Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia
1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau
vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan
20 minggu dan dapat terjadi paling lambat 4-6 minggu postpartum. Secara klinis
didefinisikan dengan adanya hipertensi, proteinuria, dengan atau tanpa edema
patologis.8
Pada preeklamsia terjadi (1) peningkatan tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg pada dua pemeriksaan minimal
berjarak 4 jam pada pasien yang sebelumnya normotensi, atau (2) tekanan darah
sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg yang mana dalam
kasus ini hipertensi dapat dikonfirmasi dalam beberapa menit. Dengan kriteria
tambahan, yaitu proteinuria 0,3 gram/24 jam, rasio protein/kreatinin 0,3, atau
protein dipstik urine 1+.9

2. Kriteria Diagnosis Preeklampsia


Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan
dan preeklampsia berat.10
a. Kriteria preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan adalah jika terjadi hal-hal berikut.10

Hipertensi dengan sistolik/diastolik >140/90 mmHg, tetapi <160/110 mmHg,


sedikitnya enam jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
b. Kriteria preeklampsia berat
Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada
dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil
sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.
Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu
yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
Oliguria < 400 ml / 24 jam.
Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten,
skotoma, dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya

kapsula glisson.
Edema paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase.
Trombositopenia (trombosit < 100.000 mm3).
Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta.
Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST.
Preeklampsia berat dibagi menjadi preeklampsia berat tanpa impending

eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut


impending eclampsia jika kriteria preeklampsia berat disertai peningkatan tekanan
darah secara tiba-tiba ditambah dengan gejala-gejala subjektif seperti nyeri
epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oliguria.10

Sedangkan berdasarkan konsensus American College of Obstetricians and


Gynecologists (ACOG) tahun 2013, kriteria diagnosis preeklampsia sebagai
berikut. 9

Gambar 2.1 Kriteria Diagnosis Preeklampsia9


Berikut ini merupakan tanda-tanda yang terdapat pada preeklampsia
dengan tanda bahaya (preeclampsia with severe features). 9
Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg sedikitnya
rentang 4 jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah
baring.
Trombositopenia (trombosit < 100.000/L).
Gangguan fungsi hepar yang diindikasikan peningkatan abnormal kadar
enzim hepar (hingga dua kali normal), nyeri epigastrium atau pada kuadran
5

kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula glisson yang berat dan
persisten serta tak berespon terhadap medikasi dan tidak diperhitungkan
alternatif diagnosis lain; atau keduanya.
Insufisiensi renal progresif (kadar kreatinin plasma > 1,1 mg/dl atau dua kali
kadarnya tanpa penyakit ginjal lain).
Edema paru.
Gangguan visus dan serebral onset baru.

3. Faktor Predisposisi Preeklampsia


Seorang gravida akan cenderung mengalami preeklampsia, bila dijumpai
faktor-faktor predisposisi: 1,4,11
1. Primigravida atau Nullipara, terutama umur reproduksi ekstrim yaitu remaja
dan umur > 35 tahun.
2. Multigravida dengan klinis
a. Hamil ganda.
b. Penyakit vaskuler, termasuk hipertensi esensial kronik dan DM.
c. Penyakit-penyakit ginjal.
3. Hiperplasentosis
a. Molahidatidosa
b. Hamil ganda
c. Hidrops Fetalis
d. Bayi besar
e. DM
4. Riwayat keluarga pernah Preeklampsia atau Eklampsia
5. Obesitas atau Hidramnion
6

6. Gizi kurang atau Anemia


7. Kasus-kasus dengan:
a. Kadar asam urat tinggi
b. Defisiensi kalsium
c. Defisiensi asam lemak tak jenuh
d. Kurang antioksidan
Faktor risiko preeklampsia menurut ACOG 2013:
1. Primipara
2. Kehamilan sebelumnya dengan preeklampsia
3. Hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
4. Riwayat trombofilia
5. Kehamilan multifetal
6. Fertilisasi in vitro
7. Riwayat keluarga preeklampsia
8. Diabetes mellitus tipe I atau II
9. Obesitas
10. Systemic lupus erythematosus
11. Usia maternal >40 tahun

4. Patofisiologi12
Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum diketahui
secara pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan beberapa hal,
yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida, bertambahnya frekuensi
dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya perbaikan dengan kematian janin
intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda preeklampsia. Itulah sebabnya kenapa
penyakit ini disebut the disease of theories.12

