Anda di halaman 1dari 10

STEP 3

1. Definisi SJS dan EM?


SJS : Menurut Websters New World Medical Dictionary, Sindrom Stevens Johnson didefinisikan
sebagai Reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa
rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut.
Menurut sumber lain, kelainannya dapat berupa kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah
(eritema), gelembung pada kulit yang berisi cairan (vesikel/bula) dan dapat disertai dengan bercak-bercak
perdarahan pada kulit/selaput lendir (purpura).
Steven Johnson Sindrome merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium (muara/lubang) dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat.
Adapun kelainan dapat berupa eritema (kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah),
vesikel/bula (gelembung pada kulit yang berisi cairan) dan dapat disertai dengan purpura (bercak-bercak
perdarahan pada kulit/selaput lendir).
Dalam kamus kedokteran Dorland didefinisikan sebagai bentuk eritema multiforme fatal (kemerahan
yang banyak/menyeluruh) yang timbul dengan prodormal (gejala awal) seperti flu, ditandai dengan
adanya lesi sistemik (kerusakan sistemik) dan mukokutan yang berat. Steven Johnson Syndrome biasa
disebut juga sebagai penyakit eritema multiforme mayor. Insidensi penyakit ini sebenarnya sangat jarang,
tercatat hanya sekitar 2-3% per juta populasi di Negara Eropa dan Amerika. Lebih sering diderita oleh
manusia di usia dewasa dibandingkan anak-anak.

-Erythema Multiforme (EM) adalah merupakan suatu penyakit akut dari kulit dan membran mukosa yang
dapat menyebabkan beberapa jenis lesi kulit, karenanya dinamakan multiforme (Greenberg,2003).
Penyakit ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang karakteristik dengan adanya lesi target pada
kulit atau lesi ulserasi pada mukosa.
-Eritema multiforme digambarkan oleh ferdinand von hebra pada tahun 1866 sebagai penyakit kulit akut
yang bersifat self limited ,yang tersebar pada kedua ekstremitas secara simetris dengan lesi-lesi target
konsentrik yang khas dan sering mengalami rekurensi.
-Eritema Multiforme : merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada
selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas bentuk iris.Pada kasus
yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral.

2. Perbedaan SJS dan EM?
EM minor :
Lesi target yang khas, target lesi atipikal yang meninggi/membentuk bentolan, keterlibatan membrane
mukosa minimal dan, ketika muncul, hanya pada satu sisi (paling umum di mulut.
Lesi oral; erythema ringan sampai berat, erosi dan ulserasi.
Kadang-kadang dapat berefek hanya pada mukosa oral.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat.
EM mayor :
Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi mukosa (biasanya mukosa oral) yang terkena.
Target lesi yang terdistribusi secara simetris, tipikal (khas) maupun atipikal.
Lesi oral biasanya menyebar dan berat.
Stevens johnson :
Perbedaan utama dari erythema multiforme mayor adalah berdasarkan typology dan lokasi lesi dan adanya
gejala sistemik.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat.
Terutama lesi berupa lesi target datar atipikal dan makula daripada lesi target klasik.
Secara umum menyebar daripada hanya melibatkan area akral. Adanya keterlibatan mukosa yang
multiple, dengan scar pada lesi mukosa.
Gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.

Overlapping Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis
Tidak ada target tipikal; muncul target atipikal yang datar.
Sampai dengan 10% 30% permukaan tubuh terlibat.
Gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.

Nekrolisis epidermal toksik :
Pada kasus di mana muncul spot muncul, ditandai oleh epidermal detachment dari > 30% permukaan tubuh
dan macula purpuric yang menyebar (widespread purpuric macules) atau target atipikal yang datar.
Pada kasus di mana tidak ada spot yang muncul, ditandai oleh epidermal detachment > 10%
permukaan tubuh, large epidermal sheets dan tidak ada macula ataupun lesi target.
Terdapat perbedaan pendapat dalam literature tentang definisi klinis erythema multiforme dan SJS,
apakah keduanya merupakan penyakit yang berbeda, ataukah keduanya menunjukkan spectrum dari satu
proses penyakit yang sama. Komisi internasional telah mengusulkan bahwa erythema multiforme dan SJS
dapat dipisahkan menjadi 2 gangguan klinis yang berbeda dengan reaksi mukosa yang serupa, namun
dengan pola lesi kulit yang berbeda

3. Etiologi SJS dan EM?
Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas (Regezi,2003). Dan dianggap
suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005) .Dimana terjadi suatu reaksi kompleks imun yang ditimbulkan
sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis
obat tertentu (Wray, 2001).
Etiologi

Pada lebih dari 50% kasus, faktor pemicu tidak diketahui. Yang paling umum adalah kasus dengan infeksi
herpes simpleks (oral atau genital) yang mendahuluinya, atau dengan infeksi mikoplasma, infeksi bakteri
atau virus yang lain juga telah dibuktikan. Berikut beberapa faktor pemicu yang menyebabkan eritema
multiforme :

a. Infeksi virus :

- Herpes simpleks

- Pneumonia atipikal primer, infeksi mikoplasma

- AIDS

- Adenovirus

- Cytomegalovirus

- Hepatitis B

- Mononukleasis infeksius

- Limfogranuloma inguinal

- Milkers nodes

- Mumps

- Orf

- Poliomyelitis

- Psittacosis

- Variola

- Vaccinia

- Varicella

b. Infeksi bakteri :

- Telah tecatat dalam spektrum yang luas

- Rickettsia

c. Infeksi jamur :

- Histoplasmosis

- Vaksinasi

d. reaksi obat

e. reaksi kontak

f. Karsinoma, limfoma, leukemia

g. Lupus eritematosus (Rowells syndrome)

h. Poliarteritis nodosa

i. Pregnansi, premenstrual,dermatitis progesteron autoimun

j. Sarkoidosis

k. Wegeners granulomatosis

l. X-ray terapi

m. Tidak diketahui

Eritema multiforme telah dianggap sebagai contoh yang jelas dari reaksi akibat obat yang merugikan.
Meskipun pada studi prospektif dari kasus-kasus eritema multiforme hanya 10% yang terkait penggunaan
obat-obatan. Pada studi yang lain, riwayat penggunaan obat-obatan, khususnya golongan sefalosporin,
tercatat pada 59% pasien eritema multiforme. Obat-obatan sering dianggap sebagai penyebab berdasarkan
bukti yang kurang adekuat.; konfirmasi sensitivitas obat memerlukan paparan ulang terhadap obat
tersebut, yang mungkin dapat menimbulkan resiko yang tidak diinginkan.
Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui.Faktor-faktor penyebabnya selain alergi obat
sistemik,ialah peradangan oleh alergi virus tertentu,rangsangan fisik,misalnya sinar
matahari,hawadingin,faktor endokrin seperti keadaan hamil atau haid,dan penyakit keganasan.Pda anak-
anak dan dewasa muda,erupsi biasanya disertai dengan infeksi,sedangkan pada orang dewasadisebabkan
oleh obat-obatan dan keganasan
Penyebab
Banyak faktor-faktor etiologik yang diduga sebagai penyebab erythema multiforme telah dilaporkan.
Kedua bentuk erythema multiforme, minor dan mayor, dan SJS dapat dipicu oleh obat-obatan, tetapi
agen-agen infeksius juga dianggap sebagai penyebab utama erythema multiforme. Erythema multiforme
minor dianggap sebagai hal yang biasa dicetuskan oleh HSV; sebenarnya, banyak kejadian-kejadian
erythema multiforme minor idiopatik bisa dipercepat oleh infeksi HSV subklinis. Di antara infeksi-infeksi
lain, spesiesMycoplasma muncul menjadi penyebab yang paling umum. Mengenai obat-obatan, obat-
obatan sulfa (sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum. Suatu genotipe acetylator yang lambat
adalah suatu faktor resiko untuk SJS yang diinduksi sulfonamide. Antikonvulsan profilaktik setelah
operasi tumor otak yang dikombinasikan dengan irradiasi cranial dapat mengakibatkan SJS yang
menyancam jiwa.
1,4

