Anda di halaman 1dari 19

birokrasi

Sabtu, 19 Mei 2012


contoh makalah


MAKALAH
Tentang
Sistim kepartaian



DI SUSUN:
Nama :ARIYANTO
Nim : 105640101210




FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TA/2012







KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah SWT, sebagai Al-Haliq yang menciptakan seluruh makhluk hidup di alam
fana, sekaligus adalah zat yang maha Agung sebagai sumber kehidupan alam semesta, yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada semua makhluk ciptaan-Nya tak terkecuali insan manusia sebagai
makhluk ciptaan-Nya.
Beranjak dari potensi dan karunia itu, sehinga saya selaku insan manusia mampu menyelesaikan sebuah
makalah yang bejudul sistim kepartaian sebagai suatu kewajiban pada mata kuliah pendidikan bahasa
arab semoga dalam penyusunan makalah ini bisa memberikan manfaat dan efek positif dalam penunjang
penguasaan bahasa arab.
Walaupun dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekeliruan, itu merupakan sebuah tanda bahwa
saya selaku insan memiliki keterbatasan sebagai suatu yang tidak sempurna











DAFTAR ISI
Halaman judul
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
BAB II PEMBAHASAN
a.apa saja Partai-partai Politik di Indonesia ?
b.bagaimanakah Tipe-tipe system partai di Indonesia?
c . apakah Sistem Kepartaian di Indonesia?

BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Partai politik mulai di kenal dalam bentuk yang modern di eropa dan amerika serikat
abad ke 19 bersamaan mulai di kenalkan system pemili dan parlementeria sepanjang
perkembangan dan kemajuan system pemilihan dan parlemen maka berkembang pula system
kepartaian politik.istilah partai yang melekat pada partai politik di pergunakan untuk setiap
bentuk bentuk kelompok organisasi yang bertujuan memperoleh kekuasaan politk baik melalui
pemilihan yang demokratis atau melalui revolusi
Di Indonesia, sistem kepartaian mengalami sejumlah perbedaan jika dilihat secara
kesejarahan. Perbedaan ini di antaranya diakibatkan oleh perbedaan tipikal sistem politik yang
berlaku. Di Indonesia, secara bergantian, sistem politik mengalami sejumlah perubahan dari
Demokrasi Liberal tahun 1950 awal hingga 1955, Rezim Politik Otoritarian dari 1959 hingga
1965, Rezim Kediktatoran Militer dari 1966 hingga 1971, Rezim Otoritarian Kontempore dari
1971 hingga 1998 dan kembali menjadi Demokrasi Liberal dari 1998 hingga sekarang.
b. rumusan masalah

A.apa saja Partai-partai Politik di Indonesia ?
B.bagaimanakah Tipe-tipe system partai di Indonesia?
C . apakah Sistem Kepartaian di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Partai-partai Politik di Indonesia
Richard S. Katz membagi tipikal partai politik menjadi 4, yaitu Partai Elit, Partai Massa,
Partai Catch-All dan Partai Kartel. Fraz Neumann menambahkan terdapat 1 jenis partai yaitu
Partai Integratif. Penjelasan dari masing-masing tipe partai politik tersebut adalah :

1. Partai Elit Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis
kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari
elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki
status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-
pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.

2. Partai Massa Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi
kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya
untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti orang
kecil, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas
sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.

3. Partai Catch-All Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun,
berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All
mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini
berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap
kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai
Rational-Efficient.

4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai.
Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut,
pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk
bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak
memiliki arti lagi.

5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk
melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik
suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat
mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan
dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara
sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.Beberapa partai seperti PDI Perjuangan
kini dapat dikategorikan sebagai Partai Massa. Partai ini memiliki massa cukup besar, yang
kerap mengidentifikasi diri berbasis kelas sosial tertentu semisal kalangan rakyat biasa.
Namun, dalam hubungannya dengan kepemimpinan partai, PDI Perjuangan dapat pula
dikategorikan sebagai Partai Elit. Figur elit politik seperti Megawati Sukarnoputri cukup
signifikan sebagai basis kohesi partai. Demikian pula pertalian keuangan partai dengan
pengusaha Taufik Kiemas dan Tjahjo Kumolo.
Karakteristik partai massa juga terdapat dalam partai-partai lain semisal PKB dan PAN. PKB
kemungkinan masih menjadi basis identifikasi politik kalangan Nahdlatul Ulama sementara PAN
untuk kalangan Muhammadiyah. Meskipun kondisi identifikasi pemilih dengan partai
berkecenderungan untuk tidak menguat, tetapi masih dapat diterima asumsi bahwa PKB dan
PAN merupakan tipikal Partai Massa.

