Anda di halaman 1dari 9

Artikel

Penguatan Desentralisasi Asimetris Dalam Mendorong Peningkatan Efektivitas Otonomi


Daerah Di Indonesia
Oleh : Dr. H. Joni Dawud, DEA
Kepala Bidang Pemetaan Kompetensi dan Kapasitas Aparatur PKP2A I LAN

Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang selama ini diterapkan semenjak kemerdekaan sampai
dengan saat ini menunjukan nuansa homogenitas yang begitu kuat. Daerah diasumsikan dapat
dikelola dengan format penyelenggaraan pemerintahan yang seragam. Walaupun demikian untuk
daerah-daerah tertentu seperti Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta diberikan perlakukan
tertentu yang berbeda dari Daerah yang lain dengan demikian konsepsi desentralisasi asimetris
telah mulai diterapkan. Menjadi pertanyaan dapatkah konsepsi desentralisasi simetris dapat terus
dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sehingga dapat
meningkatkan efektivitas pelaksanaan otonomi daerah ?
A. Pendahuluan
Kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Papua dewasa ini kembali dipersoalkan karena
efektivitas kebijakan tidak memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua. Sehingga menjadi pertanyaan publik apakah
persoalannya karena kesalahan kebijakan (Bad Policy) atau kesalahan implementasi Kebijakan
(Bad Implementation) artinya kebijakannya tidak menjadi persoalan yang bermasalah adalah
pelaksanaan kebijakan. Terlepas dari pro dan kontra mempermasalahan kesalahan kebijakan atau
kesalahan implementasi kebijakan, dalam khasanah Administrasi Publik Otonomi khusus
merupakan suatu bentuk upaya Desentralisasi dengan model asimetris.
Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang saat ini digulirkan pemerintah berdasarkan UU 32
Tahun 2004 serta perundang-undangan pelaksanaannya menunjukkan nuansa homogenitas yang
begitu kuat. Walaupun demikian untuk Daerah-daerah tertentu seperti Aceh dan Papua yang
lebih dilatarbelakangi aspek politis, DKI Jakarta dengan pertimbangan Manajemen Perkotaan
dan Ibu Kota Negara, serta DI Yogyakarta (yang saat ini masih dibahas) yang lebih cenderung
alasan historis diberi perlakuan khusus terhadap format otonomi daerahnya. Perlakuan-perlakuan
khusus yang diterima daerah-daerah tersebut terkadang menimbulkan kecemburuan dari Daerah-
daerah lain yang merasa mereka memiliki karakteristik tersendiri yang juga mengharapkan
perlakuan khusus, beberapa wacana tutuntan perlakuan khusus seperti Bali, Banten, Maluku dan
daerah-daerah lainnya mengemuka beberapa saat yang lalu. Dengan adanya wacana tersebut
menjadi pertanyaan besar dalam konteks berpemerintahan, apakah format otonomi Daerah
(sistem Pemerintahan Daerah) untuk sebuah negara harus seragam atau bisa menggunakan
format beragam (heterogen) dalam artian pemberlakuan otonomi di setiap daerah tidak perlu
seragam tapi menyesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Pewacanaan
Desentralisasi asimetris mendapatkan respon baik dari kalangan akademis maupun praktisi.
CSOs Forum memberikan pernyataan tentang hal tersebut dengan menyatakan bahwa Gagasan
Desentralisasi Asimetris pada dasarnya ada dalam spirit konstitusi dasar kita yang menunjukkan
bentuk transformasi format pemerintahan untuk menjawab masalah konkrit. Pendetailan secara
substantif akan memandu proses implementasi substantif kewenangan kabupaten/kota. Sebagai
pendekatan yang sesuai dengan nafas konstitusi, ada tiga basis kategori yang dipakai : politik,
karakteristik keberagaman dan governability. Dalam spirit desentralisasi asimetris menawarkan
corak diskriminasi yang positif untuk menjawab bagaimana membantu pemerintah pusat
menjalankan fungsi distribusi (Delivery political goods). Diskriminasi positif adalah bentuk
pengakuan terhadap keberagaman atau keistimewaan tiap daerah sehingga rasional antara
kelembagaan pusat dan propinsi serta desa mampu memberi ruang bagi provinsi/ kabupaten/kota
untuk menetapkan kewenangannya sesuai dengan "kapasitas lokal" (CSOs Forum - Oktober
2008).
Keberagaman Daerah di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri baik
keberagaman karena faktor geografis maupun karena faktor budaya tapi juga karena
kecepatan/percepatan pembangunan. Dengan adanya perbedaan tersebut maka kebutuhan setiap
daerah akan berbeda satu sama lain dan untuk pemenuhan kebutuhan yang berbeda
membutuhkan perlakuan (treatment) yang berbeda pula yang tercermin dari sistem yang berbeda,
dalam konteks pembicaraan ini adalah sistem desentralisasi/otonomi daerah yang diterapkan.
Format desentralisasi yang saat ini diterapkan pada umumnya menggunakan format yang sama
kecuali daerah-daerah khusus tersebut di atas. Format otonomi daerah/ desentralisasi yang
homogen dalam pelaksanaan di lapangan sering menimbulkan persoalan-persoalan sebagai
berikut :
1. Inefisiensi Jalannya Pemerintahan; pola jenjang pemerintahan yang seragam dimana
setiap daerah memiliki pola yang sama yaitu Setiap Provinsi terbagi kedalam Daerah
Otonom (Kabupaten dan Kota), setiap Kabupaten/Kota terbagi dalam Kecamatan, Setiap
Kecamatan terbagi dalam kelurahan atau Desa. Untuk hal-hal tertentu menjadi tidak
efisien karena dengan Tingkatan yang dipatok seperti itu menimbulkan birokratisme
jalannya pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2. Eselonisasi Pejabat Birokrasi di daerah menimbulkan ketimpangan beban kerja tetapi
mendapatkan kompensasi yang sama. Semua Dinas/Badan Kabupaten/Kota memiliki
Eselonisasi IIb, padahal beban kerja antara Dinas/Badan di satu Kabupaten/Kota
memiliki keragaman apalagi kalau diperbandingkan antar Daerah misalnya Kepala Dinas
Perhubungan Kota Bandung dengan Kepala Dinas Perhubungan Kota Banjar, beban
pekerjaannya pasti jauh berbeda akan tetapi kompensasi (Tunjangan jabatan) yang
diperoleh sama karena Eselonisasi yang sama.
3. Pola Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang seragam dengan pola Lini dan Staf
untuk setiap jenis pekerjaan/Organisasi padahal untuk Pekerjaan seperti Penelitian,
Perencanaan, Perumusan Kebijakan membutuhkan pola organisasi yang tidak Lini dan
Staf misalnya Organisasi Matrik. Setiap Organisasi harus selalu berjenjang Eselon II
terbagi kedalam Eselon III, Eselon III terbagi ke dalam Eselon IV, bahkan Eselon IV
terbagi kedalam Eselon V. Pola OPD yang lebih mengarahkan Jabatan Struktural
menyebabkan OPD dibentuk untuk pemenuhan kebutuhan Jabatan Struktural, dampak
lanjutannya Daerah berupaya keras untuk membentuk OPD sebanyak mungkin sesuai
dengan aturan yang berlaku bukan sesuai kebutuhan yang ada.
Persoalan-persoalan tersebut menjadi lebih complicated ketika penyelenggara pemerintahan
memanfaatkan kelemahan sistem untuk pemenuhan kebutuhan/kepentingan individu/kelompok
yang menambah inefisiensi dan inefektivitas jalannya pemerintahan. Dengan adanya persoalan
format desentralisasi / otonomi daerah yang homogen tersebut, menjadi pertanyaan besar penulis
: Mungkinkah Desentralisasi yang tidak seragam atau desentralisasi Heterogen atau
Desentralisasi Asimetris dapat diterapkan di kemudian hari? Hal-hal atau aspek-aspek apa yang
perlu diheterogenkan atau diberi peluang untuk bisa heterogen ?

