memperbincangkan perlunya konsep-konsep, paradigma, dan kategori-kategori khas Indonesia baik dalam penelaahan sejarah, teori estetis, maupun strategi kebudayaan umumnya. Namun membaca berbagai wacana itu selalu saja terasa ada sesuatu yang mengganjal. Misalnya, ada kecenderungan untuk buru-buru bicara tentang paradigma macam apa yang seyogianya digunakan. Dan biasanya lalu digali-galilah khasanah tradisi Indonesia, lantas dipas-paskan sebagai "paradigma" yang bersifat "khas Indonesia". Dalam rangka ini lantas ada yang keasyikan dan seperti menemukan kerangka "estetik nasional" yang elemen-elemennya konon ditemukan dalam "puncak-puncak" semua tradisi etnik di Indonesia. Terhadap kerangka estetis macam ini biasanya segera saja orang bertanya: "Bila karya seni saya tak memenuhi kriteria estetis macam itu, apa itu berarti tidak indonesiawi?" atau Xpakah dengan adanya kriteria itu berafti bahwa saya harus berkesenian secara begitu, agar bisa disebut otentik?" Peftanyaan-pertanyaan spontan yang penting dan ternyata tak mudah d'rjawab juga. Ada kecenderungan kuat pula dalam wacana itu untuk mengambil alih begitu saja konsep-konsep tentang "paradigma" dari dunia sains tanpa cukup waspada bahwa di dunia seni konotasi "paradigma" bisa berbeda. Juga biasanya dengan cepat mata rantai berbagai aliran yang muncul di dunia Barat dijadikan semacam rujukan utama dalam memandang pola "sejarah seni", misalnya: alur yang kurang lebih linier, suksesi dominasi aliran/gaya, situasi sosial politik yang berinteraksi di dalamnya, dan sebagainya. Dan dibayangkan bahwa sejarah seni di Indonesia pun kira-kira mesti dilihat seperti itu, tanpa waspada bahwa ada begitu banyak hal dalam situasi perjalanan kesenian di Indonesia yang mungkin sedemikian unik sehingga "pola sejarah" macam itu sesungguhnya tak bisa dikenakan pada konteks Indonesia tanpa jatuh menjadi aftifisial, Dalam kecenderungan itu semua, yang sering kali dilupakan adalah peftanyaan yang sebenarnya lebih mendasar, yaitu: apakah kita memang membutuhkan "paradigma"? "Paradigma" dalam aftian apa? Dan untuk apa? Ibaratnya kita itu begitu repot memilih desain kacamata, sementara tak pernah dipertanyakan dahulu apakah kita memang memerlukan kacamata dan kalaupun memerlukannya, kacamata jenis apa, misalnya jenis plus atau minus, antiair (kacamata renang), antiapi (kacamata tukang las), atau malahan tiga dimensi (seperti untuk nonton film). "Paradigma" dalam Sains Abad ke-20 adalah abad yang agaknya paling menarik dalam dunia sains, bukan karena berbagai temuannya kian menakjubkan-temuan apa pun kini makin menjadi hal yang biasa saja-melainkan karena belum pernah sebelumnya sains mencapai tingkat refleksivitas demikian mendasar seperti abad ini. Refleksivitas yang akhirnya berani dan mampu menggugat identitas diri "sains" itu sendlri. Masalah terbesar yang dihadapi sains di akhir abad ke-20 ini adalah "sains itu sesungguhnya apa". Sefta-merta urusannya bukan lagi rumus atau teori ilmiah yang revolusioner dan baru, dan bukan semata-mata perkara aksioma, metodologi, ataupun epistemologi, melainkan lebih mendasar, yaitu persoalan ontologi: sains itu apa, bagaimana sesungguhnya cara ia bekerja dan ber-evolusi, di mana posisi dan perannya bagi peradaban, dan seterusnya. Hal-hal itu pulalah yang menjelaskan popularitas dan signifikansi nama-nama para filsuf macam Popper, Kuhn, Lakatos, Feyerabend, Gadamer; ataupun Rofi. 26 i i I I I I I i I i i , I I Istirah "paradigma" muncur daram suasana refrektif di dunia sains macam itu. Maka bila istilah tersebut lantas menyebar dan digunakan di berbagai bidang lain, ada bagusnya kita tinjau dahulu maknanya di tempat asalnya. Dari sana barangkali kita temukan insight yang berguna untuk mendudukkan perkaranya secara lebih proporsional. yang bicara paling eksplisit tentang ..paradigma,, di akhir abad ke-20 ini agaknya adalah Thomas Kuhn, meskipun sebagai istilah," paradigma,, sudah digunakan sejak zaman plato, yang artinya,,model/contoh,,.1 Kendatipun pada Kuhn kerap kita temukan banyak nuansa tentang arti .,paradigma,, itu, dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan,.paradigma,, kurang lebih adalah: segala hasil penelitian terdahulu yang diakui dan digunakan oreh komunitas irmiah tertentu sebagai patokan dasar dan sumber penelitian selanjutnya. Hasil_hasil penelitian yang dijadikan patokan umum itu biasanya tampir daram bentuk buku teks baku, baik pada tingkat dasar maupun lanjutan. Isi konkretnya biasanya adalah: hukum_hukum, bangunan teoretis yang sudah diterima, berbagai contoh penerapannya yang berhasil, berbagai observasi dan eksperimen yang dianggap standar, sistem instrumentasi yang diperlukan, beserta cara kerja praktisnya di lapangan. Mengambilcontoh dari khazanah klasik, misalnya Physica karya Aristoteles, Almagesf dari ptolemeus, atau Principia dan Opticks dari Newton, telah berperan sebagai semacam "paradigma,, itu. Dua karakteristik yang biasanya dimiliki oleh paradigma adarah: 1. menawarkan unsur baru tertentu yang menarik pengikut keluar dari persaingan metode kerja dalam kegiatan ilmiah sebelumnya, 2, (serentak) menawarkan pula persoalan_persoalan baru yang masih terbuka dan belum terselesaikan.z "Paradigma,, macam itu pulalah yang lantas akhirnya disebut sebagai tradisi peneritian irmiah tertentu. Misarnya raru ada sebutan "Astronomi ptolemaic,i ..Astronomi Copernican,, "Dinamika Aristotelian,,,,'Dinamika Newtonian,i dan sebagainya. Mahasiswa yang