Anda di halaman 1dari 32

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan
TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf
pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB
milier atau TB ekstrapulmoner.
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
<15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan
dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,
rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei
Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan
paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya
terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta
didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika
terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita
TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke
udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman
TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia
sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi
sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh
seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang
sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.


2.2 Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju. Salah
satu di antaranya adalah TB. World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. Tuberculosis, dengan angka
tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di
negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu
perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang tepat.

Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak
per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus
TB anak berusia <15 tahun, 63 % di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei nasional di
Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452
anak berusia <15 tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari Alabama, Amerika,
dilaporkan bahwa selama 11 (tahun 1983-1993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15
tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15 % dari seluruh
kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus baru
diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000, dan
akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak
88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun
2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44
tahun (54,5%) diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara
berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah
19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun,
diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai
infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kasus baru
TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak
10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun.
Peningkatan kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu: (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari seluruh populasi.(Gambar 1)





Gambar 1. Jumlah populasi berdasarkan usia

Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir sebesar 3
juta dan hampir 90 % kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2000,
jumlah kematian diperkirakan sebesar 3,5 juta.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah
583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World
Heatlh Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling
banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih
banyak dari pada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih
banyak dari pada kematian akibat kehamilan, persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus
TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-
2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0 %-14,1 %.
Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan
didapatkan 16,5%.
Karena sulitnya menegakkan diagnosa TB pada anak, data TB anak sangat terbatas,
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya
dengan cara membuat konsesnsus diagnosa di berbagai negara. Dengan adanya konsensus,
diharapkan diagnosa TB anak Dapat ditegakkan, sehingga kemungkinan overdiagnosis atau
underdiagnosis dapat diperkecil dan angka prevalens pastinya diketahui.

Prevalens tuberkulin positif
Uji tuberkulin adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis,
dapat juga dipergunakan untuk mengukur prevalens infeksi. Dari prevalens infeksi dapat
diketahui annual risk of tuberculosis infection (ARTI) dengan metode konversi. ARTI
merupakan salah satu parameter epidemiologi untuk menentukan beban penyakit TB
(bureden of tuberculosis). Parameter epidemiologi lainnya adalah perkiraan insiden BTA
positif dan TB paru, kasus yang dilaporkan dan laju yang dilaporkan (case notification and
notification rates), perkiraan cakupan yang mendapat layanan kesehatan di populasi, serta
perkiraan case fatality rate untuk pasien dengan BTA positif TB yang lain. ARTI adalah
propabilitas seseorang yang tidak terinfeksi menjadi terinfeksi oleh M. tuberculosis dalam
kurun waktu satu tahun. ARTI dapat diperkirakan bila dilakukan survei tuberkulin berulang
di suatu populasi pada waktu yang berbeda. Survei tersebut dilaksanakan dengan teknik yang
sama, pada sekelompok subyek yang belum mendapat vaksinasi BCG dengan usia yang
sama.
Bila sistem surveilans tidak dapat dilakukan untuk mendeteksi dan pelaporan insidens
kasus, maka ARTI merupakan teknik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui
besarnya infeksi TB. Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2004, rata-rata
prevalensi kasus BTA positif diperkirakan 104 per 100.000 penduduk. Namun dengan
membaginya berdasarkan durasi penyakit, insiden dari kasus BTA positif menjadi 96 per
100.000 penduduk. Hasil penelitian uji tuberculin di beberapa negara berkembang telah
dipakai untuk memperkirakan besarnya ARTI. ARTI di negara-negara Afrika daerah Sub-
Sahara berkisar antara 1,5% sampai 2,5% disusul oleh negara-negara Asia Selatan dan Asia
Timur sebesar 1% sampai 2%, sedangkan Afrika Utara, Timur Tengah dan Amerika Tengah
dan Latin, diperkirakan ARTI antara 0,5% dan 1,5 %. Pada tahun 1990 diperkirakan 1,7
miliar orang (sekitar sepertiga populasi dunia) terinfeksi oleh M. tuberculosis, sebagian besar
dari mereka ada di negara berkembang. (Raviglione dkk, 1995). Pada tahun 2006 dilakukan
penelitian untuk mengetahui angka ARTI pada anak yang dilakukan di Sumatera barat .
Berdasarkan pengamatan pada anak yang memiliki skar BCG dengan 16 mm sebagai cut off
point dari permeriksaan tuberkulin didapatkan angka prevalensi infeksi (95% CI: 6,2-9%)
mencapai 8% sehingga didapatkan nilai ARTI sebesar 1%. Diestimasikan untuk setiap 1%
ARTI, rata-rata menunjukan 96 kasus BTA positif TB per 100.000 populasi.

2.3 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan
patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum
menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M.
Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari
penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus,
bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis
varian humanus.
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,
nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran
panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal
pada suhu 37-41
0
C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara
optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel
yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan
komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan
kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap
asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada
dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin,
auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah
karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi
kembali.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma
makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat
aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung
oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O
2

pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan
glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu
generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid
membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan
tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3
minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.

2.4 Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama
2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi
TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh
terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih
negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan
ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai
berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam
fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi
dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun
setelah infeksi primer.

























Gambar 2. Patogenesis tuberkulosis
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga
dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai
organ.

Gambar 3. Kalender perjalanan penyakit TB primer
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif
dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,
dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini
berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada
tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura
terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada
tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar
manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan
90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.

2.5 Diagnosis
2.5.1 Manifestasi klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman
bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada
usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan
gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok
dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.
2.5.1.1. Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang
dapat dialami anak yaitu:
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai
keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB
berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak
bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

2.5.1.2. Manifestasi Spesifik Paru

TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan
dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan
manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,
walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan
pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes
tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto
thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.


TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis
regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar
berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan
dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas
apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe
membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut
kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan
oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran
nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non
produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda
adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.


TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks
primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan
stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent
membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,
merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis
kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke
seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam
tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan
penurunan bunyi nafas.


TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang
ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai
strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang
lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan
gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan
kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,
penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.


Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,
unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan
hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung
cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi
dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung
beberapa minggu.

2.5.2 Pemeriksaan penunjang

2.5.2.1. Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik
yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB,
maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux
dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar
lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan
sebagai negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh
infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.
atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan
uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena
infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada
pemeriksaan foto thoraks terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.
Sebab-sebab hasil positif palsu dan negative palsu uji tuberkulin Mantoux :
Positif palsu :
1. Penyuntikkan salah
2. Interpretasi tidak betul
3. Reaksi silang dengan Mycobacterium atipik
Negatif palsu :
1. Masa inkubasi
2. Penyimpanan tidak baik dan penyuntikkan salah
3. Interpretasi tidak betul
4. Menderita tubrtkulosis luas atau verat
5. Disertai infeksi virus (canpak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
6. Imunoinkompetensi seluler, termasuk pemakaian kortikosteroid
7. Kekurangan komplemen
8. Demam
9. Lekositosis
10. Malnutrisi
11. Sarkoidosis
12. Psoriasis
13. Jejunoileal by pass
14. Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
15. Defisiensi zinc
16. Anemia pemiosa
17. Uremia

2.5.2.2 Uji Interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,
diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi
dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian
di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB.


2.5.2.3 Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma

2.5.2.4 Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,
Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada
satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.



2.5.2.5 Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik
apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan
pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung
didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan
positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan
untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.

2.5.2.6 Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut
mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.
Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.



Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan
diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai.
Gambar 4. Sistim skoring diagnosis TB anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas -

Laporan
keluarga (BTA
negatif atau
tidak jelas)
BTA(+)
Uji Tuberkulin

Negatif - - Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan /
Status Gizi
- BB/TB < 90%
atau
BB/U < 80%

Klinis gizi
buruk
atau BB/TB <
70%
atau BB/U <
60%
-

Catatan:
Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat datang.
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;
atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus.
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7 hari) harus
dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal 13).
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau
terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran
serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.
Demam tanpa
sebab yang jelas
- 2 minggu - -
Batuk - 3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar koli,
aksila, inguinal
- 1 cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
- Ada
pembengkakan
- -
Foto Thorak Normal/kelainan
tidak jelas
Gambaran
sugestif TB
- -

Gambar 5. Bagan skrining tuberkulosis

Petunjuk WHO untuk diagnosis tuberkulosis anak :
a. Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak penderita tuberkulosis dengan
diagnosis pasti
2. Anak dengan :
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau
batuk rejan
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik
dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah :
Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih)
Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan indentifikasi
Mycobacterium Tuberculosis pada karakteristik biakan

2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan
obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain
(second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif
saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif
(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi
simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100
mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam
1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi
di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat
yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala
dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya
ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin
umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada
saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana
asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid
aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek
samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi
klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat
ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak
dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,
etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting
penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan
cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan
pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.



Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg/hari)
Efek Samping
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Gambar 6. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

2.6.1.1 Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase
intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.
Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada
anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,
isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,
meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat
macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase
lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu
meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis
TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida
dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.


2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid

Etambutol
Streptomisin
Prednison

Gambar 7. Panduan Obat Antituberkulosis

Fixed Dose Combination (FDC)
Salah satu masalah dalam terapi TB adalah kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut
maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan, yaitu FDC.
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut.
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien
Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar dengan
tepat
Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan, penyimpanan,
dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TB)
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi
resistensi terhadap obat TB
Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan
Mempercepat dan mempermudah pengawasan minum obat sehingga dapat
mengurangi beban kerja
Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB

UKK Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan tetang FDC pada anak seperti dilihat
pada tabel berikut.

Berat badan (kg) 2 bulan
RHZ (75/50/150 mg)
4 bulan
RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Gambar 8. Dosis kombinasi pada TB anak
Bila BB 33 kg, dosis disesuaikan dengan gambar 5 (perhatikan dosis maksimal)
Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
Anak dengan BB antara 9-10, diberikan 1 tablet
Anak dengan BB 15-25 kg dapat diberikan 3 tablet
Dalam memberikan FDC pada anak tetap diperhatikan kesesuaiannya dengan
dosis per kg BB

2.6.1.2 Evaluasi hasil pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada
pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya
batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka
pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura
atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1
bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto
rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana
evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa
tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau
resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka
pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang
dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum
obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah
pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto
rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan
mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6
bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda
bermakna dengan pengobatan 6 bulan
2.6.1.3 Evaluasi efek samping pengobatan
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering
terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi
10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga 5 kali
tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin
total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun
yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi
(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala
memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi
mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin
cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan
pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali
apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara
memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus
dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul
kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-
dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.


2.6.1.4 Putus obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang
kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.
Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.

2.6.1.5 Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua
atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya
MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen
TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada
beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,
penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak
dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak
rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa
MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap
menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di
Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB
mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan
strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya
1,6% saja.
Gambar 9. Daftar OAT second-line untuk MDR TB
Nama Obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) dosis maksimal (mg per hari) efek samping
Ethionamide atau
Prothionamide
15-20 1000 muntah, gangguan
gastrointestinal*
Fluoroquinolones**
Ofloxacin 15-20 800
Levofloxacin 7.5-10 -
Moxifloxacin 7.5-10 - sakit sendi
Gatifloxacin 7.5-10 -
Ciprofloxacin 20-30 1500
Aminoglycosides
Kanamycin 15-30 1000 ototoksisitas, toksisitas hati
Amikacin 15-22,5 1000
Capreomycin 15-30 1000
Cycloserin terizidone 10-20 1000 gangguan psikis, neurologis

Para-aminosalicylic acid 150 12000 muntah, gangguan
gastrointestinal
*dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi
**meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping


2.6.2. Nonmedikamentosa
2.6.2.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah
satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung
terhadap pengobatan (directly observed treatment).

Directly observed treatment shortcours
(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan
TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut :


Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
2.6.2.2 Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang
kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan
tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
yaitu uji tuberkulin.
2.6.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya
yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi
kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,
pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi
ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak
tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang
disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.
2.6.3 Pencegahan
2.6.3.1 Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus
tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih
dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang
mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,
jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada
anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,
TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif
telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi
imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat
badan optimal.

2.6.3.2 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis
sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada
akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12
bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan
untuk menilai respon dan efek samping obat.

2.7. Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke
ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua
yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan
pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

2.8 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon
buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter
meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

Anda mungkin juga menyukai