Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007


Neurobiologi Gangguan Kepribadian Ambang:
Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif
dan Agresif
Andri, AAAA. Kusumawardhani
Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Gangguan kepribadian ambang merupakan salah satu gangguan kepribadian yang
cukup sering ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik klinis. Salah
satu ciri gangguan kepribadian ambang adalah perilaku impulsif dan agresif. Walaupun sampai
saat ini penyebab pasti gangguan kepribadian ini belum diketahui, namun penelitian terutama
di bidang neurobiologi sudah banyak dilakukan. Banyak penelitian menyatakan bahwa
beberapa regio otak, terutama regio korteks orbitofrontal, dan penurunan aktivitas sistem
serotonergik terlibat dalam patogenesis perilaku impulsif dan agresif pada gangguan
kepribadian ambang. Oleh karena itu, penatalaksanaan gangguan kepribadian ambang saat
ini tidak hanya melibatkan psikoterapi namun juga psikofarmakoterapi.
Kata Kunci: gangguan kepribadian, psikofarmakoterapi
123
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007
Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif
The Neurobiology of Borderline Personality Disorder:
Biological Approach in Impulsive and Aggressive Behavior
Andri, AAAA.Kusumawardhani
Psychiatry Department, Faculty of Medicine University of Indonesia,
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Borderline personality disorder is a type of personality disorder often found in everyday
life and in clinical practice. One of the characteristic of such personality disorder is impulsive and
aggressive behavior. Although the cause of borderline personality disorder has not been known
yet, studies show, the relation between this disorder and neurobiology aspects. Many studies
explain that some brains region, especially orbitofrontal cortex and degradation of system activity
of serotonergic involved in the pathogenesis of impulsive and aggressive in borderline personal-
ity disorder. Therefore, nowadays the management of this kind of disorder is not limited to
psychotherapy but also pharmacotherapy.
Keywords: personality disorder, psychopharmacotherapy
Pendahuluan
Gangguan kepribadian ambang terjadi antara 2-3% dari
populasi umum,
1
terutama ditemukan di pusat kesehatan
klinis. Di Amerika sekitar 1% penduduknya mengalami
gangguan kepribadian ambang. Gangguan kepribadian jenis
ini lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki:
perempuan mempunyai kecenderungan 3 kali lebih rentan
dibandingkan laki-laki. Sampai saat ini belum ada pasti di
Indonesia, namun diperkirakan kejadian gangguan
kepribadian ambang cukup tinggi karena biasanya gangguan
kepribadian ini ditandai oleh perilaku agresif dan impulsif,
yang biasanya banyak terdapat pada individu dengan
perilaku kekerasan. Hal itu dapat dilihat sehari-hari dari
berbagai laporan media. Pada kebanyakan kasus, gangguan
kepribadian ambang pertama kali ditemukan pada usia akhir
remaja; beberapa terjadi pada anak namun jarang terjadi pada
dewasa di atas 40 tahun.
2
Ganggguan kepribadian ambang pertama kali
diperkenalkan oleh Kernberg pada tahun 1975 sebagai suatu
diagnosis pada sekelompok pasien dengan mekanisme
pertahanan yang primitif dan objek relasi internal yang
patologis. Pada banyak kepustakaan, gangguan kepribadian
ambang dahulu sering dianggap sebagai batasan antara
psikosis dan neurosis.
1,2
Penyebab yang pasti gangguan kepribadian ini sendiri
masih dipertanyakan. Namun, belakangan ini para peneliti
terutama di bidang neurobiologi dan psikofarmakologi mela-
kukan pendekatan biologis yang lebih mendalam dengan
hipotesis adanya keterlibatan baik unsur fungsi otak,
neurotransmiter, genetik, dan neuroendokrin. Salah satu yang
paling sering diteliti adalah hubungan antara sistem seroto-
nergik dan regio otak yang terlibat dalam perilaku impulsif
dan agresif pada pasien gangguan kepribadian ambang.
Diagnosis Gangguan Kepribadian
Ciri kepribadian adalah pola perilaku yang berlangsung
lama, berhubungan dengan lingkungan dan diri sendiri, dan
keluar dalam bentuk konteks sosial dan pribadi. Ketika pola
perilaku ini secara bermakna menjadi maladaptif dan menye-
babkan hendaya yang serius dalam fungsi pribadi dan sosial,
hal ini dinamakan gangguan kepribadian. Manifestasi
gangguan kepribadian mudah ditemukan pada remaja dan
terus berlanjut sampai usia dewasa.
