Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA DENGAN

PERKEMBANGAN ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA


Oleh: Miftahul I lmi1[1]
083112351550017

A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri. Di
manapun, bilamanapun dan dalam keadaan bagaimanapun, manusia senantiasa memerlukan
kerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak mengenal batas karena
fitrahnya sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi.
Untuk mempertahankan hidupnya sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya,
manusia harus mampu memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar (basic needs) maupun
kebutuhan hidup sampingan (derived needs) yang justru lebih banyak dan lebih beragam.
Selain kebutuhan biologis, manusia menghadapi kebutuhan sosial dan integritas yang tidak
mudah dipenuhi tanpa kerjasama dengan sesamanya. Oleh karena itulah manusia senantiasa
mengembangkan persekutuan sosial (social group) dan pengendaliannya (social
organization) demi ketertiban bermasyarakat. Tanpa disadari, persekutuan sosial dengan
perangkat kelembagaannya menciptakan lingkungan (hidup) sosial yang menuntut para
anggotanya untuk menyesuaikan diri, sebagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap
lingkungan hidup alamnya.
Kemampuan akal manusia untuk mempersatukan (to assimilate) khasanah alam ke
dalam ranah kebudayaan dan melihat diri dan orang lain sebagai bagian dari lingkungannya
itulah pangkal perwujudan lingkungan sosial. Manusia hidup dalam lingkungan yang
mereka manfaatkan, bukan untuk disalah gunakan, bersama orang lain yang membentuk
suatu lingkungan (humam ecology) yang merupakan bagian dari lingkungan hidup yang
lebih luas (natural ecology) sebagai kenyataan.2[2] Oleh karena itu manusia lebih banyak




dituntut untuk beradaptasi terhadap lingkungan sosial yang mereka ciptakan berdasarkan
pemahaman kebudayaannya dari pada menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam
semata-mata.3[3]
Administrasi sebagai ilmu mempunyai sifat umum dan universal dalam arti
memiliki unsur-unsur yang sama, dimanapun dan kapanpun ilmu administrasi diterapkan.
Namun diketahui bahwa dalam satu sistem administrasi negara sendiri masih dijumpai
subsistem administrasi dari suatu kelompok masyarakat yang menggambarkan hubungan
pengaruh antara administrasi negara dengan lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun
lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu dengan mengkaji ekologi administrasi negara
yang merupakan salah satu cabang ilmu administrasi, kita dapat menerangkan hubungan
timbal balik yang terjadi antara lingkungan hidup (environment) dimana administrasi
negara itu tumbuh dan berkembang dengan administrasi negara sendiri yang dianggap
sebagai organisme hidup (living organism).4[4]
Dalam kajian ilmu administrasi negara, terutama pada ekologi administrasi negara,
tinjauan kebudayaan memegang salah satu peranan yang cukup penting, karena kebudayaan
termasuk dalam salah satu unsur faktor-faktor ekologis yang beraspek kemasyarakatan
dalam tinjauan ekologis. Selain itu dalam aspek budaya dikaji pula berbagai pola perilaku
seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan
bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik, hukum, adat istiadat dan norma
kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat
setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban.5[5] Betapa








pentingnya kebudayaan pada suatu masyarakat, yang berarti bahwa segala sesuatu yang
terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu.6[6]

B. Kerangka Konseptual
Berbicara masalah perkembangan administrasi negara yang berkaitan erat dengan
perubahan lingkungan masyarakat yang ada disekitarnya terutama perubahan lingkungan
sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan administrasi negara tersebut. Studi
ekologi dalam administrasi negara dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai
administrasi negara yang sesuai dengan lingkungan penerimanya. Studi ekologi harus
diterjemahkan sebagai satu cara pandang untuk mendekati hubungan sistem administrasi
dengan faktor-faktor non-administrasi. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang
berkembang yang sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional
ke masyarakat modern. Hal itu harus dilakukan dengan adanya pembangunan masyarakat
secara keseluruhan dan berkelanjutan. Pola pembangunan berkelanjutan yang harus
dilakukan adalah yang akan menjamin biaya sosial yang maksimal dan berkelanjutan, serta
menjamin estafet pembangunan, secara terus menerus. Ada dua persyaratan yang secara
umum harus diperhatikan, yaitu pertama kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi,
kedua kesesuaian ekologi alam.7[7]
Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan
perubahan budaya karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun
demikian perubahan sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang
berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya
dan institusi sosial yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung terus-menerus dan