memasuki komunitas ilmiah tertentu lalu dididik dengan berbagai paradigrna tersebut, dan karenanya-disadari ataupun tidak-masuk daram pola-pora konsensus dasar daram komunitas itu. suasana orientasi textbook ini pada girirannya mudah menyebabkan mahasiswa dan para praktisi dalam komunitas tersebut cenderung tidak memperkarakan prinsip atau asumsi-asumsi dasar di balik praktik-praktiknya. Inilah yang disebut Kuhn situasi " normar science", yaitu situasi ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan sehingga ia digunakan sebagai tolok ukur utama dan umum sampai seolah tak lagi perlu mempertanyakan ulang prinsip_prinsip pertamanya. Mahasiswa tinggal saja berkonsentrasi khusus pada berbagai fenomena yang paling pelik dan esoterik dengan cara kerja " p uzzle-so lvi n g" saja, artinya bahan-bahan pembentuk..p uzzle,- nya sudah dibuatkan oleh buku teks dalam tradisi, tak perlu mencari-cari bahan,,puzzle,, baru yang sama sekali berbeda. Efek bagus dari situasi '.normal,, ini adalah bahwa kita lebih mudah mendeteksi unsur ..kemajuan,, di situ. Tetapi dalam situasi modern, istilah ,.paradigma,, memang bernuansa agak lain, bila dibandingkan dengan situasi ilmiah pramodern. Sekurang-kurangnya hingga abad ke_17 belum berlaku tolok ukur tunggal atau dominasi paradigma tunggal dalam penentuan irmiah atau tidaknya suatu hasir penelitian. Jadi misalnya perkara cahaya dalam bidang fisika, berkembang berbagai aliran yang saling berkompetisi. Ada yang berkiblat pada Epicurus, add yang Aristotelian, ada yang Platonik, beserta segala variasinya, Bagi yang satu, cahaya diyakini sebagai partikel-partikel yang memancar dari tubuh_ tubuh material; bagiyang lain, cahaya adalah modifikasi medium antara tubuh dan mata; bagi yang lain lagi, cahaya adalah interaksi antara medium dengan pancaran dari mata, dan seterusnya. Masing-masing mengacu pada metafisika tertentu 27 sebagai sumbernya, dan memberi tekanan pada fenomena optik khusus yang lebih bisa dijelaskan oleh tiap-tiap teori itu" Yang menarik acjalah bahwa waktu itu mereka semua toh dianggap sebagai ilmuwan. Sebab memang tak ada satu standar umum yang disepakati Lrersarna" Yang rnenarik lagi adalah bahwa dalam situasi macam itu wacana yang berkembang lebih bersifat horizontal, artinya lebih terarah pada kubu-kubu satu sama lain yang bersaingan, ketimbang vertikal yaitu terarah pada fenomena alam itu sendiri. Pada abad ke-17 dan 1B situasinya berbeda. Pada masa Newton mulai muncul semacam keyakinan bersama tentang paham yang dapat dianggap standar. Opticks karya Newton misalnya mengajarkan bahwa cahaya terdiri dari corpuscles (partikel-partikel material, ed.)' Maka pandangan itu dijadikan patokan, sehingga kesibukan para fisikawan kemudian adalah mencari bukti-bukti tekanan partikel- partikel cahaya yang mendesak tubuh-tubuh padat. Tetapi pada abad ke-19, pandangan standar macam itu tertantang oleh tulisan Young dan Fresnel yang menyarankan gagasan bahwa sebenarnya lebih tepatlah cahaya dllihat sebagai gerakan gelombang. Sedang pada abad ke-20 orang umumnya meyakini gagasan lain lagi, yaitu bahwa cahaya adalah photon-photon, alias maujud-maujud mekanika kuantum yang dapat tampil baik sebagai gelombang maupun sebagai partikel. Ini tentu saja gagasan yang diinspirasikan oleh Planck, Einstein, dan lain-lain. Yang hendak dikatakan adalah bahwa "keilmiahan" pada situasi pramodern terasa jauh lebih pluralistis dan istilah "paradigma" tidak serta-merta berarti standar universal' Sedangkan dalam situasi modern, sesuai dengan tuntutan objektivitas yang meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, "paradigma" menjadi ungkapan kesepakatan umum dan karenanya berperan sebagai tolok ukur tunggal universal' Karenanya, dalam situasi modern lebih dimungkinkan melihat sejarah ilmu secara linier, yaitu sejarah sebagai suksesi dari paradigma domtnan ke paradignra iainnya, yarrg biasai"lya memang bersifat revolusioner. Dalam kerangka ini pula Kuhn bicara tentang "revolusi ilmiah".3 Memang akhir-akhir ini sa!ns pun terpaksa agak berubah dalam memahami realitas alam semesta maupun dirinya sendiri, Dalam kerangka klasik Newtonian alam dilihat sebagai benda yang pasif dengan hukumnya yang berjalan bagai otomat, sedang sains sendiri dimengerti sebagai observasi ketat dan netral atas data, lantas berurusan dengan kerangka kausalitas yang deterministis. Alam semesta ini dilihat sebagai suatu mekanisme yang sederhana, dikelola oleh hukum-hukum dasar yang abadi, tak kenal waktu, reversible, a temporal. Segala hal dalam alam ini unsur dasarnya satu dan sama, analog dengan segala bentuk bangunan (rumah, masjid, pabrik, dan sebagainya) yang unsur dasarnya hanyalah batu bata. Itu sebabnya mekanika klasik lni banyak berfokus pada wilayah mikro. Dampak dari pola berpikir macam ini antara lain adalah munculnya dualisme anlara worldvievv ilmiah dan worldview religius, antara realitas yang diyaklni sebagai mesin dengan hukum universalnya yang seragam-mekanis dan realitas yang diyakini sebagai proses kreatif, hidup, berkebebasan, dan digerakkan kasih Tuhan, Joseph Needham menganggap dualisme macam ini sebagal akar dari skizofrenia Barat.4 Tetapi semua itu klni telah berubah. Eddington menemukan bahwa penelitian pada tingkat mikro, yaitu pada partikel-partikel elementer sebenarnya tak mampu menjelaskan perilaku pada tlngkat makro, yaitu pada konfigurasi total kumpulan molekul. Sejak munculnya Mekanika Kuantum dan Teori Relativitas diyakini bahwa partikel-partikel sebenarnya selalu berada dalam proses transformasi terus-menerus ke 3 4 Ibid., pp. tZ-13. :. rueednam @t. al.), A Shorter Science and Civilization in China, vol.I, Cambridge University Press, Cambridge, 7978, p- 170. 