Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
Konformitas sebagai pengaruh sosial didefinisikan secara berbeda-beda
oleh banyak ahli. Deutch dan Gerrard (dalam Brehm dan Kassim, 1993),
menyatakan bahwa konformitas merupakan kecenderungan perubahan persepsi,
opini, dan perilaku agar sama dengan kelompok. Baron dan Byrne (1997),
mendefinisikan konformitas sebagai suatu bentuk penyesuaian terhadap kelompok
sosial karena adanya tuntutan dari kelompok sosial untuk menyesuaikan,
meskipun tuntutan tersebut tidak terbuka. Konformitas juga diartikan sebagai
kecenderungan untuk melakukan atau menerima standar norma yang dimiliki
kelompok (Fuhrmann, 1990). Willis (dalam Seidenberg & Snadowsky, 1976),
mengartikan konformitas sebagai kecenderungan seseorang untuk berperilaku,
dengan maksud memenuhi harapan kelompok sebagaimana harapan ini dilihat
oleh kelompok. Batasan Klopf (1985) tentang konformitas adalah bertindak
sesuai dengan norma kelompok, menjadi harmonis dan sepakat dengan anggota
kelompok. Kiesler dan Kiesler (dalam Rakhmat, 2000) menyatakan konformitas
sebagai perubahan perilaku atau keyakinan ke arah kelompok sebagai akibat
tekanan dan tuntutan kelompok baik tuntutan yang nyata maupun tuntutan yang
hanya dxbayangkan saja.
8D
Hasil penelitian Asch (dalam Engel dkk, 1990), yang menemukan bahwa
sebenarnya subyek mengalami tekanan yang cukup besar meskipun tekanan
tersebut tidak terlihat. Asch juga menyatakan bahwa tekanan kelompok akan
membuat individu konformistis terhadap norma kelompok.
Krech dkk (dalam Simamora, 1993), mengungkapkan bahwa konformitas
adalah perilaku atau tindakan yang dipengaruhi oleh tekanan kelompok yang
timbul karena konflik antara pendapatnya dengan pendapat kelompok.
Lebih lanjut Sherif (dalam Hewstone dkk, 1996), menunjukkan ketika
seseorang menghadapi stimulus yang ambigius dan tidak berstruktur ia jarang
membangun sudut pandang sendiri yang stabil dalam menilai stimulus tersebut,
dan pandangannya akan segera berubah ketika dihadapkan pada pandangan orang
lain. Seseorang akan memiliki dua bentuk kecenderungan ketika diharapkan
memberi penilaian terhadap stimulus di hadapan sekelompok orang, yaitu
kecenderungan untuk benar dan kecenderungan untuk terlihat baik pada
kelompok. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Asch
(dalam Engel dkk, 1990) dan Sherif (dalam Hewstone dkk, 1996). Kecenderungan
untuk benar diperoleh dari apa yang secara flsik terlihat oleh mereka dan dari apa
yang dikatakan orang lain, sedangkan kecenderungan untuk disukai dan membuat
kesan yang baik lebih dipengaruhi oleh pengaruh normatif (dalam Suryo,I998).
Dari penjelasan tersebut di atas, konformitas dapat disimpulkan sebagai
perubahan persepsi, keyakinan dan perilaku individu terhadap kelompok karena
adanya tuntutan ataupun tekanan yang sifatnya nyata atau sesuatu yang
dibayangkan sebagai tuntutan kelompok.
2. Tipe-tipe Konformitas
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa berbagai bentuk konformitas sebagai
pengaruh sosial dapat terjadi pada remaja untuk menyesuaikan din dengan
kelompok. Konformitas tidak hanya muncul dalam perilaku individu sebagai
akibat adanya tuntutan yang tampak saja, namun ada juga konformitas yang
manifestasinya diinternalisasi oleh individu sehingga bukan hanya perilakunya
saja yang menunjukkan kesepakatan dengan kelompok. Lebih dari itu, pikiran,
perasaan dan sikapnya juga sepakat dengan kelompoknya.
