Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN PBL KLINIS

HIPERTENSI







DISUSUN OLEH :
KELOMPOK B

Angga Iswara W. E. 0910753006
Arindhitha K. S. 105070500111008
Yoga Angga S. 105070500111013
Indah Lestari 105070500111015
Yitania Sari 105070500111014
Ais Naziella F. 105070500111030
Adelina P. Sinaga 105070500111031
Moch. Rijal Hadi 105070500111004
Riska Rosida 105070501111011
Saskia R. 105070507111001
Ardina Pramesti P. 105070501111009
Erlina Yulianti 105070504111002
Rizqi Nur M. S. 105070501111004
Novita Fahrianti P. 105070507111012
Yasinta K. K. G. 105070500111020
Afrida R. 105070501111008


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
I. PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit dengan prevalensi tinggi dan signifikan dalam
menyebabkan morbiditas dan mortalitas, dan biasanya pengobatannya juga mahal (Marie,
2008).










Hipertensi merupakan suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena
gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa
oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Penyebab tekanan
darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi
(tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Sustrani,
2004).

Stage hipertensi (Marie, 2008) :









Hipertensi adalah penyakit yang mengalami peningkaan tekanan darah arterial
secara persisten. Hipertensi yang tdk diketahui penyebabnya disebut hipertensi primer atau
esensial : tidak bisa disembuhkan tetapi bisa di kontrol. Tekanan darah adalah tekanan yang
diukur di dinding arterial dengan satuan mmHg. Terdiri dari 2 tipikal : BP sistolik dicapai
selama kontraksi jantung dan mewakili nilai puncak. BP diastolik BP dicapai setelah
kontraksi ketika ruang jantung terisi, and mewakili nilai nadi. Beberapa hal yang dapat
meningkatkan cardiac output dan resistensi periperal (Dipiro, 2008) :
























BP menurun pada malam hari sewaktu tidur karena kerja parasimpatis, sedang
pada 3 jam pertama setelah bangun BP mulai meningkat dan semakin meningkat pada
aktivita fisik dan stress (Dipiro, 2008).

Hipertensi Primer
Kebanyakan dari pasien hipertensi, yang dialami adalah tipe hipertensi esesial
(atau biasa disebut dengan hipertensi primer). Pada hipertensi tipe ini tidak dapat
diidentifikasi penyebab utama dari gangguan hipertensi itu sendiri (Koda, 2009).
Kemungkinan besar yang paling berperan dalam perkembangan penyakit
hipertensi primer adalah faktor genetik. Terdapat beberapa gen yang memiliki ciri khusus
berefek pada keseimbangan sodium, namun adanya mutasi gen menyebabkan berubahnya
ekskresi kallikrein melalui urin, rilisnya nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal
lain, dan angiotensin (Dipiro, 2008).

Hipertensi Sekunder
Pasien dengan hipertensi sekunder memiliki penyebab spesifik dari kenaikan BP
yang dialami. Oleh karena itu, diagnosis lebih lanjut perlu dilakukan pada pasien yang
tidak merespon pada kenaikan dosis pengobatan antihipertensi atau pada pasien yang tiba-
tiba mengalami kenaikan BP secara cepat dan membahayakan (Koda, 2009).
Penyebab hipertensi sekunder adalah sebagai berikut (Koda, 2009) :
1. Chronic Kidney Disease
2. Chronic Steroid Therapy and Cushing's Syndrome
3. Coarctation of the Aorta
4. Drug-Induced or Drug-Related
- Adrenal steroids
- Alcohol
- Amphetamines dan anorexiants (cont, phentermine, sibutramine)
- Cocaine dan obat- obatan narkotik yang lain
- Cyclosporine dan tacrolimus
- Erythropoietin
- Licorice (termasuk chewing tobacco)
- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs dan COX-2 inhibitors
- Oral contraceptives
- Oral decongestants (cont, pseudoephedrine)
- Beberapa supplements over-the-counter (cont, ephedra, ma huang, bitter orange)
5. Pheochromocytoma
6. Primary Aldosteronism
7. Renovascular Disease
8. Sleep Apnea
9. Thyroid or Parathyroid Disease









II. ETIOLOGI

95% tidak diketahui, tetapi beberapa yang diketahui yaitu :
Penyakit ginjal kronik (Marie, 2008).
Coarctation of the aorta (Marie, 2008).
Cushings syndrome (Marie, 2008).
Drug induce (Marie, 2008).
Meningkatnya aktivitas saraf simpatis, diakibatkan oleh paparan atau respon terhadap
stress psikologi (Oparil, et al., 2003).
Overproduksi sodium retaining hormone dan vasokonstriktor (Oparil, et al., 2003).


















Genetik :
Polimorfisme secara langsung atau tdk langsung mempengaruhi reabsorbsi renal sodium,
atau yang dapat merubah membran sel sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan
hipertrofi struktural sehingga meningkatnya tahanan perifer atau PR (Marie, 2008). Salah
satu gen yang berpengaruh adalah varian M235T, angiotensin gen, berhubungan dengan
meningkatnya kadar angiotensin di sirkulasi dan tekanan darah (Oparil, et al., 2003).
Hipertensi esensial terkait dengan gen dan faktor genetik. Gen yang berperan dalam
patofisiologi hipertensi adalah gen simetrik yang mengandung promoter gen 11beta
hidroksilase dan gen urutan selanjutnya untuk memberi kode pada gen aldosteron sintase,
sehingga menghasilkan produk ektopik aldosteron (Aulia, 2008).

Rokok
Rokok dapat menyebabkan hipertensi karena adanya zat kimia beracun dari dalam rokok
yaitu nikotin dan karbonmonoksida yang dapat masuk ke aliran darah dan dapat
menrusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan menyebabkan terjadinya stress
oksidatif pada pembuluh darah yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan darah (Rahajeng, 2009).

Aktivitas
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuat
dalam beraktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi
sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi. Makin keras
dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada
arteri (Amir, 2002).

Obesitas
Berdasarkan laporan JNC 7 dan penelitian cohort oleh Tsiofus, et. al, 2011 di Hippokration
Hospital di Athens menunjukkan bahwa pasien dengan BMI lebih dari 32 kg/m
2
memiliki
prevalensi yang cukup tinggi terjangkit resistant hypertension. Tanda dan gejalanya berupa
dyspnea, sakit kepala, penglihatan kabur, HR meningkat (Marie, 2008).
Obesitas dapat meningkatkan aktivitas simpatis, dengan salah satu mekanismenya adalah
hyperleptinemia. Leptin adalah senyawa yang dihasilkan oleh adiposit, dan tingkat plasma
puasa leptin meningkat sebanding dengan adipositas. Leptin mengatur keseimbangan energi
dengan penurunan nafsu makan dan juga dengan merangsang thermogenesis melalui
aktivasi simpatik. Efek hipertensi leptin hilang dengan blokade pada dan adrenergik. Studi
pada tikus transgenik di mana leptin disekresikan ectopically oleh hati juga menunjukkan bahwa
hyperleptinemia menyebabkan hipertensi ringan (Hall, 2003).


Obesitas Non Hyperlipidemia
Menurut national institutes for health USA. Prevalensi tekanan darah tinggi pada orang
dengan indeks massa tubuh (IMT) >30 (obesitas) sebanyak 38% untuk wanita,
dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita yang memiliki
IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional). Perubahan fisiologis dapat
menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu
terjadinya resistensi insulin hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem
rennin angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal. Obesitas meningkatkan kerja jantung
dan kebutuhan oksigen dan berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang
berlebihan dan ketidak aktifan fisik berperan dalam resistensi insulin. Peningkatan
konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik potensial
menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan tekanan darah secara terus
menerus (Dipiro, 2008).

Usia
pada pasien berumur >60 tahun TD akan otomatis meningkat, dinding arteri
mengalami penebalan karena adanya kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh
darah semakin menyempit dan kaku (Dipiro, 2008).

Cardiac Output :
Elevate cardiac output dapat menyebabkan hipertensi primer karena meningkatnya
preload (volume cairan) atau kontraksi jantung (Marie, 2008).
Oral kontrasepsi
Penggunaan oral kontrasepsi dapat memicu terjadinya hipertensi dimana pada wanita
yang menggunakan kontrasepsi oral dengan kadar esterogen tinggi dapat meningkatkan
resiko terjadinya hipertensi. Oral kontrasepsi dengan estrogen mampu meningkatkan
produksi hepatik di renin, sehingga terjadi pengaktifan RAAS dan menyebabkan
terjadinya hipertensi (Woods and Lancet, 1967).

Regulasi Sodium :
Intake sodium yang banyak dan ekskresinya yang menurun oleh ginjal akan
mengakibatkan retensi sodium (karena reabsorsi proksimal ginjal meningkat,
ultrafiltrasi glomerular menurun, afferent arteriolar vasokonstriksi sehingga cairan
volume meningkat dan preload meningkat. Normal sodium yg dikonsumsi 175mmol (4,1
gram) untuk laki-laki dan 120mmol (2,7 gram) untuk perempuan (Marie, 2008).
Aldosteron disekresi oleh Angiotensin II, fungsi utama dari aldosteron adalah mengatur
keseimbangan natrium, kalium, dan air. Aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium
dari tubulus distal, dan ekskresi kalium dan hidrogen. Renin meningkatkan sekresi
aldosteron, yang menyebabkan retensi natrium yang mengakibatkan retensi air (Kee,
1997).

OSMOlARITAS NATRIUM PADA DARAH
Keseimbangan Natrium
Natrium merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi mengatur osmolaritas dan
volume cairan tubuh. Natrium paling banyak terdapat pada cairan ekstrasel. Pengaturan
konsentrasi cairan ekstrasel diatur oleh ADH dan aldosteron. Aldosteron dihasilkan oleh korteks
suprarenal dan berfungsi mempertahankan keseimbangan konsentrasi natrium dalam plasma dan
prosesnya dibantu oleh ADH. ADH mengatur sejumlah air yang diserap kembali ke dalam ginjal
dari tubulus renalis. Aldosteron juga mengatur keseimbangan jumlah natrium yang diserap
kembali oleh darah. Natrium tidak hanya bergerak ke dalam atau ke luar tubuh, tetapi juga
mengatur keseimbangan cairan tubuh. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau
sebagian kecil melalui feses, keringat, dan air mata (Silverthorn, 2004).
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam
suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah
konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya
lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah) (Silverthorn, 2004).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat
menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak
ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas
osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab
dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion
natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam
menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini (Silverthorn, 2004).
pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui
(Silverthorn, 2004) :
- Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada
akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan
di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal
(300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air,
sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini
menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik. Dinding tubulus ansa
henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar
tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang
sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding
tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH).
Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal
dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

Bradikinin adalah salah satu substansi vasodilator yang menyebabkan (Marie, 2008) :
Stres
Aktivitas simpatis berlebihan contractility, pelepasan renin angiotensin.
Kerja simpatis berlebihan
Kerja simpatis meningkat meningkatkan retensi sodium (karena dapat
mempengaruhi pelepasan renin), resistensi insulin, disfungsi dari baroreceptor.
Resistensi periperal
Pengurangan ukuran lumen arteri sebagai akibat dari remodeling vaskuler yang
dimodulasi substansi endothelium derived vasoactive, growth factor, dan citokinin
menyebabkan tekanan periperal meningkat.

III. PATOFISIOLOGI
Renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS)
RAAS merupakan endogen compleks yang mengatur arterial BP. RAAS
mempengaruhi vascular tone and kerja saraf simpatis dan paling utama untuk
mempengaruhi regulasi homostatik BP. Juxtaglomerural ada di aferen arteriol ginjal yg
berfungsi sebagai baroreceptor-sensing device. Pelepasan renin dipengaruhi oleh
intrarenal factors (contoh, renal perfusion pressure, catecholamines, angiotensin II) dan
ekstra renal (misal sodium, chloride, and potassium). Menurunnya tekanan arteri ginjal
dan aliran darah ke ginjal menstimulasi pelepasan renin. Menurunnya kadar sodium dan
chloride ke distal tubule menstimulasi pelepasan renin. Stimulasi simpatis di afferen
arteriol melepaskan katekolamin sehingga menstimulasi pelepasan renin (Dipiro, 2008).
Renin di produksi dan disimpan di juxtaglomerular ginjal dan renin akan
direlease jika distimulasi oleh perfusi renal yang terganggu. Pelepasan renin akan
mengubah angiotensi angiotensi I oleh ACE akan diubah menjadi angiotensin II
berikatan dengan reseptor angiotensin II vasokontriksi, pengeluaran aldosterone, dan
aktivasi kerja saraf simpatis (Marie, 2008).












Natriuretic Hormone
Natriuretik hormone menghambat Na dan K- adenosine trifosfatase dan
mengganggu transport Na melewati membran sel. Adanya gangguan ginjal dalam
mengeliminasi Na dapat menyebabkan kadar Na meningkat dalam darah. Adanya
natriuretic hormone menyebabkan peningkatan ekskresi Na dan air sebagai mekanisme
kompensasi. Namun, hormone ini juga menghambat transpor aktif Na keluar dari sel otot
polos. Peningkatan kadar Na intraseluler menyebabkan peningkatan tonus vascular dan
tekanan darah (Dipiro, 2008).

Insulin Resisten
Ketika konsentrasi insulin didalam darah banyak, maka akan mengaktifkan
kerja simpatis yang secara tidak langsung akan menstimulasi pengeluaran renin (Dipiro,
2008).

IV. TERAPI HIPERTENSI
Loop Henle Diuretik
Mekanisme kerja : loop diuretik bekerja dengan memblok kotransport
Na+/K+/Cl- pada membran apikal dari loop Henle. Saluran ini merupakan reabsorpsi Na+
dan Cl-. Karena itu, loop diuretik meningkatkan jumlah urine, Na+,K+,Ca2+ dan Mg2+.
Loop diuretik juga menyebabkan dilatasi dari sisi vena dan fase dilatasi ginjal yang
dipengaruhi oleh prostaglandin (Sherwood, 2004).
Farmakokinetik: semua loop diuretik bekerja dalam 20 menit dan t1/2 kira-kira
1-1,5 jam. Semua loop diureeetik diabsorpsi dengan cepat dari usus dan dapat diberikan i.v..
Golongan diuretik ini dapat memnyebabkan 20% lebih pengeluaran Na+. Angka absorpsi
menurun di CHF (Sherwood, 2004).

Alpha Antagonist pada Hipertensi (Dipiro, 2008) :
Selective :
- Prazosin (dosis 2-20 mg 2-3 kali sehari)
- Doxazosis(dosis 1-16 mg 1 kali sehari)
- Terazosin(dosis 1-10 mg 1-2 kali sehari)
Non Selective:
- Phenoxybenzamine(dosis 20-120 mg 2-3 kali sehari)

Perbedaan CCB Dihidropiridine dan Nondihidropiridine
CCB (Calcium channel blocker) memiliki mekanisme kerja dengan
memblok/menurunkan influx ion kalsium ke dalam sel miokard, sel sel dalam system
konduksi jantung dan sel sel otot polos pembuluh darah. CCB dibagi menjadi 2 yaitu
dihidropiridine dan nondihidropiridone.
a. Dihidropiridine
Dihidropiridine membloki influx kalsium di pembuluh darah sehingga mempunyai sifat
vasodilator perifer, menimbulkan relaksasi arteriol (Gunawan, 2007). Hal ini kadang
menyebabkan takikardi (peningkatan denyut jantung) dan vasokonstriksi. Contoh
golongan dihidropiridiine adalah Nifedipin, Nikardipin, Amlodipine, Isradipin,
Clevidipine dan Felodipin. Penggunaan golongan immediate release golongan
dihidropiridine berisiko menimbulkan Miokard Infark dan Hipotensi parah misal SL
Nifedipine (Gunawan, 2007 dan Gormer, 2007).

b. Nondihidropiridine
Nondihidropiridine memiliki mekanisme kerja memblok influx kalsium di sel sel dalam
system konduksi jantung dan sel sel miokardiak. Golongan nondihidropiridine tidak
menimbulkan efek takhikardi karena memiliki efek kronotropik negative langsung pada
jantung. Digunakan untuk menurunkan denyut jantung dan untuk pencegahan angina.
Contoh golongan nondihidropiridine adalah Verapamil dan Diltiazem (Gunawan, 2007
dan Gormer, 2007).
Pengobatan Hipertensi Berdasarkan Stage (Chobanian, 2003):



V. MANIFESTASI KLINIS
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat
(kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema
pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala
sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan
manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah
bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN)
dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia)
atau gangguan tajam penglihatan (Marliani, dkk, 2007).
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun
berupa nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat
hipertensi, ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan
pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada
penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung
secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Marliani, dkk, 2007).

Nocturia
Nokturia adalah kondisi dimana pasien sering buang air kecil (urinasi) pada malam hari.
Nokturia terjadi karen adanya peningkatan aliran darah ke ginjal dan filtrasi dari
glomerulus. Pada pasien yang telah tua (elderly), nokturia lebih sering terjadi dikarenakan
perubahan postur tubuh dari terlentang menjadi berdiri yang menyebabkan respon
produksi renin berkurang, sehingga angiotensin dan aldosterone menjadi kurang aktif.
Nokturia juga dapat diperparah kondisinya apabila penggunaan obat-obat antihipertensi
yang digunakna kurang tepat. Tetapi masih belum banyak penelitian yang mengetahui
secara pasti bagaimana nokturia dapat mengindikasikan terjadinya hipertensi (Carlos,
2013).

VI. EVIDENCE BASE TERAPI HIPERTENSI

a. DIURETIK










Metode : Kami membandingkan kemanjuran long-acting furosemide (60 mg/hari) dan
hydrochlorothiazide ( 25 mg / hari ) dalam double-blind , crossover randomized
trial di tujuh pasien dengan gagal ginjal berat dan hipertensi (tujuh laki-laki , 54
10 tahun). Titik akhir yang diukur adalah natrium dan klorida pecahan ekskresi
setelah 1 bulan masing-masing diuretik dan kemudian setelah kombinasi mereka.
Selama percobaan, perawatan lainnya dan diet dikendalikan (Dussol, et al., 2004).
Hasil : Kecenderungan peningkatan pecahan ekskresi natrium dan klorida diamati dengan
furosemide, tetapi perbedaannya tidak mencapai tingkat signifikansi statistik ( P
NS ). Ekskresi fraksional natrium dan klorida hydrochlorothiazide meningkat
secara signifikan dari 3,7 0,9-5,5 0,3 dan dari 3,9 0,19-6,5 0,3 , masing-
masing ( P <0,05 ). Kombinasi dari dua diuretik tidak memiliki efek tambahan
pada peningkatan ekskresi pecahan natrium dan klorida. Furosemide ,
hidroklorotiazid dan kombinasi dari dua diuretik penurunan rerata tekanan darah
arteri dengan tingkat yang sama dari 112 menjadi masing-masing 97 , 99 dan
97mmHg ( P <0,05 ) (Dussol, et al., 2004).
Kesimpulan : Hydrochlorothiazide meningkatkan fraksional ekskresi natrium dan klorida
lebih dari furosemide di pasien hipertensi dengan gagal ginjal berat. Berarti
tekanan darah arteri menurun dengan jumlah yang sama dengan kedua
diuretik. Menggabungkan furosemide dan hidroklorotiazid tidak
meningkatkan kemanjuran hidroklorotiazid (Dussol, et al., 2004).





































Dalam sebuah penelitian double blind efek jangka panjang diuretik dalam rumit
hipertensi esensial ringan dan sedang diselidiki . Sebanyak 52 pasien rawat jalan
menyelesaikan 24 bulan pengobatan dengan baik mide furose dengan dosis 40 mg dua kali
sehari ( 26 pasien ) atau hidroklorotiazid dengan dosis 50 mg dua kali sehari ( 26 pasien ) .
Sepanjang 2 tahun penelitian, baik furosemide dan hidro chlorothiazide secara
signifikan menurunkan tekanan darah rata-rata dari tingkat dasar. Penurunan itu lebih rendah
dengan furosemid dibandingkan dengan hydrochlorothiazide, meskipun perbedaan antara dua
obat mencapai signifikansi statistik hanya tiga dari delapan titik waktu. Serum elektrolit
digunakan sebagai indikator utama keselamatan. Kejadian kumulatif hipokalemia dari 8 %
untuk kelompok furosemide dibandingkan dengan 62 % untuk kelompok hidroklorotiazid .
Meskipun diuretik, sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain, telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk mengobati hipertensi esensial, informasi mengenai keberhasilan
lanjutan dan keselamatan jarang didapatkan. Uji coba jangka pendek telah menunjukkan
bahwa furosemide (Lasix) menyerupai tiazid di sifat antihipertensi, meskipun efek pada
ginjal berbeda tingkatan. Sebuah studi kooperatif pada pasien hipertensi masih dilakukan di
tiga pusat klinis untuk menyelidiki efek jangka panjang furosemide pada tekanan darah dan
serum elektrolit, dan membandingkannya dengan orang-orang dengan hidroklorotiazid .















Percobaan acak, double-blind, placebo-controlled paralel memenuhi kriteria sebagai
berikut, monoterapi 2 dosis berbeda, durasi tindak lanjut 4 minggu, dan baseline washout
obat 2 minggu, diidentifikasi menggunakan Embase (1980-2010 minggu 50), Medline
(1950-2010 November minggu 3), metaRegister Trials Terkendali, dan Cochrane Central.
Sebanyak 26 hidroklorotiazid percobaan diperiksa, 3 chlorthalidone diperiksa, dan 1
examined bendroflumethiazide. Studi termasuk total 4683 subyek dalam > 53 lengan
perbandingan. Meta - regresi pengaruh tiazid pada tekanan darah sistolik menunjukkan
hubungan log - linear dengan serangkaian potensi: bendroflumethiazide > chlorthalidone >
Hidroklorotiazid. Perkiraan dosis masing-masing obat diperkirakan akan mengurangi tekanan
darah sistolik sebesar 10 mmHg adalah 1,4 , 8,6 , dan 26,4 mg, masing-masing, dan tidak ada
bukti perbedaan dalam penurunan maksimum tekanan darah sistolik dengan dosis tinggi
thiazides berbeda. Potensi seri untuk tekanan darah diastolik, kalium serum, dan urat adalah
serupa dengan yang terlihat untuk tekanan darah sistolik. Hidroklorotiazid, chlorthalidone,
dan bendroflumethiazide berpotensi sangat berbeda. Hal ini dapat menjelaskan perbedaan
dalam efek antihipertensi antara hidroklorotiazid dan chlorthalidone menggunakan rentang
dosis standar.

b. BETA BLOCKER
Beta-blockers for hypertension.
Wiysonge CS, Bradley HA, Volmink J, Mayosi BM, Mbewu A, Opie LH.
Source
Institute of Infectious Disease and Molecular Medicine & Division of Medical Microbiology,
University of Cape Town, Anzio Road, Observatory, South Africa, 7925.

LATAR BELAKANG :
Ulasan ini adalah update dari Review Cochrane diterbitkan pada tahun 2007 , yang menilai
peran beta - blokade sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi.
TUJUAN :
Untuk mengukur efektivitas dan keamanan beta-blocker pada morbiditas dan mortalitas
endpoint pada orang dewasa dengan hipertensi .
METODE :
Pada Desember 2011 peneliti mencari Register Cochrane Central Register of Controlled
Trials, Medline, Embase, dan daftar referensi dari tinjauan sebelumnya , karena studi yang
memenuhi syarat diterbitkan sejak pencarian sebelumnya dilakukan pada bulan Mei 2006.
KRITERIA SELEKSI :
Percobaan terkontrol acak ( RCT ) minimal setahun lamanya , yang menilai efek dari beta -
blocker dibandingkan dengan plasebo atau obat lain , sebagai terapi lini pertama untuk
hipertensi , pada mortalitas dan morbiditas pada orang dewasa.


PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS :
Peneliti memilih studi dan mengambil data dalam rangkap . Kami menyatakan hasil studi lain
rasio risiko ( RR ) dengan interval kepercayaan 95 % ( CI ) dan menggabungkannya
menggunakan fixed - efek atau metode acak-efek , yang sesuai.
HASIL UTAMA :
Penulis memasukkan 13 RCT yang membandingkan beta - blocker dengan plasebo ( 4
percobaan , N = 23.613 ) , diuretik ( 5 percobaan , N = 18.241 ) , calcium channel blockers (
CCB : 4 percobaan , N = 44.825 ) , dan sistem renin-angiotensin ( RAS ) inhibitor ( 3
percobaan , N = 10.828 ) . Tiga - perempat dari 40.245 peserta beta - blocker digunakan
atenolol . Kebanyakan penelitian memiliki risiko tinggi bias , akibat berbagai keterbatasan
dalam desain penelitian , perilaku , dan data kematian analysis.Total tidak berbeda secara
signifikan antara beta - blocker dan plasebo ( RR 0,99 , 95 % CI 0,88-1,11 , saya ( 2 ) = 0 % )
, diuretik atau penghambat RAS , namun lebih tinggi untuk beta - blocker dibandingkan
dengan CCB ( RR 1,07 , 95 % CI 1,00-1,14 , I ( 2 ) = 2 % ) . Jumlah penyakit kardiovaskular
( CVD ) adalah lebih rendah untuk beta - blocker dibandingkan dengan plasebo ( RR 0,88 ,
95 % CI 0,79-0,97 , I ( 2 ) = 21 % ) . Hal ini terutama refleksi dari penurunan yang signifikan
dalam stroke ( RR 0,80 , 95 % CI 0,66-0,96 , I ( 2 ) = 0 % ) , karena tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam penyakit jantung koroner ( PJK ) antara beta - blocker dan plasebo . Tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam penarikan dari pengobatan diberikan karena efek
samping antara beta - blocker dan plasebo ( RR 1,12 , 95 % CI 0,82-1,54 , I ( 2 ) = 66 % ) .
Pengaruh beta-blocker pada CVD secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan CCB (
RR 1,18 , 95 % CI 1,08-1,29 , I ( 2 ) = 0 % ) , tetapi tidak berbeda dengan diuretik atau RAS
inhibitor . Selain itu, ada peningkatan stroke pada beta - blocker dibandingkan dengan CCB (
RR 1,24 , 95 % CI 1,11-1,40 , I ( 2 ) = 0 % ) dan RAS inhibitor ( RR 1,30 , 95 % CI 1,11-
1,53 ; I ( 2 ) = 29 % ) . Namun, PJK tidak berbeda secara signifikan antara beta - blocker dan
diuretik , CCB atau penghambat RAS . Peserta pada beta - blocker lebih mungkin untuk
menghentikan pengobatan karena efek samping dibandingkan pada RAS inhibitor ( RR 1,41 ,
95 % CI 1,29-1,54 , I ( 2 ) = 12 % ) , tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dengan
diuretik atau CCB .
KESIMPULAN :
Memulai pengobatan hipertensi dengan beta - blocker menyebabkan pengurangan resiko
dalam penyakit kardiovaskular dan tidak ada efek yang signifikan pada kematian . Efek-efek
dari beta - blocker lebih rendah dibanding obat antihipertensi lainnya . Kualitas GRADE ini
rendah , menyiratkan bahwa efek sebenarnya dari beta - blocker mungkin jauh berbeda dari
perkiraan efek yang ditemukan dalam ulasan ini . Penelitian lebih lanjut harus berkualitas
tinggi dan harus menyelidiki apakah ada perbedaan antara berbagai sub - jenis beta -blocker
atau apakah beta -blocker memiliki efek yang berbeda pada pasien yang lebih muda dan
orang tua .

c. ACE INHIBITOR
Captopril memiliki efek anti hipertensi lebih baik disbanding diuretic ataupun beta
bloker, terutama hipertensi disertai metabolic decompensation (Niskanen et al, 2001). Terapi
ACEI terbukti tidak preventif terhadap pencegahan hipertensi. Namun terbukti efektif
terhadap komplikasi hipertensi berupa stroke. (Hansson, 2009). Penggunaan terapi ACEI atau
ARB terbukti dapat menurunkan progresivitas hypertensi dan pencegahan terhdap penyakit
cardiovascular lain dalam rentang percobaan terapi selama 24 jam (Hermida, 2010)

d. ARB
Mekanisme kerja ARB : Sintesis angiotensin 2 bertindak pada reseptor AT
1
, yang
berhubungan dengan hipertrofi otot jantung. Sebaliknya, ARB secara khusus menghambat
reseptor AT
1.
Dengan demikian, memberikan hambatan yang lebih besar untuk efek patologi
dari angiotensin 2, dimana melalui mediasi reseptor AT
1.
Berdasarkan jurnal evidence-based
efektivitas dari ARB menunjukkan bahwa penggunaan valsartan dan losartan dapat
digunakan standart pengobatan pada pasien dengan gagal jantung yang tidak toleran terhadap
ACE inhibitor. Sedangkan irbesartan dapat digunakan untuk pasien hipertensi dan mengalami
diabetes tipe 2 (Ball and White, 2003).

e. CCB
Menurut consumer report health (2011) yang telah merangkum beberapa
evidence secara meta-analisis menunjukkan bahwa CCB yang baik digunakan:
- Untuk pengobatan tekanan darah tinggi tanpa ada komplikasi adalah Amlodopine, karena
berdasarkan evidence, biaya, dosing convenience, serta keamanan dari amlodipine yang
ditunjukkan dari beberapa trial. Namun penurunan dari tekanan darah tidak begitu
signifikan. Penggunaan CCB pada penurunan darah tinggi merupakan second line setelah
diuretik.
- Untuk pengobatan angina adalah Amlodipine, karena dosing convenience, harga, dan
keamanannya lebih baik dibanding CCB lainnya.
- Untuk pengobatan abnormal heart rhythms adalah diltiazem dan verapamil, karena tidak
ada CCB lain yang memiliki tujuan terapi untuk abnormal heart rhythms selain kedua obat
tersebut. Dipilih diltiazem SR, diltiazem CD, dan verapamil SR karena terbukti memiliki
efektivitas, dosing convencience, dan biaya yang lebih baik.

CCB yang dapat digunakan untuk kondisi tertentu (Consumer Report, 2011) :
Penyakit CCB Dihidropiridin CCB Non Dihidropiridin
High Blood Pressure Amlodipine, Felodipine,
Isradipine, Nicardipine,
Nisoldipine
Diltiazem, Verapamil
Angina Amlodipine, Nicardipine, Diltiazem, Verapamil
Fast irregular heart
rhythms
Diltiazem, Verapamil


VII. KOMPLIKASI HIPERTENSI DAN TERAPINYA
a. PENYAKIT JANTUNG KORONER BERDASARKAN JNC
1. STEMI
Menurut JNC 7, hubungan antara BP dengan resiko CVD berkelanjutan, konsisten
dan bergantung pada factor risiko nya. BP yang tinggi berisiko besar mengakibatkan serangan
jantung, HF, troke, dan kerusakan ginjal (JNC 7,2003).
American College of Cardiology/American Heart Association dan European
Society of Cardiology merekomendasikan dalam tata laksana pasien dengan STEMI selain
diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet (aspirin, clopidogrel,
thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin(UFH) / Low Molecular Weight
Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker
(Farissa,2012).
Tatalaksan terapi umum pada STEMI (Farissa,2012):
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

2) - Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325
mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.
Jantung iskemik merupakan kondisi yeng sering terjadi akibat kerusakan organ
yang disebabkan oleh hipertensi.Pada pasien hipertensi dan stable angina pectoris, pilihan utama
obat yang digunakan yaitu Beta blocker (BB). Selain BB, ada alternative terapi lain yaitu
golongan long-acting CCB. Pada pasien hipertensi dengan Acute coronary Sindrome (ACS)
seperti unstable angina atau Miokard Infark, bisa diberikan terapi awal yaitu golongan Beta
blocker (BB) dan ACEI. Terapi tersebut harus ditambahkan lagi dengan obat lain untuk
mengontrol tekanan darah.














pasien. Pada pasien dengan post-miokard infark, lebih diutamakan pemberian
terapi golongan ACEI, BB, dan aldosterone antagonis. Disarankan juga untuk memberikan terapi
aspirin dan manajemen kadar lipid (JNC 7,2003).



2. UNSTEMI
Non-ST-segmen elevasi MI, sebelumnya dikenal sebagai non gelombang Q
atau non-transmural MI, terbatas pada bagian sub-endokardium miokardium. Pasien
dengan NSTE MI biasanya tidak ditemukan gelombang Q pada pemeriksaan patologis
EKG. NSTE MI lebih kecil dan tidak begitu luas dibandingkan dengan STE MI. Non-ST
elevation MI berbeda dari unstable angina terutama pada tingkat iskemia yang cukup
parah yang menghasilkan nekrosis miokard mengakibatkan rilis sejumlah penanda
biokimia yang terdeteksi (makromolekul intraseluler dilepaskan ke dalam sirkulasi
perifer dari nekrotik miosit sebagai akibat dari kematian sel miokard atau infark),
terutama troponin T atau I atau creatine kinase (CK) Band miokard (MB) dari miosit
nekrotik dalam peredaran darah (Chisholm-Burns et al, 2008).
Non - ST - Segmen Elevation Myocardial Infark ( NSTEMI ) (Overbaugh,
2009) :
Penyebab
Trombus sebagian atau yang sedikit demi sedikit menyumbat arteri coroner.

Tanda dan Gejala
Nyeri dengan atau tanpa radiasi di lengan, leher, punggung, atau daerah epigastrium
Sesak napas, diaforesis, mual, pusing, takikardi, takipnea, hipotensi atau hipertens,
penurunan saturasi oksigen arteri ( SaO2 ) dan kelainan ritme
Terjadi pada saat istirahat atau aktivitas dengan tenaga ; aktivitas terbatas
Terjadi dalam durasi yang lebih parah daripada unstable angina
Temuan diagnostik
Depresi segmen ST atau inversi gelombang T pada elektrokardiografi
Biomarker jantung yang meningkat
Pengobatan
Oksigen untuk mempertahankan SaO2 level > 90 %
Nitrogliserin atau morfin untuk mengontrol rasa sakit
-blocker , angiotensin -converting enzyme inhibitor , statin ( mulai inisiasi dosis dan
terus berlanjut jangka panjang ), clopidogrel ( \Plavix), heparin tak terpecah atau
lowmolecular - heparin, dan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor
Kateterisasi jantung dan kemungkinan intervensi koroner perkutan untuk pasien
dengan nyeri dada yang sedang berlangsung, ketidakstabilan hemodinamik, atau
peningkatan risiko kondisi klinis yang memburuk.

















3. ANGINA
Angina harus segera diterapi untuk mencegah miokard infark , kematian, dan
mengurangi symptoms angina dan kejadian iskemik. Terapi inisiasi adalah BB. Kerja BB
adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan cardiac output, heart rate dan AV
conduction. Penurunan inotropy (inotropik negatif) dan heart rate menurunkan
permintaan (demand) oksigen oleh tubuh. Jika tidak berefek atau efeknya kurang poten
maka diberikan long-acting, dihydropyridine or nondihydropyridine-type CCBs karena
CCB menurunkan total resistensi periperal menurunkan BP, menurunkan resistensi
coronary dan meningkatkan poststenotic coronary perfusion. Tetapi, nondihydropyridine
CCB juga dapat digunkan tp ketika dikombinasi denga BB bradikardi (hati-hati
penggunaannya dengan penyakit lain yang bertambah parah jika pasien bradikardi). Jika
kombinasi CCB dan BB tidak berefek juga maka dapat ditambahkan nitrat (Aram, et al.,
2003).
Jenis CCB non dihridopiridine yang mempunyai efek inotropik negatif dan
kronotopik negatif yaitu : verapamil , diltiazem. Sedangkan jenis CCB dihidropiridine
yang digunakan untuk angina adalah nipedipin (Aram, et al., 2003).