Gambar 2.2 Arteri spiralis normal dan pada preeklamsia12

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya


spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme
arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan
darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer
agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan
edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang
interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin
yang tinggi dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk
mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada
preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.12

Gambar 2.3 Arteri normal dan pada preeklamsia12

Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi


perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan
akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar
vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau
menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan
meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada
trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti
tekanan darah sebelum hamil. 12
1)

Regulasi volume darah


Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada
derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat
mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema
interstitial, volume plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita

hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu


penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat menjadi
tanda awal hipertensi.
2)

Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah


Rata-rata

volume

plasma

menurun

500

ml

pada

preeklampsia

dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan


wanita yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
3)

Aliran Darah di Organ-Organ


a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%.
Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang
mungkin merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada
preeklampsia maupun perdarahan otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering
menjadi penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah
efektif ginjal rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi
600ml/menit, dan filtrasi glomerulus berkurang rata-rata 30%, dari 170
menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus
berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi
nekrosis tubular dan kortikal.
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang
fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan

10

menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin


plasma, angiotensinogen,angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat
nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan
kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi.
Pada kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,
angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada
preeklampsia.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia
adalah iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah
plasenta yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan
dihasilkan

lebih

vasokonstriksi

dan

banyak

renin

meningkatnya

uterus

yang

kepekaan

mengakibatkan

pembuluh

darah.

Disamping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus


akibat efek prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari
hipoperfusi uterus.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas
atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat
yang menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada
perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal.

11

Dijumpai pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan


sampai sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom
nefrotik pada kehamilan. Penurunan hemodinamik ginjal dan
peningkatan protein urin adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang
melibatkan pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus yang
merupakan tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan
faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah
belum ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan
baik di uterus maupun di desidua.
d. Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena
edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital.
Bila terjadi hal hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya
preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah
skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri
atau dalam retina.

12

Gambar 2.4 Faktor-faktor yang berperan terhadap aktivasi sel endotel12

5. Penatalaksanaan
Penanganan berdasarkan klasifikasinya:10
1. Pre-eklamsia Ringan

Rawat Jalan
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai
umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
Dianjurkan ibu hamil banyak beristirahat (berbaring/tidur miring ke kiri),
tetapi tidak harus mutlak tirah baring.

13

Pada kehamilan >20 minggu, tirah baring dengan posisi miring


menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal
ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli
dan

meningkatkan

diuresis.

Diuresis

dengan

sendirinya

akan

meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular,


sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan pula aliran darah rahim.
Pada preeklampsia tidak diperlukan restriksi garam selama fungsi ginjal
masih normal. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam melalui
ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak
konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya
diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air
buah. Diet untuk penderita preeklampsia ringan adalah makanan biasa, dan
dapat diberikan roborantia sekali perhari.
Penderita preeklampsia ringan hendaknya diperiksa sekali seminggu dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, trombosit, asam urat, urine
lengkap (Msu), fungsi hati, dan fungsi ginjal).

Rawat Inap
Kriteria preeklampsia ringan yang dirawat di rumah sakit yaitu:

14

a. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama


2 minggu
b. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
c. Kenaikan berat badan ibu 1 kg perminggu selama 2 kali
berturut-turut
- Terapi medikamentosa: Bila penderita sudah kembali menjadi
preeklampsia ringan, maka masih akan dirawat 2-3 hari lagi, baru
diizinkan pulang.
- Perawatan dirumah sakit:
1) Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
a) Nyeri kepala
b)Penglihatan kabur
c) Nyeri perut kuadran kanan atas
d)Nyeri epigastrium
2) Kenaikan berat badan dengan cepat
3) Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti
setiap harinya
4) Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi
setiap 2 hari.
5) Pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan lab sesuai dengan
standard yang telah ditentukan
6) Pemeriksaan ultrasound sonography

(USG)

khususnya

pemeriksaaan:
- Ukuran biometrik janin
- Volume air ketuban
7) Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan
apabila 3 hari bebas gejalagejala preeklampsi berat

Perawatan Obstetrik

15

a. Kehamilan preterm (kehamilan antara 22 minggu sampai 37


minggu),

bila

tekanan

darah

mencapai

normotensif,

persalinannya ditunggu hingga aterm


b. Kehamilan preterm yang tekanan darah turun selama perawatan
tetapi belum mencapai normotensif, terminasi kehamilan
dilakukan pada kehamilan 37 minggu
c. Kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi inpartu atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat
dilakukan secara spontan dengan mempersingkat kala II, yaitu
dengan ekstraksi vakum atau ekstraksi forceps. SC dilakukan
apabila ada indikasi obstetri.

