SJS : Menurut Websters New World Medical Dictionary, Sindrom Stevens Johnson didefinisikan sebagai Reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut. Menurut sumber lain, kelainannya dapat berupa kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah (eritema), gelembung pada kulit yang berisi cairan (vesikel/bula) dan dapat disertai dengan bercak-bercak perdarahan pada kulit/selaput lendir (purpura). Steven Johnson Sindrome merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium (muara/lubang) dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun kelainan dapat berupa eritema (kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah), vesikel/bula (gelembung pada kulit yang berisi cairan) dan dapat disertai dengan purpura (bercak-bercak perdarahan pada kulit/selaput lendir). Dalam kamus kedokteran Dorland didefinisikan sebagai bentuk eritema multiforme fatal (kemerahan yang banyak/menyeluruh) yang timbul dengan prodormal (gejala awal) seperti flu, ditandai dengan adanya lesi sistemik (kerusakan sistemik) dan mukokutan yang berat. Steven Johnson Syndrome biasa disebut juga sebagai penyakit eritema multiforme mayor. Insidensi penyakit ini sebenarnya sangat jarang, tercatat hanya sekitar 2-3% per juta populasi di Negara Eropa dan Amerika. Lebih sering diderita oleh manusia di usia dewasa dibandingkan anak-anak.
-Erythema Multiforme (EM) adalah merupakan suatu penyakit akut dari kulit dan membran mukosa yang dapat menyebabkan beberapa jenis lesi kulit, karenanya dinamakan multiforme (Greenberg,2003). Penyakit ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang karakteristik dengan adanya lesi target pada kulit atau lesi ulserasi pada mukosa. -Eritema multiforme digambarkan oleh ferdinand von hebra pada tahun 1866 sebagai penyakit kulit akut yang bersifat self limited ,yang tersebar pada kedua ekstremitas secara simetris dengan lesi-lesi target konsentrik yang khas dan sering mengalami rekurensi. -Eritema Multiforme : merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas bentuk iris.Pada kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral.
2. Perbedaan SJS dan EM? EM minor : Lesi target yang khas, target lesi atipikal yang meninggi/membentuk bentolan, keterlibatan membrane mukosa minimal dan, ketika muncul, hanya pada satu sisi (paling umum di mulut. Lesi oral; erythema ringan sampai berat, erosi dan ulserasi. Kadang-kadang dapat berefek hanya pada mukosa oral. < 10% permukaan tubuh yang terlibat. EM mayor : Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi mukosa (biasanya mukosa oral) yang terkena. Target lesi yang terdistribusi secara simetris, tipikal (khas) maupun atipikal. Lesi oral biasanya menyebar dan berat. Stevens johnson : Perbedaan utama dari erythema multiforme mayor adalah berdasarkan typology dan lokasi lesi dan adanya gejala sistemik. < 10% permukaan tubuh yang terlibat. Terutama lesi berupa lesi target datar atipikal dan makula daripada lesi target klasik. Secara umum menyebar daripada hanya melibatkan area akral. Adanya keterlibatan mukosa yang multiple, dengan scar pada lesi mukosa. Gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.
Overlapping Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis Tidak ada target tipikal; muncul target atipikal yang datar. Sampai dengan 10% 30% permukaan tubuh terlibat. Gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.