Partai Demokrat merupakan partai yang tidak punya basis pemilih yang jelas. Partai ini dapat
disebut sebagai partai presiden, yaitu partai yang berdiri untuk mengangkat figur Susilo
Bambang Yudhoyono (atau memanfaatkan?). Ketidakjelasan basis pemilih ini (layaknya partai
massa) membuat Partai Demokrat harus peka terhadap isu-isu strategis di kalangan pemilih.
Partai jenis ini dapat diklasifikasi sebagai Partai Catch-All.

Partai-partai kecil banyak tersebar di parlemen. Misalnya, dalam pemilu 2004, partai-partai
seperti Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, atau
Partai Karya Peduli Bangsa, tidak akan hidup jika tidak berkoalisi dengan partai-partai lain
yang setara ataupun dengan partai besar yang punya basis ideologi setara dengan mereka.
Anggota fraksi mereka dapat disebut sebagai Partai Kartel, yang berorientasi pada koalisi.
Dengan demikian, basis ideologi, janji pemilu dan sejenisnya bukan sesuatu yang urgent untuk
dipenuhi oleh sebab untuk bersuara saja, mereka tidak memiliki kekuatan representasi. Teknik
bertahan untuk tetap ada, merupakan prioritas utama yang harus segera dilakukan.
Fenomena Partai Keadilan Sejahtera, dapat dikatakan sebagai fenomena Partai Integratif. Partai
jenis ini membasiskan keorganisasian pada keanggotaan volunteer, sumbangan anggota, kerja-
kerja sosial, sehingga membuat partai mereka bertahan hidup. Tipikal kerja partai mereka cukup
massif. Karakter PKS juga dapat disebut sebagai Partai Massa, di mana dimensi keislaman
modernis merupakan basis identifikasi para pemilihnya.
B. Tipe-tipe system partai
kepartaian di Indonesia. Giovani Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi 4
macam, yaitu Sistem 2 Partai, Pluralisme Moderal, Pluralisme Terpolarisasi dan Sistem Partai
Berkuasa. Sartori membagi keempat sistem kepartaian tersebut berdasarkan ideologi yang dianut
masing-masing partai serta banyaknya partai yang diakui dan ikut dalam setiap pemilihan
umum.
Sistem 2 partai ditandai oleh adanya 2 partai yang terus bersaing di dalam setiap pemilu serta
paling memiliki pendukung luas. Kedua partai tersebut dapat saja memiliki ideologi yang
berbeda ataupun isu-isu politik yang kontras. Contohnya di Amerika Serikat di mana Partai
Republik dan Partai Demokrat yang bersaing. Partai Republik membawakan kepentingan
pengusaha, kalangan militer, dan golongan konservatif. Partai Demokrat, kerap dicitrakan
sebagai lebih dekat ke kalangan pekerja, gerakan sosial bernuansa hak asasi manusia, dan
kesejahteraan sosial.Pluralisme Moderat adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-
partai politik yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Namun, perbedaan
ideologi tersebut tidak begitu tajam sehingga dapat saja para pemilih suatu partai dapat
berpindah dari partai yang satu ke partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, partai-
partai yang memiliki perbedaan ideologi tetap dapat menjalin koalisi jika memang diperlukan
guna menggolkan suatu kebijakan.
Pluralisme Terpolarisasi adalah sistem kepartaian suatu negara di mana partai-partai politik
yang ada di dalamnya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Perbedaan ideologi tersebut
terkadang cukup fundamental sehingga sulit bagi pemilih partai yang satu untuk berpindah ke
partai lainnya. Demikian pula, di tingkatan parlemen, perbedaan ideologi tersebut membuat
sulitnya tercipta koalisi akibat perbedaan ideologi yang cukup tajam tersebut.Sistem Partai
Berkuasa adalah sistem kepartaian di mana di suatu negara terdapat sejumlah partai, tetapi ada
sebuah partai yang selalu memenangkan pemilihan umum dari satu periode ke periode lain.
Partai yang selalu menang tersebut menjadi dominan di antara partai-partai lainnya, dilihat dari
sisi basis massa, dukungan pemerintah, maupun kemenangkan kursi mereka di setiap pemilihan
umum. Contoh dari satu Sistem Partai Berkuasa ini adalah Malaysia, Indonesia di era Orde Baru,
ataupun India. Di Malaysia, UMNO merupakan partai yang kerap memenangkan pemilu dari
periode ke periode. Di Indonesia era Orde Baru, Golkar selalu memimpin suara di tiap pemilu
1971, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Di India, Partai Kongres adalah partai berkuasa yang di setiap
pemilu mereka seringkali memenagkan kursi terbanyak untuk parlemen.

