Anda di halaman 1dari 4

Pemilu untuk Perubahan, Ibarat Menggantang Asap

Al-I slam edisi 703, 25 J umaduts Tsaniyah 1435 H 25 April 2014 M


Dalam catatan sejarah, setidaknya negeri ini sudah sebelas kali menggelar Pemilu. Pada masa
Orde Lama digelar sekali Pemilu, yakni tahun 1955 diikuti 172 parpol dan didominasi empat
parpol yaitu: PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PKI.
Selama Orde Baru digelar enam kali pemilu yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997. Pemilu tahun 1971, pada ada awal pemerintahan Soeharto, diikuti oleh 10 parpol. Pemilu
selanjutnya, hanya diikuti tiga parpol sebagai hasil peleburan berbagai parpol yang ada
sebelumnya, yakni PPP, PDI dan Golongan Karya.
Orde Baru jatuh oleh gerakan reformasi dan dimulailah Orde Reformasi. Sejak masuk Orde
Reformasi hingga sekarang telah digelar empat kali Pemilu yakni tahun 1999 yang diikuti oleh
48 partai politik, tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik, tahun 2009 diikuti oleh 38 partai
politik dan tahun 2014 yang baru lalu diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik
lokal Aceh.
Sepanjang kurun waktu tersebut, Indonesia memiliki 6 orang presiden, yakni Soekarno,
Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Poetri dan Soesilo Bambang
Yudhoyono. Dan pada pemilu bulan Juli mendatang akan dipilih presiden ke tujuh.
Menggantang Asap
Setelah melalui sebelas kali Pemilu dan enam orang Presiden berganti, nyatanya harapan
tinggal harapan, perbaikan dan perubahan yang dijanjikan tak kunjung datang. Belasan kali
Pemilu sudah dilaksanakan, kesejahteraan masyarakat masih sebatas angan-angan. Wakil
rakyat datang silih berganti, setiap kali itu pula rakyat hanya dijadikan komoditi. Berkali-kali
kepemimpinan dirotasi, sebanyak itu pula rakyat menelan kekecewaan dan merugi.
Parlemen dan penguasa hasil Pemilu selama ini membuat harapan dan cita-cita umat terasa
makin jauh dari kenyataan. Dari Parlemen dan Penguasa pilihan rakyat itu lahir banyak
peraturan perundangan yang justru merugikan rakyat. Melalui mereka juga kepentingan asing
masuk. Merekalah pelaku korupsi yang paling ganas di negeri ini. Mereka pula yang telah
menjual aset berharga milik negara dan rakyat. Bukankah mereka yang menjual Indosat dan
BUMN-BUMN lainnya, menjual murah bank-bank yang diselamatkan dengan ratusan triliun
uang rakyat, dan lainnya. Bukankah mereka yang memberikan kontrak kepada Freeport,
Newmont dan swasta asing lainnya untuk menjarah tambang yang sejatinya adalah milik
rakyat. Bukankah penguasa pilihan rakyat hasil pemilu jugalah yang menyerahkan blok kaya
minyak kepada Exxon Mobil, bok kaya migas kepada Total, serta menyerahkan dan
memperpanjang kontrak BP untuk mengeruk gas Tangguh. Benar, mereka semua adalah
Parlemen dan Penguasa hasil Pemilu.
Parlemen dan penguasa hasil pemilu nyatanya telah menghasilkan berbagai UU yang
merugikan rakyat dan membuka pintu bagi asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Sejak
tahun 1967, DPR dan Pemerintah telah mengeluarkan UU yang menjadi pintu masuk
cengkeraman asing atas negeri ini. UU Penanaman Modal Asing (UUPMA) no. 1 tahun 1967
bahkan sengaja disahkan agar PT Freeport bisa segera mengeksploitasi emas milik rakyat. DPR
hasil Pemilu paca reformasi pun menghasilkan UU yang makin menyempurnakan jalan
penguasaan asing itu, seperti UU Penanaman Modal, UU Perbankan, UU Minerba, UU Migas,
UU kelistirikan, UU Sumber Daya Air, dan UU lainnya.
Hasilnya, kini dominasi asing makin kuat mencengkeram sektor-sektor strategis. Sekadar
contoh, menurut catatan Kompas, Per Maret 2011, pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset
perbankan nasional. Dengan demikian sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp
3.065 triliun dikuasai asing. Pada badan usaha milik negara (BUMN), dari semua BUMN yang
telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor
minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen
dikuasai pihak asing.