Infeksi
o Bacterial Vaksinasi BCG, borreliosis, catscratch disease, diphtheria, hemolytic streptococci,
legionellosis, leprosy, Neisseria meningitidis, Mycobacterium aviumcomplex,
pneumococci, Proteus species, Pseudomonas species, Salmonellaspecies, Staphylococcus species, Trepon
ema pallidum,

tuberculosis, tularemia,Vibrio parahaemolyticus, Vincent disease, Yersinia species,
rickettsial infections,Mycoplasma pneumoniae
o Chlamydial - Lymphogranuloma venereum, psittacosis
o Fungal - Coccidioidomycosis, dermatophytosis, histoplasmosis
o Parasitic -Trichomonas species, Toxoplasma gondii
o Viral - Adenovirus, coxsackievirus B5, cytomegalovirus, echoviruses, enterovirus, Epstein-Barr virus,
hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, herpes simplex, influenza,measles, mumps, paravaccinia, parvovirus
B19, poliomyelitis, vaccinia, varicella-zoster, variola
o Virus-drug interaction Cytomegalovirus infectionterbinafine,

Epstein-Barr virus infection
amoxicillin
Obat-obatan
o Antibiotics - Penicillin, ampicillin, tetracyclines, amoxicillin, cefotaxime, cefaclor, cephalexin,
ciprofloxacin,

erythromycin, minocycline, sulfonamides, trimethoprim-sulfamethoxazole, vancomycin
o Anticonvulsants - Barbiturates,

carbamazepine,

hydantoin, phenytoin,

valproic acid
o Antipyretics - Analgesics, khususnya aspirin
o Antituberculoids - Rifampicin, isoniazid, thiacetazone, pyrazinamide
o Lain-lain - Acarbose, albendazole, allopurinol,

arsenic, bromofluorene, quinine (Chinine), cimetidine,
clofibrate, corticosteroids, diclofenac, didanosine, dideoxycytidine, diphosphonate, estrogen, etretinate,
fluconazole, griseofulvin,gabapentin, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, hydralazine,
indapamide, indinavir, lamotrigine,

methazolamide, mefloquine, methotrexate, meprobamate, mercurials,
minoxidil, nifedipine, nevirapine,

nitrogen mustard, nystatin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs), phenolphthalein, piroxicam,

pyritinol, progesterone, potassium iodide, sulindac, suramin,
saquinavir, thiabendazole, thiouracil, terbinafine, theophylline, verapamil
Kontaktan - Ammoniated mercury, budesonide, bufexamac, capsicum, chloromethylnaphthalene,
desoximetasone, dinitrochlorobenzene (DNCB), disperse blue 124, diphenylcyclopropenone, fire sponge
(Tedania ignis), herbal medicines (eg,Alpinia galanga),

isopropyl-p -phenylenediamine of rubber, nickel,
nitrogen mustard, oxybenzone, phenylbutazone, poison ivy,

proflavin, resin, rosewood, triamcinolone
acetonide
Bumbu dan bahan pengawet Asam benzoat, kayu manis
Gangguan imunologik - Kekurangan C4 selektif temporer pada bayi (transientselective C4 deficiency
of infancy)
Faktor mekanik Tattooing
Makanan - Salmon berries, margarine
Faktor fisik - Radioterapi, cuaca, cahaya matahari
Lain-lain - Collagen diseases, vasculitides, non-Hodgkin lymphoma, leukemia, multiple myeloma,
myeloid metaplasia, polycythemia

Penyebab SJS dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu:
1. Alergi obat, seperti antibiotika (golongan penisilin, sefalosforin, dan sulfa), obat-obatan anti nyeri,
penenang, anti kejang, jamu
2. Infeksi, seperti virus, jamur, bakteri dan parasit
3. Keganasan seperti kanker karsinoma dan limfoma
4. Faktor idiopatik (belum diketahui penyebabnya) sekitar 25-50% kasus.

Adapun faktor lain yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah musim/iklim dimana cuaca dingin
lebih berpengaruh, dan juga lingkungan fisik seperti sinar x, hawa yang dingin dan ketersediaan sinar
matahari. Hal ini terjadi karena reaksi hipersensitif dari sistem imun kita .
Untuk orang dewasa SJS biasanya disebabkan kanker dan obat-obatan sedangkan pada anak lebih banyak
karena infeksi.
Dari berbagai refrensi disebutkan, bahwa penyebab pastinya belum diketahui. Namun ada faktor pencetus
yang mengakibatkan terjadinya penyakit ini. Faktor penyebab utama adalah alergi obat yajni dengan
presentasi lebih dari 50%. Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri), antipiretik
(penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20% dan sisanya adalah jenis jamu-
jamuan. Macam obat yang sering menjadi penyebab yakni penisilin, barbiturate, amiksisilin,
kotrimoksasol, sefriakson dan adiktif (penenang).
Faktor lainnya yang dapat menyebabkan yakni :
- Infeksi seperti virus, jamur, bakteri dan juga parasit.
- Faktor fisik seperti sinar x, sinar matahari dan cuaca
- Penyakit kolagen vascular (serabut kolagen pembuluh darah)
- Neoplasma (keganasan)
- Kontaktan (hanya sebagian kecil)
Adapun faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah musim/iklim dimana cuaca dingin lebih
berpengaruh, dan juga lingkungan fisik seperti sinar x, hawa yang dingin juga ketersediaan sinar matahari.

Penyakit ini umumnya terjadi karena adanya reaksi hipersensitif dari sistem imun kita. Dimana sistem
kekebalan tubuh yang terlalu sensitif akan memicu reaksi tubuh berupa hipersensitif tipe II (berdasarkan
klasifikasi Coomb dan Gel). Adapun selanjutnya, karena adanya reaksi ini maka tubuh akan bereaksi
dengan munculnya gejala-gejala awal. Adapun sasaran awal dari reaksi hipersensitifitas ini adalah kulit
berupa destruksi keratinosit (perusakan lapisan keratin kulit)


4. Patofisiologi SJS dan EM?
Patofisiologi EM : Kerusakan jaringan pada eritema multiforme merupakan akibat dari reaksi kompleks
imun (reaksi alergi tipe III). Pada reaksi ini, antigen yang berikatan dengan antibodi yang sudah ada
dalam sirkulasi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini dapat merangsang berbagai reaksi
kerusakan jaringan melalui berbagai peranan sel radang akut dan radang kronik serta sel fagosit. Berat
ringannya kerusakan yang ditimbulkan tergantung pada : jenis kompleks imun yang terbentuk apakah
larut atau mengendap, lokalisasi kompleks imun di dalam berbagai organ tubuh, bagaimana kompleks
imun merangsang reaksi lanjutan bersama dengan berbagai imunokompeten yang lain, dan luasnya
kerusakan jaringan yang ditimbulkan.
Patofisiologi erythema multiforme masih belum dapat dipahami secara pasti; namun, sedikitnya herpes
yang berkaitan dengan erythema multiforme (herpes-associated erythema multiforme [HAEM]) muncul
karena hasil dari reaksi imunologis cell-mediated(cell-mediated immune reaction) yang berkaitan dengan
antigen herper simplex virus (HSV). Reaksi imunologis mempengaruhi HSV-expressing keratinocytes.
Sel efektor sitotoksik, limfosit T CD8+ di epidermis, mempengaruhi apoptosis keratinosit dan berujung
pada nekrosis sel satelit. Sel-sel epidermis di sekitarnya memiliki HLA-DR positive. Terdapat suatu
hubungan antara HLA tipe A33, B35, B62 (B15), DR4, DQB1*0301, DQ3, dan DR53 dengan
kekambuhan erythema multiforme (recurrent erythema multiforme). Secara khusus, HLA-DQ3 terutama
berhubungan dengan recurrent erythema multiformedan dapat menjadi marker yang sangat membantu
untuk membedakan HAEM dari penyakit kulit lainnya.
4,5