C. Sistem Kepartaian di Indonesia
Sistem kepartaian di Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan pergantian tipe sistem
politik. Tipikal sistem kepartaian apa yang berlaku di suatu negara, secara sederhana dapat
diukur melalui fenomena pemilihan umum. Dari sisi jumlah misalnya, suatu negara dapat disebut
sebagai bersistem satu partai, dua partai, atau multipartai, dilihat saja dari berapa banyak partai
yang ikut serta dalam pemilu berikut peroleh suara mereka.
awal berdirinya partai-partai politik di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, akan tetapi
dalam pembahasan ini akan dimulai pasca proklamasi kemerdekaan. Karena sebelum
kemerdekaan partai-partai politik berdiri bukan menjadi peserta pemilu tetapi merupakan bagian
dari kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian menduduki perwakilan pribumi di
Volkstraad yang ketuanya tetap dipegang pihak penjajah. Volkstraad juga bukan lembaga politik
sebagaimana lembaga legislatif, tetapi seperti lembaga legislatif karena tidak memiliki fungsi
dan hak sebagai lembaga legislatif. Ia hanya sebatas lembaga konsultasi Gebernur jenderal.
Partai politik di Indonesia mulai berdiri setelah proklamasi kemerdekaan RI, berdasarkan
hasil sidang terakhir PPKI, tanggal 22 Agustus 1945, yang menetapkan antara lain: pertama,
akan dibentuk suatu partai politik sebagai alat perjuangan yakni Partai Nasional
Indonesia.Kedua, membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Ketiga, berdirinya Badan
Keamanan Negara (BKR). Dengan demikian pada awalnya di Indonesia akan dibentuk partai
tunggal atau partai negara namun, KNIP yang terlebih dahulu dibentuk mempertimbangkan
berdirinya partai tunggal karena, dianggap berbau fasis (Jepang) dan bersifat otoriter. Dalam
rangka itu, Badan Pekerja mengusulkan agar dibuka kesempatan untuk mendirikan partai-partai
politik.Usul tersebut disejutui pemerintah dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Dalam Maklumat tersebut tertulis bahwa Pemerintah menyukai timbulnya
partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan maklumat tersebut
berdirilah partai-partai politik, sehingga Indonesia telah meninggalkan sistem partai tunggal dan
menuju sistem multi partai. Berdirilah partai-partai politik seperti Masyumi, PKI, PNI, Partindo
dll. Akan tetapi partai-partai tersebut yang setadinya akan menjadi peserta pemilu tahun 1946,
gagal diselenggarakan karena masih terjadi revolusi fisik. Pemilu pertama baru dapat
dilaksanakan pada tahun 1955 pada masa perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi,
dengan berdasarkan UUD 1950 dan UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. Pemilu tersebut untuk
memilih anggota Konstituante. Pada pemilu tersebut diikuti peserta pemilu dari partai politik dan
perorangan yang semuanya berjumlah 28 peserta pemilu dengan 100 tanda gambar. Peserta
pemilu dan perolehan suaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Demokrasi Liberal Pertama di Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat No.X Oktober
1945. Maklumat yang ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (wakil presiden RI saat itu)
mempersilakan publik Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik. Mulai saat itu, berdirilah
beragam partai politik yang sebagian besar berbasiskan ideologi dan massa pemilih di Indonesia.
Oleh sebab masih banyaknya peperangan (revolusi fisik berupa pemberontakan dan hendak
kembalinya kekuasaan asing), pemilu belum kunjung dilaksanakan hingga tahun 1955.

Pemilu 1955 menandai resminya era sistem politik demokrasi liberal di Indonesia. Aneka
partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat organisasi, meluaskan basis massa, dan
sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian yang berlaku di Indonesia adalah Pluralisme Terpolarisasi.
Cukup banyak partai politik yang ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia ini. Namun, partai-partai yang memperoleh suara besar (4 partai) memiliki garis
ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain

Pemilu 1971 diikuti lebih dari 27 partai politik. Komposisi hasil peroleh suara partai-partai
politik pada pemilu tahun 1955 menunjukkan PNI (Partai Nasional Indonesia) meraih 22,32%
suara dan mengantungi 57 kursi di parlemen. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
meraih 20,92% suara dan mengantungi 57% suara di parlemen. NU (Nahdlatul Ulama) meraih
18,41% suara dan 45% suara di parlemen. PKI (Partai Komunis Indonesia) meraih 16,36% suara
dan meraih 39 kursi di parlemen. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) mengantungi 2,9% suara
dan meraih 8 kursi di parlemen. Parkindo (Partai Kristen Indonesia) mengantungi 2,6% suara
dan meraih 8 kursi di parlemen. Partai Katolik mengantungi 2,0% suara dan meraih 6 kursi di
parlemen. PSI (Partai Sosialis Indonesia) mengantungi 2,0% suara dan meraih 5 kursi di
parlemen. Sementara itu, total partai-partai lainnya yang masing-masing meraih suara <2,0%>
2,9% atau memperoleh >8 kursi parlemen. Partai-partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, dan
PKI. Keempat partai ini memiliki akar dalam ketiga aliran seperti disebutkan Geertz.

