Anda di halaman 1dari 8

bekerja dengan ruang : pembacaan pilih-pilih pameran perfor-

matif Body Out, Lintas Media, DKJ 2017-


---
Taufik Darwis

L a g i -
lagi saya
mencoba
menulis-
k a n
perfor-
mance art.
Sebuah
pekerjaan
y a n g
kemung-
kian besar
bisa tidak
s a y a
selesaikan
dengan
beberapa

Materi karya Dea Widyaevan. Foto: afrizal malna


alasan-alasan yang saya benci. Pertama, saya adalah orang yang tidak terlalu
mendalami sejarah dan diskursus performance art. Kedua, saya malah kerap
skeptis pada beberapa praktiknya, ini bisa disebabkan oleh pengalaman dulu
ketika saya melihat performance art di sekitar saya yang cenderung mengagresi
diri dan lingkungannya atau bahkan sama sekali tidak memberikan ruang
makna. Ketiga, meskipun bisa dibilang saya tidak jarang menyaksikan praktik
performance art, kontruksi pengetahuan seni pertunjukan yang sedang
saya bangun bisa sangat gampang meniadakan performance art, dengan
alasan yang gampang seperti perbandingan kuantitas durasi dalam proses
pengerjaan yang dianggap menentukan kualitas karya. Tapi bagaimana pun
saya harus meyelesaikannya, sebab kalau tidak kata-kata menakutkan sang
antagonis Viggo di dalam film John Wick menjadi aktual: kau benar-benar
membuat orang-orang marah. Manusia tidak berubah, kau tahu itu. Hanya
waktu yang berubahkehidupan ini mengikutimu. Menempel padamu.

Dan bagusnya, program Lintas Media, Performance Art Sharing (PAS) Komite
Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kali ini (6-8 Juli 2017) memberi tema
kurasi Body Out yang seturut catatan kurasi Fransisca Retno dan Rhiyadus
Shalihin sebagai upaya untuk mencoba menghadirkan gejala-gejala yang
diduga merupakan hasil evolusi dari skemata performance yang berhasil
bertahan hidup atas konstelasi terminologi dan tema tubuh yang merupakan
medium konvensional pada sejarah performance art. Atau dalam bahasa
Rhiyad, ketika: kita/tubuh kita tak lagi mesti tergopoh untuk mencapai
tujuan. Maka dari itu seturut para kurator, PAS kali ini melibatkan seniman
yang mempunyai praktik yang jarang menggunakan tubuh sebagai pusat
pemaknaan. Malah ada yang sama sekali belum pernah performance art, tapi
punya praktik performatif atau perproyek. Strategi kurasi ini memberi ruang
dan memungkinkan bagi saya untuk berada di dalam atas posisi saya yang
berada di luar medan internal performance art. Potensi ruang tersebut akan
saya pakai untuk mencoba membaca dari luar (medan diskursus internal
performance art) sekaligus dari dalam (tema kurasi).

Ruang untuk publik yang tertantang


komite teater dkj 2017 ] 2

Saya harus benar-benar berstrategi agar tulisan saya bisa selesai dan sekaligus
menawarkan perspektif yang juga bisa saya ikuti sendiri. Mau dari mana dan
kemana. Jadi saya akan mulai dengan karya yang paling bikin saya lebih
mudah masuk dalam tema kurasi dan senang, tertawa sendiri. Untuk itu saya
tidak akan membawa pemahaman saya terhadap pengertian Body Out atau
tubuh ekstensional pada ranah yang terlalu luas, dengan lebih mencoba
membaca di sekitaran, bagaimana beban tubuh berada di dalam ruangnya,
Dea Widyaevan. Foto: Joel Taher Koleksi DKJ

yang kerap tidak bisa dipecahkan karena cenderung ingin menaklukan,


menunjukan dan menyatakan sesuatu. Beban ini mungkin konsekuensi dari
makna literal dari performance art itu sendiri yang dibawa seniman di
dalam ruang tertentu. Jadi saya akan memilih beberapa karya yang berkerja
di antara hubungan tubuh (seniman), ruang dan (tubuh) publik.

A PRACTICE OF PUBLIC ANARCHY #1, kalau dilihat dari judulnya, ini adalah
sebuah karya asumsional berbasis ruang yang tumbuh bersama waktu. Ya,
waktu yang berubah dan membentuk kenyataan. Dea Widyaevan, sehari
sebelum hari pertama Body Out sudah terlihat di pelataran luar Galeri Cipta III,
tepatnya di trotoar depan tangga masuk ke kantor DKJ. Dea memasang dan
mendesain banyak koin uang pecahan Rp.1000 Rp. 500 di atas paving block
trotoar. Pemasangan ini sudah menjadi pertunjukan tersendiri, untuk publik
yang lewat dan orang keamanan. Koin-koin dipasang dengan sangat teknikal
agar kokoh dan juga tidak mudah lepas. Untuk itu Dea menggunakan kalau
komite teater dkj 2017 ] 3

tidak salah 4 lapisan resin dan serabut fiberglass. Setelah koin terpasang
sesuai rancangan, Dea menghilang dan hanya tampak sesekali untuk
mempresentasikan konsep dan mengambil gambar lewat smartphone-nya.

