Anda di halaman 1dari 3

Oleh:M.

NafiulHaris

Membicarakan korupsi yang terjadi di negeri ini tidak akan pernah ada habisnya. Korupsi
sekarang ini, seolah mempunyai daya tarik tersendiri untuk menggait mangsanya. Itu terbukti
betapa banyak pejabat daerah yang terjerat hukum, betapa banyak dana yang dikorup, sampai
pada dampak kerusakan yang ditimbulkan. Kompas mencatat, lebih dari separuh provinsi
dipimpin kepala daerah bermasalah dengan hukum, terutama terkait dugaan korupsi
(Kompas,18/1/11).

Selain dugaan korupsi, hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah turut menimbulkan
konflik politik meskipun secara kasat mata tidak muncul dipermukaan publik. Ambil contoh
mundurnya Wakil Bupati Garut Dicky Candra dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto adalah
potret melemahnya tingkat konsolidasi pemimpin politik dipemerintahan daerah.

Secara kuantitas, pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan. Sebanyak
155 kepala daerah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi, 17 diantaranya masih menjabat
sebagai gubernur (Kompas, 9 Januari 2012). Hal ini membuktikan betapa bobroknya moralitas
hukum kepala daerah. Harapan masyarakat akan hadirnya pemimpin daerah yang sesuai aspirasi
masyarakat semakin pupus. Bahkan, ada anggapan bahwa, jika dahulu korupsi hanya "meracuni"
anggota DPRD dalam proses pemilu kepala daerah, maka kini racun itu telah menyebar
keseluruh lapisan masyarakat.

Kini, nyaris tidak ada kepala daerah yang tidak memakai jurus politik uang dalam meraih kursi
kepala daerah. Di sisi lain, masyarakat makin pragmatis, tidak akan mencoblos nomor sang calon
apabila tidak ada manfaat "konkrit" yang dirasakan. Tak diragukan, korupsi menjadi yang paling
menggelisahkan masyarakat daerah. Contoh kasus di Jawa Tengah sejak tahun 2000-2011 ada 20
mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi tersangka serta
seorang kepala daerah aktif, dua mantan wakil kepala daerah, dan seorang mantan gubernur
sedang diproses di pengadilan.

Kerugian negara ditaksir Rp 240 miliar. Itu baru kasus yang terungkap. Jadi mungkin lebih
banyak lagi apabila yang belum terungkap bisa terungkap di kemudian hari. Ironis memang tapi
itulah kenyataannya. Ironisnya lagi, semua kasus korupsi yang dilakukan para pejabat daerah itu
terjadi ketika mereka masih aktif baik menjadi kepala daerah atau stafnya. Dari 20 orang
tersebut, 13 orang sudah disidangkan, termasuk dua mantan kepala daerah yang divonis bebas di
tingkat pengadilan negeri, yakni mantan Bupati Demak Endang Setyaningdyah dan mantan
Wakil Bupati Karanganyar Sri Sadoyo. Adapun tiga mantan kepala daerah sudah meninggal,
sembilan belum disidangkan, dan dua kasusnya di-SP3-kan.

Melihat betapa banyak pejabat daerah aktif dan mantan pejabat daerah terlibat korupsi, adalah
hal yang memilukan. Banyaknya pejabat daerah dan mantan pejabat daerah terjerat kasus korupsi
mengingatkan pada semua pejabat daerah agar berhati-hati menjalankan pemerintahan. Sebab,
tidak ada jaminan habis masa jabatan berarti habis pula permasalahan. Bahkan bisa sebaliknya,
habis masa jabatan baru muncul masalah.

Namun yang lebih menarik lagi, dari sejumlah tersangka kasus korupsi masih tetap saja dilantik
sebagai kepala daerah. Sejak tahun 2008 sampai 2011 terjadi delapan kali pelantikan kepala
daerah yang berstatus tersangka dan terdakwa. Kasus terakhir pada 7 Januari 2011, Jefferson
Soleiman Rumajar dilantik sebagai walikota Tomohon periode 2010-2015 (Kompas, 9/1/12).
Waktu itu, Jefferson tersangkut kasus dugaan korupsi menggunakan dana di kas daerah untuk
kepentingan pribadi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 33,7 miliar.

Menurut pendapat para pengamat politik, para elite politik di pusat dan daerah cenderung korup
karena biaya sistem pemilu yang diterapkan terlalu mahal. Namun dalam kenyataan, ketika
kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dianggap berbiaya lebih murah, ternyata mereka juga
cenderung korup. Tampaknya mahal dan murah biaya pemilu tidak terlalu signifikan untuk
mengerem perilaku korup di daerah.

Berdasar fakta itu kita layak bertanya, apakah sistemnya yang jelek, orangnya yang jelek, atau
kedua-duanya? Mengapa pula meski sudah banyak mantan pejabat dan kepala daerah dipenjara,
para penggantinya tetap melanjutkan amal jelek yang diwariskan para pendahulu mereka?
Apakah barangkali mereka memang sengaja menjeratkan diri dalam korupsi? Mencederai
Reformasi

Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak
reformasi bergulir. Namun bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi birokrasi dan
penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan akibat cedera yang
bertubi-tubi. Terbukti, banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.

Reformasi yang semestinya bisa menekan kecenderungan korupsi yang pernah dilakukan
pemerintahan Orde Baru ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan
menyebarluaskan korupsi. Jika dulu parabupati, apalagi camat, sulit korupsi. Kini sampai kepala
desa pun banyak yang dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan
korupsi di semua level yang memiliki wewenang.

Bila dikaji lebih jauh, program pemberantasan korupsi, terutama di bidang reformasi birokrasi
dan penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan kampanye pencitraan politik
daripada benar-benar ingin direalisasikan. Itu bisa kita lihat dari fakta kepala daerah yang terlibat
korupsi. Mulai dari kepala daerah yang tidak memiliki prestasi memajukan daerah sampai yang
berprestasi gemilang pun terseret kasus korupsi.

Contoh yang terakhir bisa kita ambil kasus Kabupaten Sragen. Untung Wiyono selama menjabat
dikenal sebagai bupati yang sangat sukses melakukan program pelayanan satu atap. Intinya,
pelayanan satu atap adalah program meminimalisasi korupsi. Keberhasilannya dicontoh di
banyak daerah dan dia mendapat penghargaan secara nasional. Namun toh akhirnya dia terjerat
juga kasus korupsi setelah masa jabatannya berakhir.

Banyaknya kepala daerah terlibat korupsi antara lain karena terlalu banyak wewenang yang
mereka miliki. Itu bisa dibuktikan dengan lebih banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi
ketimbang wakil kepala daerah. Selama 10 tahun (2000-2011) hanya ada dua wakil kepala
daerah yang terjerat kasus korupsi. Sedikitnya wakil kepala daerah terlibat korupsi karena
memang mereka tak memiliki wewenang. Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku.
Bahkan wewenang mereka kalah jauh dari sekretaris daerah (sekda) di bidang keuangan.

Fakta itu sesuai dengan rumus korupsi, yakni korupsi dirumuskan dengan C = M+D-A.
Corruption (C) sama dengan monopoly power (M) plus discretion by official (D) (wewenang
pejabat) minus accountability (akuntabilitas). Jika seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa
memutuskan apa saja tanpa harus melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka peluang untuk
menyeleweng. Dan, itulah yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini.

Masyarakat boleh jadi memang mudah lupa atau tidak peduli dengan kasus-kasus korupsi yang
menimpa kepala daerah mereka. Yang menjadi persoalan apakah kondisi sekarang yang akan
terus dijadikan pembelajaran politik bagi masyarakat di berbagai pilkada 2012 ini?. Publik dan
para elite lah yang akan menjawab.***

Anda mungkin juga menyukai