Nekrolisis epidermal toksik : Pada kasus di mana muncul spot muncul, ditandai oleh epidermal detachment dari > 30% permukaan tubuh dan macula purpuric yang menyebar (widespread purpuric macules) atau target atipikal yang datar. Pada kasus di mana tidak ada spot yang muncul, ditandai oleh epidermal detachment > 10% permukaan tubuh, large epidermal sheets dan tidak ada macula ataupun lesi target. Terdapat perbedaan pendapat dalam literature tentang definisi klinis erythema multiforme dan SJS, apakah keduanya merupakan penyakit yang berbeda, ataukah keduanya menunjukkan spectrum dari satu proses penyakit yang sama. Komisi internasional telah mengusulkan bahwa erythema multiforme dan SJS dapat dipisahkan menjadi 2 gangguan klinis yang berbeda dengan reaksi mukosa yang serupa, namun dengan pola lesi kulit yang berbeda
3. Etiologi SJS dan EM? Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas (Regezi,2003). Dan dianggap suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005) .Dimana terjadi suatu reaksi kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu (Wray, 2001). Etiologi
Pada lebih dari 50% kasus, faktor pemicu tidak diketahui. Yang paling umum adalah kasus dengan infeksi herpes simpleks (oral atau genital) yang mendahuluinya, atau dengan infeksi mikoplasma, infeksi bakteri atau virus yang lain juga telah dibuktikan. Berikut beberapa faktor pemicu yang menyebabkan eritema multiforme :
a. Infeksi virus :
- Herpes simpleks
- Pneumonia atipikal primer, infeksi mikoplasma
- AIDS
- Adenovirus
- Cytomegalovirus
- Hepatitis B
- Mononukleasis infeksius
- Limfogranuloma inguinal
- Milkers nodes
- Mumps
- Orf
- Poliomyelitis
- Psittacosis
- Variola
- Vaccinia
- Varicella
b. Infeksi bakteri :
- Telah tecatat dalam spektrum yang luas
- Rickettsia
c. Infeksi jamur :
- Histoplasmosis
- Vaksinasi
d. reaksi obat
e. reaksi kontak
f. Karsinoma, limfoma, leukemia
g. Lupus eritematosus (Rowells syndrome)
h. Poliarteritis nodosa
i. Pregnansi, premenstrual,dermatitis progesteron autoimun
j. Sarkoidosis
k. Wegeners granulomatosis
l. X-ray terapi
m. Tidak diketahui
Eritema multiforme telah dianggap sebagai contoh yang jelas dari reaksi akibat obat yang merugikan. Meskipun pada studi prospektif dari kasus-kasus eritema multiforme hanya 10% yang terkait penggunaan obat-obatan. Pada studi yang lain, riwayat penggunaan obat-obatan, khususnya golongan sefalosporin, tercatat pada 59% pasien eritema multiforme. Obat-obatan sering dianggap sebagai penyebab berdasarkan bukti yang kurang adekuat.; konfirmasi sensitivitas obat memerlukan paparan ulang terhadap obat tersebut, yang mungkin dapat menimbulkan resiko yang tidak diinginkan. Etiologi Penyebab yang pasti belum diketahui.Faktor-faktor penyebabnya selain alergi obat sistemik,ialah peradangan oleh alergi virus tertentu,rangsangan fisik,misalnya sinar matahari,hawadingin,faktor endokrin seperti keadaan hamil atau haid,dan penyakit keganasan.Pda anak- anak dan dewasa muda,erupsi biasanya disertai dengan infeksi,sedangkan pada orang dewasadisebabkan oleh obat-obatan dan keganasan Penyebab Banyak faktor-faktor etiologik yang diduga sebagai penyebab erythema multiforme telah dilaporkan. Kedua bentuk erythema multiforme, minor dan mayor, dan SJS dapat dipicu oleh obat-obatan, tetapi agen-agen infeksius juga dianggap sebagai penyebab utama erythema multiforme. Erythema multiforme minor dianggap sebagai hal yang biasa dicetuskan oleh HSV; sebenarnya, banyak kejadian-kejadian erythema multiforme minor idiopatik bisa dipercepat oleh infeksi HSV subklinis. Di antara infeksi-infeksi lain, spesiesMycoplasma muncul menjadi penyebab yang paling umum. Mengenai obat-obatan, obat- obatan sulfa (sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum. Suatu genotipe acetylator yang lambat adalah suatu faktor resiko untuk SJS yang diinduksi sulfonamide. Antikonvulsan profilaktik setelah operasi tumor otak yang dikombinasikan dengan irradiasi cranial dapat mengakibatkan SJS yang menyancam jiwa. 1,4