2. Preeklamsia Berat
Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklamsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oliguria adalah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary
capillary wedge pressure.10

16

Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi


bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc//24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
Pemberian obat anti kejang
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium
sulfat (MgSO4.7H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi
neuromuskular. Transmisi neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps.
Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga
aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan
ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan
pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklamsia. 9
MgSO4 20% untuk pencegahan kejang diberikan dengan dosis 4 gr IV
bolus pelan dalam 20 menit dilanjutkan dosis rumatan 1-2 g/jam dalam infus
ringer laktat drip pelan selama 24 jam. MgSO4 juga harus diberikan selama 24 jam
pasca melahirkan untuk pasien dengan preeklamsia berat. 9
a) Syarat-syarat pemberian MgSO4
a. Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10 % 1 gram (10 cc) diberikan i.v. 3-5 menit.
b. Reflex patella (+) kuat
c. Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress
napas.
d. Produksi urin >30 cc dalam 1 jam.

17

b) Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24


jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
c) Dosis terapeutik dan toksis
Dosis terapeutik

4-7 mEq/liter

4,8-8,4 mEq/dl

Hilangnya reflex tendon

10 mEq/liter

12 mg/dl

Terhentinya pernapasan

15 mEq/liter

18 mg/dl

Terhentinya jantung

> 30 mEq/liter

> 36 mg/dl

Bila terjadi refrakter terhadap pemberian magnesium sulfat, maka


diberikan salah satu obat berikut: thiopental sodium, sodium amobarbital,
diazepam, atau fenitoin.10
Pemberian antihipertensi
Beberapa antihipertensi lini pertama yang dapat digunakan dalam
kehamilan adalah: 9
- Metildopa 500-2000 mg dibagi dalam 2-4 dosis sehari. Metildopa merupakan
golongan -adrenergik

yang diekskresikan terutama melalui ginjal. Efek

samping utamanya adalah sedasi dan hipotensi postural.


- Labetalol 2x100 mg dapat dinaikkan setiap minggu sampai maksimal 2400 mg
sehari. Titrasi dosis tidak boleh lebih dari 2x200 mg setiap minggunya. Hindari
pada pasien dengan asma dan gagal jantung kongestif.
- Nifedipin dengan dosis 30-120 mg sehari, tidak boleh diberikan secara
sublingual.
Antihipertensi golongan penghambat ACE dan ARB merupakan
kontraindikasi. Penggunaannya pada kehamilan terkait dengan defek ginjal,
anuria, dan kematian janin. 9

18

Target penurunan tekanan darah sistolik <160 mmHg dan diastolik <105
mmHg. Jangan menurunkan tekanan darah terlalu rendah karena dapat
mengganggu suplai darah ke janin. 9
Penggunaan diuretik (furosemid,

HCT)

harus

dihindari

karena

menyebabkan retardasi pertumbuhan, bradikardia, dan hipoglikemia pada


neonatus. Diuretik boleh diberikan bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestif, atau edema anasarka. 9
Perawatan Aktif13,14,15
Terminasi kehamilan dilakukan 1-2 jam setelah pemberian MgSO4 atau
setelah terjadi stabilisasi hemodinamik. Perawatan aktif dilakukan dengan
indikasi:
a. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
1) Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatan
medisinal terjadi kenaikan TD yang persisten, atau
2) Setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidak ada
perbaikan gejala-gejala.
- Muncul tanda dan gejala Impending Eklampsia: PE berat disertai
gejala nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah, nyeri epigastrium,
kenaikan TD yang progresif
- Dijumpai gangguan fungsi hati/ginjal
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul inpartu, ketuban pecah, atau perdarahan
- HELLP Sindrom.
b. Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat
- NST non reaktif dan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion

19

Manajemen persalinan13,14,15,16
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat
dilaksanakan cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu
diadakan induksi dengan amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari
serangan kejang selama 12 jam dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila
serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih
tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio
sesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk
mempercepat partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi
vakum atau cunam. Sikap dasar adalah kehamilan diakhiri bila sudah terjadi
stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan metabolisme ibu dapat
dicapai dalam 4-8 jam setelah salah satu atau lebih dari keadaan berupa 1) setelah
pemberian obat anti kejang terakhir; 2) setelah kejang terakhir; 3) setelah
pemberian obat anti hipertensi terakhir; 4) penderita mulai sadar (responsif dan
orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang
sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan,
tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi.
Pada ibu aterm namun belum inpartu, induksi persalinan dapat
dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin dilakukan
bila nilai skor pelvik 5. Bila perlu, dilakukan pematangan cervix
dengan balon kateter no. 24 diisi dengan 40 cc aquadest. Pada skor
pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria
lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Seksio sesaria

20

dilakukan bila: (1) induksi persalinan gagal (6 jam setelah diinduksi

tidak tercapai his yang adekuat); (2) terjadi maternal/fetal distress.


Pada ibu aterm yang sudah inpartu, dilakukan pemantauan kemajuan
persalinan dengan menggunakan partograf. Kemudian persalinan kala II
dipersingkat denga EV/EF. Seksio sesaria dilakukan bila: (1) terjadi
maternal/fetal distress; (2) 6 jam tidak masuk fase aktif; (3)

penyimpangan partograf.
Seksio sesaria primer dilakukan apabila kontraindikasi persalinan
pervaginam atau usia kehamilan < 34 minggu.

6. Pencegahan
Beberapa poin terbaru dikeluarkan oleh ACOG tahun 2013 mengenai
pencegahan preeklampsia:17
- Pemberian aspirin 60-80 mg/hari dimulai pada akhir trimester pertama
disarankan pada perempuan dengan riwayat eklamsia dan kelahiran preterm
kurang dari 34 0/7 minggu atau preeklamsia pada lebih dari satu kehamilan
sebelumnya;
- Pemberian vitamin

dan

untuk

mencegah

preeklamsia

tidak

direkomendasikan;
- Asupan garam harian disarankan untuk tidak direstriksi selama kehamilan
untuk pencegahan preeklamsia;
- Tirah baring atau pembatasan aktivitas fisik lain tidak disarankan sebagai
pencegahan primer preeklamsia dan komplikasinya.

B. Sindrom HELLP

21

1. Definisi
Sindrom HELLP adalah kelainan multisistem yang merupakan komplikasi
kehamilan dengan pemeriksaan laboratorium menandakan hemolisis, disfungsi
hepatik, dan trombositopenia. Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Weinstein
pada tahun 1982, dan kemudian disebut sindrom HELLP yang merupakan
akronim dari hemolysis (H), elevated liver enzyme (EL), low platelets (LP).5,6
Sindrom HELLP paling sering berhubungan dengan preeklampsia berat atau
eklampsia, namun juga bisa didiagnosis tanpa diawali kelainan-kelainan tersebut.
Kelainan ini dapat berupa murni komplikasi PEB atau merupakan fenomena
sekunder pada pasien dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS), gagal
ginjal, dan kerusakan organ multipel dengan DIC.6,7
Diagnosis sindrom HELLP total ditegakkan jika memenuhi ketiga
komponen trias sindrom HELLP, sedangkan sindrom HELLP parsial jika hanya
terdiri dari 1 atau 2 dari trias.5

2. Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua
kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus
sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada usia
kehamilan 27-37 minggu, 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27 minggu, dan
20% setelah 37 minggu. Rerata usia kehamilan pada wanita dengan sindrom
HELLP lebih tinggi pada wanita dengan preekalmpsia. Kebanyakan wanita kulit
putih dengan sindrom HELLP adalah multipara. Sindrom HELLP postpartum
biasanya terjadi pada 48 jam pertama pada wanita dengan proteinuria dan

22

hipertensi yang terjadi saat persalinan. Walaupun bervariasi, namun kebanyakan


kejadian sindrom HELLP biasanya berkembang cepat. Wanita dengan sindrom
HELLP biasanya disertai hipertensi dan proteinuria, namun tidak terjadi pada 1020% kasus. Sekitar 50% kasus sindrom HELLP diawali dengan edem anasarka. 5
Gejala klinis yang biasanya muncul adalah nyeri perut kuadran kanan atas
atau nyeri epigastrik, mual, dan muntah. Nyeri perut biasanya fluktuatif atau nyeri
kolik. Kebanyakan pasien melaporkan riwayat mual beberapa hari sebelum gejala
klinis yang lain. 30-60% mengeluhkan nyeri kepala, dan sekitar 20%
mengeluhkan gangguan penglihatan. Wanita dengan sindrom HELLP juga dapat
mengalami gejala yang tidak spesifik, atau gejala-gejala mirip preeklampsia, atau
gejala non spesifik lain yang menyerupai infeksi virus. Gejala-gejala tersebut
biasanya berlangsung terus menerus, dan intensitasnya dapat berubah dengan
cepat. Karakteristik sindrom HELLP adalah terjadi pada malam hari dan membaik
pada siang hari. 5
Wanita dengan sindrom HELLP parsial mempunyai gejala lebih ringan dan
lebih rendah risikonya terkena komplikasi dibandingkan sindrom HELLP total.
Dapat terjadi perubahan dari parsial ke total maupun sebaliknya, walaupun jarang
terjadi. 5

