Di Indonesia terdapat 129 gunung berapi. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia dimasukkan bagian dari ring of fire di Samudera pasifik atau lazim dikenal dengan sebutan cincin api pasifik. Kenyataan tersebut telah membuat Indonesia kerap dilanda bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi. Laporan Badan Geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa tahun 2013 tercatat 22 gunung berapi yang berstatus di atas normal. Selain Kelud dan Sinabung yang tahun 2013 meletus amat dasyat, sebanyak 20 gunung tergolong potensial bererupsi karena itu harus diwaspadai. Banyaknya gunung berapi karena secara geografis Indonesia terletak pada titik pertemuan tiga lempeng tektonik. Tiga lempeng itu saling bertabrakan, yakni lempeng Eurasia, Indo Australia, Pasifik. Indonesia memang memiliki kekayaan alam melimpah dan pemandangan yang mempesona. Tetapi negeri ini menyimpan segudang ancaman bahaya geologi karena letaknya menjadi gugusan gunung berapi, termasuk bencana gempa bumi. Ancaman gunung berapi di Indonesi bisa muncul kapan saja, tergantung karakteristik gunung. Pada tahun 2010 gunung Merapi amat dasyat. Letusan gunung Merapi tersebut dilaporkan letusan terhebat yang terjadi dalam seratus tahun terakhir. Letusan tersebut menelan cukup banyak korban sekitar 200 orang meninggal dunia, dan ratusan keluarga terpaksa bertempat tinggal di hunian sementara (shelter) karena rumah mereka luluh lantak diterjang lahar gunung Merapi. Korban yang kehilangan rumah kebanyakan adalah mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang termasuk dalam kategori lingkaran (ring) kawasan amat berbahaya. Pada tahun 2013 gunung Sinabung meletus juga cukup hebat. Letusan gunung Sinabung yang terjadi berkali-kali tersebut dilaporkan mengakibatkan lebih dari 20 ribu orang dari 21 desa harus diungsikan, 14 orang tewas dan 3 orang luka bakar kena luncuran awan panas. Kemudian pada awal tahun 2014 ini gunung Kelud meletus sangat dasyat pula. Hujan abu akibat dampak letusan gunung Kelud menerpa sampai wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berjarak lebih dari 200 km dari gunung Kelud. Pada saat itu dilaporan bahwa jumlah penduduk yang terpapar sekitar 201 ribu jiwa, dan berasal dari 35 desa di kabupaten Blitar, Kediri dan Malang. Bencana tersebut lazim digambarkan sebagai kondisi penderitaan manusia, kerusakan sarana permukiman, transportasi dan telekomunikasi, kelangkaan energi dan air bersih, dan kerusakan lingkungan. Penderitaan dan kerusakan tersebut terjadi amat hebat, dan proses pemulihannya membutuhkan partisipasi banyak pihak, terutama karena diluar kemampuan masyarakat yang mengalami musibah. Komitmen pemerintah dalam menanggulangi bencana cukup tinggi, sebagaimana nampak pada kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomer 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomer 21/2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomer 21/2007 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomer 23/2007 tentang Peran Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non- Pemerintah, dan Peraturan Presiden Nomer 8/2008 tentang Pembentukan Badan Nasional
2 Penanggulangan Bencana. Sebagai tindak lanjut peraturan perundangan tersebut, pemerintah telah memfasilitasi implementasi program-program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat (community resilience) terhadap bencana. Program-program tersebut diimplementasikan baik pada tahap siaga bencana (preparedness), emergency dan recovery, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta dalam bentuk mitigasi (mengurangi dampak bencana). Program-program tersebut melibatkan instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis (swasta), kalangan perguruan tinggi, lembaga donor dan negara asing. Program-program tersebut diimplementasikan dengan sistem sentralistik atau menempatkan pemerintah (pusat) dalam posisi yang dominan dan determinan dalam proses formulasi dan eksekusi kegiatan. Program-program tersebut juga diimplementasikan dengan memberi peran lebih besar kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Di beberapa daerah tertentu, program-program tersebut telah mampu meningkatkan ketahanan masyarakat. Tetapi di beberapa daerah tertentu lainnya masih belum membuahkan hasil seperti diharapkan. Pengalaman lapangan selama ini menunjukkan bahwa di beberapa daerah masih belum optimal menangani masalah korban bencana erupsi gunung berapi secara efektif dan efisien. Sebagian dari korban bencana di daerah tersebut masih menjumpai peringatan bahaya erupsi yang agak lambat, minim persiapan evakuasi, minim persiapan infrastruktur pengungsian, jalur distribusi logistik yang belum teratur dan sebagainya. Salah satu strategi yang diharapkan dapat menjawab masalah tersebut adalah dengan mengembangkan masyarakat desa penyangga bencana (buffer society). Masyarakat desa penyangga bencana tersebut harus terletak di luar daerah yang terpapar dampak erupsi gunung berapi, dan kehidupan desanya dikembangkan sedemikian rupa sehingga para pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan suasana atau kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Kini dibutuhkan pengembangan masyarakat desa penyangga bencana yang melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan pelaku usaha memiliki komitmen meringankan beban para korban bencana. Sedikitnya terdapat tiga aspek penting yang lazim diperhatikan dalam mengembangkan masyarakat desa penyangga bencana yaitu: (1) pengelolaan infastruktur yang membuka akses terhadap pelbagai bentuk pelayanan tanggap darurat, (2) peningkatan kapasitas personal, komunitas dan sistem yang menempatkan korban bencana sebagai subyek yang memiliki peluang berpartisipasi aktif dalam transisi selama berlangsungnya proses evakuasi, dan (3) peningkatan jaringan sosial di antara pihak-pihak yang peduli terhadap kegiatan tanggap darurat. Pengelolaan infrastruktur, peningkatan kapasitas serta peningkatan jaringan sosial tersebut dalam konteks penanggulanan bencana terutama ditujukan untuk memfasilitasi pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Aspek-aspek tersebut meskipun dapat dianalisis secara terpisah namun merupakan satu intentias yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Provisi dan utilisasi infrastruktur Dalam masa tanggap darurat bencana, infrastruktur pokok yang dibutuhkan untuk pengembangan desa penyangga bencana adalah tempat tinggal korban bencana. Tempat tinggal tersebut bisa berupa rumah yang dibangun secara terpisah dengan rumah warga desa penyangga bencana, tetapi bisa pula menyatu dengan rumah warga desa penyangga. Tempat tinggal tersebut harus memperhatikan faktor-faktor keamanan (security), kenyamanan,
3 aksesibilitas, koneksitas dan kapasitas (Xu, Okada, Takeuchi, Kajitani, 2007). Faktor keamanan amat penting diperhatikan karena para pengungsi korban bencana biasanya masih membawa barang-barang berharga seperti televisi, sepeda motor, perhiasan, uang dan ternak. Faktor kenyamanan amat penting dipehatikan karena mereka biasanya bertempat tinggal di desa tersebut agak lama, atau menunggu sampai erupsi gunung berapi benar-benar dinyatakan berhenti. Faktor aksesibilitas amat penting diperhatikan terutama untuk mendukung atau memperlancar pelbagai bentuk bantuan kemanusiaan seperti makanan, pakaian, obat-obatan dan tenaga medis. Faktor koneksitas amat penting diperhatikan karena mereka membutuhkan informasi terkini (update) tentang aktivitas erupsi dan dampaknya terhadap desanya, serta untuk memfasilitasi komunikasi dengan sanak-kerabat atau kawan- kawan dekat. Kemudian faktor kapasitas amat penting diperhatikan karena desa penyangga bencana harus memiliki akomodasi yang dapat memfasilitasi korban bencana erupsi yang kelak bertempat tinggal di desa tersebut. Infrastruktur lain yang perlu dikembangkan di desa penyangga bencana tersebut adalah energi, telekomunikasi, transportasi, serta air bersih dan sanitasi (ESCAP, 2006:125). Infrastruktur tersebut bisa dibangun oleh warga masyarakat secara swadaya (infrastructructure-based community), dan bisa juga dibangun oleh pemerintah dalam kapasitasnya sebagai institusi resmi yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan public service obligation, atau melalui skema kerjasama pemerintah-swasta (public-private partnership). Selanjutnya pola pengelolaan infrastruktur tersebut dapat dipilahkan kedalam tiga kategori yaitu: (1) dengan prinsip enabling (direncanakan, dikendalikan, digerakkan dan dikontrol terutama oleh pihak luar), (2) dengan prinsip delegating (terutama oleh warga masyarakat desa sendiri), dan (3) dengan prinsip empowering (kerjasama antara warga masyarakat dengan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau pelaku bisnis). Prinsip- prinsip pengelolaan infrastruktur sebenarnya memiliki kekuatan sekaligus kelemahan. Kita dapat melakukan studi mana sebenarnya di antara tiga macam pengelolaan infrastruktur pertanian yang relevan, efektif, efisien bagi usaha memfasilitasi pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Relevan berarti sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat, efektif berarti biaya yang dikeluarkan dapat menghasilkan produk yang berkualitas, dan efisien berarti biaya yang dikeluarkan dapat menghasilkan output (keluaran) secara optimal. Penelitian ini bolehjadi menemukan salah satu di antara pola-pola pengelolaan infrastruktur yang paling relevan, tetapi bolehjadi menemukan pola lain yang benar-benar berbeda dari tiga pola pengelolaan infratruktur tersebut. Apabila pola pengelolaan infrastruktur lain ditemukan di lapangan, maka penelitian ini bisa memberikan catatan kritik terhadap pola-pola yang telah ada.