Diagnosis gangguan kepribadian ambang di dalam klinis
sehari-hari maka diperlukan suatu pedoman diagnositik yang
terdapat antara lain dalam Diagnostic and Statistic Manual
of Mental Disorder IV- Text Revised (DSM IV-TR) dan PPDGJ
III/ICD 10.
3
Berdasarkan DSM IV-TR, gangguan kepribadian
ambang adalah suatu pola yang menetap dari ketidakstabilan
hubungan interpersonal, gambaran diri dan afek dan
impulsivitas yang nyata dimulai pada masa dewasa awal dan
bermanifestasi dalam berbagai konteks, seperti diindikasikan
oleh lima atau lebih dari hal-hal yang tercantum dalam
Tabel 1.
124
Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007
Tabel 1. Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang (DSM IV-
TR)
3
Kriteria
1. usaha yang tidak beraturan untuk menghindari penolakan yang
nyata atau imajiner. Catatan: tidak termasuk bunuh diri dan perilaku
menyakiti diri seperti yang tertuang pada butir ke-5
2. sebuah pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan terus
menerus yang ditandai dengan pertukaran antara idealisasi dan
devaluasi yang ekstrem
3. gangguan identitas: ketidakstabilan gambaran diri atau perasaan
diri yang nyata dan terus menerus
4. impulsivitas pada setidaknya dua area yang mempunyai efek
potensial dalam perusakan diri (contoh: belanja, seks, penyalah-
gunaan zat, berkendaraan ceroboh, makan dan minum berlebihan).
Catatan: tidak termasuk perilaku bunuh diri atau melukai diri yang
terdapat pada kriteria ke-5
5. perilaku, isyarat atau ancaman bunuh diri yang sering atau perilaku
melukai diri
6. afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh:
episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang
berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari)
7. perasaan kosong yang kronis
8. marah yang tidak sesuai, sering atau kesulitan dalam mengendalikan
amarah (contoh: sering menunjukkan perangai, marah yang
konstan, sering berkelahi)
9. ide paranoid yang berhubungan dengan stress yang berlangsung
sementara atau gejala disosiatif yang parah
Banyak peneliti lebih berfokus pada perilaku agresif dan
impulsif pada pasien gangguan kepribadian ambang karena
manifestasi gejala ini dapat membahayakan tidak hanya diri
pasien sendiri namun juga orang-orang di sekitarnya.
Patofisiologi
Regio Otak
Beberapa regio di otak diperkirakan berperan dalam
perilaku manusia. Hasil penelitian menggambarkan bahwa
perilaku impulsif, disregulasi, dan kelainan kepribadian adalah
aspek utama gangguan kepribadian ambang. Gangguan
kepribadian ini dapat dipikirkan mempunyai profil neuro-
biologi yang unik
4
Prefrontal korteks terutama korteks pre-
frontal orbital dan korteks ventral media yang bersebelahan
berperan dalam pengaturan perilaku agresif.
5
Aktivitas
korteks prefrontal dimodulasi oleh traktus serotonergik yang
naik dari nukleus raphe di otak tengah, di mana badan-badan
sel serotonergik terletak dengan sinaps pada neokorteks,
berlaku pada sejumlah reseptor terutama reseptor5-HT2a.
Lesi pada korteks prefrontal, terutama korteks orbito
frontal, pada masa kanak awal dapat bermanifestasi sebagai
disinhibisi perilaku antisosial dan perilaku agresif pada masa
kehidupan selanjutnya. Sedangkan pengurangan massa abu-
abu di prefrontal telah dihubungkan dengan defisit
autonomik pada gangguan kepribadian antisosial dengan
perilaku agresif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korteks
orbitofrontal dan media frontal yang bersebelahan
mempunyai pengaruh hambatan/inhibisi agresi untuk
mengatur atau mengontrol pelepasan agresi.
5,6
Lesi pada korteks frontal telah lama dikenal berhubungan
dengan perilaku impulsif agresif. Kasus pertama dan paling
terkenal berasal dari suatu kasus dari tahun 1800-an. Seorang
pekerja bernama Phineas Gage berperilaku bermusuhan dan
agresif secara verbal setelah mengalami luka tembus di lobus
frontal otaknya karena kecelakaan saat bekerja. Phineas Gage
kemudian berubah dari seseorang yang sebelumnya serius,
aktif dalam bekerja, dan energik menjadi seorang yang
bermusuhan, kekanakan, tidak bertanggung jawab dan
berperilaku agresif.