PNI dekat dengan aliran priyayi, suatu aliran yang dekat dengan budaya Jawa aristokratik
(kebangsawanan) dan rata-rata pengikutnya mencari nafkah selaku pegawai negeri ataupun
pelayan publik. NU dan Masyumi dekat dengan aliran Santri, suatu aliran diidentikan dengan
agama Islam yang tumbuh di pesisir Pulau Jawa dan menunjukkan kepercayaan dan tata ibadah
Islam yang nyata. Santri ini terbagi menjadi dua belahan besar yaitu tradisionalisme dan
modernisme.

Bagian yang mewakili tradionalisme direpresentasikan Nahdlatul Ulama, yang secara
kemasyarakatan didirikan tahun1926 guna merespon gelombang reformasi Islam dari Timur
Tengah. NU banyak diikuti oleh penduduk Indonesia di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Sementara itu, Masyumi mewakili gerakan modernisme Islam, yang sebagian beranggotakan
kaum cendekiawan, pedagang, dan basis dukungan utama dari luar pulau Jawa. NU dan
Masyumi meskipun dikategorikan sebagai santri tetapi memiliki implementasi basis sosial
kemasyarakatan yang berbeda.

PKI kerap diidentikan oleh kalangan abangan, meskipun PNI juga memiliki banyak pengikut
dari kalangan ini. Basis pendukungnya ada di antara kaum pekerja di wilayah perkotaan dan
pedesaan (petani, nelayan). PKI menduduki posisi keempat peroleh suara di Pemilu tahun1955.

Telah disebutkan bahwa sistem kepartaian Indonesia di era ini bercorak Pluralisme Terpolarisasi.
Masing-masing partai memiliki ideoogi yang satu sama lain punya perbedaan tajam yang
tercermin dalam perolehan suara 4 besar pemilu 1955. Kondisi ini memiliki kelemahannya
sendiri yaitu sulitnya mencapai konsensus antar partai dalam melakukan kesepakatan di tingkat
parlemen. Bukti sulitnya konsensus ini adalah perdebatan yang berlarut-larut di Dewan
Konstituante untuk merumuskan UUD baru bagi Indonesia. Selain itu, di tingkat massa kerap
terjadi persinggungan antar simpatisan partai. Situasi ini berujung pada lahirnya Demokrasi
Terpimpin, suatu era sistem politik Otoritarian Kontemporer yang diawali tahun1959.

Selain Geertz, analisis sistem kepartaian juga bisa dilakukan dengan menggunakan tipologi yang
diberikan Herbert. Feith membagi kepartaian yang ada di Indonesia berdasarkan garis ideologi
yang hasilnya adalah terdapat 5 aliran ideologi yang berpengaruh di Indonesia pada era 1945
hingga 1965. Ideologi-ideologi tersebut adalah : Komunisme, Nasionalisme Radikal,
Tradisionalisme Jawa, Islam, dan Sosialisme Demokrasi. Masalah kategorisasi ideologi
berdasarkan pendapat Herbert Feith ini akan lebih dikembangkan dalam tema Budaya Politik
Indonesia.


Rezim Otoritarian Kedua (1971-1998)

Analisis sistem kepartaian kemudian diadakan atas Rezim Otoritarian Kedua (1971-1998).
Sistem kepartaian di masa Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno secara sengaja tidak
dianalisis oleh sebab masih memiliki kesamaan dengan Demokrasi Liberal Pertama dilihat dari
konfigurasi kepartaiannya. Hanya saja, pada masa ini Masyumi (dan PSI) dibubarkan oleh sebab
dituduh Sukarno terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi.

Di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno, partai-partai besar yang masih legal adalah PNI, NU,
dan PKI. Kendati demikian, di masa ini tidak ada Pemilihan Umum. Ketiga partai tersebut tetap
bertahan oleh sebab menjadi sokoguru dukungan politik Sukarno bagi kebijakan-kebijakannya.
Sukarno, saat itu, membangun sokoguru dukungan politik melalui 3 unsur mayoritas yang ada di
Indonesia yaitu aliran Marxisme (PKI), Islam (NU), dan Nasionalis (PNI). Sukarno melihat
ketiga aliran ini merupakan loyalis ditinjau dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan
memiliki basis massa yang besar.

