Anda di halaman 1dari 22

1

Patofisiologi Hepar
Prana Indra Putra, Aria Dian Primatika
Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP dr. Kariadi Semarang

PENDAHULUAN
Hepar adalah sebuah organ yang komplek dan besar dengan banyak
fungsi. Pasien dengan gagal hepar merupakan tantangan pada seorang anestesi.
Kemampuan yang baik untuk memahami fisiologi normal hepar, penyebab
kelainan hepar, dan dampak dari perubahan fisiologis yang berhubungan dengan
penyakit hepar akan menentukan teknik anestesi yang dipakai dan pengelolaan
post operasi.
1
Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan
terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi
pada seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki
dekade ke 4 dan ke 5, serta jumlah mortalitas meningkat. Pasien dengan penyakit
hepar, 10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir
kehidupannya.
Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit
hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya,
ketika pasien yang berada pada daerah terpencil dengan sedikit persediaan, datang
ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan pembedahan dapat memicu
dekompensasi hepar yang lebih lanjut menuju ke arah gagal hepar.
1

PATOFISIOLOGI HEPAR
Mekanisme Kematian Sel
Nekrosis
Kematian sel hepatoselular sering terjadi karena hipoksia atau
anoksia. Hipoksia menurunkan ATP intrasellular. Hal ini merangsang
pemecahan glikogen dan glikolisis anerob, yang meningkatkan kadar asam
lactic dan menurunkan pH intrasellular. Tiba-tiba penurunan ATP yang cepat
memulai serangkaian kejadian yang dapat menyebabkan nekrosis hepatoselular.
2

Kejadian seperti itu termasuk gagalnya pompa ion tergantung energi yang
mengatur cairan intrasellular dan homeostasis elektrolit. Membran plasma
menjadi tidak berfungsi, dan hepatosit mengalami pembengkakan yang cepat dan
kemudian pecah dan mengeluarkan isinya. Debris selular ini, yang mengandung
enzim-enzim dan bahan kimia reaktif seperti aldehid, lipid, dan eicosanoid ,
merangsang respon inflamasi. Pelepasan sitokin dan pengumpulan bahan kimia
mengelilingi neutrofil pada organ hepar dan menyebabkan inflamasi hepar.
4,9

Apoptosis
Mekanisme biologi yang merupakan salah satu jenis kematian sel
terprogram. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat
menguntungkan bagi tubuh, sedangkan nekrosis adalah kematian sel yang disebabkan
oleh kerusakan sel secara akut. Berlawanan dengan nekrosis, apoptosis merupakan
proses yang bergantung dengan energi. Kebanyakan agen - agen penyakit hepar
( racun, virus, oksidan) dapat mengaktifkan jalur sinyal intraselular proapoptotik
atau reseptor - reseptor sel permukaan proapoptotik seperti Fas, tumor necrosis
factor receptor (TNFR), dan TNFR lainnya.
Apoptosis mempunyai beberapa bentuk struktur yang utama, termasuk
(1) penyusutan sel dan nukleus; (2) kromatin nuclear dengan batas dan
mengalami kondensasi; (3) tonjolan pada membran plasma; dan (4) bodi
apoptosis, yang terdiri dari fragmen-fragmen selular yang berikatan dengan
membran dan organ yang lengkap. Sel-sel epitel dan mesenkim menyusun
apoptotik, seperti mitokondria yang lengkap dan asam nukleat. Apoptosis dan
nekrosis dapat berhubungan dengan bagian akhir dari spektrum dari morfologis
yang berlebihan dan proses kematian mekanistik sel.
4,9


Stres oksidatif dan sistem glutathione
Hepatosit terus menghasilkan jenis oksigen reaktif. Selama metabolisme
aerobik, mitokondria bekerja terus-menerus memindahkan elektron dari substrat
yang tereduksi ke molekul oksigen (O
2
). Proses ini melibatkan reduksi
tetravalent O
2.
Atom-atom oksigen yang mengalami reduksi yang bergabung
ke dalam air. Namun, sejumlah kecil O
2
mengalami reduksi univalent atau
3

divalent yang memberikan peningkatan pada superoksida dan hidrogen
peroksida. Sel-sel non-parenkim dalam hepar sel - sel Kupffer, sel-sel endotel,
leukosit polimorfonuklear, makrofagjuga dapat mengalami peningkatan jumlah
yang besar dalam hal reduksi oksigen dan radikal-nitro.
Dalam keadaan sehat, hepatosit mempunyai banyak cara untuk
mempertahankan konsentrasi oksidan dalam kisaran aman (<1 M).
Pertahanannya dalam melawan cedera oksidatif termasuk (1) mikronutrien,
seperti vitamin C dan E; (2) protein-protein sekuestra-logam, seperti ferritin; (3)
enzim yang mengeluarkan spesies-spesies oksigen reaktif; seperti katalase dan
dismutasi superoksida; (4) enzim yang mendetoksifikasi lipid peroksida; seperti
glutathione peroksidase; dan (5) peptida-peptida kaya-tiol, paling tampak pada
glutathione (-glutamyl-cycteine-glycine). Glutathione merupakan satu-satunya
antioksidan intraselular paling penting.
4,6
Organ hepar merupakan tempat utama sintesis glutathione. glutathione
adalah tripeptida intraselular berbentuk Gamma-Levo-glutamil-L-sisteinil-glisina,
dengan berbagai kegunaan, antara lain, detoksifikasi, antioksidan, pemeliharaan
status tiol dan modulasi proliferasi sel. Hepatosit mempunyai konsentrasi
sitoplasmik glutathione yang tinggi, berkisar dari 5 sampai 10 mmol/L.
Glutathione bertindak sebagai kofaktor untuk kebanyakan enzim-enzim yang
terlibat dalam eliminasi oksidanutamanya glutathione peroksidase dan
pertukaran thiol/disulfida. Glutathione peroksida memerankan peranan penting
sebagai detoksifikser peroksida organik dan radikal-radikal bebas.
GSH merupakan bentuk predominan glutathione dibawah kondisi normal;
merupakan penentu utama dari kapasitas redoks hepatosit. Tekanan oksidatif
menurunkan kadar GSH dengan mengubah GSH menjadi GSSG. Enzim
glutathione reduktase membantu regenerasi GSH dan mengembalikan keadaan
redoks normal. NADPH merupakan kofaktor untuk reduktase glutathione dan
sintesisnya memerlukan ATP. Fosfat energi-tinggi juga diperlukan untuk
memindahkan GSH kedalam mitokondria secara aktif. Gangguan proses
perpindahan ini menyebabkan kerusakan mitokondria. Sehingga, keadaan yang
menurunkan ATP menghambat hepatosit menyebabkan mudahnya terjadi cedera
oksidatif. Keadaan yang tidak baik, seperti malnutrisi, hepatitis dan cedera hepar
4