B. Desentralisasi Simetris menuju Desentralisasi Asimetris
Penerapan desentralisasi dewasa ini menjadi salah satu agenda utama reformasi di sektor publik,
hal tersebut dilakukan didasarkan pada pengalaman selama ini. Sistem pemerintahan yang terlalu
sentralistis menimbulkan persoalan baik dalam pembangunan maupun pelayanan khususnya di
daerah. Dengan diterapkannya Desentralisasi diharapkan akan dapat mendorong terhadap
pemberdayaan (empowering) dan penguatan (strengthening) daerah baik Pemerintah Daerah
maupun masyarakat daerah (UNDP, 1996). Penerapan desentralisasi juga akan memberikan
keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1) pemerintah daerah akan lebih memahami kebutuhan
dan keinginan daerah / masyarakat daerah (better knowledge of local demands); 2)
memungkinkan pemerintah lebih mampu merespon atau menjawab berbagai tantangan dan
tuntutan dari masyarakat (ability to respond to local cost variations); 3) meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam menentukan jalannya pemerintahan (increased scope for community
participation); and 4) mendekatkan jarak antara masyarakat dan pemerintah sehingga masyarakat
merasakan manfaat yang didapat dari biaya yang dikeluarkannya (closer correspondence
between costs and benefits) (Hofman; 2000). Dengan dasar-dasar pertimbangan tersebutlah
desentralisasi diterapkan di Negara-negara di dunia saat ini.
Kondisi setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda satu sama lain yang dalam
derajat tertentu tidak bisa digeneralisasi sehingga hal tersebut berdampak terhadap format
Desentralisasi yang dibangun suatu negara. Format desentralisasi yang terlalu
mengeneralisasikan (Desentralisasi Homogen (Simetris)) sering menjadi pilihan suatu negara
dalam menjalankan manajemen pemerintahan daerahnya karena mempermudah kontrol
pemerintah pusat terhadap daerah, akan tetapi terkadang sering mendapatkan persoalan karena
terlalu dipaksakan walaupun tidak sesuai kebutuhan, akhirnya inefisiensilah yang terjadi. Dengan
adanya keterbatasan tersebut maka Format desentralisasi heterogen (asimentris) dijadikan
alternatif kebijakan dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut.

