Anda di halaman 1dari 7

Ahmad Subardjo (1896-1978)

Tempo 23 Desember 1978. MEREKA yang biasa berjalan pagi di sekitar jalan
Cikini Raya, Jakarta, tidak akan melihat pemandangan ini lagi: Seorang tua
pendek berjenggot putih memakai mantel, tiap pagi (bila tidak hujan) berjalan-
jalan dari rumahnya di Cikini Raya sesudah sembahyang subuh. Mereka mungkin
tidak tahu siapa kakek yang usianya sudah melewati 80 tahun itu. Mungkin
mereka tidak tahu juga berjalan kaki tiap pagi adalah caranya untuk bisa awet
muda dan lancar berpikir berdasar resep: Jangan cemas dan jalan kaki banyak-
banyak.

Hari Jumat pekan lalu, orang tua itu Prof. Mr. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo,
meninggal dunia di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, dalam usia 82
tahun karena flu yang menimbulkan komplikasi. Upacara pemakaman secara
militer dipimpin Menko Polkam M. Panggabean. Jenasahnya dimakamkan di
halaman depan rumah istirahatnya di Cipayung, Bogor. Begitu memang
permintaan almarhum untuk dimakamkan dekat gunung, sawah dan rakyat
dengan desanya yang sedang membangun. Untuk jasanya, pemerintah
mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional.

Ahmad Subardjo memang patut menerima gelar itu. Ia diangkat sebagai Menteri
Luar Negeri pertama RI 19 Agustus 1945 selama 4 bulan sampai terbentuknya
Kabinet Sjahrir. Kembali ia menjabat Menlu antara 1951-1952. Sering ia
memimpin delegasi Indonesia ke konperensi internasional, menjabat Dubes untuk
Republik Federal Swiss, anggota DPA (1961-1965), Profesor laiam Sejarah
Konstitusi dan Diplomasi RI. Fakultas Sastera jurusan sejarah UI (1968) dan pada
1975 bersama Hatta Sunario, A.G. Pringgodigdo dan A.A. Maramis merupakan
Panitia Lima yang bertugas menjabarkan Pancasila.

Ahmad Subardjo memainkan peranan penting menjelang Proklamasi
Kemerdekaan, bersama Bung Karno dan Bung Hatta merumuskan teks
proklamasi, anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan sering
menjembatani pertentangan antara kelompok pemuda dan kelompok tua. Tapi
sebetulnya perjuangan Ahmad Subardjo telah dimulainya sejak ia menjadi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Leiden tahun 1919. Nama aslinya Teuku
Abdul Manaf lahir di Karawang 23 Maret 1896. Anak bungsu mantri polisi desa
ini kemudian dirubah namanya menjadi Subardjo berkat usul seorang sahabat
ayahnya.

Subardjo konon berasal dari kata Sanskerta subraj yang berarti cemerlang.
Tambahan Ahmad berkat usul kakeknya. Nama Djojohadisuro yang dipakainya
menurut almarhum pada TEMPO akhir tahun lalu ada ceritanya waktu itu ia
ditahan di penjara Ponorogo karena tersangkut Peristiwa 3 Juli 1946. Ketika
sedang buang air kecil di tengah malam didengarnya suara lirih dalam bahasa
Jawa: Sudah waktunya engkau punya nama keluarga. Suara itu menunjuk nama
Djoyoadisuryo yang sejak itu dipakainya. Ahmad Subardjo pernah menjadi Ketua
Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda dan
pemrakarsa dipakainya merah putih sebagai lambang perhimpunan itu (1921-
1922).

Pada 1922 setelah lulus Sarjana Muda ia pulang ke Indonesia. Tapi beberapa
bulan kemudian ia terpaksa melanjutkan kuliahnya sebab Embah saya bilang
malu punya cucu tidak bertitel. Pada 1933, 11 tahun kemudian barulah ia
berhasil mencapai gelar Mr. Lamanya studi itu karena Subardjo sangat aktif dalam
kegiatan politik. Subud Ia menguasai 9 bahasa termasuk Perancis, Jerman, Latin
dan Yunani. Senang menulis sejak masih mahasiswa. Hal ini terus dilakukannya
sampai saat akhirnya sambil mendengarkan musik Barat klasik.

Sering juga di hari libur ia memainkan biolanya. Bapak dari 2 puteri dan 3 putera
ini sempat menulis 2 buku: Lahirnya Republik Indonesia (1972) dan Kesadaran
Nasional (1978) sebuah otobiografi. Sebagai ketua kehormatan Susila
Budidarma (Subud), Subardjo biasa mengosongkan pikirannya selama 30 menit
sebelum tidur yang rasanya sama dengan 5 hari di Puncak. Hidup buat dia
adalah gerakan dan aktivitas. Dan itu dilakukannya sampai saat-saat
terakhirnya, memimpin Lembaga Masalah Internasional dan Himpunan PBB
untuk Indonesia.

Tulisnya tentang 17 Agustus 1945: (Saya masih tidur sewaktu kurang lebih pukul
10.00 pagi pada tanggal I7 Agustus datang dua utusan dari Soekarno dan Hatta
untuk membangunkan saya. Mereka mengatakan saya harus segera berpakaian
untuk menyaksikan upacara pengibaran bendera nasional sang Merah Putih dan
Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan. Saya merasa begitu lelah dari kejadian
yang menegangkan syaraf yang baru saya alami sepanjang hari dan malam
sebelumnya, sehingga saya memutuskan untuk meneruskan istirahat saja. Apalagi
yang Saya ingini Mimpi Indonesia Merdeka telah menjadi kenyataan. Apa
bedanya saya hadir dan tidak? Hal yang paling penting adalah bahwa kita sendiri
dan generasi berikutnya dari rakyat saya telah menjadi warganegara yang bebas
dari sebuah Negara Merdeka: REPUBLIK INDONESIA.

Saya mengirim sebuah pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta meminta
mereka untuk memaafkan ketidak hadiran saya dan supaya mereka segera saja
memulai upacara Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo tidak sempat menyaksikan
Proklamasi Kemerdekaan yang bersejarah itu. Tapi namanya akan tetap tercatat
dalam sejarah Indonesia, mungkin sebagai tokoh kontroversil. Ia pernah dianggap
sebagai kolaborator Jepang karena peranannya sebagai Kepala Biro Riset di
Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Indonesia antara 1943-1945. Pernah
juga ia dianggap pro Amerika ketika ia menyetujui Mutual Security Act (MSA)
yang menyebabkan kejatuhannya sebagai Menlu (1952). Tokoh-tokoh sejarah
Indonesia ternyata memang tidak luput dari pertentangan, mungkin juga
kesalahan. Tapi perkembangan menunjukkan bahwa kekeliruan dan perbedaan
bersifat nisbi. Pada aknirnya, seperti Subardjo, semua diterima sebagai bakti.




















KELOMPOK 2



Lily
Tyas
Ambar
Agung
Rizqan

SDN BANJARBARU UTARA 1

Anda mungkin juga menyukai