oleh bahan kimia, dengan cepat dapat menjenuhkan GSH hepatis. Pada keadaan
ini, terapi mengunakan agen yang kaya thiol seperti cysteamine
(marcaptoethylamine) atau N-acetylcysteine dapat menjadi hal yang sangat
menguntungkan. Efek yang menguntungkan dari bahan-bahan kaya thiol
berhubungan dengan kemampuannya untuk meningkatkan sintesis glutathione,
meremajakan GSH intraselular dan mengembalikan kapasitas hepar untuk
melawan tekanan oksidatif.
6

Cedera iskemia-perfusi ulang
Iskemia / perfusi ulang (I/R) terjadi akibat hipoksia ketika tahapan
iskemia dan kejadian sitotoksis ketika perfusi ulang. Perfusi ulang merangsang
pembentukan tingginya bahan kimia reaktif yang dapat menyebabkan nekrosis
atau apoptosis, seperti superoksida, hidrogen peroksida dan radikal-radikal
hidroksil. Setelah berada dalam interval iskemik singkat, kebanyakan cedera
disebabkan oleh perfusi ulang. Dengan iskemia dalam waktu yang lama,
hipoksia menjadi penyebab bagian yang lebih besar dari keseluruhan cedera oleh
I/R.
2

Peranan Dehidrogenase Xanthine/Oksidase Xanthine
Organ hepar dan usus mengandung dehidrogenase xanthine/oksidase
xanthine (XDH/XO). XDH mengkatalisis tahap yang dibatasi oleh tingkatan
dalam degradasi asam nukleat dengan mengunakan nicotinamide adenide
dinucleotide (NAD) dibandingkan menggunakan O
2
sebagai penerima elektron.
Sehingga, tidak ada radikal oksigen yang dihasilkan pada jaringan sehat. Namun,
keadaan iskemia mengubah XDH menjadi XO. Karena reaksi XO melibatkan
O
2
, maka menghasilkan radikal-radikal bebas. Selama reperfusi, oksidan yang
berasal dari XO meningkatkan pembentukan dan pelepasan leukotriene B
4

dan faktor pengaktivasi-platelet, yang membantu perlekatan dan migrasi neutrofil.
Ketika diaktifkan, neutrofil dapat menyebabkan gangguan pada sirkulasi
mikrovaskular karena melepaskan protease dan secara fisik mengganggu
penghalang endotel. Cedera organ hepar, tanpa melihat penyebabnya,
membahayakan jaringan ekstrahepatik karena hepatosit yang mengalami
5

kerusakan mengeluarkan XO dan mediator inflamasi lainnya. XO masuk kedalam
aliran darah dan berikatan dengan sel-sel endotel vaskular pada banyak organ.
Sel-sel endotel menghasilkan superoksida, yang bereaksi dengan nitric oxide
(NO) untuk membentuk peroxynitrite (OONO
-
). Peroxynitrite bersifat sangat
reaktif dan dapat meningkatkan keparahan cedera terhadap jaringan lokal dan
terisolir.
Bahan-bahan terapeutik yang dapat memberikan perlindungan dari cedera
yang disebabkan oleh I/R termasuk (1) antioksidan, (2) pengumpul dismutase
superoksida dan dimethyl sulfoxide, (3) pengambat perlekatan dan migrasi
leukosit, dan (4) penghambat XO. Sebagai contoh, penelitian di laboratorium
memperlihatkan bahwa perawatan menggunakan allopurinol (menghambat XO)
sebelum pemberian I/R akan mencegah peningkatan I/R yang biasa terjadi dalam
permeabilitas mikrovaskular dan nekrosis sel epitel.
7

Cedera bakteri, virus dan imun
Endotoksin merupakan kompleks lipoposakarida dari luar membran
bakteri gram-negatif. Semua endotoksin mempunyai komponen lipid (lipid A),
inti antigen R, dan dua variabel regio polisakaridaantigen strain bakteri-O-
spesifik. Lipid A berikatan dengan lipoprotein dengan kepadatan yang tinggi
dalam darah dan jaringan lainnya, dan membantu kerja biologis yang sama
dengan endotoksin. Endotoksin lebih berikatan erat dengan sel-sel Kupffer
dibandingkan parenkim hepatis. Endotoksin dapat menginduksi cedera
hepatosellular atau kolestatik secara langsung atau tidak langsung melalui
aktivasi sel-sel Kupffer dan melepaskan mediator proinflamasi (misalnya
sitokin, eicosanoid). Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan
berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut
memproduksi - globulin sebagai imun lives mechanism.
Seperti halnya endotoksin, virus dapat menyebabkan cedera
hepatosellular secara langsung dan tidak langsung. Virus hepatotropik
menyebabkan sitotoksisitas tergantung limfosit atau makrofag. Antigen pada
membran-membran hepatosellular dapat menjadi target utama dari cedera yang
dimediasi oleh sel. Antibodi pada antigen seperti itu sering meningkat ada pasien
6

hepatitis autoimun dan sirosis bilier primer. Antigenik pontensial lainnya berfokus
pada sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel, termasuk lipoprotein spesifik-hepar
dan lektin hepatis, yang merupakan target pada hepatitis B dan penyakit hepar
lainnya.

Cedera hepar karena obat - obatan
Reaksi yang tidak diinginkan pada obat terbagi menjadi dua kategori
umum: toksisitas yang berhubungan dengan dosis dan cedera idiosinkratik oleh
karena penggunaan obat-obatan. Yang pertama dapat diprediksi dan terjadi pada
semua orang-orang dengan peningkatan dosis obat. Sedangkan yang terakhir
merupakan hal yang jarang, disebabkan oleh dosis subklinis dari obat-obatan;
tampaknya merupakan cedera yang dimediasi oleh imun yang terjadi pada
sebagian kecil yang menerima obat-obat tersebut. Walaupun adanya perbedaan
yang jelas antara kedua kategori reaksi obat, terdapat pula kesamaan yang
mengejutkan. Sebagai contoh, kedua kategori memperlihatkan pengikatan
kovalen obat-obatan (atau metabolitnya) terhadap molekul makro endogenus.
Perikatan seperti itu dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim penting,
penurunan antioksidan intrasellular, dan peroksidase membran lipid. Respon
tubuh terhadap molekul tersebut menentukan apakah cedera oleh penggunaan
obat-obatan dikategorikan sebagai berhubungan dengan dosis atau
idiosonkronasi. Ketika kerusakan subselular yang disebabkan oleh obat-obatan
merangsang sensitisasi imun, keterpaparan ulang terhadap dosis yang bahkan
lebih rendah pada obat yang sensitif dapat menyebabkan kerusakan hepar yang
parah (misalnya hepatitis halothane).
4,2
7


tabel 1 obat obatan yang membuat cedera hepar dikutip dari daftar pustaka no 7
Efek hepatoksisitas dari obat dan substansi dari lingkungan biasanya
melibatkan pembentukan oksidan-oksidan yang dimediasi oleh CYP seperti
penurunan spesies oksigen, radikal-radikal berbasis karbon, dan radikal-radikal
nitro. Contohnya termasuk (1) metabolisme karbon tetraklorin melalui CYP,
yang menghambat radikal triklorometilintermdiet dosis tinggi yang
menyebabkan terjadinya nekrosis sentrilobular; dan (2) metabolisme
nitrofurantoin atau bahan aromatik lainnya, yang meningkatkan bahan radikal
bebas yang merangsang cedera hepatis. Sama halnya dengan CYP pada
retikulum endoplasma halus, elektron mitokondria menghantarkan xenobiotik
untuk metabolit reaktif. Sebagai contoh, radikal-nitro yang terbentuk selama
metabolisme kokain atau nitrofurantoin mengurangi O
2
via reduktasi
flavoprotein untuk menghambat superoksida dan spesies oksidasi lainnya. Siklus
redoks, seperti yang terjadi pada kemoterapeutik antrasiklin dan antimikroba
imidazole, merupakan sumber lain dari spesies oksidasi toksik.
2
Pembentukan oksidan selama metabolisme obat membantu atau
menyebabkan cedera hepar dengan melemahkan pertahanan antioksidan
hepatosit. Sebagai contoh, asetaminofen dan bromobenzene dapat menyebabkan
penurunan heparosellular GSH yang tergantung dosis, menyebabkan
meningkatkan suspektibilitas organ hepar untuk terjadi nekrosis. Hal ini
meningkatkan kerusakan oksidan (1) protein dan enzim, (2) fosfolipid dalam
membran, (3) nukleotida via aktivasi protease, fosfolipase dan endonuklease.
8

Tekanan oksidatif juga merangsang peningkatan patologis dalam sistolik Ca
2+

dengan meningkatkan pengambilan Ca
2+
oleh hepatosit ketika merangsang
pelepasan Ca
2+
dari retikulum endoplasmik atau mitokondria. Keadaan ini dapat
menyebabkan apoptosis, nekrosis atau keduanya.
1
Biasanya, reaksi konjugasi meningkatkan hepatotoksik berdasarkan
produk. Sebagai contoh, metabolisme fase 2 karboksilat obat-obatan menghambat
acyl glucoronida.
1
Molekul-molekul ini dapat menyebabkan cedera hepatis karena dapat
berikatan dan menghentikan nukleofili, protein kaya-thiol, dan asam nukleat.
Metabolisme fase 2 juga dapat menurunkan antioksidan hepatosellular dan
menyebabkan pembentukan neoantigen dan autoantigen, yang memicu cedera
hepar yang dimediasi oleh imun setelah terpapar ulang oleh bahan penyebab.
1

Apoptosis yang Disebabkan oleh Obat
Jalur apoptosis dapat diaktifkan melalui cedera mitokondria yang
disebabkan oleh obat-obatan. Alur kejadiannya dapat sebagai berikut: (1)
metabolisme obat akan menghasilkan oksidan dan menurunkan GSH; (2) oksidan
merangsang cedera mitokondria, dengan melepaskan sitokrom c dan permulaan
transisi permeabilitas membran mitokondria; dan (3) caspase diaktifkan dan
memicu apoptosis. Patologi hepatis sindrom Rey dapat terlibat dalam cedera
mitokondria oleh karena penggunaan obat-obatan seperti tetrasiklin, aspirin, asam
valropik, dan analog-analog nukleosida (seperti zidovudine). Enzim-enzim
mitokondria tampaknya merupakan target patogenik dari N-acetyl-p-
benzoquinone imine (NAPQI), asetaminofen memetabolisme dengan nekrosis
hepatosellular. Apakah cedera mitokondria akan menyebabkan apoptosis atau
nekrosis, tergantung pada keadaan intrasellular dan keparahan cedera.
4,6