5
Penelitian modern menyimpulkan bahwa
lokasi luka saat itu terdapat pada bagian anterior dan mesial
dari korteks orbitofrontal, juga mengenai girus cinguli ante-
rior dan korteks frontal anterior dan yang berhubungan di
mesial.
Banyak laporan lain menyimpulkan bahwa luka atau
pembedahan pengangkatan daerah korteks frontal terutama
orbitofrontal akan menyebabkan perilaku agresif.
6
Salah
satunya adalah impulsivitas pada pasien gangguan kepri-
badian ambang serupa dengan akibat kerusakan pada korteks
orbitofrontal. Namun hal lain yang merupakan karakteristik
utama gangguan kepribadian ambang, misalnya tingginya
emosional, tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan
korteks orbitofrontal. Pasien dengan gangguan kepribadian
ambang juga mempunyai ketidakseimbangan neurokimiawi
dan hiperaktivitas amigdala yang tidak terdapat pada pasien
dengan kerusakan korteks orbitofrontal.
Hubungan timbal balik antara korteks orbitofrontal dan
amigdala mungkin berperanan dalam mengatur respons
emosional dan perilaku. Disfungsi sirkuit limbik-orbitofrontal
mungkin terlibat dalam gangguan kepribadian ambang.
Terdapat penelitian yang menyatakan amigdala dan korteks
orbitofrontal bertindak sebagai bagian dari sistem neuron
yang terintegrasi, sebagai penunjuk pembuatan keputusan
dan seleksi respons adaptif berdasarkan gabungan pe-
nguatan stimulus. Gangguan kepribadian ambang mempunyai
beberapa defisit yang dapat dihubungkan dengan fungsi
yang ditunjukkan oleh korteks orbitofrontal. Kekurangan ini
mungkin berhubungan dengan volume korteks orbitofrontal
yang lebih kecil atau terhadap aktivitas yang rendah di korteks
orbitofrontal.
4
Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui regio di otak
yang berhubungan dengan perilaku impulsif agresif
dilakukan dengan menggunakan bantuan positron emission
tomography (PET) scan. Dari penelitian itu didapatkan bahwa
terdapat pengurangan aktivitas di daerah korteks prefrontal
pada pasien dengan gangguan bipolar, pasien dengan
gangguan kepribadian yang dikarakteristikan dengan perilaku
impulsif agresif, orang dengan masalah alkohol yang
berperilaku impulsif dan agresif, pembunuh yang impulsif,
dan pasien rawat dengan perilaku kekerasan. Beberapa
penelitian menggunakan fenfluramine sebagai zat sero-
tonergik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem
serotonergik dan meningkatkan metabolisme dan atau aliran
125
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007
Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif
darah di korteks orbitofrontal pada subjek yang normal.
Fenfluramine meningkatkan akitivitas serotonergik dengan
cara pelepasan langsung serotonin, menghalangi pengam-
bilan kembali serotonin dari celah sinaps, atau mungkin
dengan kerja di reseptor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian
fenfluramine terdapat aktivitas metabolik yang rendah pada
pasien dengan perilaku impulsif agresif dibandingkan dengan
subjek yang normal. Perbedaan aktivitas metabolisme ini
secara nyata terdapat di regio ventral medial frontal, girus
cinguli tengah kanan dan kiri atas, dan lobus parietal kanan
atas. Metabolisme yang meningkat setelah pemberian
fenfluramine juga terdapat pada daerah korteks prefrontal,
orbitofrontal kiri, dan daerah lateral hemisfer kanan subjek
normal. Hal ini tidak ditemukan pada subjek dengan perilaku
impulsif agresif. Pada penelitian ini didapatkan respons
metabolik yang tumpul terhadap fenfluramin terdapat secara
khusus pada bagian orbital dan regio prefrontal yang
berhubungan seperti halnya pada korteks cinguli.
Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara
fenfluramine dengan perilaku agresif impulsif berfokus pada
respons prolaktin terhadap fenfluramine. Namun respons
prolaktin terhadap fenfluramine tidak mencerminkan sirkuit
otak yang terpengaruh pada modulasi perilaku agresif.
