Anda di halaman 1dari 9

PERCOBAAN V SUPPOSITORIA DAN EMULSI

I.

TUJUAN Tujuan dari praktikum ini adalah untuk membuat sediaan suppositoria dan emulsi serta pengemasannya, dan memahami penulisan etiket yang benar sesuai dengan resep yang ada.

II. DASAR TEORI 2.1 Suppositoria Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat teraupetik

yang bersifat lokal atau sistemik (Depkes RI, 1995). Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang berbentuk torpedo, bentuk ini memiliki kelebihan yaitu bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka supositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya (Anief, 2006). Berdasarkan jenis penggunaannya suppositoria terdiri dari : 1. Suppositoria rektal, sering disebut sebagai suppositoria saja, bentuk peluru, digunakan lewat rektum atau anus. Untuk dewasa 3 g dan untuk anak-anak 2 g. Suppositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai keunggulan yaitu jika dibagian yang besar masuk melalui jaringan otot penutup dubur, suppositoria akan masuk dengan sendirinya. 2. Suppositoria vaginal atau ovula, berbentuk bola lonjong seperti kerucut, digunakan untuk vagina. Berat antara 3 5g . umumnya 5g. Suppositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut atau dapat bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserensi. Harus dismpan dalam wadah yang tertutup rapat, sebaiknya pada suhu dibawah 35C.

3. Suppositoria uretra digunakan lewat uretra, berbentuk batang dengan panjang antara 7-14cm (Soetopo, 2002). Metode Pembuatan suppositoria terdiri dari : 1. Pembuatan dengan cara mencetak Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode pencetakan khusus (a). melebur basis, (b) mencampurkan bahan obat yang diinginkan, (c) menuang hasil leburan kedalam cetakan, (d) membiarkan leburan dingin dan mengental menjadi suppositoria, (e) melepaskan

suppositoria dengan oleum cacao, gelatin gliserin, polietilen glikol. 2. Pembuatan dengan cara kompressi Suppositoria dapat juga dibuat dengan menekan massa yang terdiri dari campuran basis dengan bahan obatnya dalam cetakan khusus memakai mesin pembuat suppositoria. Dalam pembuatan dengan cara kompresi dalam cetakan, basis suppositoria dan bahan lainnya dalam formula dicampurkan dengan baik. 3. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan. Pengolahan suppositoria dengan menggunakan tangan oleh ahli

farmasi sekarang rasanya hampir tidak pernah dilakukan. Namun demikian, membentuk suppositoria dengan tangan merupakan bagian dari sejarah seni para ahli farmasi (Ansel, 1989).

2.2 Emulsi Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa, sistem ini disebut sistem emulsi air dalam minyak. Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah koalesensi, yaitu

penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (Surfaktan)

menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar

permukaan antar fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Ismail, 2011). Suatu emulsi terdiri dari dua fase yang bersifat kontradiktif, tetapi dengan adanya zat pengemulsi maka salah satu fase tersebut terdispersi dalam fase lainnya. Pada umumnya dikenal dua tipe emulsi yaitu : a. Tipe A/M (Air/Minyak) atau W/O (Water/Oil) Emulsi ini mengandung air yang merupakan fase internalnya dan minyak merupakan fase luarnya. Emulsi tipe A/M umumnya mengandung kadar air yang kurang dari 25% dan mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi jenis ini dapat diencerkan atau bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit bercampur/dicuci dengan air. b. Tipe M/A (Minyak/Air) atau O/W (Oil/Water) Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang berupa air. Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari 31% sehingga emulsi M/A dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan sangat mudah dicuci (Anief, 2000). Metode pembuatan emulsi terdiri dari : a. Metode gom basah Cara ini dilakukan bila zat pengemulsi yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air seperti kuning telur dan metilselulosa. Metode ini dibuat dengan terlebih dahulu dibuat mucilago yang kental dengan sedikit air lalu ditambah minyak sedikit demi sedikit dengan pengadukan yang kuat, kemudian ditambahkan sisa air dan minyak secara bergantian sambil diaduk sampai volume yang diinginkan.

b. Metode gom kering Teknik ini merupakan suatu metode kontinental pada pemakaian zat pengemulsi berupa gom kering. Cara ini diawali dengan membuat korpus emulsi dengan mencampur 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus sampai terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya suatu emulsi yang baik. c. Metode HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance) Cara ini dilakukan apabila emulsi yang dibuat menggunakan suatu surfaktan yang memiliki nilai HLB. Sebelum dilakukan pencampuran terlebih dahulu dilakukan perhitungan harga HLB dari fase internal kemudian dilakukan pemilihan emulgator yang memiliki nilai HLB yang sesuai dengan HLB fase internal. Setelah diperoleh suatu emulgator yang cocok, maka selanjutnya dilakukan pencampuran untuk memperoleh suatu emulsi yang diharapkan. Umumnya emulsi akan berbantuk tipe M/A bila nilai HLB emulgator diantara 9 12 dan emulsi tipe A/M bila nilai HLB emulgator diantara 3 6 (Ansel, 1989)

III.