Imunopatologi
Imunopatologi biasanya merupakan penyebab dari reaksi obat yang tidak
diinginkan, seperti hepatitis halothane. Gejala klinis biasanya termasuk demam,
kemerahan, limfadenopati, eosinofili, dan inflamasi yang menyerang organ hepar.
Ciri khasnya, sindrom mengalami onset yang tertunda setelah dosis pertama kali
9

dari obat yang diberikan, tapi seiring bertambahnya dosis obat yang diberikan,
masa onset akan lebih cepat dan sindromenya akan menjadi lebih parah.
Kejadian imunopatologis dapat termasuk (1) pembentukan antibodi yang melisis
hepatosit dengan menyerupai molekul dengan enzim host; (2) imunitas yang
dimediasi sel dan tergantung-antibodi; (3) disregulasi sistem imun; dan (4)
autoimun yang dirangsang oleh penggunaan obat-obatan.
Menurut konsep perubahan-antigen, obat-obatan (atau metbolitnya) secara
kimiawi bereaksi dengan dan kemudian mengubah protein intrasellular tertentu,
yang meningkatkan neoantigen atau produk protein obat antigenik.
Patogenensis hepatitis halothane, sebagai contoh, tampaknya melibatkan
trifluoroacylated (TFA) yang terbentuk ketika terpapar oleh anastesi halogenasi.
Pasien yang pulih dari cedera hepar oleh halothane mengalami sirkulasi antibodi
yang diarahkan berlawanan dengan protein TFA. Namun, spesifitas dan
patogenitas antibodi ini tetap belum jelas karena antibodi berkembang pada
kebanyakan orang-orang setelah teranestesi halothane tanpa berkembangnya
cedera hepar.
1

Penyakit yang disebabkan oleh alkohol
Alkoholisme (minum lima kali atau lebih setiap harinya) merangsang
beberapa pola cedera heparpaling jelas adalah steatosis (lemak hepar), hepatitis
alkohol, dan sirosis. Steatosis berkembang hampir pada setiap orang yang minum
alkohol secara berlebihan tapi sirosis berkembang hanya 10% sampai 20% dari
orang-orang ini. Ketika dibandingkan dengan populasi secara umum, orang-orang
dengan penyakit hepar alkohol mempunyai prevalensi mengalai kelainan yang
berhubungan dengan kesehatan yang lebih tinggimalnutrisi, inkompetensi
imun, dan ketidakseimbangan elektrolit. Orang-orang seperti ini memiliki resiko
tinggi mengalami kematian postoperatif kedua setelah perdarahan, sepsis atau
dekomposisi kardiopulmonar (oleh alkohol atau kardiomiopati sirotik).
4
Ciri patologis yang ditemukan termasuk (1) cedera subsellular yang dipicu
oleh asetaldehid, (2) kelainan metabolisme, (3) hipoksia mikrovaskular, (4)
peningkatan pembentukan oksigen dan nitrogen radikal, (5) penurunan pertahanan
antioksidan. Metabolisme alkohol meningkatkan patologi penyakit hepar
10

alkoholik. Tahapan yang dibatasi oleh tingkatan dalam metabolisme etanol
dikatalisis oleh alkohol dehidrogenase (ADH). Metalloenzim zinc polymorfik ini
mempunyai lebih dari 20 isozym yang berbeda. Walaupun banyak ditemukan
dalam jaringan, hepatosit memetabolisme lebih dari 95% dari alkohol yang
dikonsumsi. Polimorfisme genetik ADH menjelaskan banyaknya keragaman
hubungan antara konsumsi ethanol (dosis) dan penyakit hepar (respon). Sebagai
contoh, resiko sirosis alkoholik berkembang dan secara langsung berhubungan
dengan polimorfisme pada lokus gen ADH2 (misalnya tingginya frekuensi alel
B).
2
Sitoplasmik ADH merupakan enzim utama yang terlibat dalam oksdiasi
ethanol terhadap asetaldehide. Penyakit hepar dapat menurunkan aktivitas ADH
dan menyebabkan tingginya proporsi oksidasi ethanol yang terjadi dalam
peroksisom via katalase dan dalam retikulum endoplasma melalui rangsangan
ethanol CYP2E1. Penyakit hepar juga dapat menurunkan enzim aldehyde
dehydrogenase mitokondria (ALDH), yang mengkatalis konversi (detoksifikasi)
asetaldehide menjadi asetat. Defisiensi ALDH menyebabkan meningkatnya kadar
asetaldehid dalam darah dan jaringan lainnya, yang memperbesar toksisitas
intrahepatik dan ekstrahepatik alkohol. Asetaldehide dapat merangsang cedera
jaringan melalui (1) membentuk bahan dengan intrasellular, (2) berikatan dengan
GSH, (3) mengurangi kadar antioksidan intrasellular, (4) mengubah membran
plasma untuk meningkatkan pembentukan superoksida, (5) membantu
pembentukan kolagen dan fibroplasia, dan (6) merangsang pelepasan bahan-bahan
kemotaktik yang membawa neutrofil ke organ hepar.
4

11


Gambar 1 diagram metabolisme alkohol pada hepar dikutip dari daftar kepustakaan no. 6

Persamaan Cedera Hepatis oleh Hipoksia dan Ethanol
Cedera hepatis oleh tahapan hipoksia dan pencernaan ethanol sama dalam
berbagai hal. Cedera hipoksi membantu pelepasan sitokin proinflamatori, tumor
necrosis factor-, dan interleukin-1 dan interleukin-6. Molekul-molekul sinyal ini
menyebabkan peningkatan kerja perlekatan molekul, menurunkan velositas dan
meningkatkan marginasi neutrofil, meningkatkan perlekatan platelet dan
menurunkan aliran darah hepatis. Iskemia hepatoenterik melepaskan sitokin dan
XO serta menyebabkan aktivasi komplemen. Keadaan ini meningkatkan inflamasi
lokal dan merangsang respon inflamasi sistemik, yang menyerupai cedera
pulmonar dan jantung.
6
Sama halnya, cedera organ hepar yang berhubungan dengan alkohol
membantu pelepasan mediator proinflamasi. Pencernaan alkohol dapat
meningkatkan konsumsi oksigen hepatism yang dapat menjadi predisposisi
terjadinya cedera hipoksi. Manifestasi awal cedera yang dipicu oleh ethanol
terhadi pada zona 3 acinar (regio sentrilobular), yang mempunyai kandungan
ADH tertinggi dan suplai oksigen terendah. Penggunaan ethanol dalam jangka
panjang menyebabkan meningkatnya kerja sintesis NO, meningkatnya
12