proflavin, resin, rosewood, triamcinolone acetonide Bumbu dan bahan pengawet Asam benzoat, kayu manis Gangguan imunologik - Kekurangan C4 selektif temporer pada bayi (transientselective C4 deficiency of infancy) Faktor mekanik Tattooing Makanan - Salmon berries, margarine Faktor fisik - Radioterapi, cuaca, cahaya matahari Lain-lain - Collagen diseases, vasculitides, non-Hodgkin lymphoma, leukemia, multiple myeloma, myeloid metaplasia, polycythemia
Penyebab SJS dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu: 1. Alergi obat, seperti antibiotika (golongan penisilin, sefalosforin, dan sulfa), obat-obatan anti nyeri, penenang, anti kejang, jamu 2. Infeksi, seperti virus, jamur, bakteri dan parasit 3. Keganasan seperti kanker karsinoma dan limfoma 4. Faktor idiopatik (belum diketahui penyebabnya) sekitar 25-50% kasus.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah musim/iklim dimana cuaca dingin lebih berpengaruh, dan juga lingkungan fisik seperti sinar x, hawa yang dingin dan ketersediaan sinar matahari. Hal ini terjadi karena reaksi hipersensitif dari sistem imun kita . Untuk orang dewasa SJS biasanya disebabkan kanker dan obat-obatan sedangkan pada anak lebih banyak karena infeksi. Dari berbagai refrensi disebutkan, bahwa penyebab pastinya belum diketahui. Namun ada faktor pencetus yang mengakibatkan terjadinya penyakit ini. Faktor penyebab utama adalah alergi obat yajni dengan presentasi lebih dari 50%. Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri), antipiretik (penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20% dan sisanya adalah jenis jamu- jamuan. Macam obat yang sering menjadi penyebab yakni penisilin, barbiturate, amiksisilin, kotrimoksasol, sefriakson dan adiktif (penenang). Faktor lainnya yang dapat menyebabkan yakni : - Infeksi seperti virus, jamur, bakteri dan juga parasit. - Faktor fisik seperti sinar x, sinar matahari dan cuaca - Penyakit kolagen vascular (serabut kolagen pembuluh darah) - Neoplasma (keganasan) - Kontaktan (hanya sebagian kecil) Adapun faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah musim/iklim dimana cuaca dingin lebih berpengaruh, dan juga lingkungan fisik seperti sinar x, hawa yang dingin juga ketersediaan sinar matahari.
Penyakit ini umumnya terjadi karena adanya reaksi hipersensitif dari sistem imun kita. Dimana sistem kekebalan tubuh yang terlalu sensitif akan memicu reaksi tubuh berupa hipersensitif tipe II (berdasarkan klasifikasi Coomb dan Gel). Adapun selanjutnya, karena adanya reaksi ini maka tubuh akan bereaksi dengan munculnya gejala-gejala awal. Adapun sasaran awal dari reaksi hipersensitifitas ini adalah kulit berupa destruksi keratinosit (perusakan lapisan keratin kulit)
4. Patofisiologi SJS dan EM? Patofisiologi EM : Kerusakan jaringan pada eritema multiforme merupakan akibat dari reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III). Pada reaksi ini, antigen yang berikatan dengan antibodi yang sudah ada dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi kerusakan jaringan melalui berbagai peranan sel radang akut dan radang kronik serta sel fagosit. Berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan tergantung pada : jenis kompleks imun yang terbentuk apakah larut atau mengendap, lokalisasi kompleks imun di dalam berbagai organ tubuh, bagaimana kompleks imun merangsang reaksi lanjutan bersama dengan berbagai imunokompeten yang lain, dan luasnya kerusakan jaringan yang ditimbulkan. Patofisiologi erythema multiforme masih belum dapat dipahami secara pasti; namun, sedikitnya herpes yang berkaitan dengan erythema multiforme (herpes-associated erythema multiforme [HAEM]) muncul karena hasil dari reaksi imunologis cell-mediated(cell-mediated immune reaction) yang berkaitan dengan antigen herper simplex virus (HSV). Reaksi imunologis mempengaruhi HSV-expressing keratinocytes. Sel efektor sitotoksik, limfosit T CD8+ di epidermis, mempengaruhi apoptosis keratinosit dan berujung pada nekrosis sel satelit. Sel-sel epidermis di sekitarnya memiliki HLA-DR positive. Terdapat suatu hubungan antara HLA tipe A33, B35, B62 (B15), DR4, DQB1*0301, DQ3, dan DR53 dengan kekambuhan erythema multiforme (recurrent erythema multiforme). Secara khusus, HLA-DQ3 terutama berhubungan dengan recurrent erythema multiformedan dapat menjadi marker yang sangat membantu untuk membedakan HAEM dari penyakit kulit lainnya. 4,5