Gambar 1 : Desentralisasi Symetris dan Asymetris


Konsep Desentralisasi Asimetris, yaitu memberikan kebebasan kepada Daerah untuk
menentukan letak Otonomi, format pemerintahan atau hal-hal yang lain dalam Manajemen
Pemerintahan-nya yang disesuaikan dengan kebutuhan Daerah yang bersangkutan. Itu artinya
bahwa bentuknya tidak seragam (asimetris) antara Daerah yang satu dengan yang lainnya. Dalam
hal ini Pemerintah Pusat hanya sebagai fasilitator dan regulator kebijakan, khususnya
menuangkan keinginan Daerah tersebut dalam Undang-Undang yang kemudian dijadikan
landasan bagi Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya masing-masing.
Di Indonesia UU Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku selalu mengatur untuk
memberlakukan desentralisasi yang simetris (seragam), hal tersebut timbul mungkin disebabkan
pemerintah tidak memiliki desain desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun
desain itu ada, lebih disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai
permasalahan dan ancaman disintegrasi. Kebijakan otonomi khusus yang sekarang diterapkan
yaitu Otonomi khusus untuk Papua berdasarkan UU 21 Tahun 2001, Otonomi Khusus untuk
Aceh berdasarkan UU 18 Tahun 2001, DKI Jakarta berdasarkan UU 29 Tahun 2007 serta
keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta walaupun sampai saat ini keistimewaannya masih
sedang dibahas kembali dalam RUU Daerah Istimewa Jogjakarta. Kebijakan-kebijakan tersebut
menandakan sebenarnya sangatlah dimungkinkan Desentralisasi asimetris diterapkan di
Indonesia, bukan hanya untuk daerah-daerah tertentu tapi untuk Daerah yang lainnya juga.
Tuntutan dan kebutuhan desentralisasi asimetris cenderung akan semakin menguat pada masa-
masa yang akan datang. Daerah semakin merasa bahwa kekhasan yang dimikinya membutuhkan
perlakukan yang berbeda terhadap daerah yang lain. Saat ini kebutuhan Desentralisasi asimetris
muncul walau masih menjadi wacana sekelompok masyarakat di daerah yang bersangkutan,
salah satu yang santer diwacanakan yaitu Bali.Sebagian Masyarakat Bali mengharapkan Daerah
Bali (Provinsi dan atau Kabupaten/Kota) diberikan kekhususan dalam melaksanakan urusan
Kepariwisataan dan masalah keagamaan. Tuntutan seperti hal tersebut tidak tertutup
kemungkinan akan terus bergulir dengan semakin membesar (Snow ball).

