Anda di halaman 1dari 11

BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 2 April 2006 Halaman: 191-194

Alamat korespondensi: Jl. Setia Budhi No. 229, Bandung 40154 Tel./Fax. +62-022 2001937 e-mail: yayan@upi.edu

Toksisitas Racun Laba-laba Nephila sp. pada Larva Ades aegypti L.


Toxicity of poison from spider Nephila sp. to Ades aegypti L. larvae
YAYAN SANJAYA

, TINA SAFARIA
Program Studi Biologi FPMIPA, Universita s Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung 40154 Diterima: 6 Januari 2006. Disetujui: 21 Maret 2006.

ABSTRACT
A research about the toxicity of poison from spider Nephila sp. unto larvae of Ades aegypti L. had been done. The objectives of this research were to get the information about the toxicity of poison from spider Nephila sp. into larvae A. aegypti . The experiment method of this research was using Randomized Complete Block Desi gn. This experiment used all of four instars of A. aegypti larvae. The experiment of each instar had been done with six treatments of the lethal c oncentration from spiders poison. Those six treatments were 1%, 10%, 25%, 50%, 75% and 100%. Each treatment had four replications. The re sult of this research showed that poison from spider Nephila sp. is toxic unto the larvae of A. aegypti . The average of lethal concentration fo r the first instar is 13.11%, for the second instar is 28.16%, for the third

instar is 41.46% and for the fourth instar is 63.09%. 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words : toxicity, lethal concentration (LC
50

), spider Nephila sp. and larvae of Ades aegypti L.

PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah sering mewabah di sebagian wilayah Indonesia. Penyakit ini telah cukup banyak memakan korban. Pemerintah bahkan sering menyatakannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) (Effendy, 1995). Demam berdarah merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara beriklim tropis di seluruh dunia. Hal ini karena negara tropis memiliki kisaran suhu yang sama dengan kisaran suhu optimum bagi kehidupan nyamuk. Penyakit demam berdarah bermula dari Asia Tenggara pada masa setelah Perang Dunia II dan selama 15 tahun terakhir telah meningkat menjadi permasalahan kesehatan masyarakat dunia (Hastowo et al. , 1992). Di Indonesia, kasus demam berdarah pada umumnya terjadi di kota-kota dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Demam berdarah ditularkan oleh suatu vektor, yaitu nyamuk Ades aegypti , dengan cara mengisap darah dan memindahkan virus penyakit demam berdarah, yaitu virus Dengue dari tubuh satu orang ke orang lain. Untuk mengatasi penyakit demam berdarah maka diperlukan pengendalian populasi nyamuk A. aegypti . Pada awalnya Departemen Kesehatan RI menggunakan insektisida DDT (dikloro difenil trikloroetan), tetapi dalam jangka panjang DDT menimbulkan resistensi dan masalah lingkungan (Leksono, 1997). Insektisida sintetik merupakan bahan yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti karena daya bunuhnya yang tinggi dan mudah didapat. Insektisida sint etik (abate) dengan proses abatisasi merupakan cara pemberantasan secara kimiawi yang sering digunakan oleh masyarakat. Selain abatisasi, pengasapan juga merupakan cara yang sering digunakan. Abatisasi berguna dalam membunuh larva nyamuk, sedangkan pengasapan hanya dapat menghalau dan membunuh nyamuk betina dewasa tetapi tidak dapat membunuh larvanya.

Penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian vektor secara berulang-ulang terbukti telah menimbulkan masalah baru, seperti halnya kurang mencapai sasaran ke tempat-tempat dimana serangga berada, juga karena insektisida dapat meninggalkan residu yang mencemari lingkungan. Insektisida kimia sintetik bersifat toksik terhadap organisme non target karena mempunyai spesifisitas yang rendah dan sudah banyak terjadi kasus resistensi serangga terhadap insektisida kimia sintesis (Klowden et al ., 1983). Oleh karena itu perlu adanya insektisida yang ramah lingkungan seperti insektisida yang berasal dari senyawa bioaktif dari tumbuhan dan hewan. Senyawa bioaktif dari tumbuh-tumbuhan sebagai senyawa insektisida alami telah banyak dikembangkan misalnya pyrethrum dari bunga Chrysantemum cinerariafolium, rotenon dari Deris eliptica, azadirachtin dari Azadirachta indica dan lain-lain. Namun penelitian tentang senyawa bioaktif dari hewan belum dikembangkan. Senyawa bioaktif dari hewan umumnya berupa racun yang berfungsi untuk melindungi diri dari musuh alami dan sebagai alat untuk melumpuhkan mangsa misalnya racun laba-laba. Menurut Ridwan et al. (1995), laba-laba terdapat di seluruh dunia dan menempati seluruh lingkungan ekologi kecuali di udara dan laut terbuka. Kebanyakan laba-laba berukuran kecil (panjang tubuh 2-10 mm), beberapa di antaranya berukuran cukup besar seperti tarantula (panjang tubuh 80-90 mm). Laba-laba jantan selalu lebih kecil dari pada laba-laba betina dan mempunyai siklus hidup yang lebih pendek. Semua laba-laba bersifat karnifora, banyak di antaranya membuat jaring dan ada pula yang memburu mangsanya di tanah. Serangga merupakan mangsa utamanya, di samping Arthropoda lain. Secara umum dikenal ada dua kelompok laba-laba, yaitu laba-laba non
BIODIVERSITAS Vol. 7, No. 2, April 2006, hal. 191-194

192 jaring dan pembuat jaring (Foelix, 1996). Laba-laba non jaring umumnya hidup di tanah dan pepohonan serta mendapatkan mangsanya dengan cara berburu, sedangkan laba-laba pembuat jaring membuat perangkap dari serat di antara ranting-ranting poho

n untuk menjebak mangsa. Nephila sp. betina memiliki panjang tubuh 3-5 cm, dari ujung kaki depan sampai kaki belakang kurang lebih 20 cm, sedangkan panjang jantan hanya sekitar 3-5 mm. Tempat hidupnya di hutan, pohonpohon, dan mangrove. Daerah sebarannya di kawasan tropis Afrika, India, Cina, Asia Tenggara, Australia utara, dan kepulauan Pasifik utara. Makanan utamanya adalah serangga yang terperangkap dalam jaring (Tan, 2001). Racun Nephila sp. tidak berbahaya bagi manusia dan jarang menggigit meskipun disentuh dan dirusak jaringnya. Apabila menggigit hanya meninggalkan luka goresan di kulit. Laba-laba ini lambat apabila berjalan di atas tanah. Cara kerja racun laba-laba adalah melemahkan (efek primer) kemudian mematikan (efek sekunder) (Foelix, 1996). Racun laba-laba bersifat neurotoksin dan nekrotoksin. Neurotoksin menggangu penjalaran impuls saraf pada saluran ion ( ion channels ) dan sinaps, sedangkan nekrotoksin bekerja pada reaksi yang sistematik misalnya pada ginjal dan darah (Ori dan Ikeda, 1998). Racun laba-laba yang bersifat neurotoksin lebih banyak dibandingkan nekrotoksin. Yosioka et al . (1997) menduga bahwa racun laba-laba mengandung penghambat neuron; penghambat tersebut berisi glutamat sebagai transmitor dan menimbulkan efek paralisis pada serangga, yakni kondisi tidak dapat bergerak (lumpuh) akibat terganggunya sistem saraf serangga. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas racun labalaba berpotensi sebagai pengendali hayati serangga, namun sampai sekarang belum diketahui apakah racun laba-laba ini tetap efektif jika diisolasikan kemudian diaplikasikan kembali pada serangga. Jika racun laba-laba dianalogikan sama dengan senyawa bioaktif yang dimiliki oleh tanaman yang secara statis dapat berfungsi sebagai alat untuk memproteksi diri ma ka perlu diteliti juga potensi racun laba-laba sebagai insektisida alami. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyak it (BPVRP), Salatiga. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Ades aegypti . Hewan uji diperoleh dalam bentuk larva dan sudah dipelihara di BPVRP Salatiga. Larva