pembentukan NO, dan vasodilatasi. Efek-efek alkohol seperti itu pada jalur nitrit
oxide dapat mewakili respon adaptif sirkulasi mikro terhadap vasokonstriksi yang
dipicu oleh ethanol.
3,4
Perheparan bahwa ethanol menyebabkan tekanan oksidan signifikan
terhadap hepatosit sangat didukung oleh bukti tidak langsung (peroksidasi lipid)
dan bukti langsung (data resonansi putaran elektron). Alkohol merangsang
pembentukan oksidan, dan mengganggu pertahanan antioksidan. Alkohol
merangsang konsumsi antioksidan dan sementara menurunkan pembentukannya.
Penggunaan alkohol dapat menurunkan bentuk genetik dari enzim antioksidan
karena hepatotoksisitas intrisiknya atau karena kelainan yang berhubungan
dengan alkohol seperti malnutrisi. Sumber utama pembentukan oksidan setelah
konsumsi alkohol adalam metabolisme alkohol dibndingkan alkohol itu sendiri.
Metabolisme alkohol melalui oksidasi sitosolik dan mikrosomal menghambat
superoksida dan bahan-bahan reaktif lainnya. Bahan-bahan komia seperti itu
mengaktifkan sel-sel inflamatori (termasuk sel-sel Kupffer), yang merangsang
sintesis nitric oxide (iNOS) dan pembentukan peroksinitrit dalam sel-sel
parenkim, makrofag, sel-sel endotel dan myosit vaskular. Peroksinitritproduk
reaksi NO dan O
2
---merupakan anion tidak stabil yang mengoksidasi dan lipid
nitrosilat dan protein. Ketika antioksidan intrasellular seperti GSH dan -
tocopherol mengalami penurunan, metabolisme alkohol menjadi pemicu utama
terjadinya cedera hepar.
5,6

Sirosis dan Hipertensi Portal
Sirosis hepar merupakan penyakit kronis, dimana jaringan hepar normal
digantikan oleh jaringan parut fibrotik atau nodul regeneratif. Dengan
berkembangnya fibrosis hepatis, terdapat perkembangan kehilangan fungsi hepar
dan berkembangnya hipertensi portal. Penyebab utama sirosis termasuk
alkoholisme, hepatitis virus, dan kelainan metabolisme, walaupun banyak
penyebab lainnya. Walaupun agen etiologis sirosis banyak, pola cedera yang
dihasilkan sama dan sehingga menimbulkan mekanisme molekular yang tumpang
tindih. Steatohepatitis alkoholik dan non-alkoholik yang berhubungan dengan
13

sirosis terlibat dalam pola fibrosis yang sama, walaupun kategori etiologinya
berbeda.
3,8

Pada sirosis hepar, hipertensi portal timbul dari kombinasi peningkatan
vaskular intrahepatik dan peningkatan aliran darah ke sistem vena porta.
Peningkatan resistensi vaskular intrahepatik akibat ketidakseimbangan antara
vasodilator dan vasokontriktor. Peningkatan gradient tekanan portocaval
menyebabkan terbentuknya kolateral vena portosistemik yang akan menekan
sistem vena porta. Drainage yang lebih dominan pada vena azygos menyebabkan
terbentuknya varises oesofagus yang cenderung mudah berdarah. Varises
oesofagus dapat terbentuk pada saat HVPG diatas 10 mmHg.
6
Hipertensi portal paling baik diukur dengan menggunakan pengukuran
hepatic vein pressure gradient (HVPG). Perbedaan tekanan antara sirkulasi portal
dan sistemik sebesar 10-12 mmHg sangat penting dalam terbentuknya varises.
Nilai normal HVPG adalah 3-5 mmHg. Pengukuran awal HPVG bermanfaat bagi
sirosis compensate dan decompensate, sedangkan pengukuran secara berulang
HPVG berguna untuk monitoring pengobatan dan progresivitas penyakit hepar.
Ciri khas perubahan presirrotik termasuk hipertropi sellular, metamorfosis
lemak, disfungsi mitokondria dan lisosom, gangguan transport dan proses
penyimpanan, dan meningkatnya fibroplasia. Ketika hepatosit disepanjang hepar
dilingkari oleh jaringan fibrous, maka sirosis akan terjadi.
5

Hipoalbumin
Albumin merupakan komponen protein yang terbesar dari plasma darah,
yaitu lebih dari separuhnya. Protein ini disintesa oleh hepar. Dalam serum darah
albumin merupakan protein yang memegang tekanan onkotik terbesar untuk
mempertahankan cairan vaskuler, membantu metabolisme dan transportasi
obatobat, anti peradangan, anti oksidan, keseimbangan asam basa,
mempertahankan integritas mikrovaskuler sehingga mencegah kuman masuk dari
usus ke pembuluh darah dan efek anti koagulasi. Penurunan kadar albumin dalam
darah (hipoalbuminemia) mengakibatkan cairan keluar dari pembuluh darah,
keluar ke dalam jaringan menyebabkan terjadinya oedema.
7

14

Disfungsi Pulmonar
Perkembangan penyakit hepar sering menyebabkan disfungsi pulmonar.
Hipoksemia dapat berkembang disebabkan beberapa alasan. Pertama, sering
terjadi pembesaran hubungan arteriovena intrapulmonar. Kedua, kerusakan
vasokonstriksi pulmonar hipoksi yang berkembang setelah meningkatnya
penyakit di dalam vasodilator endogenus seperti NO, glukagon, adenosin, dan
prostasiklin. Ketiga, kadar eritrosit 2,3-diphosphogliserat biasanya meningkat dan
menggeser kurva oksihemoglobin ke arah kanan. Keempat, ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi terjadi karena atelektasis atau keterbatasan patofisiologi
pulmonarkedua setelah asites atau efusi pleura. Bahkan, hidrothoraks hepatis
(efusi pleura tanpa disertai penyakit kardiopulmonar) berkembang sampai 10%
pada pasien penderita .
5
Asites pada sirosis hepatis akan menyebabkan diafragma sukar
berkembang. Selama dengan efusi pleura perburukkan dari mekanisme
pernapasan dimana mengurangi fungsi kapasitas residual dan menyebabkan
atelektasis dan hipoksia. Intrapulmonar arteri venous shunt bias terjadi, dengan
hipoksia vasokonstriksi dan ventilasi/perfusi (V/Q) mismatch, menyebabkan
hipoksemia dan clubbing finger.
5