C. Bentuk Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi Asimetris memiliki bentuk atau model yang beragam dalam memperlakukan
daerah, biasanya penerapan keberagaman tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan, baik
aspek politis, ekonomi, manajemen pemerintahan, sejarah, dan lain-lain. Perbedaan perlakuan
dilakukan karena Daerah memiliki keberagaman apalagi seperti di Indonesia yang sangat
beragam yang akan tidak efektif kalau disikapi dengan kebijakan yang simetris (homogen).
Desentralisasi asimetris hakikatnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep otonomi daerah,
daerah memiliki kemandirian untuk mengelola daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan situasi
kondisi di daerah yang bersangkutan.
Bentuk Desentralisasi Asimetris bisa beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dari Daerah dan
atau Negara yang bersangkutan. Dalam khasanah akademik dan praktis keberagaaman dalam
mengelola pemerintahan di daerah dapat berbentuk sebagai berikut:
1. Asimetris dalam Kewenangan/urusan Daerah Urusan / kewenangan daerah dapat
beragam untuk setiap daerah walaupun memiliki leveling yang sama. Pelaksanaan
kewenangan akan sangat dipengaruhi setidaknya oleh 3 hal yaitu :
a. Kemampuan atau kapasitas dari SDM di Daerah tersebut, semakin banyak SDM
yang berkualitas di Daerah yang bersangkutan akan semakin banyak pula
kewenangan yang akan mampu dijalankan tetapi sebaliknya semakin sedikit maka
akan sedikit pula yang mampu dilaksanakannya. Penyederhanaan dengan
merngasumsikan setiap daerah memiliki kemampuan yang sama menimbulkan
persoalan kualitas pelaksanaan kewenangan yang berbeda sehingga
masyarakatlah yang akhirnya dirugikan.
b. Kompleksitas Daerah, setiap daerah memiliki kompleksitas yang beragam daerah
perkotaan (Kota) biasanya memiliki tingkat kompleksitas jauh lebih rumit
dibandingkan daerah Pedesaan (Kabupaten). Dengan demikian kewenangan atau
urusan yang dimilikinya pun akan menyesuaikan dengan kompleksitas tersebut.
c. Tingkat perkembangan, perkembangan setiap daerah akan sangat beragam.
Daerah yang baru dibentuk "DOB" berbeda dengan daerah yang sudah lama
dibentuk. Konsep UU 5 Tahun 1974 dimana mengatur salah satunya tentang
kewenangan pangkal dan kewenangan tambahan mencerminkan upaya
memberikan urusan/kewenangan yang menyesuaikan dengan perkembangan
daerah yang bersangkutan.
Dengan desentralisasi asimetris, kewenangan setiap daerah akan berbeda satu sama lain.
Untuk itu peran pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan harus selalu memantau
perkembangan daerah-daerah tersebut, tidak tertutup kemungkinan kewenangan akan
mengalami pasang surut (penambahan dan pengurangan), tergantung situasi dan kondisi
yang terjadi di lapangan.
2. Model Pemerintahan Model pemerintahan yang diterapkan saat ini dengan bentuk yang
seragam yakni NKRI terdiri dari Provinsi dan setiap provinsi terbagi dalam Kabupaten
dan Kota, kecuali DKI Jakarta yang setingkat Provinsi tapi tidak memiliki Daerah
Otonom.
a. Mengingat perkembangan yang saat ini terus berkembang Model Pemerintahan
Daerah seperti DKI Jakarta bisa pula diterapkan untuk wilayah-wilayah
Metropolitan lainnya di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan
dan Makasar. Pengelolaan kawasan-kawasan Metropolitan seperti kota-kota
tersebut membutuhkan manajemen perkotaan yang terpadu dimana saat ini
wilayah Metropolitan-metropolitan tersebut terbagi-bagi ke dalam Kota/
Kabupaten Otonom, yang sering kali pembangunannya tidak terintegrasi karena
setiap Kabupaten/Kota memiliki prioritas pembangunan sendiri-sendiri.
b. Diberikan keleluasaan untuk memunculkan kawasan-kawasan khusus (otorita)
yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, bukan hanya untuk
level nasional tapi untuk di level daerah baik daerah provinsi maupun
kabupaten/kota dimungkinkan untuk dikembangkan dimasa yang akan datang.
3. Jenjang Pemerintahan
Dalam konsep Desentralisasi simetris menunjukkan adanya jenjang pemerintahan 7
jenjang pada Undang-undang No 5 tahun 1974 dan 5 jenjang pada UU 22 Tahun 1999
dan UU 32 Tahun 2004. UU 22 Tahun 1999 membuat terobosan berani yang berani
menyederhanakan jenjang pemerintahan menjadi hanya 5 jenjang dan tidak tertutup
kemudian penyederhanaan dilakukan kembali. Pola keseragaman seperti ini di berbagai
daerah di Indonesia diberlakukan termasuk di DKI Jakarta, walau ada sedikit Perbedaan
Kota/Kabupatennya bukan daerah otonom.