Dari penjelasan sebelumnya, konformitas dapat dibedakan dalam beberpa
tipe. Ada orang yang ketika berada di luar kelompok akan berusaha untuk
mengembangkan dan mempertahankan pendapatnya. Namun ketika orang tersebut
berada di tengah-tengah kelompok dia akan setuju dan sepakat dengan pendapat
kelompok dan mengabaikan pendapatnya sendiri. Tipe konformitas semacam ini
disebut compliance atau simple compliance. Tipe lain dari konformitas adalah
tipe acceptance (Myers, 1983) atau Worchel dan Cooper (1983) di sebut private
acceptance. Pada konformitas tipe ini individu benar-benar berusaha untuk
menyetujui dan menyamakan diri dengan kelompoknya, baik ketika berada di
dalam kelompok ataupun di luar kelompoknya.
Kelman (dalam Worchel & Cooper, 1983), menambahkan tipe konformitas
yang lain adalah Identification. Tipe ini terjadi ketika seorang individu meniru
perilaku individu lain yang dianggap penting dengan maksud untuk
mempertahankan hubungan. Konformitas tipe ini hanya bertahan selama individu
masih memandang penting hubungan tersebut dan berharga bagi individu.
Selain itu Kelman (dalam Worchel dan Cooper, 1983), juga mengemukakan
kenapa individu memilih untuk berperilaku konformistis. Menurut Kelman
compliance terjadi ketika individu berperilaku konformistis dengan maksud untuk
mendapat penghargaan dan tanggapan positif dari kelompok serta menghindari
hukuman. Sedang private acceptance (internalization), terjadi ketika individu
percaya bahwa perilaku dan pandangan kelompok adalah benar.
Allen, Kelman dan Mascovici (dalam Brehm & Kassim, 1990),
mengemukakan dua tipe dari konformitas yaitu:
a. Private conformity sama dengan acceptance yaitu perilaku konformitas
yang dilakukan tidak hanya dengan merubah perilaku luar saja, tapi juga merubah
pola pikir. Konformitas merupakan hasil dari adanya informational influence.
b. Public conformity disebut juga dengan compliance, yaitu perilaku
konformitas yang hanya dilakukan dengan merubah perilaku luar tanpa adanya
perubahan pola pikir. Perilaku konformitas tipe ini merupakan hasil dari
normative social influence.
Berbeda dengan tipe-tipe di atas, ada juga individu yang menentang atau tidak
mudah sepakat dan tidak takut untuk berbeda pendapat dengan kelompoknya.
Tipe individu yang demikian dipilah ke dalam dua kelompok oleh Worchel dan
Cooper (1983), pertama kelompok yang disebut kelompok anti konformitas. Ini
teijadi jika individu menampakkan perilaku atau reaksi yang bertentangan dengan
tuntutan kelompok. Perilakunya yang berbeda dengan kelompok benar-benar
didasari oleh pikiran, perasaan dan sikap menentang atau ketidaksepakatan
dengan kelompoknya. Tipe yang keaua adalah independent. Individu ini
berperilaku sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dirasakannya sendiri tanpa
adanya pengaruh dari orang lain. Berbeda dengan tipe sebelumnya, yang
menampakkan perilaku bertentangan dengan kelompok sebagai reaksi
penentangan terhadap tuntutan kelompok, namun tipe ini lebih merupakan sebagai
wujud dari pemikiran yang murni dari dalam dirinya sendiri.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas
Perilaku konformitas inuncul karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Worchel
dan Cooper (1983), mengelompokkan secara umum faktor yang mempengaruhi
konformitas ke dalam dua faktor, yaitu :
a. Faktor personal, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri dan
melekat pada pada pribadi individu. Seperti dikatakan oleh Hancock dan
Sorentino (dalam Worchel dan Cooper, 1983), individu yang sering merasa tidak
aman dengan posisinya, memiliki keinginan yang tinggi untuk diterima di tengah-
tengah kelompok. Mereka jarang memperoleh social support dalam kelompok
yang berakibat pada menurunnya rasa percaya diri. Hal di atas merupakan salah
satu faktor personal yang menyebabkan individu berperilaku konformistis.