Respons metabolik glukosa terhadap fenfluramine mendasari
suatu tes yang lebih langsung dan sensitif terhadap respons
pembentukan serotonin. Mekanisme pasti yang bertang-
gungjawab terhadap respons metabolik terhadap fenflu-
ramine belum ditentukan. Reseptor serotonergik multipel
termasuk 5-HT
1a
, 5-HT
1b
, 5-HT
2a
, dan 5-HT
2c
terdapat di
korteks serebral. Bergantung pada regio otak, dosis, dan
spesifisitas reseptor agonis serotonergik, reseptor-reseptor
ini mungkin berperan dalam meningkatkan atau menurunkan
aktivitas metabolisme glukosa serebral.
Suatu penelitian terhadap primata memperlihatkan
bahwa perilaku agresif primata berhubungan secara terbalik
dengan jumlah reseptor 5-HT
2
di korteks orbitofrontal pos-
terior, korteks frontal media, dan amigdala; hubungan itu
tidak ditemukan di daerah otak yang lain. Sebaliknya jumlah
reseptor 5-HT
2
di korteks frontal orbital posterior, postrerior
temporal, dan amigdala secara langsung berhubungan
dengan perilaku prososial. Penemuan itu mendukung
hipotesis bahwa efek serotonin secara spesifik terhadap
perilaku bergantung pada regio yang dipengaruhinya.
Sebagai contoh, kadar serotonin yang tinggi di korteks or-
bital menyebabkan perilaku yang kooperatif sedangkan
sebaliknya kadar serotonin yang rendah di korteks orbital
menyebabkan perilaku agresif.
5-8
Neuroendokrin
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa terdapat
hubungan antara penurunan aktivitas sistem serotonergik
pusat dengan pasien agresif impulsif yang mengalami
gangguan kepribadian. Terdapat penurunan metabolit sero-
tonin, yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) di cairan
serebrospinal pada pasien dengan gangguan kepribadian
dengan impulsif dan agresivitas, juga pada pasien depresi
dan pengguna alkohol. Usaha bunuh diri sering dilihat
sebagai subtipe perilaku agresif; kekurangan 5-HIAA juga
dihubungkan dengan usaha atau tindakan bunuh diri pada
berbagai populasi. Hubungan antara impulsif agresif dan
sistem serotonergik juga didukung oleh penelitian tentang
pemanfaatan respons hormonal terhadap keterlibatan
farmakologis yang meningkatkan aktivitas sistem sero-
tonergik.
Respons yang tumpul terhadap d,l-fenfluramine (suatu
zat penginduksi serotonin dan agonis pasca-sinap) dite-
mukan pada laki-laki dengan gangguan kepribadian ambang
dan gangguan kepribadian antisosial. Pada penelitian yang
lebih besar lagi ditemukan bahwa respons prolaktin yang
tumpul terhadap d-fenfluramine dihubungkan dengan
impulsivitas dan agresivitas. Penemuan ini mendukung
adanya hubungan antara tumpulnya respons serotonergik
dengan impulsif dan agresi. Selain ditemukan pada pasien
gangguan kepribadian ambang dan antisosial, respons
prolaktin yang tumpul terhadap d-fenfluramine juga
ditemukan pada pasien depresi dengan serangan kemarahan.
Pasien depresi dengan iritabilitas dan kemarahan lebih dekat
hubungannya dengan kekurangan aktivitas serotonergik.
6,7,9
Selain perilaku impulsif dan agresif, pasien gangguan
kepribadian ambang juga dihubungkan dengan ketidak-
stabilan afektif. Penelitian neuroendokrin pada ketidakstabilan
afek tidak sebanyak penelitian tentang perilaku agresif dan
impulsif. Dalam salah satu penelitian dikatakan bahwa sistem
kolinergik berhubungan dengan pengaturan afek. Zat agonis
kolinergik dapat menginduksi mood depresif pada pasien
normal dan pasien dengan depresi, namun ternyata zat ini
dapat lebih kuat efeknya pada pasien gangguan kepribadian
ambang. Procaine, suatu agonis kolinergik memperlihatkan
mampu menyebabkan disforia yang kuat pada pasien
gangguan kepribadian ambang dibandingkan dengan subjek
yang normal atau dengan gangguan afektif.