A. aegypti dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bejana yang berisi air sumur. Larva akan dipelihara sampai tahap imago yang dilakukan pada suhu kamar (26 1C) dan kelembaban relatif 75-80% di laboratorium BPVRP Salatiga. Setiap dua hari sekali air dalam wadah diganti dengan yang baru dan diberi makan. Larva diberi makan berupa makanan anjing (pil). Sesudah mencapai tahap imago, nyamuk-nyamuk A. aegypti dipindahkan ke dalam terarium yang sudah terdapat tikus di dalamnya. Tikus tersebut dicukur terlebih dahulu bagian punggungnya. Hal ini dimaksudkan agar nyamuk betina lebih leluasa dalam menghisap darah tikus. Di dalam terarium juga terdapat larutan sukrosa. Larutan sukrosa berguna sebagai bahan makanan bagi nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak menghisap darah karena probosisnya yang tidak kuat untuk menusuk kulit. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian eksperimen dan rancangan penelitiannya menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian dilakukan pada keempat instar larva A. aegypti . Faktor lingkungan juga diukur yang meliputi suhu dan kelembaban ruangan dengan thermohygrometer. Percobaan setiap tahap instar dilakukan dengan enam macam perlakuan konsentrasi racun Nephila sp. dan empat kali pengulangan. Enam macam perlakuan konsentrasi yaitu: 1%, 10% , 25%, 50%, 75%, dan 100%. Penentuan enam konsentras i tersebut didapatkan dari penelitian sebelumnya tentang efektivitas racun laba-laba Nephila sp. terhadap larva Plutella xylostella (Solihah, 2000). Konsentrasi yang digunakan adalah: A. konsentrasi racun Nephila sp. 1% B. konsentrasi racun Nephila sp. 10% C. konsentrasi racun Nephila sp. 25% D. konsentrasi racun Nephila sp. 50% E. konsentrasi racun

Nephila sp. 75% F. konsentrasi racun Nephila sp. 100% Cara kerja Setelah beberapa hari akan terjadi perkawinan di antara nyamuk-nyamuk jantan dan nyamuk-nyamuk betina di dalam terarium. Untuk mengantisipasi pemijahan nyamuk betina, maka perlu dimasukkan ke dalam terarium suatu bejana yang sudah berisi aquades dan kain kasa pada sisi bejana. Kain kasa berguna sebagai tempat pemijahan nyamuk-nyamuk betina. Telur-telur dibiarkan menetas dan tumbuh sampai tahap instar larva tertentu, sesuai yang diperlukan dalam perlakuan percobaan. Semua langkahlangkah pemeliharaan ini dilakukan untuk mendapatkan tahap instar larva yang sama (cohort). Isolasi racun laba-laba Nephila sp. Racun diambil dari kelenjar racun di cephalothorax laba-laba Nephila sp.. Laba-laba dikoleksi dari Kebun Botani Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, lalu disimpan dalam kandang/terarium. Racun dari kelenjar racun di cephalothorax laba-laba diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 75%. Pembuatan konsentrasi racun laba-laba Nephila sp. Konsentrasi racun laba-laba didapatkan dengan mengencerkan larutan induk tersebut dengan akuades sehingga diperoleh konsentrasi 1%, 10%, 25%, 50%, 75%, 100% dan kontrol 0% yang masing-masing sebanyak 5 mL. Tiap konsentrasi larutan dicampurkan ke dalam 500 mL air sumur. Campuran tersebut akan digunakan untuk keempat tahap instar pada satu macam konsentrasi racun yang berjumlah 20 wadah. Dengan demikian setiap perlakuan, dalam wadahnya berisi 25 mL campuran tersebut. Pengujian larva A. aegypti untuk menentukan LC
50