Banyak faktor personal yang berpengaruh pada perilaku konformitas. Di
antara sekian banyak faktor tersebut yang masih tergolong dalam faktor personal
yaitu faktor usia. Anggota kelompok cenderung memilih individu yang lebih tua
usianya dibanding dengan anggota kelompok yang lainnya sebagai pimpinan,
untuk diikuti baik pendapat maupun perilakunya oleh anggota kelompok yang
lainnya. Semakin lama individu menjadi anggota kelompok maka semakin bcsar
pula peluangnya untuk dijadikan sebagai tolok ukur dalam berperilaku dan
cenderung akan diikuti pendapatnya dalam kelompok (Klopf, 1985).
Faktor lain, menurut Rosenberg (dalam Aziez, 1994), adalah kompetensi atau
tingkat pendidikan. Konformitas kemungkinan teijadinya sangat kecil, jika tingkat
kompetensi yang tinggi dimiliki oleh individu. Tingkat kompetensi yang tinggi
tidak dapat begitu saja dimiliki oleh individu melainkan melalui sebuah proses,
seperti proses pendidikan.
Faktor lainnya yang masih tergolong dalam faktor personal menurut Sears dkk
(1994) adalah kepercayaan diri. Konformitas dipengaruhi oleh sejauh mana
kepercayaan diri individu terhadap penilaiannya sendiri. Kepercayaan yang
lemah terhadap diri sendiri merupakan salah satu faktor pendukung bagi
terciptanya perilaku konformitas. Tingkat konformitas itu sendiri akan mengalami
penurunan apabila subjek mampu meningkatkan kepercayaan diri individu tentang
penilainnya terhadap diri sendiri, Jika hal ini teijadi, maka kelompok bukan lagi
sumber utama sebagai tolok ukur dalam berperilaku. Faktor yang mempengaruhi
kecakapan dan atau kemampuan individu adalah tingkat kesulitan yang dibuat.
Semakin sulit penilaian tersebut maka semakin rendah rasa percaya diri yang
dimiliki individu sehingga semakin besar kemungkinan individu akan mengikuti
penilaian orang lain (Handayani, 2000).
b. Faktor situasional meliputi dua macam karakteristik, yaitu karakrateristik
kelompok dan karakteristik tugas (group characteristic and task chraracteristic).
b.l. Group Characteristic, teijadi karena adanya ketidakbulatan suara dalam
kelompok Asch dalam Worchel dan Cooper (1983) mengemukakan pendapat,
bahwa apabila seorang anggota kelompok memberikan respon yang menyimpang
dari kehendak kelompok, maka perilaku konformitas dapat menurun. Menurut
Allen dan Wilder (dalam Worchel dan Cooper, 1983), hal tersebut teijadi karena
ketidakbulatan suara yang ada, membuat anggota kelompok harus
menginterpretasikan kembali situasi yang ada, dan bagaimana anggota kelompok
memberikan reaksi terhadap anggota kelompoknya yang menyimpang juga
berpengaruh terhadap perilaku konformitas. Jika kelompok memberikan reaksi
negatif, maka konformitas akan mernngkat, sebaliknya jika kelompok
memberikan reaksi positif maka konformitas akan menurun.
Rakhmat (2000) mengatakan bahwa kohesivitas juga merupakan salah satu
yang mempengaruhi konformitas. Semakin kohesif suatu kelompok, maka
semakin besar kemungkinan teijadinya konformitas. Begitu juga sebaliknya pada
kelompok yang memiliki kohesivitas rendah akan mengakibatkan tingkat
konformitas yang rendah pula. Pendapat ini sekaligus menjelaskan mengapa
kebanyakan orang lebih suka menerima pengaruh sosial dari teman atau orang
yang mereka senangi dan kagumi ( Handyani 2000).
Kiesler (dalam Worchel dan Cooper, 1983), berpendapat bahwa Discrepant
Condition yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konformitas, yaitu meskipun
mengetahui bahwa pandangan atau pendapat kelompok salah, tapi mereka taki't
untuk menentangnya sehingga konformitas yang sering teijadi adalah public
compliance tanpa disertai dengan private acceptance.