Penelitian lain membuktikan terdapat gangguan aktivitas
noradrenergik pada pasien gangguan kepribadian ambang
dengan ketidakstabilan afektif. Pada pemberian zat kate-
kolaminergik, misalnya dekstroamfetamin, pada subjek yang
sehat dapat terlihat mood yang disforik pada subjek yang
berhubungan dengan ketidakstabilan afektif.
6
Sistem Serotonergik
Pasien dengan gangguan kepribadian ambang
dikarakteristikkan dengan perilaku impulsif dan agresif,
tindakan melukai diri yang berulang, perilaku bunuh diri, afek
yang labil dan mudah diganggu, dan hubungan yang kacau.
Perilaku tersebut telah dihubungkan dengan rendahnya
neurotransmiter serotonin; kadar asam 5-hydroxyindoleacetic
acid yang rendah, respons prolaktin yang tumpul terhadap
5-HT agonis, serta gangguan marker dan platelet di dalam
126
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007
Efektivitas Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif
plasma. Kehilangan triptofan yang tiba-tiba, suatu prosedur
yang secara sekilas mengurangi neurotransmisi dari 5-HT,
dilaporkan meningkatkan perilaku impulsif dan agresi.
Penelitian itu mendukung hipotesis bahwa rendahnya sero-
tonin berperan sebagai penyebab dalam patofisiologi perilaku
disinhibisi dan impulsif.
5-10
Konsentrasi metabolit serotonin 5-HIAA yang rendah
di cairan otak terdapat pada cairan otak individu dengan
perilaku agresif dan tindakan kekerasan. Penemuan tersebut
mendukung adanya perubahan fungsi serotonergik pusat
pada perilaku impulsif, agresif dan kekerasan. Disfungsi
serotonergik pusat dihubungkan secara konsisten dengan
perilaku bunuh diri. Lebih dari 20 penelitian melaporkan
konsentrasi 5-HIAA yang rendah di cairan otak orang yang
melakukan upaya bunuh diri. Hal itu merupakan penemuan
yang menguatkan bidang psikiatri biologi. Individu yang
melakukan bunuh diri juga berhubungan dengan respons
prolaktin yang tumpul terhadap fenfluramin. Sesuai dengan
penelitian antemortem, pada penelitian postmortem terdapat
penurunan densitas transporter serotonin di korteks dan
densitas reseptor serotonin yang lebih besar di post sinap
korteks korban bunuh diri. Pada penelitian terdahulu, agresi
dan disfungsi serotonergik biasanya ditemukan pada pasien
dengan gangguan kepribadian.
5-10
Penemuan rendahnya kadar 5-HIAA dalam cairan
serebrospinal pada penelitian terdahulu juga dikaitkan
dengan perilaku bunuh diri pada beberapa pasien. Namun
pada penelitian baru-baru ini, rendahnya kadar 5-HIAA di
dalam cairan serebrospinal secara konsisten berkaitan
dengan gangguan kepribadian, perilaku kekerasan impulsif,
dan riwayat pembakaran. Bukti adanya perilaku agresif yang
berhubungan dengan disfungsi serotonergik di luar
hubungannnya dengan perilaku bunuh diri, ditambah bukti
bahwa agresi dan bunuh diri terlibat satu sama lain
menjadikan suatu pemikiran bahwa dua perilaku ini mungkin
mempunyai dua faktor perilaku yang sama, yaitu impul-
sivitas.
8,12
Beberapa bukti menyatakan bahwa pasien dengan
perilaku menyakiti diri mempunyai kadar stimulasi serotonin
(5-HT) terhadap reseptor 5-HT
2
yang rendah. Percobaan pada
hewan menyatakan kekurangan stimulasi serotonin akan
menyebabkan peningkatan jumlah reseptor 5-HT2 di korteks.
Beberapa penelitian lain mengatakan peningkatan kadar
densitas reseptor 5-HT
2
di daerah Brodmann 9 di korteks
prefrontal pada korban yang berperilaku melukai diri, misalnya
bunuh diri. Dikatakan terdapat kadar serotonin(5-HT) yang
rendah di otak pasien depresi dan pasien dengan perilaku
melukai diri. Bila melihat hubungan antara 5-HT dengan
potensial ikatan 5-HT
2
, maka dapat dilihat bahwa pening-
katan 5-HT berhubungan terbalik dengan potensial ikatan 5-
HT
2
yang mengalami penurunan. Sebaliknya jika terjadi
penurunan 5-HT maka ikatan potensial 5-HT
2
akan
meningkat. Peningkatan potensial ikatan 5-HT
2
ini dapat
ditemukan pada pasien dengan perilaku melukai diri atau
pasien depresi berat dengan perilaku bunuh diri.