Era sistem politik rezim Otoritarian Kontemporer Kedua sesungguhnya diawali mulai 1971,
ketika diadakan pemilu pertama setelah kekuasaan Kediktatoran Militer 1966. Dalam masa ini,
partai-partai politik yang dahulu dilarang Sukarno pun kembali ikut serta mengorganisasikan
diri, dan salah satunya Masyumi.
Sistem kepartaian yang berkembang di era ini seolah serupa dengan yang terjadi di era
Demokrasi Liberal. Namun, di era ini pemerintah melibatkan diri dalam politik dengan
terbentuknya Golkar. Beberapa partai seperti PSI dan PKI tidak tampak ikut serta, demikian pula
Masyumi, yang baru diperkenankan ikut serta setelah berganti nama menjadi Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia). Hasil perolehan suara pun memperlihatkan Golkar menjadi pemenang
(suara 34.348.673 atau 62,82%) sehingga memperoleh 236 kursi parlemen. Saingan terdekatnya
adalah NU (10.213.650 atau 18,68%) dan hanya mengantungi 58 kursi di parlemen.

Hasil tersebut menunjukkan mulai berlakunya sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa.
Bagaimana tidak, dengan total 360 kursi yang tersedia di dewan perwakilan rakyat, Golkar
meraih 236 kursi sehingga menguasai 62,82% suara di parlemen. Ini lebih dari cukup untuk
meloloskan aneka rancangan undang-undang yang dikeluarkan oleh partai politik.

Undang-undang yang berhasil diloloskan, salah satunya adalah sehubungan dengan pemfusian
(penggabungan) partai-partai politik ke dalam kedekatan garis ideologi tahun 1973. Ke-9 partai
non Golkar dikelompokkan ke dalam 2 partai baru: Partai Persatuan Pembangunan (terdiri atas
partai-partai berasaskan Islam seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti) serta Partai Demokrasi
Indonesia (terdiri atas partai-partai berasaskan nasionalisme dan agama non Islam seperti PNI,
Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba). Sehingga pemilu selanjutnya (1977) praktis hanya
diikuti oleh 3 partai yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

Pemilu 1977 meneruskan sistem kepartaian berklasifikasi Satu Partai Berkuasa. Pemfusian
partai-partai politik tahun 1973 ternyata tidak secara otomatis menaikkan suara Golkar. Tahun
1977 menunjukkan peroleh suara Golkar turun 0,69% ketimbang pemilu sebelumnya, termasuk
penurunan jumlah kursi dari 236 menjadi hanya 232. Meskipun demikian, Golkar tetap
merupakan mayoritas dan dominan dalam pengambilan keputusan di tingkat parlemen.

Trend yang muncul adalah, terjadinya kenaikan suara partai-partai berasaskan Islam yang
tergabung di dalam PPP. Partai ini (yang merupakan gabungan NU, Parmusi, PSII, dan Perti)
mengalami kenaikan 2,17% suara ketimbang pemilu 1971. Kursi yang diperoleh PPP adalah 99.
Trend kebalikannya terjadi di PDI, di mana perolehan suara menurun 1,48% sehingga hanya
mendapat 29 kursi parlemen. Jika pun PPP dan PDI berkoalisi, maka suara total keduanya hanya
128 kursi. Ini tidaklah cukup untuk menentang suara Golkar yang menguasai 62,11% di tingkat
parlemen.

Pemilu 1977 seharusnya diadakan tahun 1976. Namun, saat itu situasi politik di Indonesia,
terutama Jakarta cukup panas. Ini mengawali diberlangsungkannya Sidang Umum MPR tahun
1978, sidang yang akan mendengarkan Pidato Pertanggungjawaban Presiden Suharto sekaligus
memilih Presiden dan Wakil Presiden baru. Situasi pun diwarnai aneka kritis atas kepemimpinan
nasional yang dilakukan disiden elit politik dan elemen gerakan mahasiswa ITB, USU, ITS
ataupun UGM yang mengembuskan isu tidak mempercayai lagi Suharto untuk menjadi presiden
RI pasca Sidang Umum MPR 1978.