Baron dan Byrne (1997), menyatakan bahwa kecenderungan seorang anggota
kelompok untuk berperilaku konformistis akan turun apabila individu
memperoleh social support. Faktor situasional lain yang masuk dalam group
characteristic menurut Rakhmat (2000), adalah ukuran kelompok. Banyaknya
jumlah anggota kelompok akan mempengaruhi tingkat konformitas. Biasanya
semakin banyak jumlah anggota kelompok, tingkat konformitas antar anggota
kelompok pun akan semakin tinggi (dalam Aziez, 1994).
b.2. Task characteristic, jenis tugas atau stimulus sosial, menurut Worchel
dan Cooper (1983), juga berpengaruh terhadap tingkat konformitas. Individu akan
membedakan jenis tugas menjadi dua, yaitu tugas informasional dan tugas
normatif. Adapun yang dimaksud dengan tugas informasional adalah stimulus
yang bagi kebanyakan orang pada umumnya ambigius, sulit untuk dipahami benar
dan salahnya. Dalam tugas ini individu sulit untuk memberikan reaksi, sehingga
konformitas akan sejajar dengan tingkat ambigiusitas stimulus.
Jenis tugas yang ke dua adalah tugas normatif, yaitu stimulus yang berupa
dorongan yang sudah wajar atau lazim teijadi dan dapat dinilai benar atau
salahnya secara normatif melalui konsep norma yang sudah ada dalam kelompok.
Konformitas pada tugas-tugas normatif lebih banyak teijadi karena adanya
tekanan kelompok (Shepard dan Voss dalam Riyadl,1993).
Secara psikologis perilaku konformitas individu terhadap kelompok tidak
menunjukkan keadaan yang homogen pada tiap individu. Penelitian yang
dilakukan oleh Asch (dalam Riyadl,1993), menunjukkan bahwa subjek yang
tunduk terhadap tuntutan kelompok antara lain memiliki kondisi sebagai berikut:
a. Distorsi persepsi, beberapa subjek pada kondisi ini benar-benar tunduk dan
patuh dengan kelompok tanpa menyadari kalau persepsi mereka telah
diselewengkan secara sengaja oleh mayoritas kelompok.
b. Distorsi penilaian, subjek merasa ragu-ragu dengan estimasinya terhadap
objek, mereka merasa kurang yakin dengan penilaiannya sendiri dan adanya
kecenderungan perasaan untuk mengikuti kelompok.
c. Distorsi tindakan. Pada kondisi ini subjek tidak mengalami modifikasi persepsi
dan juga tickk menganggap diri mereka salah. Mereka tunduk dengan kemauan
kelompok karena merasa adanya desakan agar tidak berbeda dengan kelompok
dan memandang estimasinya sendiri.
Menurut Lindzey dan Aronson (dalam Riyadl,1993), eksperimen Asch
tersebut mempunyai kelemahan, karena setiap subyek mengalami konflik dengan
anggota kelompok yang lain. Subyek selalu ditanya apa yang subyek rasakan
pertanyaan ini selanjutnya dapat membuat subyek sadar akan tujuan eksperimen.
Hal ini menyebabkan respon subjek bukan respon yang sebenarnya.
4. Konformitas pada Remaja
Melemahnya pengaruh orang tua pada remaja semata-mata timbul karena
adanya keinginan remaja untuk mandiri. Masa remaja adalah masa yang unik
sebab pada masa ini remaja tidak bisa lagi dikatakan sebagai anak-anak, akan
tetapi remaja juga belum bisa dikatakan sebagi orang dewasa (Calon dalam
Monks dkk, 1994). Masa ini sering juga disebut dengan istilah masa transisi atau
masa peralihan sebab adanya perubahan dari masa anak-anak menuju masa remaja
dan peralihan ini bukan sekedar peralihan biasa namun sebuah periode yang
Khusus dalam perkembangan manusia. Ausabel (dalam Monks dkk, 1994),
menyebutkan status remaja sebagai status interim, karena sebagian posisinya
diberikan oleh orang tua dan sebagian melalui usahanya sendiri. Mereka berbeda
dengan orang tua yang mempunyai status primer, di mana posisinya tersebut
diperoleh berdasarkan atas kemampuan dan usaha sendiri. ataupun pada anak-
anak yang mempunyai status penjabaran, di mana statusnya tergantung
sepenuhnya pada pemberian orang tua dan atau masyarakat dalam perkembanngan
sosialnya remaja mengalami dua macam gerak yaitu gerak memisahkan diri
dengan orang tua dan gerak menuju ke arah teman sebaya. Pengaruh teman sebaya
tampak jelas karena adanya penurunan jumlah waktu untuk berinteraksi dengan
orang tua, dan sebaliknya mengalami peningkatan jumlah waktu untuk
berinteraksi dengan teman sebaya (Monks dkk., 1994).