2A dalam satu sama lain. Dari sana ditemukan bahwa ternyata semesta ini kompleks dan tidak sederhana, pluralistis dan tidak seragam, unik, tem poral- i rreversible dan tidak deterministis-a temporal. Struktur-struktur bisa bermunculan lalu hilang kembali. Realitas ternyata dikendalikan oleh proses yang bersifat fluktuatif. Memang ada saatnya ia bisa dipahami secara deterministis, namun kali lain sering lebih bisa dipahami sebagai proses yang bersifat probabilistis. Persisnya, pola determinisme hanya relevan bagi situasi ekullibrium, yang sebetulnya langka. Alam semesta pada dasarnya mengandung unsur-unsur yang pada dasarnya acak, unik, dan spontan. Materi bukanlah substansi pasif, melainkan aktivitas spontan dan kreatif-soal relasi dan komu n i kasi-di dalam waktu. TEori tenta n g Di ss i pative Structu re darillya Prigogine kini mengeksplisitkan semua itu. Baginya alam semesta ternyata tak selalu berada dalam situasi ekuilibrium. Bila situasi berubah dari ekuilibrium ke far from equilibrium, maka pola repetitif-universal-mekanis berubah ke pola spesifik, spontan, dan tak terduga. Lantas dimungkinkanlah transformasi dari chaos ke order, terbentuklah tatanan baru, yang oleh Prigogine disebut dissipative structure itu. ladi pada situasi macam itu semesta ternyata bekerja dalam proses yang bersifat nonlinier dan kreatif. Seolah bila dalam keadaan ekuilibrium materi itu "buta", dalam keadaan far from equilibrium materi jadi bisa "melihat" (melihat masalah dalam medan elektrik atau gravitasional, misalnya) dan cepat mengambil sikap kreatif baru. Perubahan-perubahan kecil pada tingkat elementer mikroskopis dalam konteks ini dapat menggelombang menjadi perubahan besar pola perilaku pada tingkat makroskopis.5 Baik dari bidang partikel elementer, kimia, biologi, maupun kosmologi kini dltemukan bahwa alam ternyata memiliki unsur-unsur self- organization, kompleksitas, dan temporalitas (proses evolusioner). Semua perubahan itu telah membawa perubahan pula bagi pemahaman diri sains itu sendiri. Bahwa ternyata dimungkinkan perubahan pandangan yang demikian radikal dalam dunia sains, menunjukkan bahwa ada interaksi sistematis antara konsep-konsep teoretis dan observasi; bahwa respons alam terhadap interogasi eksperimental sains sebetulnya sangat ditentukan oleh kerangka teoretis yang digunakan sains itu. Dengan kata lain, kini disadari bahwa konstruksi intelektual manusia sendiri ternyata sangat menentukan paham yang didapat tentang "apa"-nya realitas. Apa pun yang kita sebut "realitas" sebetulnya dibukakan pada kita hanya melalui konstruksi aktif pikiran kita sendiri. Tagore, pernah berkata bahwa "bahkan kalaupun kebenaran absolut itu ada, kebenaran itu tak akan pernah terjangkau oleh pikiran manusia". Ternyata omongan ini bukanlah sekadar kegilaan mistik. Ternyata segala bentuk pengukuran, eksperimen, dan observasi hanya dimungkinkan karena kita sudah punya kerangka teoretis terlebih dahulu.6 Dari sana dunia ilmiah pun kini menyadari bahwa ternyata yang sebenarnya menjadi persoalan pokok adalah soal "makna", bukan sekadar perkara "fakta" seperti keyakinan naif dunia ilmiah klasik. Ketika Bohr mengunjungi Kastil Kronberg, dia berkata kepada Werner Heisenberg bahwa kastil yang sebetulnya biasa saja seperti kastil lainnya itu, tiba-tiba berubah ketika disadari bahwa Hamlet pernah tinggal di situ. Inilah persis persoalan "makna" itu. Meskipun demikian, masalahnya tetaplah dalam dunia sains itu terdapat keyakinan bahwa ada paradigma umum. Isi paradigmanya memang bisa berubah, taruhlah dalam sains klasik titik berat pada persoalan "relasi" dan"irreversibility'. Bahkan kalaupun tekanan itu pada pluralitas dan partikularitas itu tetaplah diyakini sebagai universal juga. ] rinat Itya Prigogine (et. al.), Order Qut of Chaos, Flamingo, London, 1990, pp. 7-10. D Bandingkan juga D. S. Konthari, Some Thought on Truth, lndian National Science Academy, Bahadur Shah Zafar Marg, New Delhi, 1975, p.5. 29 +{++trEi++ru ;:-j,l: :=l';'..il!l.ri','i.l ri j: .. :j.r.i ,: :3 .;.il*.;r.!i:esii',.:i; [9] Edo Pillu, Stupidity Arrogance [fO] Edo Pop, Mengurai Perjalanan Absurd Sejarah dan Paradigma Kesenian Ketunggalan, keuniversalan, dan konsepsi yang linier tentang sejarah, pada hematsaya adalah hal-hal pokokyang kelak akan sangat menentukan pula manakala kita bicara tentang seni rupa. Pertama-tama harus segera dikatakan bahwa dominasi sains dalam peradaban modern memang sangat menggoda segala bidang lain untuk mengikuti pola-pola kerja sains itu. Objektivitas dan sifat universal sains beserta mitos "kemajuan" yang dikembangkannya membuat orang tak lagi cukup waspada terhadap kekhasan dasar bidang-bidang lainnya. Bahkan karenanya konsep tentang "sejarah" yang demikian linier itu sendiri pun sepertinya tak pernah diperkarakan. Di bidang seni pun lantas sejarah perkembangan seni di Barat, misalnya, selalu saja cenderung dilihat sebagai rangkaian babakan yang ditandai patahan-patahan revolusioner (ruptures) yang biasanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sosial politik yang menentukan seperti: abad Pertengahan, Renaisans, Barok, Romantik, Modern, Kontemporer, dan sebagainya; atau dikaitkan dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang "gaya" (style, schools) sepeft i : Naturalisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Abstrak Ekspresionisme, dan seterusnya. Dan pola memahami sejarah macam itu serta-merta juga menjadi pola baku yang digunakan dl berbagai tempat. "Gaya" (aliran atau style) dan 30 kondisi sosial politik dilihat sebagai dua kunci untuk memahami "paradigma" kesenian. Implikasi dari ini semua adalah bahwa pengertian..seni,, itu sendiri mau tak mau mengikuti pola pemahaman Barat juga. Seperti sains, seolah definisi "seni" pun mesti universal, dan itu berafti definisi seni ala Barat-lah yang menjadi patokan. Kecenderungan di atas itu membawa dampak yang sesungguhnya problematis. Misalnya saja, segala bentuk kesenian tradisional di berbagai negara lain yang non-Barat, betapa pun canggihnya, statusnya tak akan lebih daripada .'kerajinan,,. Dianggap menarik, bukan pertama-tama sebagai benda seni_ seolah "kerajinan" bukanlah seni sama sekali-melainkan sebagai data antropologis yang eksotis saja sekaligus sebagai bukti-bukti keprimitifan alias keterbelakangan. Sementara di sisi lain segala bentuk "modern" kebarat-baratan yang berkembang di negara- negara non-Barat itu cenderung dilihat sebagai seni yang ..tidak otentik". Kecenderungan ambivalen ini mau tak mau senantiasa berdampak mendudukkan Barat selilu dalam posisi superior, dan di luar Barat menjadi selalu inferior. Betapa pun kuatnya-dalam skala formal-bentuk "abstrak ekspresionistik" patung-patung Asmat ataupun Nias, hanya akan dianggap sebagai ungkapan ketidaktepatan persepsi fisiognomis orang primitif, ibarat lukisan anak-anak yang beium mampu menangkap rincian bentuk normal- natural.T Kajian sejarah dalam dunia seni sesungguhnya bisa mengincar objek yang amat beragam, dan sifat kajiannya pun bisa beragam. Pada tingkat yang paling sederhana, sejarah hanya bisa berupa cerita yang sifatnya deskriptif saja, misalnya tentang bagaimana dari zaman ke zaman manusia menciptakan dan mengolah imaji. Memang dari cerita macam itu orang juga bisa membuat sejarah yang lebih bersifat evaluatif, tak sekadar deskriptif, misalnya dari berbagai fenomena olah imaji itu, mana yang dianggap paling "bermutu,, dan layak disebut sebagai "Seni" (dengan S besar). Sejarah juga bisa sekadar cerita perkembangan teknis seperti teknik melukls, alat-alat dan teknik musik, teknik arsitektur, dan sebagainya. Bisa juga ia hanya bercerita tentang perubahan selera atau fungsi seni, dan sebagainya, Tetapi akhirnya yang akan sangat penting adalah konsep "sejarah" itu sendiri dimengerti sebagai apa. Bila sejarah hanya dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan pendataan saja, maka kecenderungannya akan lebih bersifat deskriptif. Namun bila dalam pengertian "sejarah" terkandung pretensi untuk melihat sejenis "evolusi peradaban", seperti yang dipikirkan Hegel misalnya/ mau tak mau muncul kecenderungan kuat ke arah sifat evaluatif bahkan normatif. Dan yang terakhir ini memang merupakan godaan kuat dalam alam berpikir modern, orang tak cukup bersahaja untuk mau melihat realitas sebagai sekadar "perubahan" dan selalu ingin melihatnya dalam perspektif "vertikal" alias dalam kerangka .'kemajuan,,, Untunglah ada orang-orang macam Foucault ataupun Deleuze yang mencoba melihat realitas historis itu secara lebih "horizontal', yakni sekadar melihat jaringan berbagai saling- keterkaitan yang mungkin antar berbagai unsur/peristiwa, lantas menemukan insights baru (apa pun itu) daridalamnya. Kaum pascastrukturalis ini, betapa pun ganjilnya cara berpikir mereka, menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa ..sejarah,, adalah lahan interaksi berbagai peristiwa yang demikian luas kemungkinannya untuk dimaknai. Dan "makna,, itu bisa apa pun juga. Ini memang perspektif yang tak lagi bersandar pada metafisika "substansi" atau "esensialisme,, modern yang selalu berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu ada esensinya, dan esensi itu satu. Dalam kerangka metafisika macam itu memang ada gelagat kuat untuk menjadikan Gombrich, A Lifelong Interests, Conversations on Aft and science with Didier Enbon, Thames and Hudson Ltd., London, 1993, p. 9g. 31 peradaban tertentu sebagai tolok ukur tunggal, yang sesungguhnya merupakan pemiskinan dan pengerdilan realitas. Komunitas llmuwan dan Komunitas Seniman Bahwa sejarah ilmu yang cenderung dilihat secara evolusioner tidak selalu sesuai untuk ditransfer polanya ke dalam sejarah seni, sebetulnya juga berkaitan erat dengan kenyataan bahwa jenis komunitas dan kegiatan ilmiah sesungguhnya memiliki karakter yang berlainan dengan jenis kegiatan dan komunitas seni. Bagaimanapun komunitas ilmuwan bersifat lebih eksklusif daripada komunitas seniman. Ilmuwan bekerja dalam sorotan para anggota kelompok sejawat, yaitu orang-orang yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai serupa. Karena itu pula mereka lebih mudah menggunakan satu standar penilaian yang sama. Sementara para seniman lebih tergantung pada penilaian khalayak awam yang bersifat heterodoks. Itu karena para seniman selalu membutuhkan agar karyanya ditampilkan dan dinikmati orang banyak. Dan ini mengakibatkan sulitnya menerapkan standar tunggal untuk menilai karya-karya seni. Ilmuwan-khususnya yang dari bidang-bidang eksakta-tidak perlu memilih persoalan yang hendak ditelitinya sebab sistem, metode, dan konteks yang mereka gumuli itu sendirilah yang akan menurunkan berbagai persoalan yang harus