3. Kriteria Diagnosis
Sekarang terdapat dua cara klasifikasi dan diagnosis sindrom HELLP.
Berdasarkan Tennessee Classification System, Sibai menjelaskan kriteria sindrom
HELLP total seperti yang terlihat di tabel 2.1. Hemolisis intravaskuler didiagnosis

23

dengan ditemukannya sel-sel abnormal pada apusan darah tepi, peningkatan


bilirubin serum ( 20,5 mol/L atau 1,2 mg/ 100 mL) dan peningkatan LDH (>
600 U/L).18
Berdasarkan sistem penggolongan Mississippi, klasifikasi sindrom HELLP
didasarkan pada jumlah trombosit terendah sepanjang perjalanan penyakit. Kelas
1 dan kelas 2 berhubungan dengan hemolisis (LDH > 600 U/L) dan peningkatan
AST (> 70 U/L), sedangkan kelas 3 hanya berdasarkan LDH > 600 U/L dan AST
40 U/L dengan jumlah trombosit tertentu. Sindrom HELLP kelas 3 berhubungan
dengan tingginya risiko perburukan kondisi pasien. 19

Tabel 2.1 Kriteria diagnostik Sindrom HELLP18,19


Klasifika
si
Kelas 1

Klasifikasi
Tennessee
Trombosit 100.109 /L
AST 70 U/L
LDH 600 U/L

Kelas 2

Kelas 3

Klasifikasi Mississippi
Trombosit 50.109/L
AST atau ALT 70 U/L
LDH 600 U/L
Trombosit 50.109/L
sampai 100.109/L
AST atau ALT 70 U/L
LDH 600 U/L
Trombosit 100. 109/L
sampai 150.109/L
AST atau ALT 40 U/L
LDH 600 U/L

Sindrom HELLP dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium,


namun beberapa penulis mengatakan bahwa sindrom HELLP ditegakkan jika ada
tanda-tanda PEB ditambah dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Penulis lain

24

mengatakan bahwa adanya satu saja dari trias sindrom HELLP dapat ditegakkan
sebagai sindrom HELLP parsial.20

4. Patofisiologi
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Patologi yang
ditemukan adalah adanya kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang faktor pencetusnya belum ditemukan. Sindrom ini
diduga merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregrasi trombosit yag selanjutnya terjadi kerusakan endotel.21,22
Pada sindrom HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati yang
menyebabkan hemolisis. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh
darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apusan
darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, dan sel burr. Hemolisis
intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan
proses eritroiesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur.
Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi dan mengeluarkan
isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan LDH, oleh karena itu kadar
LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya proses hemolisis. 21,22
Peningkatan kadar enzim hepar diperkirakan sekunder akibat obstruksi
aliran darah hepar oleh deposit fibrin di sinusoid sehingga terjadi kerusakan sel
hepar. LDH adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses
oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan terjadinya
kerusakan sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan tanda

25

terjadinya hemolisis. AST dan ALT juga meningkat akibat kerusakan sel-sel hepar.
Peningkatan bilirubin sangat jarang terjadi, dan peningkatan ini jarang sampai
lima kali lipat. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis
intravaskuler, sedangkan hemolisis terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada
parenkim hepar. 22,23
Trombositopenia yang terjadi pada pasien sindrom HELLP berhubungan
dengan meningkatnya konsumsi trombosit sebagai akibat kerusakan endotel
pembuluh darah. Trombosit teraktivasi, sehingga menyebabkan pengeluaran
trombosit dengan waktu kehidupan yang singkat.21,22,24

5. Manajemen Sindrom HELLP


a. Tatalaksana awal
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabikan kondisi ibu,
khususnya kelainan pembukuan darah (Tabel 2.2).7