Condry (dalam Monks dkk, 1994) menyatakan bahwa remaja biasa
menghabiskan waktu untuk berakhir pekan dengan teman sebayanya dua kali lipat
lebih banyak daripada bersama dengan orangtuanya. Bahkan Csikszentmihalyi
(dalam Monks dkk, 1994) menemukan remaja dalam menghabiskan akhir
pekannya dengan teman sebayanya tiga kali lipat lebih banyak dibanding bersama
dengan orang tuanya.
Hurlock (1996) menyatakan bahwa salah satu fenomena perilaku yang teijadi
dalam hubungan antara seorang remaja aengan kelompok teman sebayanya adalah
konformitas. Karena adanya kepentingan seorang remaja terhadap kelompok
teman sebayanya, maka motivasi untuk konformistis terhadap nilai, kebiasaan,
kesukaan dan budaya kelompok teman sebaya menjadi meningkat pada masa
remaja. Dengan kata lain, konformitas tidak hanya muncul pada masa remaja,
akan tetapi ketika masa kanak-kanak seseorang telah mencoba untuk konformistis
dengan kepercayaan dan perilaku kelompok sebayanya. Kemudian perilaku
konformitas menjadi lebih kuat ketika seorang memasuki masa remaja.
Jika dilihat dari arti pentingnya kelompok teman sebaya dan besarnya
sumbangan yang diberikan oleh kelompok teman sebaya dalam interaksi sosial
besar sekali kemungkinan untuk teijadinya perilaku konformitas pada remaja.
Konformitas pada remaja ditandai dengan munculnya tendensi untuk
menyesuaikan, menerima dan melakukan suatu pola yang berlaku dalam
kelompok. Penelitian Mascovici dkk (dalam Hewstone dkk, 1996) menemukan
bahwa tidak semua orang akan tunduk dan patuh pada tekanan kelompok. Lebih
lanjut Cialdini dkk (dalam Baron dan Byrne, 1997) memperoleh hasil bahwa
tingkatan konformitas pada remaja berbeda pada setiap masalah yang dihadapi
oleh remaja. Konsistensi adalah salah satu faktor yang diyakini oleh banyak
peneliti sebagai penyebab teijadinya perbedaan tingkat konformitas pada remaja.
Nemej dan Mugny (dalam Hewstone dkk, 1996), menerangkan bahwa konsistensi
terhadap suatu hal, pendapat atau keyakinan akan semakin memperkuat posisi
perilaku dan keyakinan remaja untuk tidak tunduk dan patuh pada kelompok
mayoritas. Bahkan pada kondisi tertentu konsistensi dibutuhkan agar individu
sebagai kelompok minoritas dapat berpengaruh dalam lingkungan mayoritas
dalam kelompok
Kecenderungan yang unik untuk mempertahankan keunikan individu maupun
konsistensi dalam mengontrol kejadian dalam kehidupannya, merupakan masalah
lain. Seseorang ingin seperti orang lain, akan tetapi hal tersebut tidak membuatnya
kehilangan identitas personalnya (dalam Hewstone dkk, 1996).
Keinginan remaja untuk diterima di tengah-tengah kelompoknya ditentukan
oleh tingkat kekuatan tekanan yang akan diberikan kelompok kepada remaja,
Untuk mencapai tujuan tersebut remaja akan berusaha untuk konformistis dalam
segala hal agar dapat ditrima ditengah-tengah kelompok (Hurlock, 1968).
Atribut yang mencolok pada remaja jika dibanding tahap perkembangan lain
adalah perilaku konformitas. Sifat remaja yang suka mencoba hal-hal baru,
keadaan yang kondusif, keinginan untuk berkelompok serta tidak stabi'.nya
pendirian akan mudah bagi terciptanya konformitas pada remaja. Tetapi tidak
semua remaja memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap pengaruh
konformitas tersebut, seperti dijelaskan oleh Lefcourt (dalam Monks dkk, 1994),
yang menyatakan bahwa remaja dari kelas sosial yang rendah memiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk bersikap konformistis dengan
kelompoknya. Dan sebaliknya remaja dari kelas sosial yan tinggi memilik tingkat
konformitas yang lebih rendah.
B. Kepercayaan Diri
1. Pengertian kepercayaan diri
Lauster (1978) menjelaskan bahwa kepercayaan diri merupakan keyakinan
akan kemampuan din sendiri sehingga seseorang tidak akan terpengaruh oleh
orang lain. Masih menurut Lauster (1978), kepercayaan diri adalah suatu sikap
atau keyakinan akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan
tidak terlalu cemas dalam melakuakan aktivitas, dapat melakuakan dengan bebas
hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan
sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menghargai orang lain serta
memiliki motivasi untuk berprestasi. Menurut Bandura (dalam Kumara,1988),
kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang berkaitan dengan sukses, mampu
berperilaku sesuai dengan yang dibutuhkan, un.uk menghasilkan sesuatu yang
diharapkan. Goods dan Klipnir (dalam Neny,1999), menerangkan bahwa
kepercayaan diri sering diidentikkan dengan kemandirian, meskipun demikian
orang yang kepercayaan dirinya tinggi, pada umunya lebih mudah terlibat secara
pribadi dengan orang lain dan lebih berhasil dalam hubungan interpersonal.
Menurut Schwartz (dalam Thaibsyah, 1991), kepercayaan diri adalah sikap positif
yang berisikan kekuatan, kemampuan dan ketrampilan untuk menghasilkan
sesuatu yang didasari oleh keyakinan akan kesuksesan dalam melaksanakannya.
Orang yang percaya diri akan lebih berani dalam mengambil resiko dan
menghadapi tantangan hidup, sehingga berani mencoba atau melakukan hal-hal
baru di dalam suasana yang baru juga (Brenich & Amich dalam Kumara, 1988).
Bren'ch dan Amich (dalam Kumara, 1988), mengemukakan bahwa
kepercayaan diri merupakan suatu perasaan atau sikap yang tidak perlu
membandingkan diri dengan orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu
terhadap apa yang dibutuhkan dalam hidupnya.
Kumara (1988) menyatakan bahwa kepercayaan sebagai kemampuan untuk
berpikir secara original, berprestasi, aktif, agresif dalam mendekati pemecahan
masalah dan tidak lepas dari situasi sosial yang mendukungnya, bertanggung
jawab atas keputusan yang telah diambilnya, mampu melihat realitas secara
objektif berdasarkan pada keterampilan dan kemampuan yang dimiliki.
Kepercayaan diri biasanya erat kaitannya dengan keamanan emosi. Semakin
mantap kepercayaan diri seseorang maka semakin mantap pula keamanan
emosinya (Setyobroto dalam Budiono, 1995). Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Eysenck (dalam Jones & Hardy, 1990), yang menerangkan kepercayaan diri
pada dasarnya merupakan perwujudan yang menggambarkan ketidakcemasan.
Demikian juga pendapat Rosenbaum dan Hadari (dalam Calhoum & Accocella,
1990), berpendapat bahwa orang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang
tinggi akan merasa lebih aman dengan dirinya dan akan lebih dapat meraih sukses
jika dibandingkan dengan orang yang kurang memiliki rasa kepercayaan diri.