b. HIPERTENSI DENGAN ISCHEMI HEART DISEASE
Sebab tunggal tersering dari kematian adalah penyakit jantung iskemik, yang
disebabkan oleh insufisiensi aliran darah koroner (Guyton & Arthur 1990).
1. Aterosklerosis Sebagai Penyebab Penyakit Jantung Iskemik
Sebab tersering dari berkurangnya aliran darah koroner adalah skelerosis, dimana
kolesterol dan lemak secara berangsur-angsur ditumpukkan di bawah lapisan intima pada
banyak tempat di dalam arteri. Kemudian daerah penumpukan ini dimasuki oleh jaringan
fibrosa, dan mereka juga sering mengalami kalsifikasi. Hasil akhirnya adalah timbulnya
daerah-daerah ateroskelrotik dan dinding arteri sangat keras, tidakdapat berkonstriksi
dan dilatasi.
2. Penyumbatan Koroner Akut
Penyumbatan akut arteri koronaria sering terjadi pada orang yang telah menderita penyakit
jantung koroner arterosklerotik yang berat, tetapi hampir tidak pernah pada orang dengan
sirkulasi koroner normal. Keadaan ini dapat disebabkan oleh salah satu dari beberapa
macam efek, sebagai berikut:
a. Daerah aterosklerotik dapat menyebabkan suatu bekuan darah setempat, disebut
trombus, yang sebalikya menyumbat arterti tersebut.
b. Sering suatu arteri nutrisia kecil dekat daerah arterosklerosis pecah dan mengeluarkan
darah sehingga mengakibatkan penonjolan. Penonjolan ini dapat menurunkan aliran
darah arteri.
c. Spasme setempat suatu arteri koronaria dapat juga menyebabkan penyumbatan tibatiba.
3. Infark Miokardium
Segera setelah penyumbatan koroner akut, aliran darah berhneti di dalam
pembuluhpembuluh koroner di luar penyumbatan tersebtu, kecuali untuk sejumlah kecil
aliran kolateral pembuluh-pembuluh sekitar. Daerah otot yang sama sekali tidak
mempunyai aliran darah atau alirannya sedemikian kecil sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung dikatakan mengalami infark. Seluruh proses itu
disebut suatu infark miokardium. Otot jantung memerlukan kira-kira 1,3 ml oksigen per
100 gram jaringan otot per 100 gram jaringan otot per menit hanya untuk
mempertahankan kehidupannya saja. Oleh karena itu, bila masih ada 10 sampai 15
persen saja dari aliran darah koroner waktu istirahat normal, otot tersebut tidak akan
mati. Tetapi, di bagia tengah dari suatu infark yang besar, aliran darah biasanya lebih
sedikit sehingga ototnya benar-benar mati (Guyton & Arthur 1990).
Sebab sebab kematian setelah penyumbatan coroner akut.
1. Menurunnya Curah Jantung
Bila beberapa serabut otot jantung tidak berfungsi sama sekali dan serabut-serabut lain
terlalu lemah untuk berkontraksi dengan tenaga yang besar, seluruh kemampuan pompa
ventrikel yang terkena juga berkurang.
Bila jantung tidak dapat berkontraksi dengan kekuatan cukup untuk memompa darah
kedalam percabangan arteri, terjadi kegagalan jantung dan kematian jaringan perifer
sebagai akibat iskemia perifer. Keadaan ini disebut syok koroner, syok jantung, atau
kegagalan dengan curah jantung rendah (Guyton & Arthur 1990).
2. Pembendungan Darah di Dalam Sistem Vena
Bila jantung tidak memompa darah ke depan, harus ada darah yang terbendung di dalam
sistem vena dari sirkualsi paru-paru atau sirkulasi sistemik. Bila bendungan tersebut
menjadi sangat hebat, kematian sering disebabkan oleh udem paru-paru atau,
kadangkadang oleh gejala-gejala bendungan sistemik.
3. Rupturnya Daerah Infark
Beberapa hari setelah infark yang besar, serabut-serabut otot yang mati mulai mengalami
degenerasi, dan otot jantung yang yang mati tersebut menjadi sangat tipis. Jika ini terjadi,
tingkat regangan sistolik menjadi makin besar sampai akhirnya jantung tersebut ruptur.
Bila suatu ventrikel ruptur, keluarnya darah ke dalam rongga perikardium cepat
menyebabkan timbulnya tamponade jantung, yaitu penekanan jantung dari luar oleh darah
yang terkumpul di dalam kavum perikardium. Karena jantung tertekan, darah tidak dapat
mengalir ke dalam atrium kanan dengan mudah, dan penderita meninggal karena
menurunnya curah jantung dengan tiba-tiba (Guyton & Arthur 1990).
4. Fibrilasi ventrikel setelah infark Miokardium
Kecenderungan terjadinya fibrilasi sangat besar setelah suatu infark yang besar, tetapi
kadang-kadang fibrilasi terjadi setelah suatu penyumbatan kecil saja.
Terapi
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya Penyakit
Jantung Koroner antar lain : ECG, Treadmill, Echokardiografi dan Arteriorgrafi Koroner
(yang sering dikenal sebagai Kateterisasi). Dengan pemeriksaan ECG dapat diketahui
kemungkinan adanya kelainan pada jantung Anda dengan tingkat ketepatan 40%. Kemudian
bila dianggap perlu, akan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Treadmill
Echokardiografi.Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kemungkinan akan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan Arteriografi Koroner (Kateterisasi) yang mempunyai tingkat
ketepatan paling tinggi (99 100%) untuk memastikan apakah Anda mempunyai Penyakit
Jantung koroner. Kateterisasi Jantung merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
memeriksa struktur serta fungsi jantung, termasuk ruang jantung, katup jantung, otot jantung,
sserta pembuluh darah jantung termasuk pembuluh darah koroner, terutama untuk mendeteksi
adanya pembuluh darah jantung yang tersumbat (Rasidin, 2010).
Bila hasil dari film tersebut diketahui adanya penyempitan pembuluh koroner,
maka dokter akan memberitahukan tindakan pengobatan selanjutnya apakah cukup dengan
obat atau dengan tindakan pelebaran bagian pembuluh darah jantung yang menyempit atau
tersumbat dengan menggunakan alat alat tertentu atau ditiup, Percutaneous Transluminal
Coronary Angioplasty, di singkat PTCA atau akhir akhir ini disebut Percutaneous Coronary
intervention yang disingkat PCI; atau harus dilakukan Operasi Jantung Terbuka (Open Heart
Surgery) untuk memasang pembuluh darah baru menggantikan pembuluh darah jantung yang
tersumbat Coronary Artery Bypass Surgery disingkat CAB. Dengan semakin canggihnya
peralatan Angiografi dan berkembangnya teknik teknik baru, pada umumnya tindakan
kateterisasi secara praktis dianggap tidak ada resiko. Tindakan peniupan atau balonisasi
atau Angioplasti bertujuan untuk melebarkan penyempitan pembuluh koroner dengan
menggunakan kateter khusus yang ujungnya mempunyai balon. Balon dimasukkan dan
dikembangkan tepat ditempat penyempitan pembuluh darah jantung. Dengan demikian
penyempitan tersebut menjadi terbuka (Rasidin 2010).
Untuk menyempurnakan hasil peniupan ini, kadang kadang diperlukan
tindakan lain yang dilakukan dalam waktu yang sama, seperti pemasangan ring atau cincin
penyanggah (Stent), pengeboran kerak di dalam pembuluh darah (Rotablation) atau
pengerokan kerak pembuluh darah (Directional Atherectomy) (Rasidin 2010).

c. HIPERTENSI PADA IBU HAMIL
Harus dibedakan antara preeklampsia dari hipertensi kronis, sementara, dan
gestasional. Preeklamsia dapat berubah menjadi komplikasi yang dapat merenggut nyawa
baik ibu dan fetusnya. Diagnosa preeklampsia berdasarkan munculnya hipertensi (>160/110
mmHg) setelah minggu ke 20 gestasi dengan proteinuria. Hipertensi kronis sudah ada
sebelum minggu ke 20 gestasi. Masih kontroversi apakah menguntungkan mengobati
peningkatan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi kronik kehamilan. Perempuan
dengan hipertensi kronik sebelum kehamilan dapat menderita preeklamsia (Depkes, 2006).
Pengobatan yang jelas untuk preeklampsia adalah melahirkan. Terminasi
kehamilan jelas diindikasikan apabila eklampsia terjadi (preeklampsia + kejang). Bila tidak,
penatalaksanaannya terdiri dari restriksi aktifitas, istirahat (bed rest), dan monitoring.
Pembatasan garam atau tindakan lain yang menurunkan volume darah tidak boleh dilakukan.
Obat antihipertensi digunakan sebelum induksi melahirkan bila tekanan darah diastolic >105
atau 110 mmHg, dengan target 95 105 mmHg. Hidralazine intravena umumnya digunakan,
dan intravena labetalol juga efektif. Nifedipine short acting juga digunakan tetapi tidak
disetujui oleh FDA untuk hipertensi, karena efek samping terhadap fetus dan ibu (hipotensi
dengan fetal distress) telah dilaporkan. Banyak obat dapat digunakan untuk mengobati
hipertensi kronis pada perempuan hamil. Metildopa adalah obat pilihan. Data menunjukkan
kalau aliran darah uteroplacenta dan hemodinamik fetus stabil dengan metildopa. Dan
dianggap sangat aman berdasarkan data follow-up jangka panjang (7,5 tahun). Penyekat
beta, labetalol, dan antagonis kalsium dapat digunakan sebagai alternative. ACE inhibitor dan
ARB adalah absolute kontraindikasi (Depkes, 2006).

















d. HIPERTENSI DENGAN HEART FAILURE
Heart Failure atau gagal jantung adalah suatu kondisi saat pompa darah dari
jantung (cardiac output) tidak mencukupi kebutuhan metabolic tubuh atau dapat dikatakan
bahwa perfusi ke jaringan kurang. Hal ini terjadi karena cardiac output yang terlalu rendah
(Gunawan, 2007).

Penyebab (Etiologi)

















Salah satu penyebab dari Heart failure adalah hipertensi. Hipertensi dapat menyebabkan
disfungsi systole dan diastole jadi banyak pasien hipertensi terkena HF sebagai hasil dari
penurunan kontraksi otot jantung dan pengisian ventrikel yang abnormal (Dipiro, 2007).

Mekanisme Kompensasi (Dipiro, 2007) :
1. Peningkatan Preload (Melalui retensi Na dan air) yang berfungsi untuk
mengoptimalkan stroke volume malalui mekanisme Frank Starlink. Namun
kompensasi ini dapat merugikan karena bisa menyebkan penyumbatan paru paru dan
penyumbatan sistemik serta terjadi edema
2. Vasokontriksi yang berguna untuk menjaga tekanan darah dan mengalirkan darah dari
organ yang nonesensial menuju ke otak dan jantung. Kerugian dari mekanisme
kompensasi ini adalah peningkatan after load, penurunan stroke volume dan lebih
jaun dapat mengkatifasi respon kompensasi
3. Takikardi dan peningkatan kontraksi jantung (karena aktifasi SNS) yang berguna
untuk membantu menjaga CO namun dapat menimbulkan pemendekan waktu
pengisian diastolic , downregulasi beta1 reseptor, menurunkan sensitifitas reseptor,
presipitasi dari eritmia ventrikuler dan peningkatan resiko kematian sel otot jantung
4. Hipertropi ventricular dan Remodelling jantung yang berguna untuk membantu
menjaga CO, menurunkan stress dinding otot jantung namun dapat menyebabkan
disfungsi diastolic, disfungsi sistolik, peningkatan resiko kematian sel otot jantung,
peningkatan resiko iskemi otot jantung, peningkatan resiko aritmia, dan fibrosis pada
jantung.

Klasifikasi Heart Failure (Dipiro, 2007) :
1. Berdasarkan AHA
Stage A Pasien dengan resiko tinggi untuk perkembangan gagal jantung
Stage B Pasien dengan struktur heart disease tapi tidak muncul tanda dan gejala
dari gagal jantung
stage C Pasien dengan struktur heart disease dan muncul gejala gagal jantung
Stage D
2. Berdasarkan NYHA (New York Heart Association Classification)
Class I
Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari
tidak menimbulkan dyspnea atau kelelahan.
Class II
Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktivitas fisik. Saat istirahat
tidak ada keluhan. Aktivitas sehari-hari menimbulkan dyspnea atau kelelahan.
Class III
Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istirahat
tidak ada keluhan. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah
menimbulkan dyspnea atau kelelahan.
Class IV
Penderita penyakit jantung yang tak mampu melakukan setiap aktivitas fisik tanpa
menimbulkan keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak
saat istirahat. Setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan.

Terapi Hipertensi dengan HF (Dipiro, 2007 dan Gunawan, 2007) :
Terapi untuk pasien hipertensi dengan HF adalah
1. First Line nya ACE inhibitor dan Diuretik
ACE inhibitor disarankan berdasarkan outcomenya terhadap penurunan morbiditas
dan mortalitas berdasarkan studi klinikal trial. Ace inhibitor harus dimulai dari dosis
rendah. Karena Heart Failure menginduksi mekanisme kompensasi mengaktivasi
rennin (kadar rennin tinggi) dan penggunaan ACE inhibitor dapat menimbulkan efek
pronounced-dose effect dan kemungkinan hipotensi ortostatik.
Pada gagal jantung digunakan ACE inhibitor dengan dosis 6,25 mg yang berfungsi
sebagai terapi untuk mencegah remodelling jantung.








Sedangkan untuk diuretic direkomendasikan sebagai first line karena dapat
menghilangkan gejala berupa edema. Yang biasa digunakan adalah loop diuretic.
Untuk pasien dengan disfungsi ventrikel kiri target BP adalah 120/80 mmHg. Jadi
membutuhkan agen lain sebagai terapi HT.









2. BB Bloker
Setelah memulai terapi dengan ACE I dan diuretic , Agen lain yang dpt digunakan
adalah BB. BB sesuai untuk pasien HT dengan HF yang memiliki disfugsi ventrikel
kiri. Namun dosis yang diberikan harus tepat yaitu harus dimulai dalam dosis yang
sangat rendah (lebih rendah dari dosis yang digunakan untuk HT tanpa HF) dan
dititrasi perlahan ke dosis tinggi berdasarkan toleransi nya. Karena BB dapat
menyebabkan eksaserbasi akut gagal jantung. BB yang digunakan adalah Bisoprolol,
Carvedilol, dan metoprolol.






3. ARB
Agen lain yang bisa digunakan adalah ARB. ARB bisa digunakan sebagai alternative
ketika pasien HT dengan ACEI.
4. Aldosterone Antagonis
Aldosterone antagonis seperti Spironolakton dapat ditambahkan untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Spironolakton
dapat ditambahkan sebagai terapi bersama ACE I dan diuretic dan menunjukkan
manfaat yang besar pada kelainan ventrikel kiri yang parah. Selain itu ada juga
Eplerenone juga bisa digunakan.
5. Untuk terapi HF bisa menggunakan Digoxin
Pada terapi gagal jantung Digoksin memeiliki efek Inotropik positif dan kronotropik
negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel) dan mengurangi aktivitas saraf
simpatis. Digoksin hanya diindikasikan untuk pasien gaga; jantung dengan fibrilasi
atrium, pasien gagal jantung dengan dengan ritme sinus yang masih simtomatik
terutama yang disertai dengan takikardi. Dosis digoksin yang digunakan adalah 0,125
0,25 mg/hari jika fungsi ginjal normal.
6. Tidak direkomendasikan penggunaan bersama Aldosterone antagonis dan ARB
karena peningkatan resiko hiperkalemi.
7. Pada pasien HT dengan HF harus dihindari penggunaan CCB yang memiliki efek
inotropik negative seperti verapamil, diltiazem, dan beberapa golongan
dihidropiridine kecuali dihidropiridine generasi 2 (amloidipine) masih boleh
dipergunakan serta dihindari penggunaan vasodilator yang berefek langsung yaitu
minoksidil yang dapat menyebabkan retensi natrium




e. HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS
Hipertensi merupakan masalah umum yang sering terjadi pada pasien DM. Ini
dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitasnya. Hypertension in Diabetes Study
Group melaporkan jika prevalensi 39 % terjadinya hipertensi pada pasien yang baru
didiagnosa ini setengahnya diawali dengan mikroalbuminuria dan terkait dengan obesitas.
Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering muncul sebagai gangguan dari sindrom metabolic.
Hipertensi harus dideteksi dan diobati secara dini dalam perjalanan diabetes melitus untuk
mencegah penyakit jantung dan untuk menunda perkembangan penyakit ginjal dan retinopati
diabetik . diabetes pasien juga harus diskrining untuk proteinuria atau mikroalbuminuria
(Clinical Practice Guideline Team, 2008).
Penyebab hipertensi pada diabetes melitus ialah (Das, et al., 2001) :
1. Tidak terkontrolnya metabolisme state
2. Insulin resisten mungkin menyebabkan abnormalitas pada :
- Renal tubular ion exchange.
- Transmembrane ion exchange in vascular bed.
- Renin angiotensin system.
- Prostaglandin kallikrein/kinin system.
- Inter-relationship with Mg.
- Atrial natriuretic peptide.
- Diabetic nephropathy.
- Sympathetic nervous system involvement.
- Other endocrine syndromes/secondary causes.
Tipe hipertensi pada diabetes melitus ialah (Das, et al., 2001):
1. Essential hypertension hipertensi primer
2. Hypertension consequent to nephropathy kerusakan ginjal kayak mikroalbuminuria
3. Isolated systolic hypertension diastolenya normal
4. Supine hypertension with orthostatic fall gak bias apa2 (dr telentang ke duduk)

Target terapi hipertensi dengan DM
Terapi farmakologi perlu diinisiasikan pada pasien DM dengan BP >130/80 mmHg.
Target BP harus kurang dari 130/80 mmHg. Bila pada pasien yang terdapat proteinuria
maka < 125/75 mmHg (Das, et al., 2001).