26

Tabel 2.2 Penatalaksanaan awal sindrom HELLP7,25


1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a) Jika ada DIC, atasi koagulopati
b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c) Terapi hipertensi berat
d) Periksa CT scan atau USG abdomen bila diduga hematoma subkapsular
hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
a) Non stress test (NST)
b) Profil biofisik
c) USG untuk memeriksa ada tidaknya IUGR
3) Evaluasi usia kehamilan
a) Jika usia kehamilan 34 minggu, lahirkan
b) Jika < 34 minggu, berikan terapi glukokortikoid, kemudian lahirkan
dalam waktu 48 jam
Pasien sindrom HELLP harus diterapi MgSO4, untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20%
sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 1-2 gram/jam. Pemberiannya harus
diawasi dengan memeriksa secara rutin produksi urin dan tanda serta gejala
keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, segera berikan 10-20 ml kalsium
glukonat 10% IV.7,22,25
Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk
sistolik, dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Langkah selanjutnya
adalah mengevaluasi kesejahteraan janin dengan NST, profil biofisik atau
pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut berguna untuk menentukan apakah
perlu segara mengakhiri kehamilan atau tidak.7,25
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34
minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin
dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah mengakhiri
kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum
matur, dapat diberikan kortikosteroid untuk akselerasi pematangan paru
27

janin. Regimen yang direkomendasikan adalah betametason (12 mg IM per


24 jam, dua dosis) atau deksametason (6 mg IM per 12 jam, 4 dosis).
Regimen tersebut bermanfaat untuk mempercepat pematangan paru, dan
cepat melewati sawar plasenta dengan risiko kompliksi mineralokortikoid
terhadap janin yang minimal. 7,25
Selain untuk pematangan paru, kortikosteroid juga diberikan sebagai
regimen terapi antepartum dan postpartum pada sindrom HELLP. Pada
pasien risiko tinggi dengan penyakit yang berat (trombosit <20.000/L atau
disfungsi sistem saraf pusat) diberikan 20 mg IV deksametason tiap 6 jam
hingga 4 dosis. Sedangkan untuk semua pasien dengan sindrom HELLP
diberikan 10 mg IV deksametason tiap 6 jam hingga 2 dosis kemudian 6 mg
IV deksametason tiap 6 jam hingga 2 dosis.26
Mekanisme penting pemberian deksametason

adalah

untuk

mengurangi pelepasan faktor antiangiogenik dan inflamatori yang


memainkan peran dalam patofisiologi sindrom HELLP.27
b. Tatalaksana konservatif
Beberapa penelitian memberikan sugesti untuk melakukan tatalaksana
konservatif

pada

pasien

sindrom

HELLP

dengan

tujuan

untuk

memperpanjang kehamilan pada kasus janin yang masih immatur.


Perpanjangan masa kehamilan bertujuan unuk memperpendek masa
perawatan bayi di NICU, dan memperkecil risiko prematuritas. Terapi yang
diberikan adalah bed rest, kortikosteroid dosis tinggi, dan terapi dengan
plasma volume expansion. Tatalaksana tersebut dilakukan di ICU atau HCU
dengan

pengawasan

ketat

terhadap
28

ibu

maupun

janin.

Namun

penatalaksanaan ini cenderung berisiko terhadap perburukan kondisi ibu,


yang bisa terjadi dalam 1 sampai 10 hari. Risiko yang dapat terjadi adalah
solusio plasenta, edema paru, gagal ginjal akut, eklampsia, kematian
perinatal, dan kematian ibu.25,28,29
c. Persalinan
Jika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau
lebih, atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada
ibu maupun janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada
DIC dan paru janin belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat kematangan paru dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.25,26
Sindrom HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk
dilakukannya terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam
menjadi pilihan utama bila tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks
sudah matang, maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin
per infus. Jika serviks belum matang dapat dilakukan pematangan serviks
dengan menggunakan regimen prostaglandin, atau dengan SC elektif.
Protokol sindrom HELLP dapat dilihat pada gambar 2.5.7,26,28

29

Sindrom HELLP

Rujuk ke pelayanan kesehatan tersier (usia kehamilan < 35 minggu)


Rawat di kamar bersalin
Berikan MgSO4 IV
Berikan antihipertensi bila tekanan darah 160/105 mmHg

Usia kehamilan < 23 minggu atau tidak viabel


Fetal distress
Gawat maternal
Eklampsia
DIC
Distress pernapasan
Suspek hematoma hepar

DILAHIRKAN

Tidak
24 34 minggu

34 minggu

Pemberian profilaksis steroid lengkap dalam waktu 24-48 jam

Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana sindrom HELLP25

d. Tatalaksana postpartum
Sindrom HELLP dapat terjadi baik pada antepartum maupun
postpartum. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari

30

postpartum, dengan kejadian tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan.