ditelaah lebih lanjut. Sementara para seniman (dan ilmuwan sosial ataupun filsuf) biasanya harus mencari dan memilih sendiri, serta mempertanggungjawabkan sendiri pula persoalan-persoalan yang hendak digarapnya. Dan, terutama dalam kegiatan seni kontemporer yang konseptualistis, ini sering sangat berkaitan dengan masalah-masalah dalam kehidupan konkret aktual. Para ilmuwan*khususnya di bidang ilmu-ilmu alam- umumnya dididik dengan ketergantungan serius pada buku teks (yang memang up-to-date), meskipun pada tahun-tahun akhir mereka dimungkinkan mengadakan riset sendiri juga. Dan kegiatan problem-solving mereka pun lebih berupa puzzle- solving. Semua itu lantas mengakibatkan situasi dalam ilmu- ilmu ini sesungguhnya tidak terlalu kondusif untuk munculnya temuan-temuan atau pendekatan-pendekatan baru, Bahkan bukan tak mungkin, para mahasiswa fisika misalnya merasa tak perlu membaca langsung karya-karya Newton, Faraday, Einstein, ataupun Schrodinger, oleh karena segala yang perlu mereka ketahuitoh sudah diringkaskan secara lebih efisien dan sistematis dalam berbagai buku tek. Dari sudut ini, ilmuwan terasa berkecenderungan "tradisional", dalam arti segala pola pikir sebelumnya dilihat dengan terarah secara lurus dan akumulatif pada saat ini. "Kemajuan" pun cenderung dilihat dalam kerangka linier macam itu, karena itu komunitas para ilmuwan cenderung merasa aman dan mapan. Mereka tidak mudah mengambil paradigma yang sama sekali baru, sebab hal itu akan mengakibatkan banyak halyang telah lama dianggap sebagai fondasi akan diperkarakan dan terbongkar. Dengan kata lain, sebetulnya di bidang ilmiah, "kebaruan" bukanlah sesuatu yang secara psikologis sungguh dikehendaki. yang namanya "kebaruan" biasanya bisa ditolerir hanya bila tetap memungkinkan kerangka problem-solvingterdahulu digunakan, dan bila paradigma baru itu betul-betul mampu memecahkan persoalan penting dan menonjol, yang dengan cara lain memang tak bisa dipecahkan. Tidaklah mengherankan bila Kuhn lantas mengatakan bahwa meskipun sains memang bisa makin mendalam, toh ia sulit untuk semakin melebar dan meluas daya jangkaunya. Dalam kerangka ini semua, Kuhn bahkan mengatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia sains sesungguhnya tidak selalu berarti semakin dekatnya kita pada kebenaran.S j 32 8 Thomas Kuhn, op.cit., pp. 164-70 Dalam dunia seni (juga ilmu sosial dan filsafat) buku teks tak pernah menduduki posisi sedemikian sentral hingga menimbulkan ketergantungan. Dalam dunia seni, yang lebih menentukan perkembangan adalah tereksposnya seniman atau calon seniman itu pada karya-karya seniman laln yang notabene beragam sekali coraknya. Maka dunia seni lebih terbiasa melihat beragam persoalan dengan beragam solusi yang ditawarkan, Dalam dunia yang dipenuhi atmosfer kreatif ini sesungguhnya menjadi tidak wajar memandang masa lalu sebagai alur lurus sederhana ke arah masa kini seperti dalam dunia sains. Seni adalah realitas yang alur sejarahnya sudah selalu centang- perenang ke segala arah dan ke berbagai alternatif. Ini persis dunia filsafat yang meskipun sepertinya problem dasarny'a sama- yaitu "realitas ini apa?"-toh penjabaran persoalan dan bentuk jawabannya betul-betul memperlihatkan demikian banyak kemungkinan. Dalam konteks ini, "kebaruan" seolah justru merupakan hal penting yang dicari orang. Suasana avant-garde di masa lampau adalah contoh ekstrem betapa akhirnya kebaruan sering dicari demi "kebaruan" itu sendiri saja (asal baru), dan tak selalu demi peningkatan teknis maupun isi substansi. Bila dalam dunia sains, segala bentuk kebaruan akan dikaji berdasarkan kerangka "tradisional", maka dalam dunia ,, seni bisa persis sebaliknya, segala bentuk alur tradisional akan dinilai ulang berdasarkan kebaruan-kebaruan atau berdasarkan semangat kreatif baru. Dari sudut ini, meskipun seniman-seniman bisa saja berkelompok dalam sebuah komunitas aliran/gaya/tradisi tertentu, toh sesungguhnya seniman itu pada kodratnya adalah petualang-petualang yang soliter. Pada titik ini sesungguhnya selalu terasa kurang pas bila kita bicara tentang sebuah "paradigma" dalam artian tolok ukur komunal ataupun umum. Lebih tepat agaknya bila kita melihat para seniman itu sendirilah masing-masing yang merupakan "paradigma", yaitu sebagai individu dengan kreativitas dan rangkaian perjalanannya yang khas. Pertanyaannya adaiah, bagaimana sebuah paradigma diadopsi dalam komunitas ilmuwan dan komunitas seniman itu nuansanya juga bisa sangat berbeda? Bagaimanapun juga dalam konteks dunia ilmu modern, yang meyakini tolok ukur tunggal sebagai cerminan objektivitas universal, mengadopsi sebuah paradigma baru yang berkaitan erat dengan tersingkapnya sisi lain dari realitas. Dus, "vertikal'i seolah karena realitasnya ternyata berbeda maka kacamatanya diganti. Itu keyakinan dasarnya. De facto, diterima atau tidaknya paradigma baru itu memang lebih sering dipengaruhi faktor psikologis, praktis, maupun sosiologis, ketimbang faktor ontologis sungguhan, seperti telah diuraikan di atas. Dalam dunia seni, kalaupun dominasi suatu kecenderungan pola pandang, tema. ataupun gaya bisa dianggap sebagai dominasi sebuah paradigma (ini masih selalu bisa dipersoalkan), maka ternyata ada banyak sekali kemungkinan variabel yang bisa mempengaruhi diterima atau tidaknya paradigma itu. Umumnya itu lebih pada persoalan "horizontal" saja, bahkan sering kali unsur-unsur kebetulan dan irasional ikut berperan. Kesenian meledak dalam zaman