Peningkatan kapasitas dan jejaring sosial Kapasitas lazim dikonsepsikan sebagai kemampuan mengembangkan potensi dan mendayagunakan sumberdaya (resources) yang dimiliki untuk mencapai tujuan tertentu (Adamson & Bromiley, 2008; Banks and Shenton, 2001; Chaslzin at al, 2000; January, 2001). Kapasitas warga masyakat desa bencana dapat dikonsepsikan sebagai kemampuan mengembangkan potensi dan mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki untuk mencukupi kebutuhan pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Dari segi proses pengembangannya, kapasitas semacam itu lazim dipilahkan kedalam tiga kategori. Pertama, kapasitas yang diwarisi dari generasi sebelumnya, atau berupa pengetahuan lokal (local knowledge) yang
4 disosialisasikan baik melalui institusi keluarga maupun lembaga lokal. Kedua, kapasitas yang lahir dari usaha warga sendiri ketika berhadapan dengan pelbagai bentuk tantangan yang dihadapi sehari-hari (learning by doing). Ketiga, kapasitas yang diperoleh dari institusi lain, baik dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui penyuluhan atau diskusi kelompok (focus group discussion). Kapasitas warga masyarakat desa penyangga dalam konteks penelitian ini mencakup kapasitas personal, kapasitas komunitas dan kapasitas sistem dalam mencukupi kebutuhan pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Kapasitas personal warga masyarakat antara lain berupa pengetahuan (knowledge), sikap, ketrampilan (skill) dalam mendayagunakan sumberdaya (resources) yang dimiliki atau dikuasai untuk kebutuhan merubah atau mengembangkan inovasi dan mengelola lahan marginal menjadi lahan produktif. Kapasitas personal juga berupa kemampuan berkomunikasi dalam memecahkan pelbagai masalah yang dihadapi terkait dengan kegiatan melakukan inovasi dan pengelolaan, serta mendeminasikan ide-ide, pengetahuan, metode yang relevan untuk keperluan tersebut. Kapasitas komunitas antara lain berupa kemampuan melakukan tindakan-tindakan kolektif dalam mengidentifikasi pelbagai masalah, memberi respon dan mengadopsi ide-ide, pengetahuan, metode yang relevan untuk mencukupi kebutuhan pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Kapasitas komunitas juga berupa kesediaan mengembangkan trust (saling percaya), reciprocal relationships (hubungan saling menguntungkan), dan networking (jejaring) di antara sesama warga masyarakat, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Selanjutnya, kapasitas sistem antara lain berupa tatakelola (institutional arrangement) yang mampu memfasilitasi proses kolaborasi antara warga masyarakat, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam mencukupi kebutuhan pengungsi korban bencana mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya. Kapasitas sistem juga berupa kemampuan mengintegrasikan konsensus lokal, pengetahuan dan kearifan lokal dengan regulasi dan metode mencukupi kebutuhan pengungsi korban bencana dalam mendapatkan jaminan keamanan, kenyamanan dan kondisi yang kondusif melanjutkan aktivitas hidupnya.
Daftar Pustaka Adamson, D. and R. Bromiley (2008), Community Empowerment in Practice: Lessons from Communities First, Joseph Rowntree Foundation, York Banks, S. and F. Shenton (2001), Regenerating Neighbourhoods: A Critical Look at the Role of Community Capacity Building, Local Economy, Vol. 16, No. 4, pp. 286- 298. Chaslzin, Robert J, Prudence Brown, Sudhir Venlzatesh Avis Vidal (2000), Building Community Capacity, Aldine de Gruyter, New York ESCAP, 2006, Enhancing Regional Cooperation in Infrastructure Development Including That Related to Disaster Management, United Nations Publication January, Casswell, S. (2001), Community Capacity Building and Social Policy: What Can be Achieved?, Social Policy Journal of New Zealand, Issue 17, December, pp. 22- 35. Xu, Wei, Nario Okada, Yukiko Takeuchi, and Yoshio Kajitani, 2007, A Diagnosis Model for Disaster Shelter Planning from the Viewpoint of Local People, Annuals of Disaster Prevention, Kiyoto University, 50