Tabel 1 : Perbandingan Jenjang Pemerintahan

Asimestris dalam jenjang pemerintahan ini dimungkinkan dengan bentuk : a) jenjang
pemerintahan dengan status daerahnya yang berbeda (Daerah administratif atau daerah
otonom) seperti halnya DKI Jakarta b) Banyaknya Jenjang Pemerintahan yang berbeda,
ada yang menerapkan 5 Jenjang atau kurang dari itu, misalnya di Kawasan Perkotaan
dimana sebagian akademisi mempersoalkan antara kelurahan dan kecamatan yang
mengindikasikan terjadinya birokratisme pelayanan kepada masyarakat sehingga
mengusulkan penghapusan salah satu jenjang pemerintahan tersebut.

Tabel 2 : Pembedaan Jenjang Pemerintahan Antara Kota dan Kabupaten

4. Organisasi Pemerintahan
Brickley dkk (2003: 1) pada awal tulisannya mengemukakan mengapa disain organisasi
menjadi permasalahan yang menarik karena "... a poor design can lead to lost profits and
even result in the failure of institution ..". Adapun Simmons (2005: vii) dalam kata
pengantarnya mengemukakan bahwa "The organization design is the most important
determinant of success for implementing strategy in a large organization". Dari kedua
pendapat tersebut tercermin bahwa disain organisasi adalah salah satu aspek dalam
organisasi yang perlu mendapat perhatian. Disain organisasi tidak lagi bersifat statis
tetapi harus dinamis menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Simmon (2005: 1) berikut :
As we begin the twenty-first century, the force affecting organizations have changed
significantly from those of earlier generations. New technologies have increased
productive capacity, markets have become global, the pace of competition has quickened,
work has become more complex, and the capabilities of workers have been enhanced.
Information technology, outsourcing, and alliances have changed the traditional
boundaries of the firm.
Dari pandangan-pandangan tersebut di atas terlihat bahwa Disain Organisasi merupakan
salah satu aspek yang penting terhadap keberlangsungan suatu organisasi artinya
organisasi akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan apabila disain organisasi yang
ada tepat (fit) sesuai dengan kebutuhan. Tetapi sebaliknya bila desain organisasi tidak
sesuai dengan kebutuhan maka jalannya organisasi selanjutnya tidak akan sesuai dengan
yang diharapkan. Dengan demikian maka Disain Organisasi perlu mendapatkan perhatian
bagi setiap organisasi baik di sektor swasta maupun sektor pemerintah dalam
membangun atau menentukan desain organisasi yang akan digunakannya. Ditegaskan
pula dari pandangan tersebut bahwa Disain organisasi harus bersifat dinamis yaitu harus
menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Daerah di Indonesia
memiliki perkembangan yang berbeda satu sama lain baik karena resourcesnya (SDM,
Keuangan dan sumber daya lainnya) yang berbeda sehingga kebutuhan antara satu daerah
dengan daerah yang lain akan berbeda satu sama lain. Dengan demikian desain organisasi
Pemerintahannya pun bisa berbeda satu sama lain menyesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing daerah.
Bentuk perbedaan Desain organisasi Pemerintah Daerah antara lain dalam hal-hal sebagai
berikut:
o Jumlah besaran Organisasi, PP 8 tahun 2003 dan PP 41 Tahun 2007 telah
mengamanahkan bahwa Besaran organisasi Pemerintah Daerah tidak harus sama
sesuai dengan kebutuhan daerah, PP tersebut menawarkan pola tertentu untuk
menghitung besaran organisasi Pemerintah Daerah.
o Jenjang Organisasi bisa berbeda antara satu organisasi dengan organisasi yang
lain disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang ada. Saat ini masih cenderung
homogen dengan jenjang Piramidal dimana Eselon 2 terdiri dari eselon 3 dengan
jumlah maksimal yang ditentukan dan eselon 3 terdiri dari eselon 4 dengan
jumlah maksimal yang ditentukan pula.
Gambar 2 : Piramidal Jenjang Organisasi Birokrasi di Indonesia