Disfungsi Ginjal
Disfungsi ginjal berkembang pada pasien sirosis dan hipertensi portal.
Glomerular filtration rate (GFR) mengalami penurunan tajam, dan tubulus renalis
akan mempertahankan sodium, tanpa adanya cedera tubular atau glumerular
berlebihan. Urinalisis merupakan pengecualian yang biasa untuk kadar sodium
urin yang rendah.
5
Penyebab utama acute renal failure (ARF) pada pasien adalah gagal pre-
renal dan acute tubular necrosis (ATN). Gagal pre-renal biasanya dihasilkan dari
hipovolemia, sepsis atau sindrom hepatorenal tipe 1 (HRS). Penyakit hepar tahap
akhir menyebabkan pasien berada pada resiko tinggi mengalami hipovolemia
sistemik sebagai hasil dari (1) pembentukan asites profusi, (2) terapi diuretik yang
agresif, (3) perdarahan gastrointestinal, dan (4) sekuestra darah dalam
15

vaskularisasi splanchic. Terapi prerenal ARF adalah langsung; semua yang
umumnya diperlukan untuk mengembalikan aliran darah ginjal.
5
Penyebab umum ATN adalah ARF prerenalketika protraksi dan
cukup parah untuk menyebabkan iskemia pada cedera tubulus renalis. Penyebab
lain dari ATN termasuk substansi nefrotoksi seperti bahan radiokontras dan obat-
obatan anti-inflamasi non-steroid. Tidak seperti ARF prerenal, tidak terdapat
terapi spesifik untuk ATN; perawatan utamanya bersifat suportif.
3
Gagal prerenal akibat HRS tipe 1 mempunyai prognosis yang buruk. Pada
banyak keadaan, terapi efektif satu-satunya adalah transplantasi hepar. Tindakan
yang dapat meningkatkan kerja ginjal pada pasien termasuk (1) vasokonstriktor
intravena, utamanya terlipressin, norepinefrin, dan midodrine, pada gabungannya
dengan octreotide, dan (2) alat atau prosedur yang mendukung hepar, seperti
molecular adsorbent recirculation sistem (MARS) atau transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS).
3

Disfungsi Hematologi
Koagulopati dan kelainan hematologi lainnya merupakan hal yang umum
pada penyakit hepar tahap akhir. Anemia juga dapat ditemukan dengan banyak
alasan, termasuk perdarahan gastrointestinal, hemolisis, hipersplemism,
malnutrisi, defisiensi vitamin, penurunan sumsum tulang, dan perluasan volume
plasma. Karena organ hepar mulai gagal berfungsi, maka tidak akan cukup untuk
memproduksi prokoagulan tergantung-Vitamin K. Ketika faktor VII turun
sebesar 70% dari kadar normal, PT menjadi lebih lama. Trombositopenia dan
trombopati berkembang sebagai hasil dari (1) sindrom sekuestra splenik, (2)
penurunan sumsum tulang belakang karena konsumsi alkohol berlebihan atau
penggunaan obat-obatan seperti interferon, atau (3) kerusakan platelet akibat
platelet yang berhubungan dengan IgG yang dimediasi oleh sistem imun.
Disfibrinogemiaaktvasi fibrinolisis dapat pula berkembang. Hasil laboratorium
khususnya termasuk meningkatnya kadar dimer-D, meningkatnya produk
degradasi fibrin, atau kadar fibrinogen normal atau mendekati normal. Namun,
sebelum menambahkan setiap kelainan fibrinolitik terhadap gagal hepar, penting
untuk melakukan pencarian menyeluruh semua kemungkinan penyebab koagulasi
16

intravaskular yang mengalami diseminasi. Hipertensi portal menyebabkan
splenomegali,dikarenakan pemecahan trombosit dan trombositopenia.
2

Komplikasi Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal selalu menjadi perheparan; hampir sepertiga
dari kematian yang terkait sirosis disebabkan oleh pecahnya varises
esofagogastrik. Gastropati hipertensi portal, varises esofagus, atau varises
lambung berkembang pada kebanyakan pasien dengan sirosis dan hipertensi
portal. Perdarahan dari varises esofagus terjadi lebih sering daripada perdarahan
dari varises lambung, namun yang terakhir ini umumnya lebih parah dari yang
pertama. Ukuran varises adalah prediksi yang baik ketika varises akan pecah, dan
tingkat pembesaran varises bersamaan dengan keparahan penyakit hepar. Kurang
dari 2 tahun setelah sirosis dan hipertensi portal terdiagnosis, 20%-30% dari
pasien mengalami perdarahan varises. The perdarahan pertama secara akut
mematikan pada sekitar 7% dari kasus, dengan angka kematian 6 minggu sekitar
30%. Penderita perdarahan varises yang tidak diobati memiliki kesempatan
perdarahan berulang sebanyak 60% dalam waktu 2 tahun; jika ini harus terjadi,
angka kematian akan menjadi 40%-50%.

Endokrinopati
Oleh karena hepar memproduksi, memproses, dan memetabolisme banyak
zat endokrin, penyakit hepar lanjut dapat menyebabkan kelainan endokrin.
Sebagai contoh, kadar plasma glukagon dan hormon pertumbuhan meningkat
dengan penyakit hepar dan berkontribusi terhadap resistensi insulin. IGF-I
menurun pada anak dengan penyakit hepar dan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan. Disfungsi gonad berkembang pada pria dan wanita karena
gangguan dalam metabolisme hormon seks. Pria mengalami feminisasi, dengan
perkembangan ginekomastia, atrofi testis, infertilitas, dan impotensi. Pada wanita,
oligomenore, amenore, infertilitas adalah hal umum.
4