Renaisans, konon salah satu penyebabnya sederhana saja, yaitu kebiasaan para imam Fransiskan dan Dominikan abad ke-13 dan 14 yang bila berkhotbah menggunakan teknik meditasi pembayangan. Misalnya, "Bayangkanlah Maria sedang duduk, mendengar suara dari malaikat ... dan seterusnya". Teknik pembayangan atau visualisasi macam inilah konon yang antara lain di kemudian hari berkembang menjadi drama-drama dan lukisan.9 Unsur kebetulan berperan di sini. Akibat Protestanisme yang bersifat ikonoklastik alias tak menyukai berbagai bentuk simbol dan imaji dalam gereja, e Lihat Gombrich, op.cit., pp.73-75 33 [11] Aminudin Th. Siregar, My Story, Desire & Nothingness misalnya di Inggris kesenian sempat tak berkembang bahkan nyaris mati. Saat itu seniman dianggap profesi yang tak punya masa depan. Tetapi di negeri Belanda/ yang juga saat itu dikuasai Protestanisme, tradisi seni tetap maju, sebab kendati tidak mereka pakai sendiri, karya-karya mereka itu diekspor untuk kolektor luar negeri, Unsur bisnis sangat berperan di sini. Teknik-teknik ataupun peralatan baru blsa juga ikut menentukan, sebab membuka kemungkinan baru yang lebih luas. Ketlka muncul orgel pipa, maka penciptaan gubahan- gubahan musikal yang lebih rumit, seperti "fuga", jadi lebih dimungkinkan daripada sewaktu musik hanya dimainkan dengan sebuah suling sederhana. Meskipun tetap perlu diingat bahwa orgel pipa dan komposisi-komposisi macam fuga dimungkinkan karena dirintis oleh tradisl suling juga. Memang terobosan- terobosan baru bisa muncul juga karena intensitas pergumulan dengan tradisi. Dalam dunia seni rupa munculnya alat fotografi tentunya juga ikut merangsang orang berubah pikiran tentang apa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arah impresionistik. Memang perubahan ini juga dimungkinkan karena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada prinsip mimesis hingga jenuh. Unsur kejutan baru pun bisa ikut berperan sebagai pembuka kemungkinan-kemungkinan baru. Bila biasanya patung-patung tidak diberi warna dan tiba-tiba seorang seniman terkemuka mewarnai patung-patungnya, misalnya, bisa saja inl kemudian dlterima sebagaijalan keluar dari kejenuhan, yang lantas membuka gaya baru. Sebuah style bisa juga menjadi dominan karena kebetulan ia persis memenuhi kebutuhan akan selera baru. Ini soal selera pasar. Style Gotik yang diawali oleh Abbot Suger dari St. Denis segera ditiru banyak orang antara lain konon karena hal itu memenuhi hasrat orang zaman itu akan kaca- kaca besar dan bentuk-bentuk lentur melingkar, sebab bosan pada garis-garis kaku, berat, dan anggular. Barangkali perkaranya mirip walkman. Awalnya orang tak berpikir ke situ dan tak menginginkannya, namun ketika nekat diproduksi oleh Jepang, orang seperti dibantu merumuskan kebutuhannya, kebutuhan akan kenikmatan menikmati musik yang bersifat pribadi, intim, dan mobile dalam masyarakat yang semakin individualistik. Maka muncullah wabah walkman. Berkaitan dengan selera pasar ini, sulit dipungkiri bahwa sering seniman pun sangat dipengaruhl olehnya. Misalnya ketika sfyle Impresionisme dominan, maka gaya itu pulalah yang terasa bergengsi, sehingga melukis dengan gaya naturalistik menjadi terasa inferior. Masyarakat Barat ketika menjadi modern sangat menekankan prestasi individual, dan karenanya situasi menjadi cenderung kompetitif. Sejak Giotto menandatangani karyanya orang pun tersadar akan tuntutan prestasi individual itu dalam kesenian juga. Antara laln sejak itulah mulai berkembang konsep tentang seniman sebagai "great mastel', bahkan kelak 34 !*"., d f It21 Hedi Hariyanto, Aku Suka Karnu (Tempe) nyaris bagaikan "nabi". Padahal sebelumnya seniman tak lebih bagai perajin alias tukang biasa saja. Situasi kompetitif ini pula yang dalam skala jangka panjangnya telah ikut melahirkan sejarah sukesi aliran/gaya dalam dunia seni di Barat. Itu unsur khas Barat. Sedangkan di India ataupun Cina dan Indonesia misalnya, tidaklah terasa oleh karena suasana umum sosialnya masih berpola komunal dan kesenian pun belum sungguh-sungguh merupakan bidang yang sangat otonom, karenanya tak menghasilkan sejarah mata rantai paradigma sepefti dalam dunia seni di Barat. ladi unsur pola dan disposisi mental-kultural masyarakat pun san gatlah berperan. Style pun bisa tiba-tiba menjadi dominan bila ia mampu merumuskan mood ataupun atmosfer lingkungan yang konkret dialami namun sering sulit dirumuskan. Misalnya saja, gaya asembling, kolase, ataupun juktaposisi sewenang-wenang-yang akhir- akhir ini sepertinya selalu saja kita jumpai dalam berbagai karya seni-sangat mungkin menjacli dominan karena ia persis menampilkan aspek komposit dari kenyataan dunia manusia kontemporer, yang memang serba campuran, serba hibrida, hampir dalarn segala sisi kehidupannya. Semua ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa dalam dunia seni posisi paradigma sesungguhnya tidaklah sama dengan paradigma dalam dunia sains. Dalam dunia seni, unsur_unsur kontekstual-lokal dan unsur irasional demikian besar pengaruhnya, sehingga rnestinya konsep tentang sejarah seni pun tak bisa persis bersifat seevaluatif dan senormatif sejarah sains. Penulisan sejarah seni dengan demikian akan lebih berguna bila ditulis secara lebih modest, lebih deskriptif, melukiskan berbagai bentuk "perubahan" dengan segala kemungkinan penyebab dan akibatnya, tanpa pretensi melihatnya sebagai "kemajuan" dan tanpa buru-buru menerapkan kotak-kotak kategorisasi yang sudah dirancang sebelumnya. Apalagi sambil menganggap paradigma-paradigma teftentu sebagai tolok ukur- tolok ukur umum. Seni sebagai Istilah yanE'"Licin" Semua perasaan ketidakcocokan yang mengganjai manakala kita membandingkan antara seni dan sains di atas tadi, boleh jadi sesungguhnya berakar pada ambiguitas makna kata "seni" itu sendiri. Istilah seni memang mengandung pengertian yang sangat"licin'l Di satu sisi pengeftiannya mau dipasti-pastikan sepeti yang senantiasa terjadi dalam kultur Barat yang rnemang sangat verbal dan diskursif itu. Di sisi lain upaya-upaya macam itu pun ujung-ujungnya seperti mengalami frustrasi sendiri, Arthur C. Danto menyebut situasi saat ini "fhe end of art'.lo Sedangkan Gombrich menuliskan kalimat pertama dalam Ihe Story of Art, "There realty is no such thing as art. There are only artists."Lt 10 Lihat wawancara Arthur c. Danto dengan suzi Gablik dalam suzi Gablik, converntion Before the End of Time, Thames and Hudson, London, 1995, p.277; jugaArthur c. Danto, Beyond the Brillo Box: The Visual Afts in Post-historical Perspectives, Farrar, Strausse and 6iroux, New Yotk, lgg2. u E.H. Gombrich, The ,tory of Art, Phaidon Press, London, 1950 (fifteenth edition, 1989). 35 [13] Yuswantoro Adi, Giant Puzzle Pernyataan-pernyataan macam itu hari-hari ini bertebaran di mana-mana dan menunjukkan betapa sia-sianya segala upaya untuk menetapkan hakikat "seni" itu. Sepanjang sejarahnya, bila ditinjau secara umum dan luas, maka pengertian "seni" de facfo telah berubah terus- menerus. Dalam masyarakat pramodern ada. kecenderungan kuat bahwa seni itu merupakan bagian erat dari religi dan statusnya hanyalah sebagai keterampilan teknis saja. Dalam konteks Barat istilah ars aslinya juga berarti : skill, craftsmanship, alau keterampllan teknls. Sekurang-kurangnya hingga zaman Renaisans pengertian macam itu di Barat masih berlaku, hingga waktu itu antara teknik, pertukangan, bahkan sains dengan seni tak jelas bedanya. Pada figur macam Leonardo da Vinci tumpang- .tindih pengertian itu jelas sekali terasa: ia itu seniman, sekaligus ilmuwan, dan tukang. Ketika seni masih erat terkait pada religi, keterampilan teknis itu pun berkaitan erat dengan ritual religius. Di sini seni adalah pola-pola ungkap pengalaman religius, Katakanlah, ia berfungsi menggarisbawahi kemisteriusan realitas sakral- transenden. Dalam kerangka ini tidak mengherankan bila bentuk seni itu umumnya bercorak dekoratif, ornamental, dan stillstik. Stilisasi di sini bukanlah sekadar "penggayaan'i bukan pula ungkapan ketidakmampuan perseptual. Kecenderungan mendistorsi bentuk-bentuk normal-natural itu agaknya lebih tepat dilihat sebagai strategi untuk menampilkan interioritas, aura sakral, ataupun roh di balik tampilan-tampilan fisik material' Yang menarik pada periode ini adalah juga bahwa seni di slni berslfat sangat populis, urusan bersama dan bagian hidup sehari-hari. Seniman bukanlah sosok istimewa sekali dengan status sosial khusus, melainkan bagian dari masyarakat dan hidup sehari-hari yang biasa saja. Perubahan pengertian tentang "seni" mulai terasa menonjol di kemudian hari terutama dalam dunia Barat modern. Dalam atmosfer modern itu, seni seolah melepaskan diri dari institusi religius dan meraih otonominya sendiri. Sejak itu kegiatan kesenian cenderung menjadi medan eksplorasi bentuk, materl, dan teknik. Memang ini berkaitan dengan berbagai gejala lain yang mencirikan kemodernan. Misalnya saja, yang utama adalah bahwa dalam pola pikir modern religiositas memang cenderung tersingkil sekurang-kurangnya tidak lagi menjadi poros utama kehidupan. Ketika kehldupan lebih dikelola berdasarkan perspektif sekuler dan rasional, kesenian pun cenderung menjadi persoalan teknikalltas dan reflektivitas. Musik tak lagi peduli dengan keagungan, keindahan, dan harmoni, melainkan menjadi perkara eksplorasi hakikat "musik" dan fenomena "bunyi" itu sendiri. Tarian menjadi pencarian hakikat "gerak'1 Seni rupa menjadi refleksi tentang makna terdalam "imaji" dan "simbol" dalam skala seluas- luasnya. Sedang seni pertunjukan sibuk bergulat dengan interaksi dialektis hakiki antara pementasan dan kehidupan nyata secara timbal-balik. Dengan itu semua kesenian lantas 36 menjadi sangat elitis borjuis dan berwatak personal sangat kental. Seniman menjadi semacam genius-genius yang menempati status sosial elitis juga. Serentak karya_karya seni makin bersifat filosofis dan makin jauh dari persepsi dan apresiasi masyarakat kebanyakan. Sehingga ketika akhirnya kesenian macam ini masuk kembali ke wilayah banalitas sehari-hari justru menjadi terasa aneh. Gelagat yang dipelopori Dadaisme, lalu Pop art, musik konkret, instalasi, multimedia, dan seterusnya, malah diragukan justru oleh mereka yang dididik dalam kerangka estetika modern. Dan itu pula sebabnya kelompok-kelompok tersebut di atas sekaligus saja menyebut dirinya ,,anti-ar( alau "pascaestetik", dan sebagainya. Sejak itu konsep tentang ..seni,, dan "apa itu seni" memang menjadi tema utama perbincangan hingga hari ini. Sebenarnya dari dulu pengertian tentang ..apa itu seni,, sudah selalu problematik. Salah satu yang menarik misalnya, apakah arsitektur itu termasuk sebagai seni atau bukan? Dalam kultur dan bahasa Jerman arsitektur termasuk dalam istilah kunsd, sementara dalam bahasa Inggris ia tidak termasuk dalam istilah art Dalam konteks kesenian modern misalnya, kerajinan (craft) tidak pernah dianggap sungguh-sungguh "seni,, berhubung dalam paham modern