Patofisiologi
P a t o g e n e s i s S i n d r o m S t e v e n s -
J o n s o n s a mp a i s a a t i n i b e l u m j e l a s n a mu n s e r i n g di hubungkan dengan r eaks i
hi per s ens i t i vi t as l ambat t i pe I V ( delayed-type hypersensitivityreactions
) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T yang spesifik
(Foster,et al . , 2005).S i n d r o m S t e v e n s J o h n s o n me r u p a k a n r e a k s i i mu n s i t o t o k s i
k d e n g a n s a s a r a n d e s t r u k s i keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan
kelambatan antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14 hari).
Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah8 dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari
pasien dengan erupsi obat berlepuh (bullousdr ug er upt i on) ;
a d a n y a p r o d u k s i y a n g t i n g g i d a r i i n t e r l e u k i n -
5 . Ke r u s a k a n e p i d e r mi s berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi
berlebih yang drastis dari TNF padaepidermis. TNF memainkan peranan penting dalam
destruksi epidermis, dengan
menginduksiapopt osi s s ecar a l angs ung at au dengan menar i k s el -
s el ef ekt or s i t ot oks i k at au keduanya(Fitzpatrick, 1999; Foster , et al.,
2005).Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsangrespons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks i mun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau
produk yangtimbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak
dant er bebas aki bat i nf eks i , i nf l amas i , at au pr os es met abol i k) . Kompl eks i mun ber
edar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan
akibat
aktivasikompl emen dan r eaks i i nf l amas i yang t er j adi . Ker us akan j ar i ngan dapat pu
l a t er j adi aki bat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan
jaringan yang terlihat sebagaikelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai
gejala sistemik akibat
aktivitasmedi at or s er t a pr oduk i nf l amas i l ai nnya. Bi l a pember i an obat di t er us kan
dan gej a] a kl i ni s membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang
diberikan lebih dari
satumacam maka s emua obat t er s ebut har us di cur i gai mempunyai hubungan kaus al
. Si ndr omStevens-Johnson dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengankeadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat -obatan
penyebab (Fitzpatrick, 1999; Foster
, et al.,2005).
5. Gejala SJS dan EM?
Gejala Klinik
Ada berbagai macam variasi dari eritema multiforme, dan semua diberikan nama yang berhubungan
dengan gambaran yang paling jelas yang menyusun erupsi tersebut. Lesi yang terjadi dapat berupa
makula, papul, nodus, vesikel atau bulla. Bentuknya dapat anular, sirsinar, atau iris (target, bulls eye).
Sifatnya dapat persisten, purpura atau urtika.
Terdapat 2 tipe dasar eritema multiforme :
a. Tipe makula-eritema
b. Tipe vesikobulosa
Tipe Makula-eritema
Erupsi timbul mendadak, simetrik dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian
ekstensor ekstremitas, dan selaput lendir. Pada keadaan berat dapat juga mengenai badan. Lesi tidak
terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu.
Gejala khas ialah bentuk iris (Target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel
atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang
merah.
Tipe Vesikobulosa
Lesi mula-mula berbentuk macula,papul dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya.
Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. Lesi pada membran mukosa terjadi pada 70% pasien dan
seringkali terbatas di rongga mulut.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Laboratorium Oral Pathology di Universitas Sao Paolo sejak
tahun 1974 hingga 2000 di dapatkan bahwa kasus eritema multiforme sebagai penyakit autoimun yang
bermanifestasi oral sebanyak 7,82%. Kasus terbanyak adalah Liken planus pemfigoid (75,56%), pemfigus
membran mukosa (9,37%). Lesi ditemukan di palatum durum. Dengan masa evolusi lesi mencapai
lebih dari 12 bulan.


Gejala : Perjalanan penyakit Sindroma Stevens Johnson 6
1. Gejala konstitusi, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, dapat muncul 3 hari sebelum timbulnya
lesi kulit.
2. Sensasi terbakar pada mata, fotopobia, dan ruam yang mulai timbul simetris pada wajah dan bagian
atas torso.
3. Waktu paparan terhadap obat sangatlah penting diketahui, terutama terjadi 1-3 minggu sebelum erupsi
pada kulit.