17

Disfungsi Sistem Saraf Pusat (SSP)
Ensefalopati hepatik adalah sindrom neuropsikiatri kompleks yang
berkembang pada 50%-70% pasien dengan sirosis. Fenomena patofisiologis yang
berkontribusi terhadap sindrom tersebut meliputi (1) disfungsi hepatobilier, (2)
penurunan aliran darah hepar, dan (3) pengalihan ekstrahepatik aliran vena porta
melalui pembuluh darah kolateral (contoh aliran darah portacaval). Berbagai
bahan kimia yang dihasilkan usus, termasuk merkaptan, fenol, amonia, asam
lemak rantai pendek, dan mangan, mungkin berperan dalam patogenesis
ensefalopati hepar. Depresi sistem saraf pusat dapat disebabkan oleh
neurotransmitter palsu (misalnya octopamine) atau ligan endogen yang
meningkatkan aliran penghambatan pusat, seperti aktivator reseptor
benzodiazepine GABA. Kemungkinan kontributor lain untuk ensefalopati adalah
gangguan sawar darah otak dan metabolisme energi otak yang rusak. Diagnosa
dan tingkatan encepalopati hepatikum terjadi karena akumulasi produk toksin dari
penghancuran protein dan hasil metabolisme bakterial usus. Ketika hepar tidak
dapat membersihkan zat zat tersebut dapat meningkatkan hasil dari amonia
Tingkatan encephalopati ada 1 4
Grade 1 fungsi mental lambat
Grade 2 ketidak sesuaian kebiasaan
Grade 3 somnolen permanen
Grade 4 koma
3

Disfungsi Kardiovaskular
Sirkulasi hiperdinamik, dengan curah jantung yang tinggi dan resistensi
perifer total yang rendah merupakan ciri khas dari sirosis dan hipertensi portal.
Umumnya, tekanan arteri sistemik adalah sedikit di bawah normal, denyut jantung
agak meningkat, dan tekanan pengisian sentral normal. Saturasi O
2
vena
campuran tinggi dan gap arteriovenosa rendah. Secara keseluruhan, profil
hemodinamik menyerupai fistula arteriovenous (AV) perifer. Penyakit hepar
lanjut menyebabkan hubungan AV yang ekstensif dan tersebar luas (pembuluh
kolateral) dalam organ splanknikus, paru-paru, otot, dan kulit. Aliran darah yang
tinggi melalui pembuluh kolateral dapat disebabkan oleh peningkatan sirosis yang
18

diinduksi vasodilator endogen, seperti glukagon, NO, polipeptida intestinal
vasoaktif (VIP), dan ferritin.
4
Vasodilator endogen dapat juga menjelaskan mengapa penyakit hepar
yang berat mengurangi respon kardiovaskular untuk vasokonstriktor fisiologis dan
farmakologis. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa NO, dengan
sendirinya, dapat menginduksi tanda klinis kardiovaskular dan ginjal secara klasik
pada sirosis dan hipertensi portal. Model eksperimental hipertensi portal kronik
melalui ligasi vena portal parsial atau sirosis diinduksi CCl4 menunjukkan bahwa
NO menginduksi peningkatan monofosfat guanosin siklik (cGMP), yang
berkorelasi langsung dengan pelebaran arteri perifer. Inhibitor sintase NO dapat
(1) mencegah peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskuler secara
khas, (2) mengembalikan kadar aldosteron plasma dan vasopressin arginin, dan
(3) memperbaiki terjadinya penurunan ekskresi natrium dan air. Selain itu, studi
klinis yang membandingkan subyek sehat dan pasien dengan sirosis hepar
menunjukkan korelasi positif antara exhaled NO dan indeks jantung.
6
Kelanjutan penyakit hepar menyebabkan sirkulasi hiperdinamik.
Penurunan vaskular sistemik resisten hasil dari vasodilatasi perifer dan
peningkatan cardiac output dimana sebagai usaha kompensasi. Ini sering
menyebakan hipotensi. Insufisiensi adrenal sering terjadi dan membahayakan dari
hemodinamik. Kardiomiopati bisa terjadi, misalnya pada konsumsi alkohol atau
hemokromatosis.
4

Klasifikasi penyakit hepar
Beberapa sistem skor telah dikembangkan untuk mengklasifikasi beratnya
penyakit hepar. Childs Pugh adalah salah satu yang sering digunakan sebagai
klasifikasi pada penyakit gagal hepar. Skor MELD adalah skor lainnya , dimana
keduanya pada penyakit gagal hepar yang akut dan kronis. Skor MELD biasanya
digunakan pada pasien yang akan dilakukan transplantasi hepar. Skor Childs Pugh
menilai dari 5 gejala klinis, dengan penilaian skor 1,2, atau 3. Hasil dari penilaian
tersebut dijumlahkan dan disimpulkan. Klasifikasi ini biasa digunakan untuk
menentukan beratnya penyakit dan prognosis

19

Childs Pugh A skor < 6
Childs Pugh B skor 7 9
Childs Pugh C > 10

Tabel 2 childs pugh dikutip dari daftar pustaka 3

PENYAKIT KOLESTASIS
Kolestasis mengacu pada gangguan aliran empedu dan memiliki
patogenesis yang kompleks. Penyebab biasa kolestasis intrahepatik, apakah
diturunkan /didapat, adalah disfungsi transporter empedu. Sebaliknya, kolestasis
ekstrahepatik paling sering terjadi akibat penyumbatan mekanik dari cabang
bilier. Dengan kolestasis, adanya tingkat darah yang tinggi pada konstitusi
empedu, termasuk enzim hepatoseluler ( AP, GGTP, 5NT, LAP, imunoglobulin
A, kolesterol, dan berbagai macam bentuk dari garam empedu dan bilirubin).
Yang paling beracun adalah bilirubin tak terkonjugasi; konsentrasi tinggi bilirubin
tak terkonjugasi menyebabkan disfungsi membran dan mengganggu jalur
metabolik utama seperti siklus asam trikarboksilat dan fosforilasi oksidatif.
Penderita dengan sindrom kolestatik biasanya telah ditandai dengan peningkatan
garam empedu serum, tapi bilirubin serumnya normal / sedikit meningkat.
4
Temuan klinis pada sindrom kolestasis tergantung pada tingkat keparahan
gangguan kolestasis dan patogenesisnya. Pruritus adalah cirinya dan hasilnya
terutama dari garam empedu yang dipertahankan. Keparahan penyakit kolestasis
20

meningkat, penyakit kuning berkembang pula. Tinja menjadi lebih pucat dan urin
gelap, karena pigmen empedu dialihkan dari usus ke ginjal untuk ekskresi.
4