PEMBAHASAN

3.1 Suppositoria Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat teraupetik yang bersifat lokal atau sistemik. Macam-macam bentuk suppositoria yaitu 1. Suppositoria Rektal / Analia Untuk dewasa kalau tidak dinyatakan lain beratnya adalah 3 g; bentuk lonjong pada salah satu atau kedua ujungnya, sedangkan untuk anak -anak kalau tidak dinyatakan lain beratnya adalah 2 g. 2. Suppositoria vaginal / ovula Berbentuk bulat atau bulat telur, umumnya memiliki berat 5-15 g, sering disebut tablet vaginal. 3. Suppositoria urethal Ukuran untuk pria adalah panjang 125-140 mm, diameter 3-6 mm, massa 4 g. Sedangkan untuk wanita panjangnya 50-70 mm dan massanya 2 g (setengah ukuran laki-laki). Penggunaan obat dalam suppositoria ada keuntungannya

disbanding penggunaan obat per oral, yaitu: a. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung. b. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan. c. Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral. d. Dapat mempermudah bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar. Sedangkan kerugian dari penggunaan sediaan suppositoria yaitu: a. Petunjuk dari ahlinya diperlukan dalam pemberian bentuk sediaan ini. b. Penyerapan bahan obat dari rektum berlangsung lambat. c. Pemberian rektal dari bahan obat dapat samping lokal. menghasilkan efek

d. Pembuatan suppositoria di industri lebih sulit daripada bentuk rektum lainnya. e. Ketika bahan obat diberikan dalam bentuk suppositoria, akan diabsorbsi secara lambat dan menghasilkan aksi terapetik setelah waktu yang lama. f. Harus dalam kondisi penyimpanan yang tepat (kering, dingin) terlindungi dari cahaya, bebas udara, disimpan pada tempat yang aman, tidak pada sembarang tempat yang bertujuan untuk

memperpanjang stabilitasnya. Cara pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum, dengan petunjuk pemakaian sebagai berikut : Cuci tangan suppositoria, kemudian tidur sampai bersih, buka miring. pembungkus Supositoria

dengan posisi

dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira - 1 inci pada anak dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4 6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria. Pembuatan sediaan suppositoria pada praktikum yaitu menimbang semua bahan sesuai resep yang telah ditentukan. Kemudian PEG 4000 dan PEG 6000 dileburkan dalam cawan diatas penangas air. Keuntungannya dari bahan dasar P.E.G adalah mudah larut dalam cairan dalam rektum, dan tidak ada modifikasi titik lebur yang berarti tidak mudah meleleh pada penyimpanan suhu kamar. Kemudian memasukkan belladone extra ke dalam mortar dan melarutkannya dengan sedikit air hangat agar belladone tersebut larut dan mudah tercampur dengan basisnya. Setelah itu mencampur basis dengan belladone extra sampai homogeny, kemudian memasukkan campuran tersebut kedalam cetakan suppositoria secara perlahan agar tidak pecah saat membeku dan dibiarkan

hingga beku. Setelah beku keluarkan dari cetakan dan masukkan kedalam pot salep atau plastik klip dan diberi etiket.

3.2 Emulsi Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Tipe emulsi yang dibuat pada praktikum kali ini tipe M/A yaitu suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang berupa air. Metode pembuatan emulsi yang digunakan yaitu dengan metode gom kering, teknik ini merupakan suatu metode kontinental pada pemakaian zat pengemulsi berupa gom kering. Cara ini diawali dengan membuat korpus emulsi dengan mencampur 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus sampai terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya suatu emulsi yang baik. Pembuatan emulsi pada praktikum kali ini yaitu menimbang semua bahann sesuai resep yang telah ditentukan. Kemudian memasukkan olleum iecoris aselli kedalam mortar yang kering dan ditambahkan dengan PGA dan digerus sampai homogen. Kemudian memasukkan sebagian aquadest ke dalam mortar dan digerus cepat agar emulsi tidak pecah hingga terbentuk korpus emulsi. Kemudian

memasukkana gliserol ke dalam campuran tersebut dan digerus hingga homogen dan menambahkan sisa aquadest kedalam campuran tersebut gerus jangan sampai emulsi tersebut pecah. Setelah semua homogen masukkan emulsi tersebut kedalam botol dan diberi etiket putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 sendok teh 5 mL dan diberi label kocok dahulu.

IV.

KESIMPULAN Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan : 1. Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. 2. Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Anief M. 2000. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. UGM Press. Yogyakarta. Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ismail, Isriany. 2011. Desain bentuk Sediaan Farmasi Larutan, Suspensi, dan Emulsi. Alauddin University Press. Samata-Gowa. Soetopo, dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Depkes RI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai