyak”
Krisis ekonomi global ini memang menjadi tugas berat berat bagi setiap pemerintah di seluruh
negara di dunia. Mereka harus mampu melakukan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
membantu terciptanya kembali stabilitas ekonomi agar tidak tumbang dalam ekonomi global.
Serta harus mampu menjaga kepercayaan rakyatnya agar tidak muncul lagi masalah baru yang
akan semakin meperburuk kondisi ekonomi domestik.

Hingga kini, hampir semua orang bertanya, kapan krisis ini akan berakhir? Apakah sudah
mencapai titik terendah atau masih akan menyusur lebih dalam lagi? Pertanyaan-pertanyaan ini
akan terus hadir jika kestabilan ekonomi dunia tidak kunjung membaik dan daya beli masyarakat
terus menurun. Hingga kini semua negara sedang berjuang melawan keterpurukan yang lebih
dalam lagi akibat krisis ekonomi ini. Sekarang saatnya semua negara memanfaatkan semua
sarana yang dimilikinya baik dengan memaksimalkan potensi dalam negeri maupun dengan
menjalin kerja sama dengan negara lain untuk menyelamatkan kedaulatan negara dan
kesejahteraan rakyatnya denga tetap mempertimbangkan akibat tindakannya untuk masa depan
baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Penyebab Krisis Global

Krisis global ini terjadi bukanlah merupakan sebuah proses yang mengejutkan bagi mereka yang
terus mengamati perkembanga ekonomi global. Proses resesi ekonomi ini mulai muncul sejak
tahun 2007.

“Demikian laporan dari "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014" yang dirilis


Bank Indonesia, Rabu (15/4/2009).
Laporan BI tersebut menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis
telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait
dengan subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan
bibit-bibit terjadinya krisis yang selanjutnya meluar dan menjadi krisis likuiditas
terburuk di berbagai belahan dunia.
Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang
diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki
sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko
tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni
sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005.
Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun
sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada
akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang
terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage
tersebut ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan
di pasar finansial global.
Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime
mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities
(MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan
suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan
di AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60%
dari seluruh outstanding kredit perumahan.
Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara
lain lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses
sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan
melakukan penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada
investor yang berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka
pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui
rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised
Debt Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat,
persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami
peningkatan pesat. Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah
melebihi US$ 500 milar, dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang
bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$
150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa
bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan
CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh
lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing
terhadap risiko dari produk-produk derivatif di atas.
Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi
ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan
terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi
pukulan berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur
yang mengalami gagal bayar.
Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam
penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang
terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers.
Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis
ini.
Berikut rentetan kejadian setelah pernyataan tidak sanggup bayar dari BNP
Paribas, yang sekaligus menandai perjalanan krisis terburuk sejak perang dunia II
ini.
Tahun 2007:
Agustus: BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan
subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar
masing-masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euro. The Fed menurunkan
suku bunga menjadi 4,75%.
Oktober: Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS
Bank (Swiss), Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England (BOE) melakukan
injeksi likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-
besaran (bank run). The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi
4,5%.
Desember: The Fed mengambil langkah memompa likuiditas melalui kerjasama
dengan lima bank sentral lain, yaitu Bank of Canada, BOE, Bank of Japan, ECB,
dan Swiss National Bank. The Fed memangkas suku bunga 25 bps menjadi
4,25%.
Tahun 2008:
Januari-Maret: Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001.
The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps
menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu
dari lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP
Morgan Chase, menyusul kerugian besar yang diderita.
September: Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan
Freddie Mac, yang menjadi progam bailout terbesar dalam sejarah AS selama ini.
Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi
besar pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis.
American International Group (AIG), perusahaan asuransi terbesar di AS, juga
diambang kebrangkutan. The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar
US$ 85 miliar. Dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil,
seperti tercermin dari turunnya angka penjualan eceran dan meningkatnya
pengangguran di AS dan berbagai negara Eropa.
Oktober: Intensitas krisis ke seluruh dunia semakin meningkat, dipicu oleh
kebangkrutan Lehman Brothers. Flight to quality memicu outflows yang
menyebabkan melemahnya nilai tukar. Pemerintah AS akhirnya mengumumkan
paket penyelamatan sektor finansial sebesar US$ 700 miliar, Inggris
mengumumkan paket penyelamatan perbankan sedikitnya sebesar 50 miliar
poundsterling. Jerman menyediakan bantuan sebesar 50 miliar poundsterling
untuk menyelamatkan Hypo Real Estate Bank. Tindakan tersebut juga ditambah
aksi bersama penurunan suku bunga sebesar 0,5% dengan lima bank sentral lain
yaitu ECB, BoE, Bank of Canada, Swedia, dan Swiss.
November-Desember: Tiga negara yaitu Ukraina, Pakistan, dan Eslandia
menerima bantuan finansial dari IMF, disusul oleh Hongaria dan Belarusia. AS
secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh Economic Research
National Bureau of (NBER). The Fed terus menurunkan suku bunga hingga
mencapai level 0,25%, yang merupakan level terendah dalam sejarah.
Tahun 2009:
Januari-Februari: Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat
sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor
Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir.
Inggris secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi.
Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838
miliar. Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan
bank senilai US$ 1,5 triliun.” ( http://id.news.yahoo.com/dtik/20090415/tbs-
kronologi-dan-latar-belakang-krisis-dc39929.html )
Kronologis dan latar belakang terjadi krisis ekonomi di atas adalah sebuah informasi yang telah
diterima bersama kebenarannya sehingga yang perlu dipikirkan bukan lagi apa yang terjadi
sebelumnya melainkan bagaimana cara untuk menyelesaikannya.