Sedangkan menurut Daradjat (1975), kepercayaan diri akan tumbuh jika rintangan
atau halangan dapat dilalui dengan sukses. Sukses yang dicapai akan membawa
kegembiraan dan kebahagiaan yang akan mengakibatkan tumbuhnya kepercayaan
diri. Ditambah dengan pernyataan Baron dan Byrne (1997), yang menyatakan
bahwa kepercayaan diri merupakan prediktor dari keberhasilan.
Berdasarkan dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan din
merupakan keyakinan akan kemampuan diri dalam berinteraksi dan beraktivitas
dengan orang lain tanpa harus membandingkannya, karena adanya sikap positif
terhadaD kemampuan diri sendiri, adanya pengetahuan dan kemampuan yang
cukup terhadap apa yang dibutuhkan, diharaokan serta mampu melihat realitas
secara obyektif. Memiliki kemandirian untuk mencapai apa yang diinginkan dan
selalu memunculkan sikap yang positif terhadap penilaian diri, sehingga dengan
adanya kepercayaan diri. Individu memiliki motivasi untuk berprestasi serta
mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Kepercayaan diri juga
merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan seseorang.
2. Aspek-aspek dalam kepercayaan diri
Menurut Scheir & Carver (dalam Smith dkk., 1989) salaha satu aspek
kepercayaan diri adalah optimis yaitu Individu tidak mudah putus asa dan
senantiasa beroikir positif terhadap apa yang akan teijadi. Orang yang optimis
akan mencoba menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, sedangkan
orang pesimis akan menggunakan pendekatan pasif dan fatalistik terhadap
masalahnya. Orang yang optimis akan menganggap kegagalan sebagi pemicu
untuk mencapai keberhasilan, tidak mudah menyalahkan diri sendiri apabila
mengalami kegagalan. Berbeda dengan orang yang optimis, orang pesimis selalu
menganggap kegagalan adalah akhir dari segalanya, pandangannya sempit dalam
menghadapi masalah sehingga mudah menyerah dan putus asa, serta tidak bisa
menemukan jalan atau cara alternatif dalam pemecahan masalah.
Aspek lain dari kepercayaan diri adalah yakin akan kemampuan diri sendiri ini
merupakan komponen penting dalam kepercayaan diri seperti yang dikatakan oleh
banyak ahli, termasuk Rosenberg (dalam Kumara, 1988), yang mengatakan bahwa
e^ensi dari rasa percaya diri terletak pada suatu perasaan atau kepercayaan yang
menekankan bahwa individu dapat menyebabkan teijadinya sesuatu sesuai dengan
harapan-harapannya. Artinya individu mempunyai keyakinan dan kempuan untuk
melakukan seuatu sesuai dengan harapannya, meskipun tanpa dukungan dan
bantuan dari orang lain individu mampu untuk mengerjakannya serta siap
menghadapi apapun resikonya.
Hurlock (1973) menyatakan bahwa penenmaan diri akan ditentukan oleh
sejauh mana keberhasilan individu dalam membentuk tingkah laku yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang melingkupi kehidupannya. Rubin (1974)
menambahkan bahwa penerimaan diri {self acceptance), merupakan sikap yang
mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terlalu menuntut, menerima
segala kelebihan dan kekurangan yang ada adalah merupakan sikap menerima diri
apa adanya.
Aspek berikutnya adalah konsep diri, yaitu cara seseorang menerima diri
sendiri sebagaimana dirasakan, diyakini dan dilakukan baik ditinjau dari segi nilai
fisik, moral, sosial dan keluarga, konsep diri berawal dari adanya gambaran diri
(self image), yaitu suatu cara untuk melihat diri sendiri (McKeachie dkk., dalam
Kumara, 1988).
Individu yang percaya diri akan memiliki konsep diri yang jelas mempunyai
keyakinan kalau dirinya tidak lebih buruk dari orang lain, dan yakin pada
kemapuannya dalam mengerjakan sesuatu tidak kalah dengan orang lain serta
bisa untuk berprestasi seperti orang lain.
C. Keterkaitan antara Kepercayaan Diri dan Konformitas
Kepercayaan diri seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah keadaan yang
menunjukkan keyakinan akan kemampuan diri, optimis, tidak banyak mencari
dukungan dari orang lain, senantiasa berpikir positif terhadap apa yang akan
terjadi (khusnu-dhon), menerima diri apa adanya. Sesorang yang memiliki sifa-
sifat diatas akan senantiasa memandang diri dan lingkungan dengan positif dan
tidak merasa cemas terhadap apa yang akan teijadi, sehingga tidak kecewa, tidak
puas atau ingin menjadi orang lain yang tidak sama dengan dirinya.
Masa remaja sering didefinisikan oleh banyak ahli sebagai masa transisi
atau masa peralihan, yaitu dari masa anak-anak menuju kemasa dewasa, sering
membuat remaja berada diantara dua batas, yang membuat status remaja menjadi
tidak jelas dan ketidak jelasan status mereka itu sering menimbulkan konflik pada
remaja, konflik tersebut harus dihadapi oleh remaja bersamaan dengan dorongan
seksual remaja yang meningkat, kesadaran akan dirinya, tuntutan sosial, ketakutan
akan menjadi berbeda dengan orang lain, keinginan untuk menampilkan
keunikannya akan tetapi tidak terisolasi dalam masyarakat. Kebebasan mulai
dicari oleh remaja, remaja mulai berinteraksi, remaja akan mencari dukungan dari
orang lain terutama kelompok sebaya (peer group), yang dianggapnya senasib dan
mempunyai tujuan yang sama.
Di dalam berinteraksi dengan teman sebaya ini tidak jarang individu
mengalami konflik baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan
masyarakat atau kelompok teman sebaya. Penyebab teijadinya konflik biasanya
berkenaan dengan masalah penyesuaian diri dan adanya ketidaksesuaian antara
harapan remaja dengan kenyataan yang dihadapinya.
Remaja sering merasa kebingungan dan mengalami kecemasan karena
remaja masih berada dalam proses pencarian identitas diri dan konsep diri. Selama
dalam proses ini pengaruh teman sebaya sangat besar, karena frekuensi remaja
dalam berinterksi dengan teman sebaya lebih banyak dibanding dengan orang
tuanya, di samping itu adanya perasaan senasib membuat remaja semakin
menyatu dengan kelompoknya. Muncul anggapan bahwa niiai kelompok adalah
nilainya dan norma kelompok akan begitu mudah diterimanya, Kelompok adalah
merupakan tolok ukur bagi remaja dalam berperilaku dan berinteraksi dengan
orang lain dan remaja akan begitu konformistis dengan kelompoknya.
Dari segi emosi orang-orang yang konformistis menunjukkan ego strength
yang rendah dan memiliki penerimaan (self concept) yang negatif, harga diri yang
rendah dan kurangnya kepercayaan diri. Remaja yang cenderung tidak suka
berperilaku konformistis biasanya memilki sikap percaya pada diri sendiri,
memiliki refleksi diri (self reflective) dan harga diri (self esteem) yang tinggi serta
banyak ide (Sears dkk., 1994). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
dikatakan bahwa kepercayaan diri dapat mempengaruhi perilaku konformitas pada
remaja. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada banyak faktor lain yang
mempengaruhi perilaku konformitas pada remaja, seperti harga diri, penelitian ini
pernah dilakukan oleh Handayani (2000),
E. Hipotesis
Berdasarkan dari latar belakang masalah dan dasar teori yang telah
dikemukakan, serta dari pola pemikiran yang memperlihatkan hubungan dan
proses terjadinya perilaku konformitas pada remaja maka hipotesa yang diajukan
dalam penelitian ini adalah :
Ada korelasi negatif antara kepecayaan diri dan konformitas pada remaja.
Remaja yang mempunyai kepercayaan diri tinggi, maka perilaku konformitasnya
rendah. Sebaliknya remaja yang kepercayaan dirinya rendah, perilaku
konformitasnya tinggi. Hipotesa berikutnya adalah ada perbedaan perilaku
konformitas antara remaja putera dan remaja puteri.

Anda mungkin juga menyukai