6. Gambaran Klinik SJS dan EM?
Mayor Erythema Multiforme
Tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi daerah kulit yang terlibat
(Scully, 2007)
Pada mukosa rongga mulut
Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah
kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah
erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan.
Bagian mukosa lainnya
Terjadi pada mata, genital, pharyng, laryng, esophagus, dan bronchial terutama pada kasus yang sangat
parah.
Pada kulit
Lesi ini lebih sering terjadi, dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh, dan adanya lesi target
(Laskaris, 2005).
Gambaran klinis SJS :
Lesi Primer
Lesi awal Sindroma Stevens Johnson berupa makula kemerahan dengan purpura yang lebih gelap di
tengahnya. Lesi-lesi itu berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme karena hanya punya dua zona
warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan makula kemerahan di sekitarnya. Sedangkan lesi target
klasik memiliki 3 zona warna: purpura atau bullae di tengahnya dengan zona pucat yang mengalami
edema di sekitarnya, beserta makula kemerahan di sekitarnya. Lesi-lesi (kecuali bullae di tengahnya)
punya ciri khas datar. Sedangkan lesi-lesi eritema multiforme lebih teraba karena tidak datar seperti lesi
pada Sindroma Stevens Johnson. Lesi awal pada Sindroma Stevens Johnson juga kadang berupa lesi
skarlatiniformis. Lepuhan kendur yang khas muncul dengan nekrosis menyeluruh dari semua lapisan
epidermis. Area yang terkelupas memiliki penampakan seperti kertas yang diremas. Juga terdapat Tanda
Nikolsky positif yang dengan mudah diperlihatkan dengan menekan bagian lateral dari bula. Makula-
makula yang terisolir satu sama lain ditemukan di sekitar area besar dari konfluensi.
Lesi-lesi awalnya timbul simetris pada wajah dan bagian atas dari tubuh dan meluas dengan cepat,
maksimal dalam 2-3 hari. Pada beberapa kasus, perluasan maksimal dapat terjadi cepat dalam waktu
beberapa jam. Lesi lebih banyak pada area kulit yang terkena sinar matahari. Lesi yang mengelupas lebih
banyak terjadi pada daerah yang banyak mendapat tekanan, seperti bahu, sakrum, dan pantat. Lesi
kemerahan yang mengalami edema dan nyeri dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit
kepala yang berambut tetap normal, tapi daerah epidermis yang lain termasuk lapisan kuku dapat terkena.
Klasifikasi baru mengemukakan bahwa pengelupasan epidermis pada Sindrom Stevens Johnson terbatas
hanya kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Sindroma Stevens Johnson dapat muncul bersamaan
dengan Nekrolisis Epidermal Toksik sehingga menimbulkan konfluensi makula yang kemerahan dan
purpurik. Hal ini menyebabkan pengelupasan epidermis pada 10-30% luas permukaan tubuh. Nekrolisis
Epidermal Toksik dapat menyebabkan pengelupasan epidermis lebih dari 30%. Suatu bentuk jarang dari
Nekrolisis Epidermal Toksik memiliki lesi yang lebih sedikit dan menyerupai lesi target, serta lepuhan
yang berada di atas lesi kemerahan yang berkofluensi. Pengelupasan epidermis lebih dari 10% diperlukan
untuk mendiagnosis penyakit ini. Sebaliknya, eritema multiforme yang memiliki lesi bulosa (yang dulu
dianggap sejenis dengan Sindroma Stevens Johnson), hanya mengalami pengelupasan kulit kurang dari
10% luas permukaan tubuh, tetapi lesi target yang khas atau yang tidak khas terletak paling banyak di
area akral.
b. Lesi sekunder
Area tubuh yang epidermisnya terkelupas berwarna hitam dengan permukaan yang mengeluarkan pus.
Lesi kulit dapat sembuh diikuti hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Jari tangan dan kaki dapat tumbuh
abnormal.
c. Membran mukosa dapat terkena pada semua pasien dan dapat mendahului lesi kulit, muncul selama
masa prodromal.
Erosi mulut yang nyeri menimbulkan krusta yang parah pada bibir, meningkatkan pengeluaran air liur dan
sukar mengunyah makanan. Sedimen silindris intak yang ada dalam dahak pada epitel bronkus juga bisa
ditemukan. Jika area genitalia yang terkena, akan menyebabkan nyeri saat berkemih. Selain itu, lesi juga
dapat terjadi pada orofaring, trakea, bronkus, esofagus, saluran cerna, dan anus. Diare profus yang kaya
protein juga dapat terjadi. Lesi pada membran mukosa yang ada di dalam tubuh tidak hanya terjadi pada
pasien yang mengalami lesi kulit yang luas. Lesi di sistem genitourinaria dapat menyebabkan phimosis
dan sinekia vagina.13
d. Lesi mata khususnya problematik karena berisiko tinggi menimbulkan gejala sisa.
Awalnya, konjungtiva berwarna merah dan nyeri. Kelopak mata sering menyatu satu sama lain, di mana
usaha untuk memisahkan keduanya akan menyebabkan pengelupasan epidermis. Erosi konjungtiva
pseudomembran dapat membentuk sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva. Erosi konjungtiva juga
dapat menyebabkan sikatrik yang menyebabkan bulu mata mengalami inversi, fotopobia, sensasi terbakar
pada mata, hiperlakrimasi, sindroma yang menyerupai penyakit sika, serta neovaskularisasi kornea dan
konjungtiva. Empatpuluh persen dari pasien yang bertahan hidup dapat mengalami kebutaan.

7. Diagnosa dari skenario?
8. DD dari skenario?
Diagnosis Banding SJS
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1.Toxic Epidermolysis Necroticans.
Sindroma steven johnson sangat dekat denganTEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease).
Pada penyakit ini lesi
kulitdi t andai dengan kr us t a yang mengel upas pada kul i t . Bi as anya mukos a t er kena(
Siregar, 2004).
3.Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuninganyang
menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul
perdarahan (Wijana, 1993).