Satu pendapat tambahan mengenai latar belakang krisis ekonomi ini adalah bahwa salah satu
sumber terjadinya masalah ini adalah karena kelemahan system Bretton Woods yang dinilai
memberikan hegemoni yang terlalu besar bagi Amerika Serikat di dalam system dunia sehingga
ketika terjadi guncangan ekonomi di dalam negeri Amerika Serikat maka akan member efek
domino bagi negara-negara lain akibat digunakannya Dollar AS sebagai mata uang internasional.
Sebuah kondisi yang dirasa cukup bodoh karena Bretton Woods lahir karena adaya trauma Great
Depression di tahun 1930’an namun ternyata pada akhirnya membawa ke The New Great
Depression yang dampaknya jauh lebih lusa lagi di tahun 2008-2009.

Analisis

Terjadinya krisis ekonomi global 2008-2009 bagi sebagian orang adalah bukti kegagalan dari
kapitalisme yang menyerahkan pasar kepada para swasta yang malah memunculkan para
spekulan yang lebih cenderung bersikap tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan
kepentingannya saja. Yang berarti bahwa pada pada akhirnya krisis ekonomi global ini malah
membawa ekonomi menjauh dari liberalism dan kapitalisme. Hal ini ditandai dengan tindakan
Amerika Serikat yang dikenal sebagai pengikut Kapitalisme dan Liberalisme yang melakukan
bailout (dana talangan pemerintah) yang merupakan noda bagi pelaksanaan liberalism karena
besarnya peranan pemerintah dalam menangani krisis ini.

Liberalism yang membawa semangat kebebasan individu yang berusaha menekan peranan dalam
ekonomi dan memberikan peluang kepada swasta untuk mengelola pasar pada akhirnya
membawa mimpi buruk bagi ekonomi masa kini. Dalam liberalism ekonomi dimunculkan
“interdependensi” yang pada akhirnya berdampak buruk bagi perekonomian saat ini. Akibat
munculnya tingkat ekspor yang tinggi dari satu negara ke negara lain malah menimbulkan
masalah yang berkepanjangan. Dalam krisis ekonomi global ini, negara yang menumpukan
pemasukan domestiknya kepada ekspor yang dilakukannya ke negara-negara lain terutama
kepada Amerika Serikat dan Eropa akan menelan pil pahit. Sebab krisis ekonomi global
membawa negara-negara tersebut menjadi awal dari terjadinya resesi. Akhirnya negara
pengekspor tersebut yang tadinya tidak terganggu oleh krisis ekonomi tersebut akhirnya
mendapat efek domino akibat berkurangnya daya beli konsumen yang selama ini menjadi tujuan
penjualannya, yang pada akhirnya membawa negara pengekspor tersebut mengalami penurunan
jumlah devisa yang masuk atau mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Hal ini terbukti dengan kondisi yang nampak di Jepang, Korea Selatan yang menjadikan Amerika
Serikat dan Eropa sebagaia pasar utamanya. Negara-negara tersebut menurun pertumbuhan
ekonomi akibatnya tertutupnya pasar yang ditujunya akibat menurunnya daya beli konsumen dan
upaya pemerintah masing-masing negara untuk memproteksi usaha domestiknya agar bisa terus
bertahan.

Dalam memahami posisi setiap negara akhirnya semua seolah bersepakata bahwa inilah saatnya
peran aktif pemerintah mulai dilakukan. Hal ini diawali oleh sikap pemerintah AS yang akhirnya
menyediakan dana talangan guna membantu perusahaan-perusahaan yang sudah bangkrut secara
mendadak guna menghidupkan kembali ekonomi domestik. Hal ini pun diikuti oleh sikap negara-
negara lain seperti Indonesia yang meningkatkan jumlah jaminan dana agar meningkatkan
kepercayaan masyarakat agar tetap menyimpan uangnya di Bank. Karena simpanan masyarakat
tersbut penting sebagai dana yang dapat dimanfaatkan sebagai dana bagi investor yang ingin
meminjam dana di Bank. Hal ini diharapkan agar investasi dan ekonomi domestik bisa terus
bernafas meski pada akhirnya tetap saja ngos-ngosan dalam melawan arus krisis ekonomi global.
Namun, paling tidak semua tindakan pemerintah ini memunculkan optimism di masyarakat
bahwa krisis global ini akan segera berakhir dan negara mereka akan bisa bangkit kembali meski
tingkat pertumbuhan masing-masing negara akan berbeda satu sama lain.

Selain itu, di masa krisis ini pemerintah berusaha meningkatkan kerjasama dengan negara-negara
lain dalam upaya mendapatkan dukungan dengan negara lain, mulai dengan upaya untuk
memperoleh pinjaman dari negara-negara lain atau rezim internasional, memperoleh aliran dana
beruapa investasi serta dengan menyatukan kekuatan untuk menekan tempat-tempat atau negara-
negara Tex Heaven yang dianggap sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi global ini.
Semua ini menujukkan bahwa saat ini Liberalisme sudah tidak lagi sesuai dengan zaman
melainkan harus berpindah aliran ke merkantilisme. Semau hal ini didukung dengan pendapat
Jerman dan Perancis yang sempat mengancam akan walkout dari KTT G-20 karena menganggap
mengabaikan forum ini mengabaikan akan pentingnya pengaturan keuangan. Pada akhirnya
Presiden Amerika, Barack Obama, pun mengakui hal yang sama bahwa lemahnya peraturan
sektor keuangan di Amerika Serikat member kontribusi pada krisis global. Kelemahan
pengaturan itu membuat aksi spekulasi di sector keuangan menjadi amat liar.

Dengan adanya kesepakatan akan pentingnya pengaturan sector keuangan maka ini menjadi bukti
bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan adalah dengan berpindah haluan kea rah
merkantilisme. Dimana dalam hal ini tidak berarti bahwa peran swasta akan dimatikan melainkan
hanya ditertibkan. Pemerintah harus mampu menempatkan posisinya dengan baik yakni sebagai
pengatur, pengawas dan penyokong bagi ekonomi nasional. Swasta dibiarkan dan diberi hak
untuk melakukan usaha guna menambah jumlah lapangan kerja dan mewujudkan stabilitas
ekonomi domestik yang diharapkan bisa terus berputar dengan hadirnya swasta atau individu
dalan pasar.