Patofisiologi P a t o g e n e s i s S i n d r o m S t e v e n s - J o n s o n s a mp a i s a a t i n i b e l u m j e l a s n a mu n s e r i n g di hubungkan dengan r eaks i hi per s ens i t i vi t as l ambat t i pe I V ( delayed-type hypersensitivityreactions ) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T yang spesifik (Foster,et al . , 2005).S i n d r o m S t e v e n s J o h n s o n me r u p a k a n r e a k s i i mu n s i t o t o k s i k d e n g a n s a s a r a n d e s t r u k s i keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14 hari). Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah8 dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh (bullousdr ug er upt i on) ; a d a n y a p r o d u k s i y a n g t i n g g i d a r i i n t e r l e u k i n - 5 . Ke r u s a k a n e p i d e r mi s berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi berlebih yang drastis dari TNF padaepidermis. TNF memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan menginduksiapopt osi s s ecar a l angs ung at au dengan menar i k s el - s el ef ekt or s i t ot oks i k at au keduanya(Fitzpatrick, 1999; Foster , et al., 2005).Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsangrespons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks i mun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yangtimbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dant er bebas aki bat i nf eks i , i nf l amas i , at au pr os es met abol i k) . Kompl eks i mun ber edar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasikompl emen dan r eaks i i nf l amas i yang t er j adi . Ker us akan j ar i ngan dapat pu l a t er j adi aki bat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagaikelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitasmedi at or s er t a pr oduk i nf l amas i l ai nnya. Bi l a pember i an obat di t er us kan dan gej a] a kl i ni s membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satumacam maka s emua obat t er s ebut har us di cur i gai mempunyai hubungan kaus al . Si ndr omStevens-Johnson dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengankeadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat -obatan penyebab (Fitzpatrick, 1999; Foster , et al.,2005). 5. Gejala SJS dan EM? Gejala Klinik Ada berbagai macam variasi dari eritema multiforme, dan semua diberikan nama yang berhubungan dengan gambaran yang paling jelas yang menyusun erupsi tersebut. Lesi yang terjadi dapat berupa makula, papul, nodus, vesikel atau bulla. Bentuknya dapat anular, sirsinar, atau iris (target, bulls eye). Sifatnya dapat persisten, purpura atau urtika. Terdapat 2 tipe dasar eritema multiforme : a. Tipe makula-eritema b. Tipe vesikobulosa Tipe Makula-eritema Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada keadaan berat dapat juga mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris (Target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang merah. Tipe Vesikobulosa Lesi mula-mula berbentuk macula,papul dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. Lesi pada membran mukosa terjadi pada 70% pasien dan seringkali terbatas di rongga mulut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Laboratorium Oral Pathology di Universitas Sao Paolo sejak tahun 1974 hingga 2000 di dapatkan bahwa kasus eritema multiforme sebagai penyakit autoimun yang bermanifestasi oral sebanyak 7,82%. Kasus terbanyak adalah Liken planus pemfigoid (75,56%), pemfigus membran mukosa (9,37%). Lesi ditemukan di palatum durum. Dengan masa evolusi lesi mencapai lebih dari 12 bulan.
Gejala : Perjalanan penyakit Sindroma Stevens Johnson 6 1. Gejala konstitusi, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, dapat muncul 3 hari sebelum timbulnya lesi kulit. 2. Sensasi terbakar pada mata, fotopobia, dan ruam yang mulai timbul simetris pada wajah dan bagian atas torso. 3. Waktu paparan terhadap obat sangatlah penting diketahui, terutama terjadi 1-3 minggu sebelum erupsi pada kulit.