9. Penatalaksaan penyakit dari skenario?
Penatalaksanaan SJS
P e r t a ma , d a n p a l i n g p e n t i n g , k i t a h a r u s s e g e r a b e r h e n t i me ma k a i o b a t y a
n g di cur i gai penyebab r eaks i . Dengan t i ndakan i ni , ki t a dapat mencegah kebur uka
n. Or angdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit
rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien
SJS bi as anya di r awat di I CU. Per awat an membut uhkan pendekat an t i m, yang mel i
bat kanspesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan
cairandengan kal or i t i nggi har us di ber i mel al ui i nf us unt uk mendor ong kepul i han.
Ant i bi ot i k di ber i kan bi l a di but uhkan unt uk mencegah i nf eks i s ekunder s eper t i s e
ps i s . Obat nyer i , misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman
(Adithan, 2006; Siregar,2004)
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa
dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat;
yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem
kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan
yang sudah lemah.Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga
terapiyang diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudians el ama
3 har i 0, 2- 0, 5 mg/ kg BB t i ap 6 j am. Penggunaan s t er oi d s i s t emi k
mas i hkontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada
anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada j uga yang menganggap s t er oi d mengunt ungkan dan menyel a
mat kannyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.
Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-
1 2 t a h u n 1 5 mg / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k
Setirizin dapatdiberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-
10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberikenalog in orabase.
T e r a p i i n f e k s i s e k u n d e r d e n g a n a n t i b i o t i k a y a n g j a r a n g me n i mb u l k a n a l
e r g i , ber s pekt r um l uas , ber s i f at bakt er i s i dal dan t i dak ber s i f at nef r ot oks i k, mi s al
nya
Klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk
rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang
dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat
diberikan dengan :
oPemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2
jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
oPemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006)

10. Hubungan obat yang dibeli di warung dengan penyakit di skenario? Mekanisme?
Beberapa teori yang mendasari terjadinya SJS:
1. Adanya hasil metabolisme obat yang reaktif, yang berikatan dengan protein sel sehingga memicu
aktivasi limfosit T8 terhadap antigen obat di keratinosit.
2. Ikatan antara Fas (reseptor untuk induksi apoptosis) dan ligandnya yang dikeluarkan oleh sel
mononuklear.
Menurut Yong-Taek Jun, dkk, 2003, ciprofloxacine dapat menginduksi apoptosis sel T Jurkat secara
invitro melalui cara meningkatkat ekspresi Fas ligand dan akitivitas caspase-3 dan 8 yang meningkatkan
percepatan kematian sel (Yong-Taek Jun, dkk, 2003).
Menurut Wataru Tomisato, 2001, NSAID dapat menyebabkan apoptosis dan nekrosis. dari sel dalam hal
ini sel mukosa gaster guinea pig (Wataru Tomisato, 2001).
11. Kenapa terjadi peradangan pada mata,genital,mukosa?mekanisme?
12. Mengapa dirusuk ke Sp,KK?
Tidak hanya ke Sp,KK tapi juga ke Mata.
13. Mengapa dibibir pasien ada daerah kasar tebal berwarna hitam? Gejala ini sesudah minum obat / belum?
Lesi oral didahului oleh makula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuranvesikel
maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bul a
t er ut ama pada mukos a bi bi r mudah pecah kar ena ger akan l i dah dan f r i ks i pada
wakt umengunyah dan bicara, sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu
pemeriksaanklinis intaoral. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi
erosi, kemudianmengalami ekskoriasi dan berbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang
berwarnaabu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan
suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepitidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna
kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik
danmegal ami per dar ahan maka ul kus akan menj adi kr us t a ber war na cokl at s ampai
kehi t aman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali
lesi pada
mukosa bi bi r mel uas s ampai t epi s ebel ah l uar bi bi r dan s udut mul ut ( Gambar 2. 4)
( Shaf er , 1983: Pindborg, 1994; Emond, e t a l ., 1995; Laskaris, 2000; Hamzah, 2002;
Langlais and Miller, 2003

14. Kandungan apa yang ada pada obat yang menimbulkan gejala pada skenario?

Anda mungkin juga menyukai