L a g i -
lagi saya
mencoba
menulis-
k a n
perfor-
mance art.
Sebuah
pekerjaan
y a n g
kemung-
kian besar
bisa tidak
s a y a
selesaikan
dengan
beberapa
Dan bagusnya, program Lintas Media, Performance Art Sharing (PAS) Komite
Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kali ini (6-8 Juli 2017) memberi tema
kurasi Body Out yang seturut catatan kurasi Fransisca Retno dan Rhiyadus
Shalihin sebagai upaya untuk mencoba menghadirkan gejala-gejala yang
diduga merupakan hasil evolusi dari skemata performance yang berhasil
bertahan hidup atas konstelasi terminologi dan tema tubuh yang merupakan
medium konvensional pada sejarah performance art. Atau dalam bahasa
Rhiyad, ketika: kita/tubuh kita tak lagi mesti tergopoh untuk mencapai
tujuan. Maka dari itu seturut para kurator, PAS kali ini melibatkan seniman
yang mempunyai praktik yang jarang menggunakan tubuh sebagai pusat
pemaknaan. Malah ada yang sama sekali belum pernah performance art, tapi
punya praktik performatif atau perproyek. Strategi kurasi ini memberi ruang
dan memungkinkan bagi saya untuk berada di dalam atas posisi saya yang
berada di luar medan internal performance art. Potensi ruang tersebut akan
saya pakai untuk mencoba membaca dari luar (medan diskursus internal
performance art) sekaligus dari dalam (tema kurasi).
Saya harus benar-benar berstrategi agar tulisan saya bisa selesai dan sekaligus
menawarkan perspektif yang juga bisa saya ikuti sendiri. Mau dari mana dan
kemana. Jadi saya akan mulai dengan karya yang paling bikin saya lebih
mudah masuk dalam tema kurasi dan senang, tertawa sendiri. Untuk itu saya
tidak akan membawa pemahaman saya terhadap pengertian Body Out atau
tubuh ekstensional pada ranah yang terlalu luas, dengan lebih mencoba
membaca di sekitaran, bagaimana beban tubuh berada di dalam ruangnya,
Dea Widyaevan. Foto: Joel Taher Koleksi DKJ
A PRACTICE OF PUBLIC ANARCHY #1, kalau dilihat dari judulnya, ini adalah
sebuah karya asumsional berbasis ruang yang tumbuh bersama waktu. Ya,
waktu yang berubah dan membentuk kenyataan. Dea Widyaevan, sehari
sebelum hari pertama Body Out sudah terlihat di pelataran luar Galeri Cipta III,
tepatnya di trotoar depan tangga masuk ke kantor DKJ. Dea memasang dan
mendesain banyak koin uang pecahan Rp.1000 Rp. 500 di atas paving block
trotoar. Pemasangan ini sudah menjadi pertunjukan tersendiri, untuk publik
yang lewat dan orang keamanan. Koin-koin dipasang dengan sangat teknikal
agar kokoh dan juga tidak mudah lepas. Untuk itu Dea menggunakan kalau
komite teater dkj 2017 ] 3
tidak salah 4 lapisan resin dan serabut fiberglass. Setelah koin terpasang
sesuai rancangan, Dea menghilang dan hanya tampak sesekali untuk
mempresentasikan konsep dan mengambil gambar lewat smartphone-nya.
Terjadi terus transformasi makna antara ruang dan peristiwa yang menghasilkan
efek yang terus diproduksi ulang dan berpengaruh pada pembentukan subjek
sosial pada orang-orang yang terkoneksi dengan ruang yang diciptakan
Dea, yang menyetujuinya, menerima, menyangkal, dikejutkan, dan dibikin
tertantang. Performatifitas ruang lahir akibat perubahan konteks fisik dan
sosialnya, dan mengubah makna ruang itu sendiri. Kita orang-orang dengan
wacana kesenian hanya bisa menonton, tertawa, mendokumentasikan sambil
membiarkan memori akan penjarahan, dan ritual mucul, lalu ikut mengafirmasi
asumsi Dea dengan melihat orang-orang berkerumun, berlomba, termobilisasi
untuk saling mengklaim dengan melepaskan koin dari lapis-lapis resin kering.