memberikan kesan positif atau negatif. Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan
fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke
keadaan lain.8[8] Seperti definisi perubahan sosial berikut yang dikemukakan oleh para ahli
sosiologi berikut ini:
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan
hubungan sosial.9[9] Perubahan sosial adalah merupakan variasi cara-cara hidup yang telah diterima baik
karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat.10[10] Perubahan sosial sebagai perubahan-
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.11[11] Perubahan sosial adalah perubahan
struktur sosial dalam organisasi sosial sehingga syarat dalam perubahan itu adalah sistem sosial, perubahan
hidup dalam nilai sosial dan budaya masyarakat12[12] Perubahan sosial sebagai perubahan dalam proses
sosial atau dalam struktur masyarakat.13[13] Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat.14[14]















Jadi, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan struktur dan
fungsi sosialnya. Oleh karena itu, perubahan sosial berkaitan erat dengan perubahan
kebudayaan dan seringkali perubahan sosial berakibat pada perubahan budaya.15[15] Jika
pengertian perubahan sosial telah diuraikan di atas maka apakah yang dimaksud dengan
perubahan sosial budaya itu? Berikut ini pengertian perubahan sosial budaya dari beberapa
tokoh:
Perubahan sosial budaya adalah perubahan situasi dalam masyarakats ebagai akibat adanya ketidaksesuaian
unsur-unsur.16[16] Perubahan sosial budaya adalah perubahan suatu budaya masyarakat secara bertahap
dalam jangka waktu lama.17[17]
Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan
demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pembangunan nasional yang dinilai
berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan
demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus
melibatkan masyarakat dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan
masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development).18[18] Suatu
pembangunan dapat berkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya dirasakan
secara meluas dan merata.









Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung
pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal
dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya atau dengan kata lain memberdayakan. Pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat
peoplecentered, participatory, empowering and sustainable.19[19]
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk
mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat
sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan
rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya
mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat
miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan
meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan
harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja
menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial
dan nilai tambah budaya.20[20]
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi
juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras,
disiplin, taat azas, taat waktu, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban adalah bagian
pokok dan upaya pemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang
sungguh penting. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat
erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi.





Kesemuanya itu merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara, yang berkewajiban
untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Dengan sendirinya
aparat negara atau administrasi negaralah yang memegang tanggung jawab utama
mewujudkan berbagal cita-cita dan keinginan membangun kehidupan yang lebih
baik.21[21]

C. Hubungan Lingkungan Sosial Budaya dengan Perkembangan Administrasi Negara
Banyak sekali definisi mengenai administrasi negara, yang secara umum dapat
dibagi dalam dua kategori. Pertama, definisi yang melihat administrasi negara hanya dalam
lingkungan lembaga eksekutif saja. Dan kedua, definisi yang melihat cakupan administrasi
negara meliputi semua cabang pemerintahan dan hal-hal yang berkaitan dengan publik.
Terdapat hubungan interaktif antara administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Di
antara berbagai unsur lingkungan sosial, unsur budaya merupakan unsur yang paling
banyak mempengaruhi penampilan (performance) administrasi negara.22[22]
Administrasi modern penuh dengan usaha untuk lebih menekan jabatan publik agar
mempersembahkan segala kegiatannya untuk mewujudkan kemakmuran dan melayani
kepentingan umum. Karena itu, administrasi negara tidak dipandang sebagai administrasi
of the public, tetapi sebaliknya adalah administrasi for the public. Hal yang umum
muncul di antara mereka adalah adanya harapan agar administrasi negara melakukan
kegiatan demi kepentingan umum dan selalu mengembangkan kemakmuran rakyat.23[23]

1. Perkembangan Administrasi Negara







Administrasi negara merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa
mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi. Berbagai
aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai
terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, bahkan kerajaan-kerajaan
di Nusantara pun, misalnya, sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi
oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan
administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya.24[24]
Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga
mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat
bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki
dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sosial budaya,
sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan
administrasi publik.
Pada dasarnya administrasi negara ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak
boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah
sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Administrasi
publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam
konsep administrasi. Bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu, administrasi
publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan
sosial.25[25] Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma
baru dalam ilmu administrasi. Apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh





masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa
pemenintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif.26[26]

2. Lingkungan Sosial Budaya Administrasi Negara dari Aspek Urbanisasi
Tentu saja banyak variabel yang menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Bahwa
orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang
dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan, serta daya tarik
kota dengan penghasilan tinggi.27[27] Dengan demikian, faktor pendorong (push factors)
dan faktor penarik (pull factors) sama-sama menjadi determinan penting dalam proses
urbanisasi tersebut. Oleh karena itu, urbanisasi sesungguhnya merupakan pilihan yang
rasional bagi penduduk desa dalam upaya mendapatkan pendapatan yang lebih baik
dibandingkan sewaktu mereka tetap bertahan di desa. Dengan kata lain, urbanisasi muncul
karena adanya kesenjangan atau gap dalam penyediaan fasilitas umum (public utilities)
antara desa dan kota, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan, komunikasi dan
informasi, hingga lapangan pekerjaan di berbagai bidang.28[28]
Ditinjau dari segi dampak, urbanisasi sebenarnya bersifat netral, dalam arti dapat
menimbulkan efek positif maupun negatif, tergantung dari intensitas urbanisasi tersebut.
Dalam beberapa hal, urbanisasi dapat memberi keuntungan baik bagi penduduk pedesaan
maupun perkotaan.29[29] Bagi penduduk desa, urbanisasi dapat mengurangi terjadinya









informasi yang keliru (asymmetric information) tentang suatu hal, sekaligus meningkatkan
hak masyarakat desa untuk ikut mengakses berbagai layanan umum. Sedangkan bagi
masyarakat perkotaan, arus urbanisasi bermanfaat sebagai penyedia tenaga kerja yang
mendukung proses industrialisasi dan perdagangan di perkotaan. World Bank sendiri
pernah melaporkan adanya korelasi positif antara tingkat urbanisasi di suatu negara dengan
tingkat pendapatan perkapita. Dalam kasus seperti ini, untuk mempercepat pembangunan
diperlukan peningkatan jumlah migran dan frekuensi urbanisasi atau migrasi desa-
kota.30[30]
Dari perspektif sebaliknya, urbanisasi juga dapat menimbulkan akibat yang
merugikan. Bagi wilayah pedesaan, urbanisasi akan mendorong terjadinya depopulasi di
pedesaan, sehingga mengurangi jumlah penduduk yang bermatapencaharian di bidang
pertanian. Pada gilirannya, kondisi ini berpotensi mengurangi produksi pangan dan
pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk kota. Sementara di wilayah perkotaan,
urbanisasi sering menjadi sumber bagi kasus-kasus pengangguran, perumahan kumuh, serta
kemiskinan yang akut akibat tidak imbangnya penawaran dan permintaan tenaga kerja
(excess of labor supply). Situasi seperti ini akan mengantarkan pada situasi lain berupa
rendahnya produktivitas dan meningkatnya inflasi.31[31] Sejalan dengan hal itu, bahwa
urbanisasi harus dikendalikan. Sebab, urbanisasi yang tidak terkendali bisa menimbulkan
dampak buruk bagi penduduk kota dan desa, serta pengaruh makro bagi negara.32[32]
Beberapa kerugian dari urbanisasi. Ia menyatakan bahwa terjadinya peralihan
tenaga kerja yang pindah dari pedesaan ke perkotaan yang tidak mampu ditampung dalam
sektor formal, mengakibatkan timbulnya deformasi secara drastis dan meluas pada sektor







jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi itu terjadi bukan karena adanya permintaan
yang melonjak akan jasa-jasa di sektor industri, namun lebih disebabkan oleh ketidak
mampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja.33[33] Dalam dimensi penataan
kota, keberadaan sektor jasa maupun informal juga melahirkan masalah dilematis di dalam
formulasi kebijakan tata kota. Di satu sisi pemerintah tetap ingin menghormati hak-hak
ekonomi mereka, tetapi di sisi lain eksistensi mereka cenderung membuat kota menjadi
semerawut dan tidak nyaman. Dalam kasus-kasus tertentu juga tampak, banyak kota sudah
kehilangan nilai-nilai historis dan budayanya yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
perekonomian di kawasan itu. Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan asal
daerah/etnik, juga menjadi salah satu ekses negatif yang timbul sehubungan dengan arus
urbanisasi. Adanya kampung Cina, kampung Jawa, kampung Batak, kampung Madura dan
lainnya, tentunya sangat potensial dalam menciptakan konflik antar warga yang berbasis
pada perbedaan etnik.34[34]
Masalahnya sekarang adalah bahwa urbanisasi adalah realitas yang kita hadapi.
Oleh karena itu, yang terpenting adalah memikirkan berbagai kebijakan yang komprehensif
untuk mengatasi dampak-dampak buruk yang ditimbulkan oleh urbanisasi. Membangun
fasilitas umum pedesaan seperti di perkotaan jelas suatu upaya yang teramat sulit. Dalam
konteks seperti ini, tiga upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut:
membangun fasilitas umum secara bertahap di pedesaan sehingga dapat mengurangi
kesenjangan desa-kota (providing some public utilities or social services in rural area);
mengembalikan beberapa kaum migran ke daerah asal setelah memperoleh keterampilan
tertentu (returning migrants to the region they come from); serta memberikan bantuan
keuangan dan pelatihan kepada kaum migran di bidang pengolahan pertanian dan industri





kecil (giving both financial assistance to agriculture and training unskilled labor
force).35[35]
Dalam kaitan dengan upaya pengendalian urbanisasi ini, pendekatan ekonomi yang
selama ini dipakai oleh pemerintah. Ia mengatakan bahwa pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan (growth center) maupun program kawasan terpadu (melalui peningkatan
produktivitas dan diversifikasi usaha tani, peningkatan kemampuan sumber daya manusia,
penguatan kelembagaan, pengembangan usaha ekonomi non-pertanian, peningkatan sarana
fisik desa, dan peningkatan landasan mutu lingkungan hidup) ternyata kurang efektif dalam
mencegah arus migrasi yang masuk ke kota. Sebagai gantinya, ia menawarkan pendekatan
budaya, dimana desa yang punya potensi budaya, sebetulnya bisa diangkat sebagai desa
wisata percontohan yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan ekonomi desa dan daerah.36[36]
Namun perlu ditekankan bahwa fakta seperti ini tidak berarti telah terjadi
pergeseran tujuan migrasi/urbanisasi ke wilayah pedesaan (non kota besar). Kesimpulan
yang lebih rasional adalah menurunnya daya dukung perkotaan (carrying capacity) seperti
lahan dan sarana perumahan untuk menampung migran baru. Dengan demikian, kawasan
perkotaan tetap menarik arus pendatang dari pedesaan, namun mereka cenderung tinggal di
wilayah pinggiran kota, yang secara administratif merupakan wilayah kabupaten yang
bertetangga dengan kota besar tadi.
Selain empat issu pokok (transportasi, PKL, kebersihan, dan kemiskinan),
banyaknya penduduk dan laju pertumbuhannya juga berpotensi menimbulkan masalah
sosial (social problems) seperti pengangguran, dan bahkan kriminalitas di perkotaan. Oleh
karena itu, kebijakan bidang kependudukan harus diperhatikan benar-benar, bukan hanya





untuk mencapai tertib administrasi kependudukan, namun juga memberi dasar yang kokoh
untuk berjalannya kebijakan di bidang lain secara optimal.
Selama ini, kebijakan yang banyak diterapkan di berbagai daerah untuk
mengendalikan laju urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni kebijakan
administratif, dan kebijakan non-administratif (ekonomis). Kebijakan administratif antara
lain berupa operasi yustisi (razia KTP, KIPEM Kartu Identitas Penduduk Musiman, KIK
Kartu Identitas Kerja, dll), serta Registrasi Penduduk Berbasis NIK.37[37] Sedangkan
kebijakan non-administratif antara lain adalah pembangunan pedesaan / growth pole dan
pemberdayaan masyarakat pedesaan, peningkatan sarana fisik pedesaan, diversifikasi usaha
tani, serta penguatan kelembagaan masyarakat pedesaan (P3A, LMD, LSM, dll).
Namun dalam prakteknya, kebijakan di atas belum mampu menjadi instrumen yang
efektif untuk menahan dan mengerem laju urbanisasi. Bahkan kebijakan tentang SIAK
(Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) secara nasional sehingga dapat
menghasilkan satu nomor registrasi untuk satu penduduk (NIK), belum dapat terelaisasikan
hingga saat ini karena terbentuk oleh kendala software dan hardware penunjangnya.
Sementara kebijakan ekonomis seperti pengembangan industri di pedesaan serta
peningkatan sarana fisik pedesaan jelas kurang feasible, karena membutuhkan anggaran
yang teramat besar serta jangka waktu yang teramat panjang. Itulah sebabnya, perlu segera
dipikirkan adanya kebijakan baru yang bersifat terobosan dan lebih inovatif, sehingga dapat
mencairkan kebuntuan kebijakan yang terjadi selama ini.38[38]

3. Revitalisasi Administrasi Negara
Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap
terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik,





alam, maupun hingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut
untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping
mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan
pengelolaan limbah. Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun
fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan
dengan kondisi kemiskinan di pedesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan
pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di
kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah
produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung,
sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
sesuai dan berkelanjutan.39[39]
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang
sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang tidak hanya menyangkut
wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau spasial.40[40] Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula
oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai
kehidupan komunitas.41[41] Juga, tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan
ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem
alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil.42[42] Namun pembangunan









berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi
juga lingkungan sosial. Untuk itu, diperlukan reformasi administrasi publik yang
menyeluruh dari pusat sampai daerah.
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya
melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya, mungkin adalah pendekatan yang
seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi.
Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan adalah pembaharuan
pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian,
pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya
bersifat struktural.43[43] Internalisasi nilai-nilai merupakan kunci terhadap peningkatan
kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap
birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya.44[44] Di dalamnya terkandung berbagai
unsur, antara lain sebagai berikut:
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang
acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya
jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan
pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap
jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan.
Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan
keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat
penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan
melalui saling-siIang gagasan (cross-fertilization).
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah pertanggung gugatan (accountability).
Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggung jawaban. Padahal





birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapal tujuan yang
lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan
dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang bersifat
hirarkis dari bawah ke atas, dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat
demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap
menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.
Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar.
Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam
menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi
masalah, juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara
menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat
diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi
pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara
bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan
memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk
dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat
dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk
merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam
rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan,
dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang
amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis
dan tradisional bersifat patenal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi
yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari
Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management yang
menuntut adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses.
Administrasi publik harus result-oriented dan bukan hanya effort-oriented.45[45]



D. Kesimpulan
Dalam menghadapi kecenderungan dan masa depan perkembangan administrasi
negara, terutama pengeruh perubahan lingkungan masyarakat terutama perubahan
lingkungan sosial budaya, harus ada antisipasi disertai upaya dan langkah yang tepat dalam
studi dan praktek administrasi negara. Tanpa upaya-upaya tersebut niscaya administrasi
negara di Indonesia akan ketinggalan dan tidak akan dapat memecahkan masalah-masalah
administrasi, dan pada gilirannya Bangsa Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Pengalaman empiris di berbagai negara menunjukkan bahwa pembangunan
berkelanjutan membutuhkan komitmen yang kuat dari penyelenggara pemerintahan dalam
merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Selain
itu, diperlukan administrasi negara yang efektif dan efesien yang mempertimbangkan aspek
lingkungan dalam segenap kebijakan serta dalam kerangka pembangunan demokrasi.
Partisipasi masyarakat juga merupakan kunci penting agar semua kebijakan yang
menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dapat dilaksanakan bukan hanya dengan
hasil yang baik tetapi juga mendapat dukungan yang luas dari masyarakat..
Urbanisasi yang tidak terkontrol mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan,
pengangguran, konflik antar suku dan rendahnya kualitas pendidikan merupakan masalah
yang amat kompleks dan dapat menjadi hambatan bagi pembangunan berkelanjutan.
Masalah ini merupakan hasil buruk dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh negara
yang bersangkutan dan masyarakat dunia. Ketika kita bicara pelestarian lingkungan,
kebijakan yang dibuat umumnya hanya menyangkut sektor formal, kita lupa bahwa banyak
rakyat miskin yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya dengan memanfaatkan
bahkan merusak lingkungan. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan, penyediaan
lapangan pekerjaan, mengontrol urbanisasi, dan meningkatkan kualitas pendidikan
merupakan conditio sine qua non bagi pembangunan berkelanjutan.



Daftar Pustaka
Budhisantoso
Pengelolaan Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya, Ekonomi Rakyat Edisi Juli 2002,
www.google.com.
Pamudji
Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara
Kencana, Inu, dkk
Ilmu Administrasi Publik, Hal, 140
Kartasasmita, Ginanjar
Revitalisasi Administrasi Publik dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, tersedi
pada: http://www.stialan.ac.id/orasi%20ginanjar.pdf
Syiham
Pengertian erubahan Sosia, tersedia pada: ttp://www.syiham.co.cc/2010/04/pengertian-
perubahan-sosial.html
Wikipedia
Perubahan Sosial Budaya, tersedia pada: http://id.wikipedia.com/wiki/perubahan sosial
budaya
Sinbadpoke

Anda mungkin juga menyukai