Tatalaksana sindrom HELLP postpartum hampir mirip dengan sindrom
HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang dan obat antihipertensi.
Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak ada risiko peredara
ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi ketat selama 48 jam
pertama postpartum di perawatan intensif. Kebanyakan pasien akan
memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika terjadi perburukan, maka
harus diterapi dan diperiksa ada tidaknya komplikasi atau melakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya.26

31

Tatalaksana sindrom HELLP postpartum

Rujuk ke fasilitas kesehatan tersier


Lanjutkan IV MgSO4
Obat antihipertensi bila TD 160/105 mmHg
Transfusi darah atau produk darah bila perlu

Mulai atau lanjutkan terapi steroid untuk mencegah rebound trombositopenia


Lakukan tapering dose steroid dalam 24-48 jam
Observasi :
Tanda dan gejala hematoma/ infark hepar
Perubahan rasa nyeri
Penurunan tekanan darah akut
Perubahan respirasi, ginjal, atau mental akut
Singkirkan diagnosis banding sindrom HELLP
AFLP
HUS
Sepsis
TTP
SLE
APLS
Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana sindrom HELLP postpartum25

6. Komplikasi Sindrom HELLP5


Sindrom HELLP berhubungan dengan komplikasi, baik pada ibu maupun
janin. Angka kejadian komplikasi dirangkum dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komplikasi sindrom HELLP5
Komplikasi Maternal
Eklampsia
Solusio plasenta

Angka Kejadian (%)


4-9
9-20

32

DIC
Gagal ginjal akut
Asiter berat
Edema serebri
Edema pulmo
Infeksi/hematoma pada luka
Hematoma hepar subcapsular
Ruptur hepar

5-56
7-36
4-11
1-8
3-10
7-14
Antara 0,9% dan < 2%
>200 kasus, atau
sekitar 1,8%
>30 kasus
Berhubungan dengan
mutasi gen 20210a
Sangat jarang
Sangat jarang
1,5-40
1-25

Infark hepatik
Thrombosis rekuren
Ablasio retina
Infark serebri
Perdarahan intraserebri
Kematian maternal
Komplikasi janin/ neonatus
Kematian perinatal
IUGR
Persalinan prematur
Trombositopenia neonates
Respiratory distress syndrome

7,4-30
38-61
70 (15% < 28 minggu)
15-50
5,7-40

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, pasien yang mempunyai risiko


tinggi (>75%) mengalami komplikasi maternal adalah yang mempunyai hasil
sebagai berikut : LDH > 1400 U/L, AST > 150 U/L, ALAT > 100 U/L, dan
konsentrasi asam urat > 7,8 mg/ 100 ml (> 460 mol/L). Namun, gejala klinis
seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrik, mual-muntah,
menjadi tanda yang lebih baik untuk menjadi prediktor kondisi pasien
dibandingan parameter laboratoris.
Ruptur spontan hematoma subcapsular hepar dalam kehamilan sangat jarang
terjadi. Prevalensinya berkisar antara 1 : 40.000 sampai 1 : 250.000, dan dapat
terjadi pada sekitar 1% sampai kurang dari 2% kasus dengan sindrom HELLP.
Ruptur yang sering terjadi adalah pada lobus hepar kanan. Gejalanya adalah nyeri
akut yang sangat berat di abdomen kuadran kanan atas dan epigastrik yang
33

menjalar ke belakang, nyeri pada bahu kanan, anemia, dan hipotensi. Kondisi ini
dapat didiagnosis dengan USG, CT-scan, atau MRI. Ruptur hepar juga dapat
terjadi pada postpartum.
Komplikasi yang lebih umum adalah solusio plasenta, DIC, dan perdarahan
postpartum yang berat. Kehilangan penglihatan permanen bilateral yang terkait
dengan retinopati merupakan komplikasi oftalmik yang sangat jarang terjadi
selama kehamilan.

7. Prognosis Sindrom HELLP


Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko sampai
43% untuk mengalami pre eklampsia pada kehamilan berikutnya.6,26

34

Anda mungkin juga menyukai