6. Gambaran Klinik SJS dan EM? Mayor Erythema Multiforme Tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi daerah kulit yang terlibat (Scully, 2007) Pada mukosa rongga mulut Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan. Bagian mukosa lainnya Terjadi pada mata, genital, pharyng, laryng, esophagus, dan bronchial terutama pada kasus yang sangat parah. Pada kulit Lesi ini lebih sering terjadi, dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh, dan adanya lesi target (Laskaris, 2005). Gambaran klinis SJS : Lesi Primer Lesi awal Sindroma Stevens Johnson berupa makula kemerahan dengan purpura yang lebih gelap di tengahnya. Lesi-lesi itu berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme karena hanya punya dua zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan makula kemerahan di sekitarnya. Sedangkan lesi target klasik memiliki 3 zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan zona pucat yang mengalami edema di sekitarnya, beserta makula kemerahan di sekitarnya. Lesi-lesi (kecuali bullae di tengahnya) punya ciri khas datar. Sedangkan lesi-lesi eritema multiforme lebih teraba karena tidak datar seperti lesi pada Sindroma Stevens Johnson. Lesi awal pada Sindroma Stevens Johnson juga kadang berupa lesi skarlatiniformis. Lepuhan kendur yang khas muncul dengan nekrosis menyeluruh dari semua lapisan epidermis. Area yang terkelupas memiliki penampakan seperti kertas yang diremas. Juga terdapat Tanda Nikolsky positif yang dengan mudah diperlihatkan dengan menekan bagian lateral dari bula. Makula- makula yang terisolir satu sama lain ditemukan di sekitar area besar dari konfluensi. Lesi-lesi awalnya timbul simetris pada wajah dan bagian atas dari tubuh dan meluas dengan cepat, maksimal dalam 2-3 hari. Pada beberapa kasus, perluasan maksimal dapat terjadi cepat dalam waktu beberapa jam. Lesi lebih banyak pada area kulit yang terkena sinar matahari. Lesi yang mengelupas lebih banyak terjadi pada daerah yang banyak mendapat tekanan, seperti bahu, sakrum, dan pantat. Lesi kemerahan yang mengalami edema dan nyeri dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit kepala yang berambut tetap normal, tapi daerah epidermis yang lain termasuk lapisan kuku dapat terkena. Klasifikasi baru mengemukakan bahwa pengelupasan epidermis pada Sindrom Stevens Johnson terbatas hanya kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Sindroma Stevens Johnson dapat muncul bersamaan dengan Nekrolisis Epidermal Toksik sehingga menimbulkan konfluensi makula yang kemerahan dan purpurik. Hal ini menyebabkan pengelupasan epidermis pada 10-30% luas permukaan tubuh. Nekrolisis Epidermal Toksik dapat menyebabkan pengelupasan epidermis lebih dari 30%. Suatu bentuk jarang dari Nekrolisis Epidermal Toksik memiliki lesi yang lebih sedikit dan menyerupai lesi target, serta lepuhan yang berada di atas lesi kemerahan yang berkofluensi. Pengelupasan epidermis lebih dari 10% diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Sebaliknya, eritema multiforme yang memiliki lesi bulosa (yang dulu dianggap sejenis dengan Sindroma Stevens Johnson), hanya mengalami pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh, tetapi lesi target yang khas atau yang tidak khas terletak paling banyak di area akral. b. Lesi sekunder Area tubuh yang epidermisnya terkelupas berwarna hitam dengan permukaan yang mengeluarkan pus. Lesi kulit dapat sembuh diikuti hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Jari tangan dan kaki dapat tumbuh abnormal. c. Membran mukosa dapat terkena pada semua pasien dan dapat mendahului lesi kulit, muncul selama masa prodromal. Erosi mulut yang nyeri menimbulkan krusta yang parah pada bibir, meningkatkan pengeluaran air liur dan sukar mengunyah makanan. Sedimen silindris intak yang ada dalam dahak pada epitel bronkus juga bisa ditemukan. Jika area genitalia yang terkena, akan menyebabkan nyeri saat berkemih. Selain itu, lesi juga dapat terjadi pada orofaring, trakea, bronkus, esofagus, saluran cerna, dan anus. Diare profus yang kaya protein juga dapat terjadi. Lesi pada membran mukosa yang ada di dalam tubuh tidak hanya terjadi pada pasien yang mengalami lesi kulit yang luas. Lesi di sistem genitourinaria dapat menyebabkan phimosis dan sinekia vagina.13 d. Lesi mata khususnya problematik karena berisiko tinggi menimbulkan gejala sisa. Awalnya, konjungtiva berwarna merah dan nyeri. Kelopak mata sering menyatu satu sama lain, di mana usaha untuk memisahkan keduanya akan menyebabkan pengelupasan epidermis. Erosi konjungtiva pseudomembran dapat membentuk sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva. Erosi konjungtiva juga dapat menyebabkan sikatrik yang menyebabkan bulu mata mengalami inversi, fotopobia, sensasi terbakar pada mata, hiperlakrimasi, sindroma yang menyerupai penyakit sika, serta neovaskularisasi kornea dan konjungtiva. Empatpuluh persen dari pasien yang bertahan hidup dapat mengalami kebutaan.