10
Penelitian yang dilakukan Coccaro et al
13
berbeda hasil
dengan banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain.
Pada penelitian itu tidak didapatkan adanya hubungan antara
kadar 5-HIAA cairan serebrospinal dengan perilaku agresif.
Coccaro hanya menyebutkan adanya hubungan terbalik
antara respons prolaktin terhadap d-fenfluramine pada pasien
dengan perilaku agresif.
13
Namun demikian, agresi, misalnya
perilaku bunuh diri, tidak terbatas pada satu kategori diag-
nostik saja. Gejala ini juga terdapat pada beberapa diagnostik
psikiatri yang lain. Oleh karena itu, adanya kadar 5-HIAA
yang rendah di serebrospinal tidak terbatas pada diagnosis
gangguan kepribadian semata, namun juga termasuk depresi,
gangguan bipolar, dan skizofrenia. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa penanganan gangguan kepribadian juga
dapat melibatkan unsur psikofarmakologi dengan meng-
gunakan preparat serotonin di luar keterlibatan terapi yang
telah biasa dilakukan.
9
Perkembangan saat ini tentang fungsi neuroimaging
telah memungkinkan peneliti untuk menganalisis kembali
hipotesis 5-HT tentang impulsivitas dengan mengukur secara
langsung neurotransmitter 5-HT di otak mahkluk hidup. Salah
satu metodenya menggunakan PET dengan pelacak -
[
11
C]methyl-L-tryptophan (-[
11
C]MTrp).

-[11C] MTrp
merupakan sintetis analog 5-HT precursor L-tryptofan. Dari
hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada pasien gangguan
kepribadian ambang terdapat penurunan ambilan -
[11C]MTrp di daerah kortikostriatal, termasuk girus frontal
media, girus cinguli anterior, girus temporal superior, dan
korpus striatum. Telah dilaporkan dalam beberapa penelitian
bahwa ambilan -[
11
C] methyltryptophan di korteks berkurang
pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang.
7,11
Manfaat dalam Pengobatan
Pegangan praktis American Psychiatric Association
untuk pengobatan gangguan kepribadian ambang menya-
rankan kombinasi antara psikoterapi dengan pengobatan
farmakologis untuk hasil yang optimal. Walaupun tidak ada
penelitian tentang kombinasi terapi ini namun pendapat lama
mengatakan bahwa terapi obat membantu psikoterapi dan
begitu juga sebaliknya.
14
Suatu penelitian dengan metode double blinded dengan
menggunakan kontrol dan plasebo menunjukkan bahwa
pasien dengan gangguan kepribadian ambang mempunyai
respons yang baik terhadap obat golongan Selective Sero-
tonin Reuptake Inhibitor (SSRI) dengan perbaikan pada
kemarahan, perilaku agresif impulsif (terutama agresi verbal),
dan afek yang labil.
6,9
Obat ini membantu psikoterapi dengan
mengurangi suara-suara afektif seperti kemarahan yang
menetap, kecemasan atau disforia, yang mencegah pasien
untuk tidak merefleksikan hal tersebut ke dunia internal
mereka. Juga terdapat bukti bahwa SSRI menstimulasi
neurogenesis, terutama di hippocampus, yang memperbaiki
memori deklaratif verbal. Sebagai tambahan, SSRI dapat
127
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007
Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif
mengurangi hiperaktivitas aksis Hipothalamic Pituitary
Adrenal (HPA) dengan mengurangi hipersekresi Corti-
cotropine Releasing Factor (CRF).
14
Psikoterapi dengan menggunakan SSRI dapat membantu
menfasilitasi perubahan di otak. Kemampuan pasien melihat
terapis sebagai seseorang yang membantu dan memberi
perhatian, bukan sebagai tokoh yang menuntut dan penuh
dengki, akan membantu membangun jaringan neuron yang
baru dan akan melemahkan yang lama. Splitting juga dapat
berkurang karena kecemasan yang lebih ringan mengurangi
keperluan membuat pertahanan. Penelitian dengan
menggunakan PET memperlihatkan bahwa psikoterapi dapat
meningkatkan metabolisme sistem serotonergik pada pasien
dengan gangguan kepribadian ambang.