Bukan Jalan Perubahan Hakiki
Pemilu nyatanya tidak memberikan perbaikan dan perubahan yang hakiki. Pemilu yang terjadi
hanya memberikan pergantian rezim, sementara sistemnya tetap tidak berubah. Sebab Pemilu
di manapun memang didesain hanya untuk rotasi dan pergantian orang atau rezim, bukan untuk
perubahan sistem dan ideologi.
Karenanya, meski sudah sebelas kali Pemilu digelar di negeri ini, sistem demokrasi yang
memberikan hak pembuatan hukum kepada manusia tetap bercokol. Demokrasilah pintu
lahirnya berbagai UU yang merugikan rakyat. Sistem ekonomi kapitalisme juga tetap bertahan
dan bahkan makin kapitalistik.
Jika perubahan yang diimpikan adalah perubahan rezim, perubahan orang, maka Pemilu bisa
memberikan itu. Namun, perubahan rezim tidak selalu membawa kebaikan bila tidak diikuti
dengan perubahan sistem. Buktinya, seperti yang selama ini terjadi. Rezim demi rezim berganti
tetapi kondisinya tak banyak berubah. Malah banyak orang menilai kondisi sekarang dalam
banyak hal, misalnya korupsi, lebih buruk dari sebelumnya. Begitu parahnya praktik korupsi,
sampai muncul anekdot, bila pada masa Orde Baru korupsi dilakukan di bawah meja, sekarang
di atas meja, bahkan mejanya pun dikorup.
Sistem politik justru menjadi semakin mahal. Menurut Mahfud MD, mantan ketua MK, Saat
biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong
ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga. Sistem
politik yang mahal itu membuat kekuatan uanglah yang dominan. Jadilah negara makin kental
bercorak korporatokrasi. Persekongkolan penguasa-pengusaha pun makin menjadi-jadi.
Jelas dari apa yang terjadi, tidak ada perubahan mendasar yang terjadi meski pemilu sudah
sebelas kali. Indonesia masih menganut sistem demokrasi sekular yang menihilkan peran
agama di ranah publik. Pemilu juga ternyata hanya menjadi alat untuk memperpanjang usia
demokrasi sambil rakyat dikibuli lima tahun sekali.
Jadilah negeri ini seperti sekarang ini. Tak ada yang namanya kepentingan rakyat. Yang ada
hanyalah kepentingan elite politik dan para kapitalis. Hal tersebut terjadi karena yang berubah
dari negeri ini hanyalah sebagian orang dan rezim. Sistem politik masih demokrasi sekular,
sementara sistem ekonomi masih kapitalistik. Fakta yang terjadi saat ini hanyalah pergantian
orang dari generasi ke generasi; hanya peralihan dari rezim yang satu ke rezim yang lain.
Sejarah panjang bangsa ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita, bahwa tidak cukup sekadar
mengganti orang. Berbagai masalah tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti rezim.
Sebelas kali Pemilu berlangsung, enam kali presiden berganti, tidak ada yang berubah dari
negeri ini. Bahkan negeri ini makin terpuruk hampir di semua lini.
Semua itu akibat terus mempertahankan sistem sekuler demokrasi kapitalisme seraya berpaling
dari sistem Ilahi yang dibawah oleh Nabi saw. Allah pun sudah mengingatkan hal itu jauh-jauh
hari.


Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit. (TQS Thaha [20]: 124)

Imam Ibn Katsir menjelaskan: Allah SWT berfirman, Dan siapa yang berpaling dari
peringatanku yakni menyalahi perintah (ketetapan)-KU dan apa yang Aku turunkan kepada
Rasul-Ku, berpaling darinya dan melupakannya serta mengambil yang lain sebagai
petunjuknya maka baginya kehidupan yang sempit yakni di dunia.

Mewujudkan Perubahan Hakiki
Perubahan yang hakiki tidak cukup sekadar dengan perubahan orang, tetapi juga harus ada
perubahan sistem secara mendasar dan menyeluruh. Bila kita menginginkan perubahan sistem,
apalagi ideologi; kita tidak bisa berharap pada pemilu, sebab pemilu tidak menawarkan hal itu.
Lagi pula, dalam kenyataannya, perubahan rezim dan sistem, misalnya dari rezim Orde Lama
ke Orde Baru, juga dari Orde Baru ke Orde Reformasi, begitu juga perubahan-perubahan besar
di berbagai negara di dunia, termasuk apa yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah
belakangan ini, tidaklah terjadi melalui pemilu termasuk Pilpres mendatang.
Semua keburukan yang terjadi saat ini, mulai dari lahirnya peraturan perundangan yang buruk,
pemimpin yang buruk, wakil rakyat yang korup dan sebagainya, pangkalnya adalah demokrasi
dan penerapan sistem sekular. Karena itu, selama dua hal itu ada, keburukan tidak akan hilang.
Sebaik apapun orang yang dipilih dalam sistem itu, hasilnya akan tetap buruk, karena yang
membuat buruk adalah sistemnya itu sendiri. Jadi, kalau kita ingin benar-benar menghentikan
keburukan, sistem demokrasi dan sistem sekular itu harus dibuang jauh-jauh dari negeri ini.
Perubahan hakiki, yakni perubahan sistem dan orang itu, harus kita perjuangkan. Sebab
perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perubahan hakiki hanya bisa kita wujudkan
melalui perjuangan dengan jalan dakwah, yang sesuai thariqah (metoda) dakwah Rasulullah
saw. Jalan dan metode lain tidak akan menghantarkan pada tujuan, bahkan akan memalingkan
dari jalan yang benar. Perjuangan itu harus dilakukan secara terorganisir dan berjamaah. Dalam
hal ini, peran partai politik sangat vital. Partai harus melakukan pengkaderan, pembentukan
kesadaran umum tentang Islam di tengah masyarakat dan thalabun nushrah. Inilah jalan yang
haq, yang dijamin akan menghasilkan kemenangan hakiki dan tegaknya al-haq, yaitu
penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.


Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (TQS al-Anam [6]: 153)

Wallh alam bi ash-shawb. []

Komentar:
Pemilu Legislatif 2014 dinilai sebagai pemilu paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Pemilu
legislatif tahun ini bukan memperjuangkan ideologi atau isu-isu yang bersifat program, juga
bukan memperjuangkan elektoral, melainkan jadi arena pintar-pintaran mendistribusikan uang
tanpa melanggar aturan pemilu. (Kompas, 22/4)
1. Pemilu memang bagian dari Demokrasi, sistem politik sarat biaya, wajar saja semua itu
terus terjadi.
2. Pemilu jadi sulap canggih demokrasi untuk kanalisasi kehendak rakyat yang ingin
perubahan dan perbaikan, tapi akhirnya dikelabuhi.
PEMILU DAN PERUBAHAN
Negeri terbaik merupakan negeri yang memiliki pemimpin terbaik dan menjalankan sistem yang
terbaik. Pemimpin terbaik ialah pemimpin yang bertakwa dan taat syariah. Sistem terbaik ialah
sistem Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam secara total.
Pemilu merupakan mekanisme untuk memilih pemimpin saja. Tidak lebih. Dalam sistem sekular
seperti sekarang, boleh jadi ada pemimpin/calon pemimpin yang secara personal memang baik.
Namun, ia hanyalah pemimpin/bakal menjadi pemimpin yang baik di dalam sistem yang buruk.
Dikatakan sistem yang buruk karena dalam sistem sekular saat ini Islam tidak digunakan sebagai
dasar dan acuan untuk menuntaskan semua permasalahan negara.
Apalagi Pemilu dalam sistem sekular saat ini telah meletakkan kekuasaan (memilih pemimpin)
serta kedaulatan (membuat hukum) seluruhnya ada di tangan manusia. Rakyat memilih pemimpin
yang nantinya akan membuat hukum berdasarkan hawa nafsu manusia, hawa nafsu mereka bukan
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
Sebaliknya, dalam pandangan syariah, kekuasaan memang berada di tangan umat. Umat berhak
memilih pemimpin yang diinginkannya (tetap dengan koridor syariah). Namun, dalam hal
kedaulatan membuat hukum, itu merupakan hak Allah semata. Kedaulatan ada di tangan Allah
(syariah) (lihat QS al-Anam [6]: 57).
Dalam sistem sekular saat ini, pemimpin yang terpilih nantinya akan menjalankan sistem yang ada,
yaitu sistem sekular yang nyata-nyata merupakan akar masalah dari semua problem yang dialami
umat Islam.
Dalam sistem sekular, dengan diterapkannya sistem demokrasi, yang meletakkan hak membuat
hukum ada di tangan manusia, Islam ditinggalkan dan dibuang. Dengan sekularisme yang
menyatakan agama tidak boleh mencampuri urusan negara, Islam benar-benar disingkirkan.
Demokrasi sekular inilah yang seharusnya dibuang dan diganti dengan sistem pemerintahan Islam:
Khilafah.
Jika kita menginginkan keadaan saat ini benar-benar berubah menjadi lebih baik, maka pilihan kita
adalah: ganti pemimpin sekaligus ganti sistemnya.
Tak pernah ada perubahan sistem melalui Pemilu, karena Pemilu hanyalah mekanisme pergantian
pemimpin saja. Perubahan sistem terjadi melalui revolusi pemikiran di tengah-tengah umat, melalui
dakwah yang menyadarkan umat untuk hanya menerima sistem syariah dalam bingkai Khilafah
Islamiyah. Apa yang dicontohkan Rasulullah saat penegakan Negara Islam di Madinah, itulah yang
patut diteladani.
Karena itu, saatnya kita memilih; memilih berjuang untuk menegakkan syariah dalam bingkai
Khilafah. Saatnya kita bergabung dengan gerakan yang memperjuangkkannya. Kita tentu percaya
atas janji Allah dalam al-Quran surah an-Nur ayat 55 dan hadis riwayat Ahmad tentang akan
datangnya Khilafah kedua. Mari kita memilih yang baik ini. Allahu akbar!

Anda mungkin juga menyukai