7. Diagnosa dari skenario? 8. DD dari skenario? Diagnosis Banding SJS Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson : 1.Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat denganTEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. 2.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulitdi t andai dengan kr us t a yang mengel upas pada kul i t . Bi as anya mukos a t er kena( Siregar, 2004). 3.Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuninganyang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
9. Penatalaksaan penyakit dari skenario? Penatalaksanaan SJS P e r t a ma , d a n p a l i n g p e n t i n g , k i t a h a r u s s e g e r a b e r h e n t i me ma k a i o b a t y a n g di cur i gai penyebab r eaks i . Dengan t i ndakan i ni , ki t a dapat mencegah kebur uka n. Or angdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS bi as anya di r awat di I CU. Per awat an membut uhkan pendekat an t i m, yang mel i bat kanspesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kal or i t i nggi har us di ber i mel al ui i nf us unt uk mendor ong kepul i han. Ant i bi ot i k di ber i kan bi l a di but uhkan unt uk mencegah i nf eks i s ekunder s eper t i s e ps i s . Obat nyer i , misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,2004) Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapiyang diberikan biasanya adalah : Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudians el ama 3 har i 0, 2- 0, 5 mg/ kg BB t i ap 6 j am. Penggunaan s t er oi d s i s t emi k mas i hkontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada j uga yang menganggap s t er oi d mengunt ungkan dan menyel a mat kannyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3- 1 2 t a h u n 1 5 mg / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k Setirizin dapatdiberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5- 10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberikenalog in orabase. T e r a p i i n f e k s i s e k u n d e r d e n g a n a n t i b i o t i k a y a n g j a r a n g me n i mb u l k a n a l e r g i , ber s pekt r um l uas , ber s i f at bakt er i s i dal dan t i dak ber s i f at nef r ot oks i k, mi s al nya Klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : oPemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. oPemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006)
10. Hubungan obat yang dibeli di warung dengan penyakit di skenario? Mekanisme? Beberapa teori yang mendasari terjadinya SJS: 1. Adanya hasil metabolisme obat yang reaktif, yang berikatan dengan protein sel sehingga memicu aktivasi limfosit T8 terhadap antigen obat di keratinosit. 2. Ikatan antara Fas (reseptor untuk induksi apoptosis) dan ligandnya yang dikeluarkan oleh sel mononuklear. Menurut Yong-Taek Jun, dkk, 2003, ciprofloxacine dapat menginduksi apoptosis sel T Jurkat secara invitro melalui cara meningkatkat ekspresi Fas ligand dan akitivitas caspase-3 dan 8 yang meningkatkan percepatan kematian sel (Yong-Taek Jun, dkk, 2003). Menurut Wataru Tomisato, 2001, NSAID dapat menyebabkan apoptosis dan nekrosis. dari sel dalam hal ini sel mukosa gaster guinea pig (Wataru Tomisato, 2001). 11. Kenapa terjadi peradangan pada mata,genital,mukosa?mekanisme? 12. Mengapa dirusuk ke Sp,KK? Tidak hanya ke Sp,KK tapi juga ke Mata. 13. Mengapa dibibir pasien ada daerah kasar tebal berwarna hitam? Gejala ini sesudah minum obat / belum? Lesi oral didahului oleh makula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuranvesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bul a t er ut ama pada mukos a bi bi r mudah pecah kar ena ger akan l i dah dan f r i ks i pada wakt umengunyah dan bicara, sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaanklinis intaoral. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudianmengalami ekskoriasi dan berbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarnaabu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepitidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik danmegal ami per dar ahan maka ul kus akan menj adi kr us t a ber war na cokl at s ampai kehi t aman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bi bi r mel uas s ampai t epi s ebel ah l uar bi bi r dan s udut mul ut ( Gambar 2. 4) ( Shaf er , 1983: Pindborg, 1994; Emond, e t a l ., 1995; Laskaris, 2000; Hamzah, 2002; Langlais and Miller, 2003
14. Kandungan apa yang ada pada obat yang menimbulkan gejala pada skenario?