Golkar memenangkan 64,34% suara pemilu 1982, meraih 242 dari 364 kursi yang diperebutkan
sehingga menguasai 66,48% suara di parlemen. Perolehan suara Golkar mengalami kenaikan
2,23% dari pemilu 1977. Sementara itu, PPP dan PDI mengalami penurunan jumlah suara
ketimbang pemilu sebelumnya. PPP turun 1,51% dan memperoleh 94 kursi parlemen (25,82%
suara di parlemen) sementara PDI turun 0.72 sehingga hanya memperoleh 24 kursi (6,60% suara
di parlemen).

Kondisi yang sama, di mana sistem Satu Partai Berkuasa juga terjadi di pemilu 1987. Golkar
kembali memenangkan pemilu dengan jumlah suara cukup signifikan Golkar mengalami
kenaikan 8,82% suara ketimbang pemilu 1982. Partai ini mengantungi 73,16% suara pemilu
sehingga memperoleh 299 kursi di parlemen dari 400 kursi yang diperebutkan. Golkar
merupakan mayoritas, sebab itu, dengan menguasai 74,75% suara di parlemen Indonesia.
Keunggulan ini menjadikan Golkar merupakan partai yang benar-benar berkuasa di Indonesia
saat itu. PPP, di sisi lain, mengalami penurunan suara cukup besar yaitu 11,81%. Penurunan
yang cukup tajam ini akibat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah
kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid di mana NU kembali ke Khittah 1926, kembali
menjadi organisasi kemasyarakatan dan tidak berpolitik secara kepartaian. PPP hanya
memperoleh 15,25% (bandingkan dengan pemilu sebelumnya yang 25,82%). Kenaikan suara
justru terjadi di PDI, yang mengalami kenaikan 2,99% dibanding pemilu sebelumnya. PDI
memperoleh 40 kursi parlemen dan persentase suaranya di parlemen meningkat dari 6,60% di
pemilu 1982 menjadi 10% di pemilu 1987 ini.

Pemilu 1992 menandai era baru di tingkat politik nasional Indonesia. Pilar politik rezim
Otoritarian Kontemporer Presiden Suharto mengalami perubahan. Sebagian kelompok militer
mulai menjaga jarak dengan presiden, dan untuk menambal jarak ini, presiden Suharto
mendekati salah satu kelompok Islam yang tergabung di dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia). Hasil pemilu 1992 tetap memposisikan Golkar sebagai pemenang pemilu.
Namun, suaranya menurun 5,06% ketimbang pemilu sebelumnya. Dari total 400 kursi yang
diperebutkan di parlemen, Golkar memperoleh 282 kursi atau 70,50%. Sementara itu, dua partai
lain seperti PPP dan PDI justru mengalami kenaikan jumlah suara. PPP mengalami kenaikan
1,04% suara sehingga memperoleh 62 kursi di parlemen, sementara PDI memperoleh 56 kursi.
PDI mulai mendekati PPP dalam rata-rata perolehan kursi di parlemen (kurang 6 kursi saja dari
PPP).
Kenaikan suara PDI ini ditengarai bergabungnya Megawati Sukarnoputri, putri mantan presiden
Sukarno, selaku pimpinan partai. Sejumlah emosi dan kekecewaan atas pemerintahan Orde Baru
mulai diarahkan pada upaya pendukungan masyarakat atas partai ini. Kecenderungan ini semakin
terlihat pada pemilu 1997 .Meskipun Golkar masih memenangkan suara mayoritas, dengan
menguasai 76,48% kursi di parlemen. Mulai dekatnya jarak antara presiden Suharto dengan
kelompok Islam menimbulkan sejumlah kepercayaan publik pemilih PPP, sehingga peroleh
suara partai ini meningkat 5,43%. PPP memperoleh 89 kursi di parlemen atau 20,94% persentase
suara di parlemen. Perolehan suara PDI menunjukkan penurunan yang cukup tajam yaitu 11,84%
ketimbang pemilu sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah, intimidasi yang dilakukan
pemerintah atas kepemimpinan PDI Megawati Sukarnoputri berikut pendukungnya. Seperti
diketahui, saat itu PDI mengalami dualisme kepemimpinan, satu PDI versi Suryadi/Fatimah
Ahmad, dan PDI versi Megawati Sukarnoputri.

Perseteruan internal di dalam PDI ini justru merugikan partai secara keseluruhan. Perseteruan
pun tidak hanya melibatkan pihak internal melainkan juga pihak luar yang didukung oleh
pemerintah saat itu. Untuk selanjutnya, PDI versi Megawati Sukarnoputri ini mendeklarasikan
berdirinya PDI Perjuangan.