ada anggapan bahwa yang betul-betul seni itu adalah yang termasuk dalam,,high ar(, yang dalam Bahasa Indonesia dahulu sering diasosiasikan dengan "seni murni". Dalam kerangka ini karya-karya seni primitif-betapa pun mengandung intensitas-toh tak akan pernah disebut sebagai "seni" dalam arti sesungguhnya. Mereka akan tetap sekadar produk "kerajinan". Di Cina, kaligrafi adalah betul-betul "seni" yang intensitas dan status kulturalnya tinggi, padahal di Barat tidak. Untuk secara persis menyebut "seni" dan bukan seni sering kali sangat tergantung pada cara peradaban tertentu memahami dirinya. Apa yang kita hargai dan kagumi, serta bagaimana cara kita menangkap dan menghargai sesuatu (sebagiannya) agaknya ditentukan oleh peradaban yang menghidupi kita. Kalau tetangga kita mengatakan bahwa picasso itu hebat, maka kita juga ingin beranggapan sama, sampai akhirnya kita memang melihat mengapa dia hebat. Dalam situasi dan kondisi teftentu orang sepefti Herenimus Bosch atau Salvador Dali boleh jadi tak lebih dari orang-orang yang kurang waras. Tetapi bila dikondisikan sedemikian rupa bahwa mereka itu sebetulnya "genius"-yang memang masuk akal juga-maka lama-kelamaan kita memang meyakini bahwa mereka itu genius. Setiap peradaban dan zaman biasanya memiliki kriteriumnya sendiri dalam hal ini. Doktrin yang menguasai dunia seni abad ke-18 misalnya, adalah bahwa seni haruslah menampilkan perasaan terdalam para tokohnya, agar para penonton tersentuh. Itulah yang ada di balik adagium "aft must be noble". Pada abad ke-19 lain lagi prinsipnya, yang lebih penting adalah kejujuran dan perasaan si senimannya, "art must be sincere". Hal terakhir ini khususnya dipengaruhi psikoanalisis yang meyakini bahwa seni itu mirip mimpi, dan itu soal "pengakuan pribadi". Tetapi selain pengeftian "seni" yang relatif itu, yang agaknya lebih perlu kita perhatikan adalah perbedaan pola persepsi sains dengan seni sebagai fenomena-fenomena umum. Maka di sini telaah fenomenologi-hermeneutis menjadi menarik, Secara singkat dapat dikatakan bahwa pola persepsi ilmiah berkecenderungan mengamati kenyataan dengan berjarak, jarak analitik. Sehingga persepsi ilmiah selalu mengandaikan realitas sebagai sesuatu yang berada di luar kita, sebagai "objek". Dengan sendirinya manusia (peneliti/ilmuwan) lantas menganggap dirinya sebagai "subjek". persepsl ilmiah juga bekerja melalui proses abstraksi, dalam arti ia selalu rnencari unsur-unsur yang sifatnya umum saja dari realitas konkret, yang sesungguhnya partikular. Dengan cara kerja macam itu, maka pola logika yang digunakan pun bersifat linier, atau meminjam istilah Afthur Koestler, "asosiatif,, alias hanya melihat keterkaitan di antara fenomena-fenomena yang satu kategori atau kategori-kategori yang berdekatan (tiang listrik dengan kabel listrik, dengan lampu, dan seterusnya). Lebih jauh lagi, sains selalu berkecenderungan untuk mengukur dan 37 mengal kulasi. Keterukuran (com me nsu ra b i I ity) adalah sa lah satu karakter fundamental persepsi sains. Maka pola wacananya pun haruslah pola lugas-literer. Metafor ataupun analogi hanya digunakan bila hal itu menunjang kelogisan penjelasan harfiah saja. Persepsi seni bagaimanapun sangatlah berbeda. Seni memang juga hendak bicara tentang realitas, namun justru dengan cara melebur menyatu dengan realitas itu sendiri. Dengan bahasa Gadamer, yang terjadi dalam persepsi seni adalah proses "bermain", yaitu proses di mana Subjek dan Objek tak ada lagi, yang ada dan menampilkan diri adalah "permainan" itu sendiri.12 Dalam proses macam itu seniman menguasai realitas justru dengan membiarkan diri dikuasai oleh realitas itu. Ia menangkap sesuatu justru dengan menenggelamkan diri dalam sesuatu itu, bukannya dengan mengambil jarak analitis lantas membedahnya. Maka. yang menjadi penting bagi seorang seniman bukanlah proses abstraksi. Namun kebalikannya proses merasuki kekonkretan dan keunikan realitas dalam segala keterkaitannya dengan realitas lainnya yang tak terduga. Maka pola logika yang digunakannya pun sama sekali tidak linier, melainkan lateral, menyamping, bahkan ke sdgala arah dan kategori. Dengan istilah Arthur Koestler, logika yang berlaku di sini adalah logika "bisosiatif i segala hal bisa berkaitan dengan segala hal lain. Bagi seorang seniman misalnya, jenis-jenis menu makanan bisa dilihat begitu ei'at ierkait dengan percaturan politik ataupun musik' Maka jenis "kebenaran" yang ditampilkannya pun bisa sangat berbeda dengan "kebenaran ilmiah". Kebenaran yang tampil dalam seni adalah "kebenaran eksistensial/eksperiensial" yang sering kali tak terukur. Bila dalam dunia sains 1+1=2, maka dalam dunia eksistensial 1 unsur ditambah unsur lain bisa saja menghasilkan sinergi aneh yang bila diangkakan menjadi 3 atau 7. Belum lagijenis wacana yang digunakan pun adalah wacana metaforis-imajistik, bukan literer-verbal. Semua ini tentunya perlu diperhitungkan dan mestinya membuat kita waspada bahwa penggunaan istilah "paradigma" dari dunia sains di dalam dunia seni bisa membawa pengeftian yang sangat berbeda, sejauh mana istilah ini sesungguhnya diperlukan. Tulisan ini jauh dari pretensi untuk membicarakan masalahnya secara komprehensif. Ini hanyalah rangsangan awal bagi diskusi dan pembahasan selanjutnya, terutama pembahasan yang lebih konkret menyangkut realitas seni di Indonesia. 38 12 Uraian lebih rinci tentang arti "bermain" lihat Hans-Georg Gadamer, Iruth and Method , Sheed & Ward, London, 1975, pp. 91-1OB