Ketika membaca lebih jelas apa yang terjadi pada masyarakat global saat ini yakni krisis ekonomi
global, maka kita bisa melihat bahwa betapa dunia ini telah terkoneksi sedemikian rupa sehingga
menghasilkan efek domina yang mengerikan ketika di salah satu negara core mengalami krisis
atau pun resesi. Akibat terbentuknya system dunia yang mengintegrasikan dunia, maka dampak
krisis ini menjadi begitu terasa ke seluruh belahan dunia. Dunia yang kini secara struktural
membentuk sebuah system yang saling terintegrasi satu sama lain membuat posisi seluruh negara
menjadi diperlukan dalam upaya keluar dari krisis ekonomi global. Hal ini terlihat dengan
maraknya konfrensi-konfrensi yang mempertemukan persepsi negara-negara untuk membahas
mengenai krisis ekonomi global. Pada akirnya setiap negara menyadari bahwa dalam menangani
krisis ekonomi global ini, yang dilakukan tidaklah hanya mengandalkan kebijakan moneter
masing-masing negara saja, tetapi perlu adanya kerja sama internasional untuk mengoptimalkan
dampak positif dari setiap kebijakan stimulus fiskal.

Solusi Menghadapi Krisis Global 2008-2009


Ketika membahas mengenai solusi yang diharapkan bisa membawa semua pihak ke arah yang
lebih baik dalam masa kian memburuknya ekonomi, maka yang pantas diajukan pertama kali
adalah upaya menghentikan kedominanan Amerika Serikat atas perekonomia dunia. Hal ini
diwujudkan dengan mencari system keuangan alternative untuk menggantikan system Bretton
Woods. Dengan begitu, ketika Amerika mengalami keterpurukan ekonomi, hal ini tidak akan
merembes ke perekonomian negara lain (hal ini dapat dianalogikan yakni bahwa Amerika Serikat
ketika sejahtera tidak ingin membagi kesejahteraannya itu ke negara-negara lain, sedangkan
ketika dia berada dipinggir jurang maka dia akan menarik serta semua pihak untuk mati
bersamanya dengan menarik mereka turun ke dasar jurang yang sama).

Keberadaan Bretton Woods system sebenarnya mulai menggelisahkan banyak negara sehingga
muncul insiatif dari negara-negara tertentu untuk menjalin kerjasama tersendiri dalam mengatur
pembayaran antarnegara tanpa perlu mempergunakan dollar AS. Hal ini dicontohkan dengan
tindakan Indonesia yang diwakili oleh Bank Indonesia meneken perjanjian bilateral currency
swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 trilliun atau 100 miliar renminbi. Di
bawah paying perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata
uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-
masing dengan negara mitra dagang.

Dalam hal ini tidak perlu lagi ada mata uang perantara –yang menjadi tugas dollar AS selama ini-
dalam perdagangan bilateral atau bahkan regional (seperti mata uang Euro di Uni Eropa).
Akhirnya perjanjian semacam ini kian marak terutama di ASEAN + 3, yakni sepuluh negara
ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos
dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.

Selain itu seluruh negara harus berusaha membangun pasar domestiknya masing-masing yakni
dengan mengembangkan pasar-pasar tradisional sehingga akan menghidupkan secara langsung
ekonomi masyarakat. Keberadaan Mall-mall seperti di Indonesia hanya akan mematikan pasar
domestik atau tradisional dan sungguh ironis bahwa di tengah kondisi harus bersaing dengan
mall-mall, pasar tradisional malah tidak diperhatikan oleh pemerintah. Untuk itu, dalam
menyikapi krisis ekonomi, maka pemerintah perlu memberikan dukungan penuh terhadap produk
domestik dengan memberikan promosi bahkan jika perlu membuat aturan agar konsumsi atas
produk domestik meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

A.Prasetyantoko. 2008. Bencana Finansial. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Prasetiantono, A Tony. 2009.”Menuju Sistem Moneter Dunia Baru” dalam Kompas, 30 Maret
2009.

Syarkawi, Rauf.2009. “Signifikasi Kerja Sama Internasional” dalam Fajar Makassar, 2 April
2009.

A. Prasetyantoko. 2009. “Prospek Pemulihan Ekonomi” dalam Kompas, 30 Maret 2009.

_______. 2009. “Gates Orang Terkaya di Dunia” dalam Kompas, 13 Maret 2009.

______. 2009. “Bunuh Diri karena Bangkrtu” dalam Kompas, 8 Januari 2009.

______. 2009. “Sektor Keuangan Diatur Ketat” dalam Kompas, 3 April 2009.

Anda mungkin juga menyukai