Pemilu 1997 ini merupakan pemilu terakhir dalam pola sistem kepartaian Satu Partai Berkuasa.
Sistem yang berlaku di bawah sistem politik Rezim Otoritarian Kontemporer ini berakhir, dan
berubah pada pemilu 1999. Pemilu 1999 merupakan era sistem politik baru di Indonesia :

Demokrasi Liberal 2 (1998 - )

Era Demokrasi Liberal 2 diawali pengunduran diri Presiden Suharto pasca terpilihnya ia dalam
Sidang Umum MPR 1998. Setelah pengunduran dirinya, jabatan presiden Republik Indonesia
berada di tangan B.J. Habibie. Meskipun banyak dipandang sebagai anak asuh Suharto, dalam
paradigma politik dan demokrasi, Habibie jauh berbeda dengan pendahulunya. Di mana Habibie,
era demokrasi pun sungguh-sungguh dimulai.

Beberapa keputusan populer dilakukan, diantaranya pembebasan tahanan politik, perizinan
pendirian partai-partai politik baru, dan referendum bagi rakyat Timor Timur (berujung pada
pilihan merdeka Timor Timur atas Republik Indonesia). Habibie menyetujui pemilu yang
dipercepat, yang dijadualkan berlangsung tahun 1999. Masa yang disebut sebagai euphoria
demokrasi ini benar-benar mewujud di dalam kenyataan: 48 partai politik ikut serta di dalam
pemilu dari total 148 yang terdaftar.

Hasil pemilu 1999 menunjukkan pola sistem kepartaian yang berubah dari Satu Partai Berkuasa
menjadi Pluralisme Moderat. Pluralisme Konfigurasi peroleh suara partai-partai politik pemilu
1999 menunjukkan suatu Pluralisme Moderat. Partai-partai 10 besar seperti PDI Perjuangan,
Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, dan PDKB memiliki jarak ideologi yang cukup
berdekatan. Misalnya, antara Golkar, PDI Perjuangan, PKP, dan PDKB sesungguhnya memiliki
kohesi yang saling berbekatan. Kemudian, antara PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PNU, yang
sesungguhnya partai-partai politik berbasiskan Islam, kurang lebih dapat dikerucutkan menjadi 2
aliran di dalam santri versi Geertz yaitu modernis dan tradisional. Koalisi di dalam parlemen
antara ke-10 partai tersebut masih dapat dilakukan dan tidak sesulit seperti yang ditampakkan
oleh hasil Pemilu1955 di mana 4 partai besar memiliki jarak ideologi yang cukup jauh sehingga
menyulitkan konsensus di dalam parlemen.

Andreas Ufen dari German Institute of Global Area Studies menulis bahwa pemilu 1999
menunjukkan kemenangan kalangan Islam moderat dan kalangan nasionalis. Ufen juga
mengindikasikan bahwa meskipun politik aliran ala pemilu 1955 tetap pegang peranan, tetapi
mulai terjadi dealiranisasi. Artinya, format sistem kepartaian meskipun Plural tetapi
menunjukkan kecenderungan moderat. Perbedaan ideologi antar partai tidak setajam pemilu
1955.

Di tingkat parlemen pun, pembangunan konsensus antarpartai harus menjadi perhatian. Ini
terlihat dari persentase suara masing-masing partai di parlemen hasil pemilu 1999. PDI
Perjuangan, selaku pemenang pemilu 1999, Cuma menguasai 33,33% suara di tingkat parlemen.
Golkar yang peringkat 2 hanya menguasai 25,97% suara. PPP, partai berbasis Islam hanya
menguasai 12,77%. PKB, partai berbasis kelompok tradisional Islam menguasai 11,03%. PAN,
partai yang berbasiskan modernis Islam menguasai 7,58% suara. PBB, partai yang berbasiskas
Islam modernis dan formalisme menguasai 2,81% suara. Partai Keadilan, partai Islam modernis
baru dan memiliki tipikal kelompok Ikhwanul Muslimin memperoleh suara 1,30%. PKP, partai
para fungsionaris militer nasionalis memperoleh 1,30%. PNU (partai pecahan dari PKB) serta
PDKB (partai berbasis agama Kristen Protestan) memperoleh suara 0,65%, suatu jumlah yang
kurang signifikan.

Partai-partai besar terhitung adalah PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB.
Partai-partai ini memiliki garis ideologi yang cukup lembam. PPP, PKB, PAN dan PBB, jika
mampu mencapai kesepakatan sesungguhnya dapat menjalin koalisi di parlemen. PDI
Perjuangan dan Golkar, sesungguhnya memiliki platform ideologi yang tidak terlalu berbeda.
Kendala koalisi keduanya hanyalah permusuhan historis. PDI Perjuangan, selama era Orde
Baru akhir banyak mendapat intimidasi pemerintah, dan mereka mungkin masih memandang
Golkar sebagai bagian masa lalu Orde Baru yang terus hidup hingga pemilu 1999.