Dengan pendekatan asimetris tidak semua jenjang organisasi berbentuk piramidal
seperti ini, apalagi dengan dukungan teknologi memungkinkan tidak lagi
piramidal dan perlu melakukan pembatasan jumlah karena alasan span of control.
o Struktur organisasi
Struktur organisasi pemerintahan yang diterapkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah lebih banyak menggunakan
konsepsi Organisasi Lini dan Staf. Organisasi Lini dan Staf selalu menerapkan
organisasi secara hierarkis dan piramidal. Penentuan desain organisasi lebih
banyak ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan dan strategi organisasi
yang digunakan. Organisasi Lini dan Staf tepat untuk organisasi kemiliteran,
sedangkan organisasi penyelenggaraan pemerintahan semestinya memiliki variasi
yang disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan yang berkembang di lapangan.
Gambar 3 : Organisasi Lini dan Staf

Organisasi Fungsional atau organisasi matrik dapat pula diterapkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk pekerjaan perencaan, pengawasan,
penelitian, pendidikan, penyuluhan dan yang lainnya yang sejenis. Jenis pekerjaan
seperti ini menuntut profesionalisme fungsional, independensi pengerjaan yang
tidak terlalu tergantung kepada pejabat strukturalnya.
Gambar 4 : Organisasi Fungsional/ Matrix


5. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun melalui Perwakilan (DPRD) memiliki
tujuan yang sama yaitu menghasilkan pimpinan yang berkualitas sehingga jalannya
organisasi akan semakin baik dan daerah akan cepat berkembang dalam mencapai tujuan
otonomi daerah yaitu meningkatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Hasil Pemilihan Kepala Daerah secara langsung atau melalui perwakilan
(DPRD) sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi yang ada di daerah yang bersangkutan
khususnya terkait dengan kondisi masyarakat yaitu tingkat kesadaran dan tingkat
rasionalitas masyarakatnya. Masyarakat yang primordial dan tingkat rasionalitasnya
masih rendah karena tingkat pendidikannya masih rendah, akan sangat sulit mewujudkan
sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu perlakuan terhadap Daerah bisa dibedakan, ada
yang lebih efektif dengan pemilihan langsung tapi ada juga yang masih menerapkan
pemilihan secara tidak langsung

D. Kesimpulan
Dengan berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas Disentralisasi asimetris memiliki
peluang untuk diterapkan dalam jalannya pemerintahan di Indonesi. Desentralisasi Asimetris
pada dasarnya sejalan dengan UUD 1945 beserta amandemennya. Desentralisasi asimetris
menawarkan model penyelenggaraan pemerintahan yang beragam karena lebih mengedepankan
pada upaya menyesuaikan dengan keberagaman atau keistimewaan tiap daerah. Namun demikian
perlu diwaspadai juga desentralisasi asimetris akan memberikan perlakukan yang berbeda
(diskriminasi) sehingga disamping memberikan kepuasan pada sebagian darerah tapi tidak
tertutup kemungkinan menimbulkan ketidakpuasan sebagian daerah yang merasa dibedakan dari
daerah yang lain.
Penerapan Desentralisasi Asimetris harus tetap dalam rambu-rambu Negara Kesatuan Republik
Indonesia yakni :
1. Daerah adalah bawahan dari Pemerintah Pusat
2. Kewenangan bisa ditarik kembali oleh Pemerintah Pusat
3. Kewenangan tertentu yang tidak bisa dilimpahkan sama sekali ke Daerah



Daftar Bacaan
Brickley James A, Smith Clifford W Jr. Zimmerman Jerold L, Willett Janice, 2003, Designing
Organizations to Create Value from Structure to Strategy, New York : Mc Graw-Hill

Bryant Coralie and White Louise G, 1987, Manajemen Pembangunan untuk Negara
Berkembang, Jakarta : LP3ES

Cheema G. Shabbir and Rondinelli Dennis A, 1983, Decentralization and Development Policy
Implementation in Developping Countries, London : SAGE Publications

CSOs Forum, Monthly Program Reporting, September 2008 Effendi Elfian, 2001, Tuntutan itu
masih menyala, Delapan Indikasi Kuat Otonomi Daerah terancam Gagal, Jakarta: FE UI

Simmon Robert, 2005, Levers of Organization Design, How Managers use Accountability
System for Greater Performance and Comitment, Boston - Massachusetts : Harvard Business
School Press

UNDP, 1996, Local Governance Report of the United Nations Global Forum on Innovative
Policies and Practices in Local Governance Gothenburg, Sweden: 23-27 September 1996

Anda mungkin juga menyukai