-24 jam. Dalam setiap perlakuan terdapat sepuluh larva Nephila sp.. Nilai LC
50

didapatkan dengan cara mengamati pada konsentrasi racun yang dapat mengakibatkan kematian sebanyak 50% dari populasi hewan percobaan (Tonny,

1985). Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah larva yang mati pada jam ke-24 setelah aplikasi racun Nephila sp . Pada enam jam pertama, setiap jamnya dilakukan pengamatan untuk mengetahui lebih jelas tentang pengaruh racun laba-laba Nephila sp. terhadap larva A. aegypti . Selanjutnya pengamatan dilakukan dalam selang waktu enam jam, yaitu jam ke-6, 12, 18, dan 24. Analisis data Data pengamatan yaitu seri konsentrasi larutan, zat penguji dan persen kematian dianalisis dengan komputer probit dan logit (POLO) (Tonny, 1985; Russel, 1997 dalam Leksono, 1997). Analisis probit, yaitu Micro Probit adalah suatu metode pengujian yang umum digunakan untuk menilai toksisitas dari suatu jenis pestisida. Analisis probit
SANJAYA dan NILAWATI Toksisitas racun Nephila sp . pada Ades aegypti

193 juga berguna untuk mempelajari hubungan antara dua variabel (Tonny, 1985). HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor fisika-k imia lingkungan Dalam waktu pengamatan selama 24 jam, diambil juga data faktor fisik (Tabel 1), yait u temperatur air, temperatur udara dan kelembaban. Ketiga faktor fisik tersebut diukur sebanyak lima kali. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa rata-rata tempratur ai r adalah 25,1C, rata-rata temperatur udara adalah 25,4C dan rata-rata kelembaban adalah 89,6%. Selain itu diuk ur pula tingkat keasaman (pH) dari setiap tingkat konsentrasi pada awal dan akhir percobaan. Pada pengukuran awal terlihat bahwa tiap tingkat konsentrasi memiliki tingkat keasaman yang sama, tetapi pada akhir percobaan terlihat tiap konsentrasi mengalami perbedaan.
Tabel 1. Pengukuran faktor fisik. Tingkat keasaman Jam

keSuhu air (C) Suhu udara (C) Kelembaban (%) PH awal PH akhir 0 26,5 26,0 88 7,5 8,0 6 25,0 25,5 92 7,5 8,0 12 25,0 25,0 88 7,5 7,5 18 24,0 25,0 88 7,5 7,5 24 25,0 25,5 92 7,5 7,0 25,1 25,4 89,6 7,5 7,0

Hasil pengukuran faktor lingkungan diperoleh nilai suhu sebesar 25


o

C. Suhu tersebut merupakan masih suhu optimum perkembangan larva. Menurut Hare dan Nasci (1986) bahwa temperatur optimum untuk perkembangan larva adalah 25-29
o

C. Larva tidak dapat hidup pada perairan yang mempunyai temperatur di bawah 10
o

C dan di atas 44
o

C. Sehingga suhu tersebut tidak berpengaruh terhadap perkembangan larva dan tidak memperbesar kemungkinan terjadi penyimpangan kematian larva saat perlakuan (Hidayat et al. , 1995). Faktor lingkungan dalam penelitian ini tidak berpengaruh banyak terhadap hasil penelitian, karena hasil yang didapat masih berada dalam batas optimum. Kemungkinan yang terjadi berasal dari kehidupan larvanya sendiri. Mungkin saja larva yang digunakan pada waktu perlakuan ada yang memiliki morfologi tidak sempurna, kepekaan masing-masing larva yang diuji, ada larva yang terganggu saluran pencernaannya, ada larva yang stress sebelum perlakuan. Hal-hal ters ebut sulit diamati sebelum perlakuan karena larva nyamuk Aedes aegypti

memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil, dan setiap individu larva memiliki resistensi yang berbeda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Hassal cit. Natawigena (1990) bahwa mekanisme resistensi pada serangga disebabkan oleh: (i) Sifat morfologis berupa tebal dan tipis kutikula, adanya penghalang atau bulu pada serangga. (ii) Sifat fisiologis berupa kecepatan dalam menguraikan insektisida pada serangga yang tahan dan serangga yang peka; perbedaan kecepatan dalam cara mengangk ut insektisida ke bagian badan yang penting. (iii) Sifat biokimia berupa kemampuan serangga melakukan proses inaktivasi. (iv) Sifat kelakuan: serangga yang gerakannya cepat, lincah lebih mampu menghindar racun. Pengamatan toksisi tas racun Nephila sp . Dari hasil pangamatan percobaan tentang toksisitas racun (LC-50) laba-laba Nephila sp. terhadap larva A. aegypti Setelah 24 jam pengamatan (Tabel 1.), menunjukkan bahwa nilai LC
50

-24 jam untuk larva instar satu adalah sebesar 13,11% dengan rentang 3,21% hingga 23,76%; dua , nilai LC
50

-24 jam untuk larva instar dua adalah sebesar 28,16% dengan rentang 9,27% hingga 42,89%; nilai LC
50

-24 jam untuk larva instar tiga adalah sebesar 41,46% dengan rent ang 33,61% hingga 50,61%, nilai LC
50

-24 jam untuk larva instar satu adalah sebesar 63,09% dengan rentang 53,13% hingga 77,01%.
Tabel 2. Nilai LC-50 dari toksisitas racun laba-laba terhadap A. aegypti. Instar LC
50

-24 jam

Batas bawah Batas atas I 13,11 3,21 23,76 II 28,16 9,27 42,89 III 41,46 33,61 50,61 IV 63,09 53,13 77,01

Secara umum dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin tinggi pula toksisitas racun laba-laba, yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah larva yang mati. Hal Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat instar, semakin tinggi pula daya tahan hidupnya. Hal ini ditandai dengan semakin rendahnya jumlah larva yang mati. Semakin dewasa larva maka daya tahan tubuhnya pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan lapisan kulit larva instar empat jauh lebih tebal daripada larva instar satu (Christophers, 1960), sehingga saat didedahkan pada konsentrasi racun yang sama, larva instar satu lebih cepat menyerap racun ke dalam tubuhnya dan mati. Semakin dewasa larva nyamuk semakin besar pula konsentrasi racun laba-laba yang diperlukan. Hubungan yang erat antara konsentrasi racun laba-laba Nephila sp. dengan mortalitas ini diduga berkaitan dengan beban racun yang terdapat dalam larva serangga. Larvalarva mendapat konsentrasi racun yang tinggi yang berarti bekerjanya lebih cepat dalam menekan aktifitas sistem saraf serangga, selain itu lebih cepat juga dalam memparalisis bahkan mematikan serangga apabila dibandingkan dengan larva-larva yang mendapat perlakuan dengan konsentrasi yang lebih rendah (Gunandini, 2002). Kecenderungan tersebut disebabkan semakin banyak racun laba-laba yang masuk ke dalam tubuh serangga maka semakin cepat racun tersebut memparalisis tubuh serangga. Racun laba-laba secara umum terbagi menjadi eurotoksin dan nekrotoksin (Tabel 3).
Tabel 3. Berbagai toksin labalaba (Ori dan Ikeda, 1998). Toksin Aksi Komponen utama racun Laba-Laba Neurotoksin Saraf terminal saluran Ca
2+

terbuka Protein Lactrodectus Atrax sp . Saluran terminal saluran Na


+

terbuka Peptida

Phoneutria sp . Cupiennius salei Saraf terminal saluranCa


2+

terhambat Protein Agelenopsis aperta Agelena opulenta Selenocosmia huwena Pascasinaptik Toksin poliamin Nephila sp . Araneus sp . Argiope sp . Tarantula toxin Nekrotoksin Nekrosis Protein Loxosceles sp . Lycosa godeffroyi

Anda mungkin juga menyukai