Perolehan suara pemilu 1999 tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu 2004, pemilu lanjutan era
Demokrasi Liberal kedua.
Pemilu 2004 memperebutkan 550 kursi di parlemen. Golkar keluar sebagai pemenang dengan
mengantungi perolehan 24.461.104 suara atau 21,62% total suara pemilih. Hasil ini membuat
Golkar menguasai 23,27% suara di parlemen. PDI Perjuangan menguasai 19,82% suara
parlemen, PPP menguasai 10,55% suara parlemen, Partai Demokrat menguasai 10% kursi
parlemen, PAN menguasai 9,64% suara parlemen, PKB menguasai 52% suara parlemen, PKS
(nama baru Partai Keadilan) menguasai 8,18% suara parlemen, PBR menguasai 2,55% suara
parlemen. Golkar mengalami kenaikan dari pemilu 1999 ke pemilu 2004, PDI Perjuangan
mengalami penurunan, PKB mengalami penurunan perolehan suara, tetapi mengalami kenaikan
jumlah kursi di parlemen. PPP mengalami penurunan perolehan suara, meskipun jumlah
perolehan kursinya tetap sama. PD (Partai Demokrat), partai yang mengandalkan figur Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (presidency party) langsung memperoleh 7,5% suara dengan total
penguasaan kursi parlemen 56. PKS (dulu PK) mengalami mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dari 1,4% di pemilu 1999 menjadi 7,3% di pemilu 2004. Kursi parlemen mereka
peroleh 7 kursi di pemilu 1999 menjadi 45% di pemilu 2004.

PAN mengalami penurunan jumlah suara, dari 7,1% di pemilu 1999 menjadi 6,4% di pemilu
2004 meskipun kursi parlemen mereka bertambah dari 34 di pemilu sebelumnya menjadi 53 di
pemilu terkemudian. PBB meski mengalami kenaikan jumlah suara dari 1,9% menjadi 2,6%,
tetapi peroleh kursi mereka turun dari 13 menjadi 11.

Pola sistem kepartaian yang berlaku masih menyerupai Pluralisme Moderat layaknya seperti
tampak di pemilu 1999. Partai-partai relatif besar seperti Golkar, PDI Perjuanan, PKB, PPP, dan
PAN masih menguasai kursi yang cukup besar di parlemen. Tidak ada partai yang mampu
menjadi mayoritas secara mudah. Mereka harus saling berkoalisi. Partai yang menjadi partner
pertama didasarkan kedekatan garis ideologis, baru kemudian faktor-faktor pragmatis seperti
kemenangan suara untuk kebijakan tertentu dan lain sebagainya.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem kepartaian di Indonesia bervariasi, bergantung jenis sistem politik yang tengah berlaku
di kurun tertentu.
Pluralisme Moderan, Pluralisme Terpolarisasi, dan Sistem Satu Partai Berkuasa merupakan 3
sistem kepartaian yang berguna guna menjelaskan sistem kepartaian di Indonesia.
Tipikal partai politik di Indonesia dapat ditelaah dengan melakukan pembedaan atas Partai Elit,
Partai Kartel, Partai Massa, Partai Catch-All, dan Partai Integratif memiliki fungsi yang cukup
bermanfaat untuk menganalisis partai-partai politik yang ada di Indonesia.

B. Saran

Beranjak dari manusia biasa yang terlahir dengan kesalahan dan kekurangan maka dari
itu penulis merasa masih jauh dari titik kesempurnaan maka sangan di harapkan kritikan dan
saran yang bersifat membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman
mahasiswa lainnya.





DAFTAR PUSTAKA
Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto I ndonesia: Between politik aliran and
Philippinisation, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006)
Clifford Geertz, The Religion of J ava, (New York: Free Press, 1960)
Herbert Feith dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik I ndonesia : 1945-1965, Alih Bahasa
Min Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988)
Janos Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millenium,
(Barcelona : Institut de Cincies Poltiques i Socials, 2005)
Peter Mair, Party Systems and Structures of Competition, dalam Lawrence LeDuc,
et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (California: Sage
Publications, 1996) p.86.
Richard S. Katz, Party Organizations and Finance, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., op.cit.

Diposkan oleh NURHAYATI di 04.43
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih BaruBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Arsip Blog
2012 (2)
o Mei (2)
POLA HUBUNGAN POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA
contoh makalah
Mengenai Saya

NURHAYATI
Lihat profil lengkapku
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai