Latar belakang Diagnosis yang akurat dari gagal ginjal akut (AKI) masih menjadi masalah terutama pada pasien sakit kritis dimana fungsi ginjanya dalam keadaan yang tidak stabil. Tujuan Tujuan kami adalah untuk mengevaluasi peran serum (S.) cystatin C sebagai biomarker awal untuk AKI pada anak-anak dengan sakit kritis. Subjek dan Metode S. kreatinin dan S. cystatin C diukur pada 32 anak-anak dengan sakit kritis yang berisiko untuk mengalami AKI. AKI didefinisikan oleh: klasifikasi penyakit ginjal (RIFLE) risk, injury, failure, loss, dan endstage dan laju filtrasi glomerulus (GFR) <80 mL/min/1.73 m 2 . GFR diperkirakan oleh rumus Schwartz dan persamaan berbasis S. cystatin C. Hasil S. cystatin C secara statistik tidak lebih tinggi pada pasien AKI dibandingkan dengan non-AKI menurut klasifikasi RIFLE (median 1,48 mg/l vs 1,16 mg/l, P = 0,1), sedangkan S. kreatinin secara signifikan lebih tinggi (median 0,8 mg/dl vs 0,4 mg/dl, P = 0,001). Dalam memperkirakan GFR dengan dua persamaan yang kami temukan, kesenjangan antara kenaikan S. cystatin C dan kreatinin dicerminkan dengan GFR lebih rendah dengan rumus Schwartz pada empat pasien, di lain pihak, enam pasien memiliki peningkatan S. cystatin C dengan GFR yang rendah meskipun kreatinin dan GFR normal, yang menunjukkan kesesuaian yang buruk antara dua persamaan dan dua marker. Kemampuan S. kreatinin dalam memprediksi AKI lebih unggul daripada S. cystatin dengan area di bawah kurva (AUC) 0,95 dengan sensitivitas dan spesifisitas (masing-masing 100% dan 84,6%) dengan menggunakan klasifikasi RIFLE. Temuan yang sama ditemukan ketika menggunakan rumus Schwartz. Kesimpulan S. cystatin C adalah biomarker yang buruk untuk mendiagnosis AKI pada anak dengan sakit kritis. Kata kunci Cystatin C, kriteria penyakit ginjal risk, injury, failure, loss, dan endstage, rumus schwartz
PENDAHULUAN Gagal ginjal akut (AKI) adalah komplikasi umum dari penyakit kritis dan membawa kematian yang tinggi terlepas dari kemajuan perawatan medis yang signifikan. [1,2] Deteksi dini gangguan fungsi ginjal dalam perawatan intensif pediatrik akan menjadi nilai yang besar, yang memungkinkan perawatan yang akurat, penyesuaian dosis obat, dan pencegahan kerusakan ginjal yang lebih parah. [3-5]. Laju filtrasi glomerulus (GFR), yang dapat diukur dengan menentukan clearance berbagai zat, adalah standar emas untuk memantau fungsi ginjal. Marker endogen yang ideal ditandai dengan tingkat produksi yang stabil, tingkat sirkulasi yang stabil (tidak terpengaruh oleh perubahan patologis), tidak mengikat protein, bebas dari filtrasi glomerulus, dan tidak direabsorpsi atau disekresi; sampai saat ini, belum ada marker seperti di atas yang telah diidentifikasi. [6] Beberapa substansi seperti kreatinin, urea, 2-mikroglobulin, dan protein pengikat retinol telah digunakan sebagai marker endogen untuk GFR, dengan mengukur tingkat plasma atau clearance ginjal mereka. Di antara marker tersebut, marker yang paling bermanfaat untuk menilai GFR adalah S.kreatinin dan clearance kreatinin ginjal, yang sekunder untuk korelasinya dengan clearance ginjal dari beberapa substansi eksogen (inulin, kreatinin-ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), iothalamat) yang dianggap sebagai standar emas untuk menentukan GFR. [9,10] Namun, produksi kreatinin berubah secara signifikan sesuai dengan massa otot tubuh dan faktor dietetik. Kreatiin juga difiltrasi oleh glomeruli, tetapi juga disekresikan oleh tubulus ginjal. Sekresi tubular ini memberikan kontribusi sekitar 20% dari total ekskresi kreatinin oleh ginjal, dan dapat meningkatkan seiring penurunan GFR. S. kreatinin tidak bisa mendeteksi gagal ginjal hingga GFR berkurang lebih dari 50%. [11,12] S. cystatin C adalah protein dengan berat molekul rendah yang secara bebas difiltrasi oleh glomerulus; produksinya dalam tubuh adalah proses yang stabil yang tidak dipengaruhi oleh kondisi ginjal, peningkatan katabolisme protein, atau faktor dietetik. [13,14] Meskipun S. cystatin C kurang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan massa otot dibandingkan dengan level S. kreatinin, senyawa tersebut masih dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel pasien. [15] Penelitian terdahulu mengevaluasi S. cystatin C sebagai biomarker untuk deteksi dini AKI, namun hasilnya masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan keunggulan S. cystatin C dibandingkan dengan S.kreatinin dalam evaluasi GFR, terutama bila ada reduksi kecil pada GFR [16-19] Mereka menemukan bahwa S. cystatin C bisa mendeteksi disfungsi ginjal 1-2. hari sebelum S.kreatinin [20] Namun, penelitian lain menunjukkan. bahwa S. cystatin C tidak meningkat lebih awal dibanding S. kreatinin dan merupakan biomarker yang buruk untuk AKI. [21-24] Jadi, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mereevaluasi peran S. cystatin C sebagai biomarker untuk deteksi dini AKI pada anak dengan sakit kritis.
SUBJEK DAN METODE Studi Ini adalah studi observasional prospektif yang mencakup 32 pasien, 17 laki- laki, dan 15 perempuan berusia 1 bulan sampai 168 bulan (median 7 bulan) yang dirawat di unit perawatan intensif pediatri, Specialized Children Hospital Universitas Kairo antara bulan Maret dan Oktober 2011. Semua pasien yang berisiko untuk mengalami AKI (pasien dengan hemodinamik tidak stabil pada dukungan inotropik yang tinggi dan/atau pasien yang menerima jumlah dan/atau dosis obat nefrotoksik tinggi seperti furosemid, bolus atau infus) dan pasien sepsis tetapi tanpa elevasi S. kreatinin sebelumnya dilibatkan dalam penelitian tersebut. Pasien yang menerima terapi kortikosteroid dosis tinggi dikeluarkan. Data demografi termasuk seks dan gender dicatat. Kondisi klinis pada saat masuk dicatat; diagnosis tentang penerimaan, bukti sepsis didefinisikan sebagai sindrom respon inflamasi sistemik ditambah bukti kultur bakteri menurut konferensi konsensus sepsis pediatrik internasional, [25] penilaian kegagalan organ didefinisikan menurut kriteria yang dipublikasikan terdahulu, [25,26] keparahan penyakit dinilai dengan skor risiko mortalitas anak (PRISM III) selama 24 jam pertama, [27] kejadian pasca resusitasi kardiopulmoner, tekanan darah, jumlah obat nefrotoksik, jumlah obat inotropik, dan kebutuhan untuk ventilasi mekanis. Data laboratorium, lama tinggal di unit perawatan intensif dan hasilnya dicatat. Tiga puluh subjek sehat yang setara dalam usia dan jenis kelamin dialokasikan sebagai kontrol. Pasien diklasifikasikan memiliki AKI menurut klasifikasi penyakit ginjal (RIFLE) risk, injury, failure, endstage [28]. Klasifikasi RIFLE didasarkan pada dua parameter penting:. (1) Peningkatan level S. kreatinin 50% dari nilai dasar dan (2) output urine pada titik waktu tertentu Untuk pasien yang sama, AKI didefinisikan juga sebagai GFR <80 mL/min/1.73 m 2 dan diperkirakan dengan persamaan berikut: Eq. 1 berdasarkan S. kreatinin (persamaan Schwartz): GFR (mL/min/1.73 m 2 ) = Tinggi (cm) k/S. kreatinin (mg/dl), dimana k = 0,44 untuk anak-anak di bawah 2 tahun dan 0,55 untuk anak-anak lebih dari 2 tahun. [29] Eq. 2 berdasarkan S. cystatin C: [30] GFR (mL/min/1.73 m 2 ) = 91,62 (S. cystatin C [mg/l]) -1,123 . Orang tua dari pasien dan subjek yang sehat memberikan informed consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini yang telah disetujui oleh Komite Etik Nasional Research Centre. Ultrasonagrafi ginjal, ureter dan kandung kemih dilakukan pada semua pasien AKI. Sampel darah dikumpulkan dari pada anak-anak yang berisiko untuk mengalami AKI setelah penilaian output urine selama 24 jam untuk mengukur S. kreatinin dan S. cystatin C. Sekitar 5 ml darah vena diambil dari pasien dan kontrol dalam tabung darah plain. Sampel yang diperoleh disentrifugasi pada 3000 g selama 15 menit, dan serum disimpan pada suhu -20C sampai waktu analisis. Sampel dicairkan dan dicampur secara menyeluruh sesaat sebelum uji untuk menghindari hasil yang salah dari siklus beku/cair berulang. Sampel yang mengalami hemolisis dan lipemik dibuang. S. cystatin C diuji sesuai dengan protokol produsen menggunakan immunoassay enzim Human cystatin-C Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (BioVendor Laboratorn Medicina as Catalogue No:. RD191009100, Uni Eropa: untuk pengukuran kuantitatif Cystatin C manusia. Sesuai standar, kontrol kualitas dan sampel serum diinkubasi di plate microtitrate berlubang yang sebelumnya telah dilapisi dengan antibodi poliklonal anti Cystatin C manusia. Setelah inkubasi dan dicuci, antibodi poliklonal anti Cystatin C manusia, yang terkonjugasi dengan horseradish peroxidase ditambahkan lubang-lubang plate dan diinkubasi. Setelah tahap pencucian kedua, larutan substrat tetramethylbenzidine (TMB) ditambahkan. Reaksi dihentikan dengan larutan asam dan absorbansi pengukuran dari produk kuning yang dihasilkan adalah sebanding dengan konsentrasi Cystatin C. Kurva standar diplot antara nilai absorbansi dan konsentrasi standar cystatin C, dan konsentrasi dari sampel yang tidak diketahui ditentukan menggunakan kurva standar ini. Rentang referensi adalah 520-900 ng/ml untuk pria dan 560-980 ng/ml untuk wanita. Batas atas pengujian adalah 10.000 ng/ml. [31] Sementara tingkat S. kreatinin diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri kinetik sesuai dengan metode Jaffe tanpa deproteinisasi. [32] Ini merupakan metode kompensasi berdasarkan instruksi pabrik (Roche Diagnostics GmbH, Mannheim, Jerman).
ANALISIS STATISTIK Data dianalisis menggunakan Paket Statistik untuk program komputer Special Science software versi 16.0 (SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Variabel kontinyu dinyatakan sebagai median, minimum, dan maksimum. Variabel kategorikal dinyatakan sebagai jumlah (n), persen (%), dan dibandingkan dengan menggunakan uji Chi-square atau uji Fischers exact. Kappa, yang merupakan ukuran dari hubungan antara persamaan, digunakan, dimana nilai 0,5 atau lebih menandakan hubungan yang kuat. Variabel kontinyu dibandingkan dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Hubungan antara variabel yang dinilai dengan analisis korelasi Spearman rank order. Untuk mengukur sensitivitas dan spesifisitas S. cystatin C dan S. kreatinin untuk prediksi AKI dengan rumus Schwartz dan klasifikasi RIFLE, kurva receiver operating characteristic (ROC) dibuat dan daerah di bawah kurva (AUC) dihitung. AUC sebesar 0,5 tidak lebih baik dari yang diharapkan, sedangkan nilai 1,0 menandakan biomarker yang sempurna. [33] P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL Sebanyak 32 pasien, 17 laki-laki dan 15 perempuan, berusia antara 1 dan 168 bulan (median 7 bulan) dilibatkan dalam penelitian tersebut. Data demografi, klinis, dan laboratorium pasien ditunjukkan pada Tabel 1. Anak-anak dengan sakit kritis memiliki median S. cystatin C yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat (median 1,36 [0,53- 10,49] vs median 0,68 [0,32-0,9] P = 0,001) sedangkan tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara pasien dan kontrol dalam hal tingkat S . kreatinin. Korelasi S. cystatin C dan S. kreatinin dengan faktor risiko yang berbeda dinilai [Tabel 2]. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat S. cystatin C dan S. kreatinin (r = 0,3, P = 0,06). Menurut definisi AKI menurut klasifikasi RIFLE, kami menemukan bahwa 13/32 (40,6%) memiliki AKI (enam pasien memiliki kreatinin 50%, 1 oleh oliguria saja dan enam memiliki keduanya). Dengan ultrasonografi, kami menemukan bahwa 7/13 datang dengan penyebab ginjal sementara 6/13 pasien datang dengan penyebab prerenal. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat S. cystatin C antara pasien AKI dan non-AKI (median 1,48 [0,75-10,49] mg/l vs median 1,16 mg/l [0,53-1,84], P = 0,1) sedangkan S. kreatinin secara signifikan lebih tinggi pada pasien AKI (median 0,8 [0,4-1,6] mg/dl vs median0.4 [0,2-0,6] mg/dl, P = 0,001). Di sisi lain, 19/32 (59,3%) pasien diklasifikasikan memiliki AKI oleh rumus Schwartz (Persamaan 1). Perbandingan antara dua kelompok dirangkum dalam Tabel 3. Selain itu, kami menemukan bahwa 21/32 (66%) pasien memiliki GFR <80 mL/min/1.73 m 2 dengan estimasi GFR berdasarkan S. cystatin C (Persamaan 2). Penilaian kecocokan antara rumus Schwartz (Persamaan 1) dan persamaan berbasis cystatin C (Persamaan 2) dapat dilihat pada Tabel 4. Kecocokan ini lemah antara kedua persamaan (P = 0,05 dan Kappa = 0,336). Kurva ROC untuk diagnosis AKI menurut klasifikasi RIFLE dan rumus Schwartz ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan Tabel 5 menunjukkan efikasi S. kreatinin dan S. cystatin C untuk mendeteksi disfungsi ginjal secara dini dengan klasifikasi RIFLE dan rumus Schwartz.
DISKUSI Pemantauan fungsi ginjal sangat penting dalam pengelolaan pasien dengan sakit kritis. [34] Diagnosis yang akurat dari AKI masih menjadi pada pasien sakit kritis di antaranya fungsi ginjal dalam keadaan tidak stabil. [15] Intervensi terapeutik yang efektif untuk AKI saat ini mungkin tidak berhasil karena mereka diterapkan terlalu lambat pada perjalanan penyakit. [5] Marker endogen yang ideal belum diidentifikasi. [6] Dalam penelitian kami, kami mengevaluasi akurasi S. cystatin C dalam mendiagnosis AKI secara dini (menggunakan klasifikasi RIFLE dan rumus Schwartz) pada pasien sakit kritis yang berisiko. Kami menggunakan 80 mL/min/1.73 m 2 pada rumus Schwartz sebagai titik cutoff untuk mengidentifikasi disfungsi ginjal meskipun tingkat yang lebih rendah dianggap sebagai normal dalam penelitian kami, tapi kami bertujuan untuk menguji sensitivitas S. cystatin C dalam mendiagnosis secara dini dan disfungsi ginjal ringan pada pasien sakit kritis. Menurut kedua klasifikasi, kami menemukan peningkatan S. cystatin C pada anak-anak dari kelompok AKI dibandingkan dengan kelompok non-AKI; namun, hal itu tidak signifikan secara statistik; Sebaliknya, S. kreatinin secara signifikan lebih tinggi pada pasien AKI. Hasil penelitian kami sama dengan Wald et al [35] dan Zaffanello et al [36] yang menemukan bahwa S. cystatin C bukan merupakan marker yang lebih baik daripada S. kreatinin dalam mengidentifikasi gagal ginjal akut sebelumnya. Estimasi efikasi S. cystatin C dan S. kreatinin dengan analisis ROC dalam mendiagnosis AKI didefinisikan oleh kriteria RIFLE, menunjukkan bahwa kreatinin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (masing-masing 100% dan 84,6%) untuk mendeteksi AKI dengan AUC 0,95 vs 0,66 untuk S. cystatin C. Temuan sama saat menggunakan rumus Schwartz. Temuan kami sejalan dengan Royakkers et al. [23] yang menemukan bahwa sensitivitas S. cystatin C cukup baik dua hari sebelum mengembangkan AKI (AUC 0,72) dan buruk pada 1 hari sebelum perkembangan AKI (AUC 0.62). Slort et al [24] menemukan bahwa kenaikan relatif maksimum S.kreatinin secara signifikan lebih tinggi daripada S.cystatin C. Mereka menyimpulkan bahwa S. cystatin C tidak lebih unggul daripada S.kreatinin. Meskipun S. cystatin C dikatakan tidak begitu dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan massa otot dibandingkan dengan S. Kreatinin, senyawa tersebut telah terbukti secara signifikan dipengaruhi oleh beberapa variabel pasien. [15] Studi kami menunjukkan korelasi positif antara tingkat protein C-reaktif dan S. cystatin C. Stevens et al [37] menemukan bahwa tingkat S. cystatin C dapat dipengaruhi oleh tanda inflamasi seperti jumlah leukosit dan tingkat protein C- reaktif yang memainkan peran penting pada pasien sakit kritis dan dapat mempengaruhi interval referensi. Mempelajari kesesuaian antara persamaan berdasarkan cystatin C dan rumus Schwartz, kami menemukan bahwa enam pasien yang didiagnosis dengan persamaan berbasis S. cystatin C sebagai memiliki GFR <80 mL/min/1.73 m 2
sementara GFR >80 mL/min/1.73 m2 oleh rumus Schwartz; Temuan ini dapat dijelaskan oleh hipotesis bahwa cystatin C mungkin telah meningkat karena penyebab non-renal. Banyak studi telah menemukan bahwa kadar cystatin C S. dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi ekstra-renal, termasuk diabetes ketosis, [38] insulin, [39] dan disfungsi tiroid d mana level S. cystatin C dapat meningkat atau menurun, masing-masing, sebagai akibat dari hipo-atau hipertiroidisme sub-klinis. [40] Selain itu, pemberian bertahap methylprednisolone atau siklosporin A bisa menyebabkan over- atau underestimasi level S. cystatin C. [41] Temuan ini bisa menjelaskan kurangnya korelasi antara S. cystatin C dan S. kreatinin dalam penelitian kami. Di sisi lain, empat pasien memiliki GFR <80 mL/min/1.73 m 2 seperti yang diperkirakan oleh rumus Schwartz, sementara memiliki GFR> 80 mL/min/1.73 m 2
seperti yang diperkirakan oleh persamaan berbasis S. cystatin C(Persamaan 2), yang bisa berarti bahwa ada kesenjangan antara peningkatan S. cystatin dan S. kreatinin. Berbeda dengan hasil kami, beberapa studi menunjukkan keunggulan S. cystatin C dari S. kreatinin dalam deteksi dini AKI pada anak dengan sakit kritis. [8,18,42] Liangos et al [43] menyebutkan bahwa studi ini terbatas dan hasilnya tidak konsisten; Namun, perbandingan antarstudi terhambat oleh campuran kasus dan heterogenitas desain studi. Khususnya, tidak ada dua studi yang menggunakan definisi yang identik untuk AKI, dan definisi ini sangat penting dalam penelitian biomarker. Pasien dalam penelitian ini yang didiagnosis sebagai AKI (GFR <80 mL/min/1.73 m 2 ) dengan rumus Schwartz lebih muda, memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, nilai skor PRISM III lebih tinggi dan membutuhkan ventilasi mekanik. Hasil penelitian kami sejalan dengan studi Alkandari et al [44] yang menemukan bahwa anak-anak dengan sakit kritis dengan AKI mengalami peningkatan angka kematian, yang secara independen terkait dengan perawatan ICU yang lebih lama dan memerlukan ventilasi mekanis. Namun, pasien AKI kami memiliki durasi perawatan di ICU yang lebih singkat, yang dapat dijelaskan oleh tingkat kematian yang tinggi (78,9%) di antara mereka. Temuan ini menunjukkan pentingnya AKI sebagai faktor risiko untuk outcome yang buruk pada anak-anak dengan sakit kritis. Studi ini memiliki keterbatasan penting. Pertama, adalah ukuran kelompok studi yang kecil. Kedua, ini adalah studi jangka pendek untuk AKI pada anak dengan sakit kritis. Kami tidak memfollow up pasien untuk menentukan penurunan atau peningkatan atau normalisasi cystatin C dibandingkan dengan kreatinin mengenai perbaikan atau perburukan AKI yang membutuhkan dialisis. Hal ini akan menjadi studi masa depan yang penting. Ketiga, definisi AKI didasarkan pada peningkatan S. kreatinin, yang dapat menyebabkan dilema dan mempengaruhi kinerja S. cystatin C.
KESIMPULAN Hasil studi ini menunjukkan nilai S. cystatin C yang buruk sebagai biomarker untuk mendeteksi AKI pada anak dengan sakit kritis. Namun, biomarker tunggal untuk AKI tidak dapat memberikan informasi yang lengkap karena semua biomarker memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Estimasi simultan dari lebih dari satu biomarker mungkin lebih bermanfaat.
Tabel 1. Karakteristik demografis, klinis dan data laboratorik dari anak dengan penyakit kritis Parameter Median (kisaran) Usia (bulan) 7 (1-168) Berat (kg) 6.25 (2.5-38) Skor PRISM III 17.5 (9-37) Ventilasi mekanik 27/32 (84.4%) Pemberian obat inotropik 25/32 (78.1%) Kegagalan multi-organ 11/32 (34.4) Pemberian obat nefrotoksik (%) Furosemide 10/32 (313) Obat nefrotoksik lain 28/32 (87.5) Tekanan darah (mmHg) Diastole 40 (20-90) Sistole 80 (40-140) Diagnosis klinis saat masuk (%) Penyaki jantung 9 (28.1) Penyakit endokrin 1 (3.1) Penyakit gastrointestinal 2 (6.3) Penyakit metabolik 1 (3.1) Penyakit neurologis 3 (9.4) Penyakit imunodefisiensi 1 (3.1) Pasca-operasi, risiko tinggi 2 (6.3) Pasca-operasi, risiko rendah 1 (3.1) Penyakit respiratorik 9 (28.1) Syok sepsis 3 (9.4) Pasca resusitasi kardioplumoner 5(15.6%) Tingkat mortalitas 20/32 (62.5%) Bukti sepsis 28 (87%) Output urine (ml/kg/jam) 1.2 (0.2-7) C-reactive protein (mg/l) 24 (6-98) S.creatinine (mg/l) 0.5 (0.2-1.6) S.cystatin C(mg/l) 1.36 (0.53-10.49) Tabel 2. Korelasi S. cystatin C dan S. kreatinin dengan faktor risiko yang berbeda S. kreatinin (mg/dl) S. cystatin C (mg/L) Nilai P Koefisien korelasi (r) Nilai P Koefisien korelasi (r) Usia (bulan) 0.4 -0.16 0.5 -0.1 Berat (Kg) 0.3 -0.2 0.7 0.08 Jumlah obat inotropik 0.05 0.4 0.006 0.5 Jumlah obat nefrotoksik 0.7 0.6 0.8 0.3 Jumlah kegagalan organ 0.8 0.05 0.1 0.3 PRISM III 0.04 0.4 0.09 0.3 C-reactive protein 0.9 0.03 0.03 0.4
Tabel 3. Perbandingan dua kelompok berdasarkan clearance kreatinin yang lebih rendah dan lebih itnggi dari 80 ml/menit/1,73 m 2 seperti diperkirakan oleh rumus Schwartz Rumus Schwartz >80 ml/menit/1,73 m 2
Rumus Schwartz <80 ml/menit/1,73 m 2
nilai P Nomor 13 19 Jenis kelamin (pria/wanita) 6/7 9/10 0.9 Usia (bulan) 24 (3-168) 5 (1-24) 0.002 Output urine (ml/kg/jam) 1.2 (1-7) 1 (0.2-6.6) 0.2 Lama perawatan (hari) 16 (7-75) 7 (2-180) 0.007 Pemberian obat nefrotoksik (%) 9 (69) 19 (100) 0.01 Ventilasi mekanis Ya 9 18 0.05 Tidak 4 1 Jumlah pemberian inotropik 0 5 2 0.05 1 4 2 2 3 10 3 1 5 Outcome Pulang (%) 8 (61.5) 4 (20.1) 0.02 Kematian (%) 5 (38.5) 15 (78.9) Kegagalan multi-organ (%) Ya 3 (23) 8 (42.1) 0.3 Tidak 10(77) 11 (57.9) Skor PRISM III 12 (9-37) 18 (9-33) 0.5 Bukti sepsis (%) 12 (94.2) 16 (84.2) 0.9 C-reactiveprotein mg/l 15 (6-90) 28 (8-98) 0.2 S.creatinine (mg/l) 0.3 (0.2-0.6) 0.7 (0.4-1.6) 0.001 S. cystatinC (mg/l) 1.08 (0.59-1.84) 1.4 (0.53-10.49) 0.4 Tabel 4. Kesesuaian rumus Schwartz dan persamaan berbasis serum cystatin C (EQ2) Rumus Schwartz Ukuran kesesuaian nilai P >80 ml/menit/1,73 m 2 <80 ml/menit/1,73 m 2
Persamaan berbasis Cystatin C (EQ2) >80ml/min/1.73m 2 7 4 0.336 0.05 <80ml/min/1.73m 2 6 15
Tabel 5. Nilai efikasi diagnostik untuk serum S. kreatinin dan S. cystatin C untuk mendeteksi disfungsi ginjal secara dini menurut rumus Schwartz dan klasifiksai RIFLE Rumus Schwartz Klasifikasi RIFLE S.creatinine S.cystatin C S.creatinine S.cystatin C AUC (95%Cl) 0.96 (0.81-0.99) 0.61 (0.42-0.78) 0.95(0.81-0.99) 0.66 (0.48-0.82) Nilai cut-off (mg/dl) 0.4 1.16 0.6 1.47 Sensitivitas (%) 92.3 61.5 100 78.9 Spesifitas (%) 84.2 73.7 84.6 53.8 Nilai P 0,001 0,03