Gangguan Koagulasi
Penyerapan enterik dari lipid seperti vitamin k membutuhkan garam
empedu dan sirkulasi enterohepatik yang utuh. Dengan kolestasis disebabkan
koagulopati, hepar membuat prokoagulan. Namun, tanpa vitamin K, hepatosit
tidak dapat menambahkan residu glutamat b karboksil yang diperlukan
prokoagulan untuk aktivasi berikutnya. Pemberian parenteral vitamin K harus
memperbaiki keadaan koagulopati ini, tetapi jika tidak berhasil, mungkin ada
penyebab lain. Kolestasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan disfungsi
hepar dan koagulopati, yang tidak akan sembuh dengan terapi vitamin K
5

Disfungsi Ginjal
Gangguan kolestasis dapat menyebabkan disfungsi dari reservoir
splanknikus. Karena reservoir tidak dapat secara efektif mentransfer volume darah
ke sirkulasi sentral, hipotensi berat dan hipoperfusi ginjal dapat dihasilkan dari
kehilangan volume plasma yang ringan/ sedikit. Predisposisi untuk GGA prerenal
dan ATN dari GGA prerenal. Jika disfungsi hepar supervena, ATN dihasilkan dari
bilirubin tak terkonjugasi , yang secara langsung dapat menyebabkan cedera
tubulus ginjal.
4

Disfungsi Kardiovaskular
Sindrom kolestatis menyebabkan perubahan hemodinamik yang mirip, tapi
tidak separah daripada perubahan yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi
portal. Cardiac output meningkat dan resistensi vaskular perifer menurun. Aliran
darah vena porta dapat menurun sebagai akibat dari peningkatan resistensi vena
porta. Namun mekanisme kolestasis mengubah parameter kardiovaskular yang
tidak sepenuhnya dipahami karena beberapa alasan.
4

1. Empedu adalah cairan heterogen dengan berbagai macam komposisi dan
berbagai bentuk garam empedu dan bilirubin.
21

2. Konstituen dari masing-masing empedu memberikan efek kardiovaskular
yang berbeda.
3. Penyebab yang berbeda dari sindrom kolestasis menyebabkan kondisi
patofisiologis yang berbeda pula, yang dapat mengacaukan aksi dari
kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung dari konstituen spesifik
empedu.
Efek jantung secara langsung terhadap garam empedu (primer,
terkonjugasi, dan sekunder) telah dipelajari dalam persiapan jantung terisolasi
untuk menghindari kekhawatiran tentang efek kardiovaskular langsung terhadap
konstituen empedu. Dalam isolasi otot ventrikel, garam empedu, pada konsentrasi
sama pada penderita dengan ikterus kolestatik, mengeluarkan efek inotropik
negatif.
9
Mereka menurunkan:
1. Puncak ketegangan
2. Rate maksimum pembangkit ketegangan
3. Durasi kontraksi
4. Durasi potensial aksi.
Tindakan elektropsikologi natrium taurocholate, dipastikan berasal dari
tegangnya miosit ventrikel, termasuk penurunan yang lambat dan sedikit
meningkat di luar kalium saat ini. Diambil secara kolektif, data ini menunjukkan
bahwa garam empedu secara langsung menyebabkan efek inotropik negatif, yang
dapat terjadi akibat perubahan membran.
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tingkat darah yang tinggi
pada garam empedu (cholemia) dapat memblokir efek kardiovaskular , mungkin
dengan cholemia diberikannya efek tersebut akan mengganggu kompleks reseptor
di membran plasma. Di sisi lain, kolestasis akut dapat menurunkan kontraktilitas
jantung tanpa mempengaruhi b-adrenoreseptors jantung, seperti yang
ditunjukkan dalam studi hewan di mana kolestasis akut disebabkan oleh ligase
saluran empedu. Setelah mengalami 3 hari kolestasis ekstrahepatik, kontraktilitas
miokard telah rusak secara global, tapi b adrenoreseptor utuh.
4

Penelitian pada hewan, menunjukkan kolestasis dapat mengubah
respon refleks sirkulasi homeostasis. Sebagai contoh, penghilangan 10% dari
22

volume darah tikus yang sehat memiliki sedikit efek pada tekanan darah arteri
mereka, sedangkan menghilangan volume yang sama dari tikus dengan kolestasis
menyebabkan penurunan 50% pada tekanan darah. Hewan yang sehat
berkompensasi atas kehilangan darah dengan memobilisasi 15% dari volume
darah dari pembuluh darah paru dan splanknikus; Namun, hewan dengan
kolestasis memobilisasi hanya 7% dari volume darah parunya, tanpa adanya
campur tangan dari reservoir splanknikus. Data ini menunjukan bahwa kolestasis
menginduksi disfungsi dari fisiologi reservoir darah. Bagaimanapun penemuan
laboratorium yang relevan untuk pasien dengan kolestasis tidak jelas. Hasil
pencatatan tentang penyebab pasien dengan penyakit kolestasis terbukti:
dekompresi pada traktus bilier, oleh sendirinya, akan dengan mudah terjadi
penurunan kardiovascular.
4

RINGKASAN
Pemahaman sangat berarti dari penyebab patofisiologi pada penyakit hepar
, fisiologi kelainan pembuluh darah, dan reseksi pembedahan memegang perana
penting dalam penentuan dari manajemen anestesi.
Secara defenisi, semua anestesi adalah untuk menurunkan sistem saraf
pusat, dan untuk alasan itulah sangat sedikit jenis yang seharusnya digunakan.
Anestesi inhalasi biasanya lebih disukai untuk agent intravenous karena
kebanyakan yang lain bergantung pada hepar untuk metabolisme dan eliminasi.
Kerusakan dari fungsi hepar adalah konsekuensi langsung terjadinya gagal
hepar dan secara tidak langsung berdampak pada organ lain. Disfungsi multi
organ dihasilkan dari gangguan modulasi hormon, aktivasi sitokin, pelepasan zat
zat vasoaktif dan tidak bisa diurai produk hasil metabolisme yang menyebabkan
kerusakan hepar.

Anda mungkin juga menyukai