14
Kesimpulan
Saat ini pengertian tentang gangguan kepribadian
ambang juga melibatkan pendekatan secara neurobiologis.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan adanya hubungan
antara faktor biologis dengan gangguan kepribadian ambang.
Regio di otak dan sistem serotonergik paling banyak diteliti
dalam hubungannya dengan gangguan kepribadian ambang,
terutama dalam hubungan adanya perilaku impulsif dan
agresif sebagai ciri utama gangguan ini. Penelitian yang
dilakukan telah menunjukkan adanya keterlibatan regio otak,
terutama korteks orbitofrontal, dan sistem serotonergik
sebagai patogenesis perilaku impulsif dan agresif pada
individu dengan gangguan kepribadian ambang.
Penatalaksanaan gangguan kepribadian ambang dapat
melibatkan unsur psikoterapi dan psikofarmakologi. Adanya
keterlibatan sistem serotonergik dalam patogenesis
memungkinkan penggunaan preparat serotonin dalam terapi
psikofarmakologi pasien gangguan kepribadian ambang.
Tentunya penelitian lebih lanjut gangguan kepribadian
ambang di bidang neurobiologi sangat diperlukan untuk
mendapatkan rekomendasi yang lebih baik lagi tentang
patogenesis dan tatalaksana pasien gangguan kepribadian
ambang.
Daftar Pustaka
1. The National Alliance for Research on Schizophrenia and De-
pression. Borderline Personality Disorder. Diunduh dari http:/
www.narsad.org tanggal 25 Februari 2006.
2. Belgard FE, Davis JE. Personality disorder: Borderline. E-medi-
cine last updated September 27
th
, 2005. Diunduh dari http:/
www.emedicine.com tanggal 25 Februari 2006.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistic Manual
of Mental Disorder IV- Text Revised (DSM IV-TR). Washington
DC: American Psychiatric Association; 2000.
4. Berlin HA, Phil D, Rolls ET, et al. Borderline personality disor-
der, impulsivity, and the orbitofrontal cortex. Am J Psychiatry
2005;162:2360-73
5. Carlson NR. Physiology of Behavior. 8
th
ed. Boston: Pearson
Education,Inc; 2004.p.350-3
6. New AS, Siever LJ. Neurobiology and genetic of borderline per-
sonality disorder. Diunduh dari http:/www.imaging_ genetics.co.id
tanggal 23 Februari 2006.
7. Siever LJ, Buchsbaum MS, New AS, et al. D,l-fenfluramine re-
sponse in impulsive personality disorder assessed with [18F]
fluorodeoxuglucose positron emission tomography. Neuropsy-
chopharmacology 1999;20(5):414-21.
8. Mann J, Brent DA, Arango V. The neurobiology and genetics of
suicide and attempted suicide: A focus on the serotonergic sys-
tem. Neuropsychopharmacology 2001;24(5):467-71.
9. Manuck SB, Flory JD, McCaffrey JM, et al. Aggression, impul-
sivity and central nervous system serotonergic responsivity in a
nonpatient sample. Neuropsychopharmacology 1998;19(4): 287-
96.
10. Meyer JH, McMain S, Kennedy SH, et al. Dysfunctional attitudes
and 5-HT
2
receptors during depression and self-harm. Am J Psy-
chiatry 2003;160:90-9
11. Leyton M, Okazawa H, Diksic M, et al. Brain regional -
[
11
C]methyl-L-tryptophan trapping in impulsive subjects with
borderline personality disorder. Am J Psychiatry 2001;158:775-
82
12. Stanley B, Molcho A, Stanley M, et al. Association of aggressive
behavior with altered serotonergic function in patients who are
not suicidal, Am J Psychiatry 2000;157:609-14
13. Coccaro EF, Kavoussi RJ, Cooper TB, et al. Central serotonin
activity and aggression: Inverse relationship with prolactin re-
sponse to d-fenfluramine, but not CSF 5-HIAA concentration, in
human subject. Am J Psychiatry 1997;154:10
14. Gabbard GO. Mind, brain, and personality disorders. Am J Psy-
chiatry 2005;162:648-55.
EV
128

Anda mungkin juga menyukai