Terapi nonfarmakologi HT dengan DM
Berdasarkan Guideline Hypertension dari University of Cambridge 2009, terapi
nonfarmakologi yang dapat dilakukan serta manfaatnya, yaitu :







Menurut Mancia, et al., 2013, terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :








Terapi farmakologi HT dengan DM (Bakris, et al., 2008) :













1. ACEI
Berdasarkan data yang luas, ACEI menunjukkan efek renal-protective dan juga pada
kardiovaskular pasien DM. Selain itu juga tidak terlalu berefek pada lipid dan
metabolisme karbohidrat. ACEI ini berperan dalam aksi bradikinin yang dapat
mempotensiasi sensitivitas dari insulin yang menginduksi uptake glukosa. Namun jika
Scr <2,5 mg/dl maka tidak bisa diberikan ACEI karena dikhawatirkan terjadi
hiperkalemi.
2. ARB
Second line, ada efek dalam mencegah terjadinya nefropati pada pasien dengan
mikroalbumin.
3. Diuretik
Dapat digunakan sebagai terapi awal atau kombinasi jika monoterapi tdk berhasil.
Dosis harus diberikan rendah untuk mencegah terjadinya efek metabolic. Namun efek
metabolic berkurang bila dikombinasikan dg ACEI atau ARB.
4. CCB
Tidak memiliki efek metabolic yang merugikan. Beberapa penelitian menyebutkan
nondihidropiridin lebih baik untuk mengurangi proteinuria pada diabetes neuropathy.
Ex : verapamil.
5. BB
Dapat digunakan jika semua terapi di atas tidak adekuat.
Berdasarkan Das, et.al 2001, Permana, 2005, Bakris, et.al 2008, Guidelines dari
WHO maupun university of Cambridge, line pertama pilihan terapi hipertensi pada pasien
Diabetes Mellitus ialah golongan ACEI. Berdasarkan sumber yang ada, ACEI menunjukkan
efek renal protective pada pasien DM. Selain itu juga tidak terlalu berefek ppada lipid serta
metabolisme karbohidrat. Acei berperan dalam aksi bradikinin yang dapat mempotensiasi
sensitivitas dari insulin yang menginduksi uptake glukosa. Selain itu dengan adanya
penghambat ACE maka Angiotensi II akan menurun yang mempengaruhi nitrit oxide yang
semakin meningkat, sehingga terjadinya peningkatan vasodilatasi. Namun pada pasien
dengan nilai SCR <2,5 mg/dL maka tidak dapat diberikan terapi ini karena dikhawatirkan
terkadinya hiperkalemi.
Pilihan kedua yang dapat diberikan ialah golongan ARB. Golongan ini juga
bersifat renal protective pada pasien dengan mikroalbumin. Pilihan ketiga yaitu diuretic
Thiazid. Pemberian terapi diuretic ini dengan kombinasi jika terapi pada line pertama dan
kedua tidak menunjukkan efikasi. Pemberian dosis diuretic ini harus diberiakn serendah
mungkin untuk mencegah terjadinya efek metabolik. Pilihan terapi lain yaitu CCB yang tidak
memiliki efek metabolik yang merugikan, serta CCB yang nondihidropiridin lebih baik dalam
mengurangi proteinuria pada penderita diabetes berdasarkan beberapa penelitian di rumah
sakit. Golongan beta blocker juga dapat diberikan dan menjadi pilihan terkahir jika
pemberian obat lain tidak adekuat.

f. HIPERTENSI DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE
Mekanisme yang tepat dari kerusakan ginjal akibat penyakit hipertensi belum
sepenuhnya dipahami. Dua mekanisme patogenik ini akhirnya menjadi fibrosis jaringan dan
terbentuknya jaringan parut pada ginjal. Mekanisme pertama yaitu, adanya perubahan
sistemik dan renal macro serta microvasculature menyebabkan hilangnya auto- regulasi ginjal
dengan kenaikan tekanan kapiler intraglomerular dan akibatnya hiperfiltrasi yang dimediasi
hiperfiltrasi injury yang menyebabkan transglomerular kehilangan protein yang
mempromosikan pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan oleh sel mesangial dan sel epitel
tubuler (Morgado, 2012).
Mekanisme kedua yaitu adanya disfungsi endotel dan kehilangan vasodilator
endogen sebagai faktor pencentus terjadinya cedera hipoksia ischemic, kemudian
konsekuensinya yaitu adanya aktivasi dari intrarenal Renin Angiotensin System dan
pelepasan sitokin serta faktor pertumbuhan dengan perekrutan sel inflamatory yang
merangsang apoptosis yang menyebabkan hilangnya sel- sel normal ginjal dan meningkatnya
produksi matriks sehingga menyebabkan progesitivitas glomerulus, intersisial fibrosis dan
jaringan parut (Morgado, 2012).
Adanya penyakit hipertensi lebih dari 80% pada pasien Chronic Kidney
Disease (CKD) dan berkontribusi dalam progesitivitas penyakit ginjal stage terakhir (ESRD)
serta kejadian kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke. Proteinuria adalah co-
morbiditas yang penting pada hipertensi dalam CKD dan perkembangan penyakit
kardiovascular (Nephrol, 2005).
Menurut The National Kidney Foundation Clinical Practice Guidelines
merekomendasikan Tekanan darah sistolik sebesar <130 mmHg dan <80 mmHg diastolik
untuk semua pasien CKD (Nephrol, 2005).
Terapi nonfarmakologi untuk penyakit hipertensi dengan CKD yaitu
(Nephrol, 2005) :
1. Restriksi dietary sodium tidak lebih dari 2 gram perhari.
2. Pengurangan konsumsi alkohol
3. Olahraga teratur
4. Penurunan berat badan untuk pasien yang mempunyai indeks massa tubuh lebih dari 25
kg / meter persegi.
5. Mengurangi lemak jenuh untuk membantu pengurangan tekanan darah.
Terapi Farmakologi untuk penyakit hipertensi dengan CKD yaitu (Nephrol,
2005) :
1. First line terapi farmakologi menggunakan angiotensin converting enzyme inhibitor atau
angiotensin II type 1 receptor blocker pada pasien diabetes dan non diabetes dengan lebih
dari 200 mg protein/ gram kreatinin pada sampel urin acak.
2. Untuk non diabetic pasien dengan kurang dari 200 mg protein/ gram kreatinin pada
sampel urin acak tidak ada first line obat yang spesifik direkomendasikan.
3. Setelah Inisial dosis dengan ACEi, ARB, atau obat lainnya, diuretik digunakan sebagai
regimen terapi tambahan. Kemudian Beta-blockers, Calcium Channel Blockers, Alpha
blockers dan alpha 2 agonist (ex : clonidine) dan terakhir vasodilator (ex: minoxidil)
ditambahkan untuk meningkatkan keberhasilan goal tekanan darah. Kombinasi ACEi dan
ARB membantu mengurangi proteinuria dan menurunkan tekanan darah pada beberapa
kasus. Tekanan darah harus dimonitoring secara rutin pada pasien hipertensi dengan CKD.
4. Perbandingan efikasi terapi menggunakan ACEI dan ARB pada pasien Hipertensi dengan
CKD :




























Dari beberapa penelitian diatas disimpulkan bahwa ACE inhibitor memiliki
efektivitas lebih signifikan dibandingkan ARB dalam menurunkan resiko cardiovascular.
Kemudian untuk perkembangan kidney disease ACE inhibitor memiliki efektivitas yang
sama dengan ARB. Kemudian untuk kombinasi keduanya menurut kedua jurnal keuntungan
yang didapatlan lebih sedikit dibandingkan efek samping yang muncul akibat kombinasi obat
keduanya sehingga kombinasi kedua obat ini kurang sesuai.

g. HIPERTENSI KRISIS
Merupakan kondisi klinis dimana nilai tekanan darah meningkat sangat drastis
biasanya lebih dari 180/120 mmHg, dan dikategorikan menjadi dua, yaitu: hypertensive
emergency dan hypertensive urgency. Pada keadaan hypertensive emergencies terjadi
peningkatan tekanan darah yang diikuti oleh kerusakan organ yang progresif dan akut
sedangkan hypertensive urgencies tekanan darahnya meningkat tanpa mengarah ke kerusakan
organ (Dipiro et al., 2008).
Tanda dan Gejala Kerusakan Organ
Hypertensive emergency
Tanda dari kerusakan organ termasuk dekompensasi kardiovaskular (palpitasi, angina,
kegagalan kongesif). Manifestasi neurologi diantaranya (sakit kepala, mual, kejang) (Califf et
al., 2007).
Pemeriksaan
Hypertensive crises
Pemeriksaan untuk diagnose meliputi beberapa data laboratorium (blood urea nitrogen,
kreatinin, elektrolit, darah lengkap), urinalisis, EKG, dan radiografi dada (Califf et al., 2007).
Macam hypertensive emergency













Gejala













Terapi
Berikut adalah macam-macam obat dan dosisnya yang digunakan untuk tx hypertensive
emergency (Fauci et al., 2008).















h. HIPERTENSI PADA PASIEN TUA
Hipertensi sistolik terisolasi dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan dengan
peningkatan cardiac output, seperti anemia, hipertiroidisme, aorta insufisiensi, arteriovenous
fistula, dan penyakit tulang. Namun, sebagian besar kasus disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas dan penurunan fungsi dari arteri besar akibat usia dan dari aterosklerosis terkait
akumulasi kalsium dan kolagen di arteri serta degradasi dari elastin arteri. Kekakuan saluran
arteri menyebabkan peningkatan rate of return dari gelombang reflected arterial pressure di
perifer, dengan demikian meningkatkan puncak sistolik pressure. Elevasi tekanan darah
sendiri dapat mengakibatkan arteri lebih kaku dan merusak endotelium-dependen
vasodilatation (Aram, 2007).
Terapi: sama dengan guideline terapi hipertensi pada umumnya dan tergantung
komplikasi yang menyertai (JNC 7).

i. HIPERTENSI ORTOSTATIK
Hipertensi Ortostatik adalah meningkatnya tekanan darah ketika berubah posisi dari
berbaring/ duduk menjadi berdiri (Robertson, 2008).

Patofisiologi








Pada saat terbaring, darah akan terdistribusi ke seluruh bagian tubuh seperti pada
gambar pertama. Pada gambar kedua, menunjukkan distribusi yang sama pada saat transisi ke posisi
bberdiri pada 1 detk pertama. Namun pada gambar ketiga, menunjukkan saat 1 menit dalam posisi
berdiri, terdapat 500- 1000 ml darah mengalir dari bagian tubuh atas ke bagian tubuh bawah,
khususnya abdomen bawah, buttoks dan kaki (pooling of blood). Fenomena selanjutnya ditunjukkan
pada gambar keempat bahwa pada periode 20-30 menit, terjadi hilangnya volume plasma substansial
dari darah menuju ke jaringan (Robertson, 2008).
Pada individu normal, umumnya terjadi penurunan volume plasma dalam 10 menit
pertama posisi berdiri. Pada kebanyakan orang akan terjadi penurunan tekanan darah secara cepat
kemudian kembali lagi ke kondisi tekanan normal. Kondisi ini tidak berlangsung lama karena adanya
mekanisme kompensasi tubuh yang akan menjaga tekanan darah agar tetap stabil. Respon tersebut
berasal dari reseptor baroreflex, yang terdapat pada arteri karotid di leher, dan sebagaian besar
pembuluh darah yang merespon dengan cepat adanya penurunan tekanan di arteri. Kemudian ini akan
memicu peningkatan koordinasi aktifitas sistem saraf simpatis, dan menurunkan aktifitas sistem saraf
parasimpatis. Sehingga tekanan darah tetap stabil. Masalah terjadi ketika tubuh tidak mampu
merespon dengan baik. Jika respon tidak adekuat maka akan terjadi hipotensi ortostatik. Namun jika
respon tersebut menimbulkan hiperaktifitas dari saraf simpatis atau terjadi hipersensitifitas baroreflex
maka akan terjadi hipertensi ortostatik (kenaikan 20 mmHg) (Robertson, 2008).

Etiologi
Hipertensi ortostatik dapat merupakan gejala dari penyakit lain yang sedang dialami
seperti hipertensi esensial, pheochromocytoma atau gangguan aktifasi sel mast pada POTS, Silent
Cerebrovascular Ischemia dan infark (Robertson, 2008).

Terapi
Belum ada terapi khusus untuk hipertensi ortostatik. Selama ini terapi disesuaikan
dengan kondisi penyakit yang sedang dialami sehubungan dengan munculnya hipertensi ortostatik.
Misalnya, pada pasien hipertensi esensial, maka terapi yang digunakan adalah obat- obatan
antihipertensi untuk mengoptimalkan kontrol tekanan darah. Pada sebuah review artikel oleh Joshua
Fessel dan Robertson disebutkan bahwa kemungkinan besar hipertensi ortostatik disbabkan oleh
hipersensitifitas saraf simpatis. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut penggunaan obat
yang bertujuan untuk mengontrol efek aktivitas dari saraf simpatis seperti alpha-1 adrenergic receptor
antagonists seperti prazosin atau alpha-2 adrenergic receptor agonists Seperti clonidine pada
hipertensi ortostatik. Namun belum ada data yang mengindikasikan apakah hipertensi ortostatik harus
dijadikan target terapi secara spesifik atau tidak (Robertson, 2008).

j. HIPERTENSI RESISTEN
Hipertensi resisten adalah kegagalan untuk mencapai penurunan tekanan
darah <160/100 mmHg meskipun telah diberikan 3 regimen obat yang salah satunya terdapat
diuretic. Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi resisten meliputi
hipertensi tidak terkontrol, gaya hidup dan ketidakpatuhan terhadap terapi obat. Pemilihan
terapi obat berdasarkan JNC7 dan AHA harus dipertimbangkan. Misalnya pada pasien
dengan nilai GFR <30 mL/menit 1,73 m
2
dimana penggunaan loop diuretic mungkin dapat
dipertimbangkan daripada tiazid (David, et al., 2008).
Selain itu perlu dipantau progresivitas penyakit pada pasien nyeri dada,
palpitasi, pusing, dyspnea, ortopnea, sakit kepala, perubahan mendadak dalam penglihatan,
kelumpuhan satu sisi dan kehilangan keseimbangan harus dilakukan untuk menilai
keberadaan komplikasi hipertensi. Parameter pemantauan klinis lainnya yang dapat
digunakan untuk menilai progresivitasnya termasuk funduskopi perubahan pada pemeriksaan
mata, melihat hipertrofi ventrikel pada elektrokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi
ginjal. Parameter ini harus dipantau secara berkala karena setiap tanda kerusakan
memerlukan penilaian segera dan tindak lanjut. Tekanan darah harus dievaluasi 2-4 minggu
setelah memulai atau awal perubahan dalam terapi. Setelah nilai BP sesuai tujuan dicapai ,
dengan asumsi tidak ada tanda-tanda atau gejala progresivitas penyakit yang ada , tekanan
darah dapat dicek setiap 3-6 bulan (David, et al., 2008).
Pemantauan terhadap penyakit komorbid seperti dyslipidemia, gout maupun
diabetes perlu dipantau lebih ketat. Sementara itu pasien yang diterapi antagonis aldosterone
(eplerenone atau spironolactone), harus diceki konsentrasi kalium dan fungsi ginjal selama 3
hari dan kembali dicek lagi 1 minggu setelah inisiasi untuk mendeteksi potensi terjadinya
hyperkalemia (David, et al., 2008).













Terapi untuk hipertensi resisten adalah dengan melihat kombinasi obat
antihipertensi yang digunakan dengan komorbid yang menyertai. Pada umumnya kombinasi
ACEI atau ARB, CCB dan diuretic tiazid dapat ditoleransi dengan baik dan cukup efektif
sebagai terapi (David, et al., 2008).

k. HIPERTENSI PADA ANAK

Hipertensi pada anak sering dikarenakan memiliki riwayat keluarga yang
hipertensi pula dan memiliki kelebihan berat badan, resistensi insulin dan penyakit terkait
kardiovaskular. Tidak seperti hipertensi pada orang dewasa, hipertensi sekunder lebih sering
terjadi pada anak-anak dan remaja. Penyakit ginjal (misalnya, pielonefritis, glomerulonefritis)
adalah penyebab paling umum dari hipertensi sekunder pada anak-anak. Coarctation aorta
juga dapat menghasilkan hipertensi sekunder. Manajemen secara medis atau pembedahan
dari penyebab yang mendasarinya biasanya dapat menormalkan BP (Dipiro, 2008).
Nonfarmakologi :
Penurunan berat badan bagi yang kelebihan berat badan, merupakan hal terpenting dalam
terapi hipertensi esensial pada anak-anak (Dipiro, 2008).
Farmakologi :
ACE inhibitor , ARB , - blocker , CCB , dan diuretik tipe thiazide semua pilihan yang dapat
diterima pada anak-anak. ACE inhibitor, ARB, dan renin inhibitor langsung kontraindikasi
pada anak perempuan yang aktif secara seksual karena potensi efek teratogenik, dan pada
mereka yang mungkin memiliki stenosis arteri ginjal bilateral atau stenosis unilateral dalam
ginjal soliter. Seperti pada orang dewasa, pertimbangan untuk inisial agent harus didasarkan
pada adanya indikasi khusus atau kondisi yang menyertai (komplikasi) yang dapat menjamin
penggunaan agent tersebut (misalnya, ACE inhibitor atau ARB bagi mereka dengan diabetes
atau mikroalbuminuria) (Dipiro, 2008).

VIII. TAMBAHAN JAWABAN
1. Remodeling jantung
Remodeling jantung secara umum merupakan penentu perjalanan klinis gagal jantung (
HF ). Didefinisikan sebagai ekspresi genom yang mengakibatkan perubahan molekuler,
seluler dan interstitial dan dimanifestasikan secara klinis sebagai perubahan ukuran,
bentuk dan fungsi jantung akibat beban jantung atau cedera, remodeling jantung
dipengaruhi oleh beban hemodinamik, aktivasi neurohormonal dan faktor lainnya masih
dalam penyelidikan (Cohn et al, 2000).
Remodeling kardiak adalah ekspresi gen yang menghasilkan perubahan molekuler,
seluler, dan interstitial serta secara klinis bermanifestasi sebagai perubahan ukuran,
bentuk dan fungsi jantung. Remodeling dapat bersifat fisiologis maupun patologis.
Remodeling fisiologis adalah perubahan kompensasi dari dimensi dan fungsi jantung
dalam merespon proses fisiologis seperti olahraga dan kehamilan. Remodeling patologis
dapat muncul karena tekanan berlebihan (stenosis aorta, hipertensi), volume berlebihan
(regurgitasi katup), maupun pasca infark miokard dan miokarditis. Proses
remodeling kardiak sangat dipengaruhi oleh beban hemodinamik, aktivasi
neurohormonal, faktor endotelin, sitokin, nitric oxide, dan stres oksidatif. Proses yang
dapat terjadi dalam remodeling antara lain pemanjangan kardiomiosit, dinding ventrikel
menipis, ekspansi daerah infark, inflamasi dan reabsorpsi jaringan nekrosis,
pembentukan jaringan parut, hipertrofi miosit, kehilangan miosit berkelanjutan, dan
akumulasi kolagen pada interstisial kardiak (Darmadi, 2013).

2. Arterosklerosis
Atherosklerosis sejauh ini merupakan penyebab paling umum dari unstable angina.
Aterosklerosis adalah penumpukan bahan lemak yang disebut plak di sepanjang dinding
arteri. Hal ini menyebabkan arteri menjadi menyempit dan kurang fleksibel.
Penyempitan menyela aliran darah ke jantung, menyebabkan nyeri dada (Dugdale and
Michael, 2012).
Hubungan Hipertensi dengan artero sklerosis Hipertensi dapat menyebabkan disfungsi
endotel. Shear stress akkibat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi endotel. Endotel
yang sehat akan mengeluarkan Nitric Oxide (NO) yang nantinya berperan mengatur
dilatasi dan konstriksi pembuluh darah secara seimbang. Pada keadaan endotel yang
mengalami disfungsi menyebabkan penurunan kadar Nitric Oxide sehingga akan timbul
efek proinflamasi, prokoagulan, dan protrombotik yang bisa mengubah struktur
pembuluh darah. Hipertensi juga akan mengaktivasi berbagai enzim yang pada akhirnya
akan meningkatkan stres oksidatif tehadap pembuluh darah. Kombinasi dari disfungsi
endotel dan stres oksidatif ini akan mempercepat proses aterosklerosis yang pada
akhirnya dapat menyebabkan Penyakit Jantung Koroner (Napitupulu, 2011).

3. Pada pjk bisa terjadi remodeling apa tidak?
Left ventricular di jantung dapat mengalami proses remodelling karena remodelling itu
sendiri di picu oleh overload volume yang berkepanjangan , hilangnya kontraksi miosit
dari miokard infark (yang erat kaitannya dengan PJK) ,kelainan genetik dari contractile
proteins dan terpapar oleh agent cardiotoxic (Sutton John , 2009)


4. Apa pjk bisa menyebabkan gagal jantung?
PJK merupakan suatu kondisi dimana terjadi penyempitan arteri koroner sehingga supply
darah ke jantung menurun dan supply oksigen ke jantung juga menurun. Sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan fungsi jantung. Ketika supply darah ke jantung
menurun maka darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri menuju ke seluruh tubuh juga
menurun cardiac output menurun darah yang dipompakan tidak mencukupi untuk
kebutuhan metabolic tubuh gagal jantung
Selain itu juga ketika supply darah dan oksigen yang menuju jantung menurun maka
terjadi penurunan fungsi otot jantung untuk berkontraksi kemampuan jantung untuk
memompa darah menurun bisa gagal jantung.

5. Terapi inotropik + untuk terapi PJK saja atau HF saja atau keduanya?
Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium)
dan digunakan untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana jantung gagal untuk
memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan tersebut terjadi karena
jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu hal otot jantung menjadi lemah. Beban
yang berat dapat disebabkan oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau
kelainan sejak lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna.
Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu
a. Glikosida jantung
Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea yang
kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin. Keduanya bekerja sebagai
inotropik positif pada gagal jantung.
Digoksin,
Digitoksin
b. Penghambat fosfodiesterase
Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim fosfodiesterase yang
selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini menyebabkan peningkatan kadar
siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium
intrasel.
Milrinon
Aminiron
Pengobatan menggunakan inotropik negatif digunakan untuk penyakit jantung koroner
yang bekerja dengan cara menurunkan kontraktilitas miokard, dan digunakan untuk
mengurangi beban kerja jantung.
Contohnya: beta blocker (Carvedilol, Bisoprolol, metoprolol), Calcium channel blocker
(Diltiazem, Verapamil, Clevidipine)

6. Terapi kronotropik+ untuk terapi PJK saja atau HF saja atau keduanya?
Terapi Kronotropik dibedakan menjadi 2 yaitu kronotropik negative dan kronotropik
positif. Obat kronotropik positif adalah Obat yang dapat menimbulkan efek
meningkatkan denyut jantung sedangkan obat kronotropik negative adalah obat yang
dapat menyebabkan penurunan denyut jantung. Obat kronotropik positif contohnya
adalah Obat beta1 agonis (Dobutamin), Epinefrin, Isoproterenol. Sedangkan obat
kronotropik negatif contohnya beta bloker, CCB nondihidropiridine (Verapamil,
Diltiazem), Digoxin (Gunawan, 2007 dan Gormer, 2007).
Obat kronotropik positif tidak digunakan pada PJK karena dengan peningkatan denyut
jantung makan akan semakin meningkatkan kebutuhan oksigen di jantung dan akan
semakin memperparah kondisi PJK.
Beta bloker yang memiliki sifat inotropik negative dan kronotropik negative digunakan
sebagai terapi pada Heart Failure dan Digoxin yang memiliki efek inotropik positif dan
kronotropik negative juga digunakan sebagai terapi Heart Failure (Cimahendra, 2013).

7. Mekanisme nitrat sbg vasodilator dan mekanisme toleransi nitrat dan KIE untuk
penggunaan nitrat
Secara in vivo senyawa nitrat merupakan pro drug yaitu menjadi aktif setelah
dimetabolisme dan menghasilkan nitrogen monoksida (NO). Biotransformasi senyawa
nitrat yang berlangsung di intraseluler ini dipengaruhi oleh adanya reduktase ekstrasel
dan reduced tiol (glutation) intrasel. Nitrogen monoksida akan membentuk kompleks
nitrosoheme dengan guanilat siklase dan menstimulasi enzim ini sehingga kadar cGMP
meningkat. Selanjutnya cGMP akan menyebabkan defosforilasi miosin, sehingga terjadi
relaksasi otot polos. Mekanisme kerja yang kedua yaitu akibat pemberian senyawa nitrat,
endotelium akan melepaskan prostasiklin (PGI2) yang bersifat vasodilator. Berdasarkan
kedua mekanisme ini, senyawa nitrat dapat menimbulkan vasodilatasi, dan pada akhirnya
menyebabkan penurunan kebutuhan dan peningkatan suplai oksigen (Gunawan, 2007).

8. Hubungan pjk dan hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK.
Komplikasi ini bisa terjadi karena pada hipertensi terjadi perubahan struktur arteri dan
arterial sistemik terutama pada kasus hipertensi yang tidak diobati. Pada hipertensi kronis
kan terjadi hipertopi dan penebalan fibrosis pada ventrikel kiri yang akhirnya akan terjadi
penyempitan pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi juga dapat
menyebabkan trauma langsung pada pembuluh darah arteri koroner sehingga
memudahkan terbentuknya arterosklerosis koroner. Hal ini menyebabkan angina
pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lbih sering didapatkan pada penderita
hipertensi dibandingkan dengan orang normal (Djohan, 2004).

9. CCB yang boleh untuk angina yang mana? kenapa?
CCB dibagi menjadi 2 yaitu dihidropiridine dan nondihidropiridine. Dihidropiridine
merupakan golongan CCB yang memblok kalsium untuk masuk ke sel pembuluh darah
darah perifer sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Ketika terjadi
vasodilatasi pembuluh darah perifer maka akan terjadi feedback ke jantung untuk
meningkatkan kontraksi karena jantung mempersepsikan bahwa terjadi pengurangan
suplay darah di pembuluh darah perifer ketika obat ini digunakan pada pasien angina
maka akan semakin meningkatkan kebutuhan oksigen di jantung dan akan semakin
memperparah kondisi angina pasien. Jadi golongan CCB dihidropirine dihindari pada
pasien angina.
CCB non dihidropiridine adalah obat yang memblok masuknya kalsium pada sel otot
jantung sehingga dapat menurunkan kontraksi jantung yang digolongkan pada obat
kronotropik negative dan sebagai terapi yang diperbolehkan pada kondisi angina.

10. Retensi Natrium dan air
Natrium diabsorpsi secara aktif, setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini
natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk
mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya
mencapai 90-99 % dari yang dikonsumsi, akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran
urin ini diatur oleh hormon aldosteron yang dikeluarkan kelenjar adrenal. Pada hipertensi
terjadi pembentukan angiotensin II yang akan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi natrium dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
natrium akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler
yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Bila kadar Na darah
menurun, Aldosteron akan merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na kembali (Sukandar,
1980).

11. Kenapa captopril bikin batuk kering?
Obat ini menyebabkan batuk kering yang persisten pada 5%-35% pasien yang
menggunakannya. ACE inhibitor [seperti kaptopril, enalapril maleat, danlisinopril]
bekerja menurunkan tekanan darah dengan memblok pembentukan angiotensin II dari
angiotensin I. Angiotensin II bertanggung jawab dalam reabsorpsi cairan di ginjal.
Intinya, angiotensin II mengurangi cairan tubuh yang dibuang melalui ginjal sebagai
urin. Jika angiotensin II tidak terbentuk, maka cairan tubuh banyak yang keluar sebagai
urin. Sehingga, cairan tubuh yang keluar dari urin adalah hasil saringan darah di ginjal.
Banyak elektrolit terlarut di dalamnya termasuk ion-ion natrium yang merupakan salah
satu substansi yang bertanggung jawab terhadap terjadinya hipertensi. Selain itu, jika
volume darah berkurang, maka beban jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh
berkurang, tekanan darah kembali normal. Di lain sisi angiotensin II dapat
menghancurkan bradikinin (salah satu substansi yang diproduksi tubuh secara alami).
Bradikinin inilah yang menstimulasi batuk kering. Jadi, kalau angiotensin II dihambat
pembentukannya, maka kadar bradikinin dalam tubuh meningkat dan terakumulasi di
saluran pernafasan sehingga menyebabkan batuk kering. Efek samping yang disebabkan
oleh ACE inhibitor tidak tergantung dosis (Medscape, 2013).

IX. PEMBAHASAN KASUS

Ny. Siska 40 tahun, BB 60 kg, TB 155cm MRS sejak tadi malam karena dada terasa nyeri,
mual muntah, mengeluh pusing dan tidak bisa bangun, dypsnea, leher terasa kaku, muka
merah. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mendiagnosa pasien mengalami hipertensi
stage 2 dan sudah mengalami komplikasi berupa gagal ginjal akut dan jantung koroner.
Riwayat penyakit : preeklamsi saat kehamilan pertama, Hipertensi sejak 3 tahun yang lalu
(tidak terkontrol ), DM tipe 2 sejak 4 tahun yang lalu.
Riwayat keluarga : ayah meninggal karena jantung koroner 10 tahun yang lalu, ibu
menderita DM tipe 2.
Gaya hidup : merokok dan minum alkohol saat muda dan berhenti setelah menikah, suka
makan makanan asin, sering stress karena pekerjaan dan mengurus anak-anak.
Riwayat pengobatan : metildopa 750mg (2-4 dosis terbagi) saat preeklamsi, thiazide
12,5mg 1dd1 + kaptopril 25mg 2dd1 untuk hipertensi (namun jarang diminum karena px
tidak tahan terhadap efek samping kedua obat tersebut), metformin tab 500 mg.
Tanda klinis : BP 165/ 110 mmHg ; RR 24x/menit (n=20-24); Nadi 88x/menit (n=70-85) ;
pucat ; lemas, dypsnea, adanya edema di anyaman kapiler paru.
Data Lab : Na 150 mEq/L (n =135145 mEq/L) ; K 5,0 mEq/L (n=3.34.9 mEq/L) ; Scr 2,0
mg/dL (0.71.3 mg/dL) ; BUN 27 mg/dL (n=825 mg/dL) ; GD2JPP 250 mg/dL
(n<200 mg/dL) ; GDP 160 mg/dl (n=<126 mg/dL); troponin I 4,2 ng/mL (n = <0,35
ng/mL); troponin T 3,2 (n = <0,20 g/L); INR 1,0 (n = < 2,0); Plt 268x10
3
/mm
3
(n =
150-450 x 10
3
/mm
3
); CK-MB 6% (n = <4-6%).
ECG : 2-5 mm ST segment elevation
Pertanyaan dan Jawaban :
1. Apa yang menjadi factor risiko hipertensi pada pasien?
Pasien memiliki resiko turunan dari orang tua nya
Stress
Merokok
Minum alcohol
Suka makan asin
Tidak patuh minum obat

2. Mekanisme HTN menyebabkan PJK!
Hipertensi dapat menyebabkan disfungsi endotel. Shear stress akkibat hipertensi dapat
menyebabkan disfungsi endotel. Endotel yang sehat akan mengeluarkan Nitric Oxide
(NO) yang nantinya berperan mengatur dilatasi dan konstriksi pembuluh darah secara
seimbang. Pada keadaan endotel yang mengalami disfungsi menyebabkan penurunan
kadar Nitric Oxide sehingga akan timbul efek proinflamasi, prokoagulan, dan
protrombotik yang bisa mengubah struktur pembuluh darah. Hipertensi juga akan
mengaktivasi berbagai enzim yang pada akhirnya akan meningkatkan stres oksidatif
tehadap pembuluh darah. Kombinasi dari disfungsi endotel dan stres oksidatif ini akan
mempercepat proses aterosklerosis yang pada akhirnya dapat menyebabkan Penyakit
Jantung Koroner (Napitupulu, 2011).
3. Sebutkan kaitan data lab dengan penyakit yang diderita pasien!
Troponin :
Troponin adalah kompleks tiga protein kontraktil yang mengatur interaksi
aktin dan myosin. Troponin I dan troponin T, memiliki subunit otot-spesifik jantung.
Troponin terdeteksi beberapa jam sampai 7 hari setelah timbulnya gejala kerusakan
miokard. Troponin I dianggap penanda lebih spesifik dari kerusakan jantung dari troponin
T. Cardiac troponin I mulai meningkat 2 sampai 6 jam setelah infark miokard (MI).
Memiliki puncak biphasic: Awalnya puncak pada 15 sampai 24 jam setelah MI dan
kemudian menunjukkan puncak lebih rendah setelah 60 sampai 80 jam. Troponin T
jantung meningkat 2 sampai 6 jam setelah MI dan tetap tinggi. Kedua protein kembali ke
kisaran referensi 7 hari setelah MI (Anne, 2006).

CK-MB
CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase (CK) yang berada di jantung. Enzim ini
berperan dalam penyimpanan energi intraseluler dan pelepasan energi. Ketika terjadi
cedera pada jaringan jantung, enzim ini akan dilepaskan kedalam aliran darah. Pengukuran
kadar serum CK-MB dapat membantu menentukan luas, lokasi, dan waktu kerusakan
jaringan. CK-MB biasanya muncul pada 6-24 jam, dan hilang dalam 72 jam. CK-MB
berada dalam sitosol dan memfasilitasi pergerakan fosfat berenergi tinggi ke dalam dan
keluar dari mitokondria. Selanjutnya akan didistribusikan di sejumlah jaringan bahkan di
otot rangka. Karena memiliki durasi pendek, CK-MB tidak dapat digunakan untuk
diagnosis IMA (Infark Miokard Akut) yang telat diagnosis, tetapi dapat digunakan untuk
menunjukkan reinfark kembali. CK-MB biasanya kembali normal dalam waktu 2-3 hari.
Peningkatan skor pada CK-MB mengindikasikan resiko angina pectoris berat maupun
iskemik reversibel. Kadarnya akan meningkat dalam waktu 4-8 jam setelah IMA dan nilai
normal dari CK-mb ADALAH <16 IU (Anne, 2006).

INR
Protrombin Time (PT) adalah tes koagulasi yang dilakukan untuk mengukur waktu yang
dibutuhkan fibrin clot untuk terbentuk setelah jaringan tromboplastin (faktor III).
Protrombin adalah vitamin K-dependent protein yang diproduksi di hati. Rumus
International Normalized Ratio ( INR ) sebagai berikut : INR = (patient PT result/normal
patient average)
(ISI)
(Anne, 2006).

Serum Creatinine
kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Sebagian besar Creatine terdapat
di otot rangka yang berperan dalam reaksi metabolisme. Dalam proses ini, sejumlah kecil
creatine ireversibel dikonversi menjadi kreatinin, yang kemudian dialirkan ke ginjal dan
diekskresikan. Jumlah kreatinin yang dihasilkan sebanding dengan massa saat otot rangka
dan konstan, kecuali ada kerusakan otot akibat cedera atau penyakit otot degeneratif. Nilai
kreatinin menurun dengan bertambahnya usia karena berkurangnya massa otot. Meskipun
pengukuran kreatinin urin merupakan indikator fungsi ginjal, uji bersihan kreatinin lebih
tepat. Uji bersihan kreatinin bertujuan mengukur sampel darah dan sampel urin untuk
menentukan tingkat ginjal dalam membersihkan kreatinin dari darah, secara akurat
mencerminkan laju filtrasi glomerulus (Anne, 2006)..

Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah senyawa nitrogen nonprotein yang terbentuk di hati dari amonia sebagai
produk akhir metabolisme protein. Urea berdifusi bebas ke dalam cairan ekstraseluler dan
intraseluler dan akhirnya diekskresikan oleh ginjal. Tingkat Blood Urea nitrogen (BUN)
mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea. Nilai BUN dan kreatinin
biasanya dievaluasi bersama-sama. Nilai normal BUN/kreatinin adalah 15:1 untuk 24:1.
(misalnya, jika pasien memiliki BUN 15 mg / dL, kreatinin sekitar 0,6-1,0 mg / dL).
Perhitungan BUN menggunakan rumus berikut untuk memperkirakan osmolalitas serum
[(2[Na
+
])+(glucose/18)+(BUN/2.8)] (Anne, 2006).

4. Bagaimana mekanisme DM menyebabkan hipertensi?
Tidak terkontrolnya metabolisme state
Insulin resisten mungkin menyebabkan abnormalitas pada (Jacto, 2001):
- Renal tubular ion exchange.
- Transmembrane ion exchange in vascular bed.
- Renin angiotensin system.
- Prostaglandin kallikrein/kinin system.
- Inter-relationship with Mg.
- Atrial natriuretic peptide.
- Diabetic nephropathy.
- Sympathetic nervous system involvement.
- Other endocrine syndromes/secondary causes
5. Apa efek preeklamsi yang dialami pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol?
Efek hipertensi tidak terkontol selama kehamilan (aynurhaqim, 2013):
- Pada janin: janin meninggal, plasenta terputus, pertumbuhan terganggu.
- Pada ibu: gagal ginjal, kerusakan hati, kejang-kejang hingga meninggal.

6. Buatlah management terapi yang tepat untuk pasien ini (untuk hipertensi, CKD, DM
dan jantung Koroner Stemi).
- Managemen Terapi hipertensi yang disertai CKD dan DM

Gambar 1 (dipiro)
Jadi terapi hipertensi untuk pasien ini Kombinasi anti hipertensi yang
direkomendasikan pada pasien ini adalah golongan ACE inhibitor dan ARB (Dipiro,
2008).
- Managemen Terapi untuk CKD dengan DM :
ACE inhibitor atau ARB (dapat menurunkan progresi terjadinya CKD)
- Managemen Terapi untuk DM :
Metformin dihentikan karena nilai Scr pasien tinggi (>1,4) dimana penggunaan
metformin harus dihentikan pada pasien dengan nilai Scr >1,4. Jadi untuk terapi
diabetes diganti dengan Tolbutamine dosis rendah 0,5 -1,5 mg/hari dalam dosis
terbagi. Tolbutamide dapat digunakan untuk pasien DM dengan gangguan ginjal
(BPOM RI, 2008).

- Manajemen PJK Stemi :
Clopidogrel 75 mg 1 kali sehari dengan atau tanpa makanan tidak diperlukan
penyesuaian dosis pada pasien lanjut usia atau dengan kelainan fungsi ginjal (BPOM
RI, 2008).

7. Cari level evidence perbandingan efikasi ACEI dan ARB pada hipertensi + CKD
Dari beberapa penelitian diatas disimpulkan bahwa ACE inhibitor memiliki efektivitas
lebih signifikan dibandingkan ARB dalam menurunkan resiko cardiovascular. Kemudian
untuk perkembangan kidney disease ACE inhibitor memiliki efektivitas yang sama dengan
ARB. Kemudian untuk kombinasi keduanya menurut kedua jurnal keuntungan yang
didapatlan lebih sedikit dibandingkan efek samping yang muncul akibat kombinasi obat
keduanya sehingga kombinasi kedua obat ini kurang sesuai.

8. Cari level evidence perbandinganefikasi ACEI dan ARB pada hipertensi + DM
ACEI
Berdasarkan data yang luas, acei menunjukkan efek renal-protective dan juga pada
kardiovaskular pada pasien DM. Selain itu juga tidak tll berefek pada lipid dan
metabolisme karbohidrat. Acei ini berperan dalam aksi bradikinin yang dapat
mempotensiasi sensitivitas dr insulin yang menginduksi uptake glukosa. Namun jika Scr
<2,5 mg/dl maka tdk bias diberikan acei krn dikhawatirkan terjadi hiperkalemi (WHO,
2000).
ARB
Second line ada efek dalam mencegah terjadinya nefropati pada pasien dengan
mikroalbumin (WHO, 2000).

9. Evidence base perbandingan efikasi Thiazide dan valsartan pada pasien hipertensi
Untuk perbandingan secara langsung dari ketiga obat tidak ditemukan di jurnal. Namun
ada evidence base tentang perbandingan penggunaan HCT, Valsartan dan Kombinasi
Keduanya. Dimana didapatkan hasil bahwa penggunaannya secara kombinasi
(Valsartan/HCT 320/25 mg) dapat menurunkan tekanan darah lebih besar dibandingkan
dengan penggunaan secara tunggal HCT 12,5 mg atau 25 mg ; Valsartan 160 mg atau 320
mg. Dan penggunaan kombinasinya lebih bisa ditoleransi terkait dengan efek hipokalemi
dibandingkan dengan HCT tunggal (Pool et al, 2007).


















10. Terapi non farmakologi pada pasien!
Perubahan lifestyle termasuk penurunan berat badan, olahraga dan dietary adjustment
kemungkinan dapat mencegah dan mengontrol hipertensi. Berikut adalah tabel
rekomendasi terapi non farmakologi pada px hipertensi (Califf et al., 2007).






























































DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. 2002. Diagnosis dan Pelaksanaan Depresi Pasca Stroke. Jakarta : Cermin Dunia
Kedokteran.
Anne, Todd R., and Lynette. 2006. Daviss Comprehensive Handbook of Laboratory and
Diagnostic Tests with Nursing Implications, 2nd edition. Philadelphia : F. A. Davis
Compay.
Anonim. 2010. Diktat Farmakologi Keperawatan. Banjarbaru: FK UNLAM.
Anonim. http://www.medscape.com/viewarticle/739521?src=mp&spon=30. Diakses tanggal
6 Oktober 2013
Aram, V. et al. 2003. Hypertension : Seventh Report of Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure.
Aram, V. Chobanian M.D. 2007. Isolated Systolic Hypertension in the Elderly. The new
England Journal of Medicine. N Engl J Med. Volume 357:789-96.
Aynurhaqim. 2013. Manfaat Penurunan Tekanan Darah pada Ibu Hamil.
www.aynurhaqim.wordpress.com. Diakses tanggal 6 Oktober 2013 pukul 21.50.
Ball, Stephen G and White, William B. 2003. Debate: Angiotensin-Converting Enzyme
Inhibitor Versus Angiotensin II Receptor Blockers-A Gap in Evidence-Based
Medicine. The American Journal of Cardiology. Vol. 91 (104).
BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. Jakarta : BPOM.
Califf, R.M., Prystowsky, E.N., Thomas, J.D., Thompson, P.D. 2007. Textbook of
Cardiovascular Medicine , 3
rd
Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Carlos A. Feldstein, MD. 2013. Nocturia In Arterial Hypertension: A Prevalent,
Underreported, And Sometimes Underestimated Association. USA: Elsevier Pub.
Chisholm-Burns, et al. 2008. Pharmacotherapy principles and Practice. New York: Mc
Graw Hill.
Cimahendra, Agus. 2013. Gagal Jantung pada Masa kehamilan sebagai Konsekuensi
Kardiomiopati Peripartum. CDK-202.Vol 40 (3) : 182-191
Chobanian, Aram V. et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
Hypertension. 2003;42:1206-1252.
Cohn, JN, Ferrari R, Sharpe N. 2000. Cardiac remodeling--concepts and clinical implications:
a consensus paper from an international forum oncardiac remodeling. Behalf of an
International Forum on Cardiac Remodeling. Journal Am Coll Cardiol 2000 Mar
1;35(3):569-82.
Consumer Report Health. 2011. Using Calcium Channel Blockers to treat: High Blood
Pressure and Heart Disease Comparing Effectiveness, Safety, and Price.
Consumer Reports Health Best Buy Drugs.
Darmadi. 2013. Patofisiolagi dan Tata Laksana Remodelling Kardiac. CKD-208. Vol. 40 (9).
Das, et al. 2001. Management of Hypertension in Diabetes Mellitus. Journal Indian Academy
of Clinical medicine. Vol 2 No 1: Page 30-31.
David, A., et al. 2008. Resistant Hypertension: Diagnosis, Evaluation, and Treatment
Guidelines. New York : AHA Scientific Statement.
Delmi RA. 2010. Penyakit jantung koroner. http://www.scribd.com/doc/30488417/ Penyakit-
Jantung-Koroner [19 Agustus 2010].
Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta :
DEPKES.
Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. New York : The Mc. Graw
Hill Company.
Dipiro, et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach 7th Edition. New York :
McGraw Hill Company.
Djohan, T Bahri Anwar. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensi. e-USU
Repository.
Doerge, Robert F. 1989. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Dugdale, David C. And Michael A. Chen. 2012. Unstable angina. Medline Plus.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000201.htm.
Dussol, B., et al. 2004. A Randomized Trial of Furosemid vs Hydrochlorothiazide in Patients With
Chronic Renal failure and Hypertension. Journal of Nephrology Dialysis Transplantation.
Volume 20 : 349-353.
Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi pada Pasien Infark Miokard Akut St-Elevasi (Stemi)
yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Semarang :Program
Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Fauci, A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L., Loscalzo
J. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine Seventeenth Edition. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Finnerty, Frank A, et al. 1977. Long-Term Effects of Furosemide and Hydrochlorothiazide in
Patients With Essential Hypertension A Two-Year Comparison of Efficacy and
Safety. ANGIOLOGY vol. 28no. 2 125-133.
Gormer, Beth. 2007. Farmakologi Hipertensi. Terjemamahan oleh Diana Lyrawati.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Guyton, Arthur C. 1990. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 5 Bagian 1. Jakarta: EGC.
Hall, John E. 2003. The Kidney, Hypertension, and Obesity. Hypertension. 2003;41:625-633.
Hannson, et al. 2009. Effect of angiotensin-converting-enzyme inhibition compared with
conventional therapy on cardiovascular morbidity and mortality in hypertension:
the Captopril Prevention Project (CAPPP) randomised trial.
Hermida, et al. 2010 . Circadian Rhythms in Blood Pressure Regulation and Optimization of
Hypertension Treatment With ACE Inhibitor and ARB Medications.
Kee, Joyce L.1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan, Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Koda, M.A, Young, L.Y, etc. 2009. Applied Therapeutics- The Clinical Use Of Drugs (8th
Ed 2009). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. USA.
Mancia, et.al. 2013. ESH/ESC Guidelines for the Management of Arterial Hypertension.
Journal of Hypertension Europe vol 31 no 7: 1281-1357.
Marie, A., et al. 2008. Pharmacotherapy : Principles & Practice. USA : McGraw Hill
Company.
Marliani, L., dan Tantan S. 2007. 100 Questions & Answer : Hipertensi. Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo.
Morgado, Elsa. 2012. Hypertension and Chronic Kidney Disease: Cause and Consequence
Therapeutic Considerations. Portugal : Nephrology Department, Hospital of Faro.
Napitupulu, Edward Yando (2011) Pengaruh Kadar Glukosa Darah Sewaktu Terhadap
Keluaran Neurologik Pada. Masters thesis, Diponegoro University.
National Heart, Lung, and Blood InstitutePrevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee
on : JNC 7 express.
Nephrol, Samin. 2005. Treatment of hypertension in chronic kidney disease. Department of
Medicine, University of Texas Southwestern Medical Center at Dallas, Dallas, TX
75390-8856, USA. Robert.toto@utsouthwestern.edu. NCBI.
Niskanen, et al. 2001 . Reduced Cardiovascular Morbidity and Mortality in Hypertensive
Diabetic Patients on First-Line Therapy With an ACE Inhibitor Compared With a
Diuretic/-BlockerBased Treatment Regimen.
Oparil, et al. 2003. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med. Volume 139:761-776.
Overbaugh, Kristen J. 2009. Acute Coronary Syndrome. AJN Vol. 109, No. 5.
Permana, Hikmat. 2005. Pengelolaan Hipertensi pada Diabetes Mellitus Tipe 2. Bandung :
Bagial Ilmu Penyakit Dalam FK UnPad.
Peterzan,Mark A., Rebecca Hardy, Nish Chaturvedi and Alun D. Hughes. 2012. Meta-
Analysis of Dose-Response Relationships for Hydrochlorothiazide, Chlorthalidone,
and Bendroflumethiazide on Blood Pressure, Serum Potassium, and Urate.
Hypertension. 2012;59:1104-1109.
Pool, MD James L et al. 2007. Comparison Of Valsartan/Hydrochlorothiazide Combination
Therapy At Doses Up To 320/25 Mg Versus Monotherapy: A Double-Blind,
Placebo Controlled Study Followed By Long-Term Combination Therapy In
Hypertensive Adults. Clinical Therapeutics. Vol 29 (1) : 61-73.
Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. 2009. Prevalensi Hipertensi dan
Determinannya di Indonesia. Maj Kedokteran Indonesia. Vol 59 (12) : 580 586.
Rasidin D. Asuhan keperawatan pada jantung koroner. http://www.scribd.com/doc/
13417068/Asuhan-Keperawatan-Pada-Jantung-Koroner (8 Oktober 2013).
Robertson, M.D. 2008. Article: The Pathophysiology And Diagnosis Of Orthostatic
Hypotension. Autonomic Dysfunction Center Depts. of Medicine and
Pharmacology Vanderbilt University. USA.
Team Clinical Pharmacology. 2009. Guidelines for The Management of Hypertension.
University of Cambridge : Clinical Pharmacology Unit.
Team CPG. 2008. Clinical Practices Guidelines: Management of Hypertension 3
rd
Edition.
Malaysia : Medical Development Division.
Sherwood, Lauralee. 2004. Human Physiology: From cells to system. 5
th
ed. California :
Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
Silverthorn, D.U. 2004. Human Physiology: An Integrated approach. 3
th
ed. San Fransisco:
Pearson Education.
Sowers,et al. 2001. Review Articel: Diabetes, Hypertension, and Cardiovascukar Disease an
Update. American Hearth Association. Volume 31: 1053-1059.
Sukandar, E.. 1980. Hipertensi Esensial : Patogenesa, Patofisiologi & Peranan -Blocker.
Artikel Cermin Dunia Kedokteran. Volume 19:9-21.
Sustrani, Lanny. 2004. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutton John. 2009. Reverse Remodelling in Heart Failure With Cardiac Resynchronisation
Therapy. Usa. Division of Cardiology, Department of Medicine, University of
Pennsylvania Medical Center. Vol 93. Pp 167-171.
WHO. 2006. Guidelines for the Management of Hypertension in Patients with Diabetes
mellitus. Cairo : World Health Organization.
Wiysonge, C.S., et al. 2012. Beta-blocker for Hypertension. Cochrane Database
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22895924. South Africa.
Woods, J., and Lancet. 1967. Oral Contraceptives and Hypertension. UK: British Medical
Journal.

Anda mungkin juga menyukai