Theo pada arsip dan koleksi lukisan DKJ sejak era 70-an yang idealnya dapat
secara rutin diakses publik, menjadi meluas. Mari masuk dan lawatan ini akan
ditemani Ikesh yang akan menjelaskan setiap fungsi ruangan kira-kira itu
yang dikatakan Theo seperti panitia Open House ketika pintu dibuka dan kami
dibiarkan masuk.
Bagi setiap orang yang pernah masuk atau bekerja-sama DKJ mungkin tidak
Performance Theo Frids Hutabarat. Foto: Joel Taher. Koleksi DKJ
merasa spesial, atau membaca ada wacana baru yang ditawarkan. Apalagi
Theo memang tidak punya tendesi artistik untuk mengubah struktur fisik
ruangan. Tapi pada lawatan ini kita tidak sendiri. Setiap orang yang bersama
ada di DKJ dan mendengarkan penjelasan dari Ikesh juga mempunyai
narasi dan pengetahuan sendiri tentang apa yang dillihatnya dan apa yang
belum dilihat atau diketahui, atau melihat orang lain yang sama sekali belum
mengetahui apa saja yang terjadi di DKJ. Sebut saja yang terdekat, bagi saya
sendiri, seorang teman memberitahu setelah sebelumnya bergumam, ternyata
patung yang ada di ruang tunggu depan yang sering saya lihat seperti bukan
koleksi penting DKJ adalah salah satu patung I Nyoman Cokot Sang Maestro
Patung Bali. Atau saya melihat mayoritas orang-orang tidak tahu siapa yang
ditemui dan diajaknya bicara berama di ruangan kaca, padahal yang sedang
berbicara adalah Martin Aleida yang memang sering menjadikan DKJ sebagai
tempatnya bekerja (menulis). Beberapa orang tersadar, ohini Martin
Elieda itu. Orang-orang bertanya, lalu Martin menceritakan memori tentang
hubungannya dengan DKJ. Sengaja atau tidak disengaja, melalui proyek Theo
komite teater dkj 2017 ] 5
ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret ikut
menentukan eksistensi memori personal dan memori kolektif. Yang berubah
dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar masuk
bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk
menyimpan memori kolektif dari setiap orang.
Keluar dari ruang kaca, orang-orang kemudian berada di depan blok koleksi
Performance Theo Frids Hutabarat berfoto bersama Martin Alieda. Foto: Joel Taher. Koleksi DKJ
THE WALL, Angga Wedhaswara memakai salah satu ruangan yang ada di
ruang kerja DKJ menjadi ruang privatnya. Ketika sebuah ruangan mengalami
perubahan fisik, fungsi dan identitas ruang berubah. Ruangan ini sekarang
milik Angga, dan dengan tuturan performatif, Angga membuat pertanyaan
indikatif yang ketika dijawab oleh dua orang di balik kaca, jawaban itu menjadi
panggung untuk Angga mencurahkan dan menggambarkan kembalo apa
yang sedang dialaminya sebagai seorang suami dan bapak yang terpisah
secara fisik dengan anak, istrinya. Padahal gambaranya sedang terjadi dari
tindakan bicara saat itu juga. Berbeda dari deskripsi kuratorial yang seperti
sangat susah membaca gagasan Angga dengan membagi-bagi kategori
dengan bahasa saya penatap, yang bertatap dari luar, pengaca, yang
menatap, saya melihat ini adalah upaya untuk berbagi sekaligus menghasilkan
suatu wacana moral dari teknologi media di dalam habitat sebuah keluarga.
Situ Oke?!
Taufik Darwis dalam karya Rahman Usalim. Foto: Eva Tobing. Kokeksi DKJ.