Apakah batasan-batasan identitas ruang temporal di dalam komplek kesenian?


Sebut saja ada teguran pada Dea dari pihak keamanan ketika mengerjakan
perancangan dan pemasangan. Lalu ada legitimasi atas nama kesenian. CCTV
dipasang untuk mendokumentasikan dan mengawasi tanpa mengancam.
Lalu sebut juga pihak keamanan yang balik menjaga ruang temporal itu dari
orang-orang yang tidak tahu cara memperlakukan karya seni. Setelah legitimasi
berakhir di hari ketiga, pihak keamanan bersama-sama orang-orang bersusah
payah dengan segala cara dan dengan penuh dorangan mengambil koin-koin
sampai tidak bersisa. Alat-alat seperti obeng, paku, tatah, pisau, batu rapuh, batu
keras, sampai tangan yang akhirnya berdarah dan segala teknik yang dianggap
efektif bergantian diuji coba sebagai alat untuk melepaskan koin dari makna
karya seni supaya bisa menjadi makna miliknya. Inilah pesta anarki publik.

Terjadi terus transformasi makna antara ruang dan peristiwa yang menghasilkan
efek yang terus diproduksi ulang dan berpengaruh pada pembentukan subjek
sosial pada orang-orang yang terkoneksi dengan ruang yang diciptakan
Dea, yang menyetujuinya, menerima, menyangkal, dikejutkan, dan dibikin
tertantang. Performatifitas ruang lahir akibat perubahan konteks fisik dan
sosialnya, dan mengubah makna ruang itu sendiri. Kita orang-orang dengan
wacana kesenian hanya bisa menonton, tertawa, mendokumentasikan sambil
membiarkan memori akan penjarahan, dan ritual mucul, lalu ikut mengafirmasi
asumsi Dea dengan melihat orang-orang berkerumun, berlomba, termobilisasi
untuk saling mengklaim dengan melepaskan koin dari lapis-lapis resin kering.

Wacana ruang sebagai modus pengalaman.


Karya lain yang membuat saya senang adalah LAWATAN TERBUKA DKJ
2017 karya Theo Frids Hutabarat. Theo memberi saya perspektif lain terhadap
ruang. Kalau Dea sengaja merancang ruang fisik yang berada di antara
ruang privat (kelembagaan DKJ) dan ruang publik (komplek kesenian), Theo
menggunakan wacana ruang yang dipakai DKJ untuk bekerja lebih spesifik,
melalui kerja birokrasi, negosiasi, dan pengelolaan emosi. Theo seperti
ingin menegasakan makna kelembagaan DKJ, bahwa DKJ adalah lembaga
publik. Maka mari datang ke Lawatan Terbuka DKJ 2017. Saya tidak tahu
percis bagaimana Theo sampai bisa memakai ruang kerja DKJ. Yang pasti di
depan pintu DKJ Theo sudah berdiri besama Ikesh (mantan staff DKJ) yang
tersenyum dan terlihat tegang. Karya yang awalnya diniatkan ketertarikan
komite teater dkj 2017 ] 4

Theo pada arsip dan koleksi lukisan DKJ sejak era 70-an yang idealnya dapat
secara rutin diakses publik, menjadi meluas. Mari masuk dan lawatan ini akan
ditemani Ikesh yang akan menjelaskan setiap fungsi ruangan kira-kira itu
yang dikatakan Theo seperti panitia Open House ketika pintu dibuka dan kami
dibiarkan masuk.

Bagi setiap orang yang pernah masuk atau bekerja-sama DKJ mungkin tidak
Performance Theo Frids Hutabarat. Foto: Joel Taher. Koleksi DKJ

merasa spesial, atau membaca ada wacana baru yang ditawarkan. Apalagi
Theo memang tidak punya tendesi artistik untuk mengubah struktur fisik
ruangan. Tapi pada lawatan ini kita tidak sendiri. Setiap orang yang bersama
ada di DKJ dan mendengarkan penjelasan dari Ikesh juga mempunyai
narasi dan pengetahuan sendiri tentang apa yang dillihatnya dan apa yang
belum dilihat atau diketahui, atau melihat orang lain yang sama sekali belum
mengetahui apa saja yang terjadi di DKJ. Sebut saja yang terdekat, bagi saya
sendiri, seorang teman memberitahu setelah sebelumnya bergumam, ternyata
patung yang ada di ruang tunggu depan yang sering saya lihat seperti bukan
koleksi penting DKJ adalah salah satu patung I Nyoman Cokot Sang Maestro
Patung Bali. Atau saya melihat mayoritas orang-orang tidak tahu siapa yang
ditemui dan diajaknya bicara berama di ruangan kaca, padahal yang sedang
berbicara adalah Martin Aleida yang memang sering menjadikan DKJ sebagai
tempatnya bekerja (menulis). Beberapa orang tersadar, ohini Martin
Elieda itu. Orang-orang bertanya, lalu Martin menceritakan memori tentang
hubungannya dengan DKJ. Sengaja atau tidak disengaja, melalui proyek Theo
komite teater dkj 2017 ] 5

ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret ikut
menentukan eksistensi memori personal dan memori kolektif. Yang berubah
dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar masuk
bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk
menyimpan memori kolektif dari setiap orang.

Keluar dari ruang kaca, orang-orang kemudian berada di depan blok koleksi
Performance Theo Frids Hutabarat berfoto bersama Martin Alieda. Foto: Joel Taher. Koleksi DKJ

lukisan DKJ yang menurut Ikesh, didapatkan dari seniman-seniman yang


dulu pernah memberikan karyanya sebagai tanda pernah bekerja sama.
Tapi disayangkan, tujuan dari gagasan Theo ini tidak tercapai sebab lukisan
yang ada di dalam tidak bisa dilihat. Sebab untuk membukanya perlu cara-
cara tersendiri dan itu merepotkan. Untuk melihat lukisan apa saja yang ada,
Ikesh menawarkan katalog. Theo menggunakan potensi performatifitas dari
wacana Lawatan Terbuka DKJ 2017, dengan bantuan orang di luar struktur
kelembagaan (Ikesh) membawa orang-orang masuk, meminjam sekaligus
mengambil alih fungsi DKJ sebagai penyedia sarana pengetahuan. Kalau
boleh kita bayangkan ini tidak sementara, kira-kira apakah DKJ mengambil
alih kembali, merubah wacana dari Lawatan Terbuka DKJ 2017 ini, kapan?
dan Bila ruang kerja DKj menyimpan memori kolektif, berarti ketika perangkat
kelembagaan berganti di situ juga terdapat potensi memori itu dirubah,
dipisahkan, diatasi, atau dihilangkan dong?
komite teater dkj 2017 ] 6

Seseorang sedang membutuhkan ruangan untuk didengarkan


Dua orang bergiliran menuju ruangan tapi tidak untuk masuk ke dalam
ruangan. Di dalam seorang laki-laki berdiri menghadap ke luar, lampu
gantung bergoyang-goyang, ruangan seperti sengaja dibikin suram dan
menyimpan pikiran yang sedang berkerja, menunggu untuk dibahasakan
lewat ucapan. Ketika dua orang telah sampai di depan ruangan berdinding
kaca, sebuah smartphone tertempel di kaca. Lalu seorang anak laki-laki teriak
seolah menunjukan sesuatu, angkat-angkat! Salah seorang dari dua orang
itu mengerti, ada panggilan video call. Di layar smart phone terlihat laki-laki
yang berdiri di dalam ruangan, menyapa kedua orang itu. Sesekali suaranya
tidak jelas, atau gambar dirinya tidak ada. Sesekali anaknya mencoba masuk
ke dalam, sambil berteriak, abah-abah. Pintu tidak terkunci, laki-laki itu cepat-
cepat menutup pintu. Anak laki-laki kembali lagi ke depan kaca.

THE WALL, Angga Wedhaswara memakai salah satu ruangan yang ada di
ruang kerja DKJ menjadi ruang privatnya. Ketika sebuah ruangan mengalami
perubahan fisik, fungsi dan identitas ruang berubah. Ruangan ini sekarang
milik Angga, dan dengan tuturan performatif, Angga membuat pertanyaan
indikatif yang ketika dijawab oleh dua orang di balik kaca, jawaban itu menjadi
panggung untuk Angga mencurahkan dan menggambarkan kembalo apa
yang sedang dialaminya sebagai seorang suami dan bapak yang terpisah
secara fisik dengan anak, istrinya. Padahal gambaranya sedang terjadi dari
tindakan bicara saat itu juga. Berbeda dari deskripsi kuratorial yang seperti
sangat susah membaca gagasan Angga dengan membagi-bagi kategori
dengan bahasa saya penatap, yang bertatap dari luar, pengaca, yang
menatap, saya melihat ini adalah upaya untuk berbagi sekaligus menghasilkan
suatu wacana moral dari teknologi media di dalam habitat sebuah keluarga.

komite teater dkj 2017 ] 7

Angga Wedaswara: The Wall. Foto: Eva Tobing. Kokeksi DKJ.


Pengalaman pada ruang baru dan untuk tubuh baru ada di persepsi
Apakah saya senang dengan gagasan dari Angga? Memang tidak, tapi
dengan gagasan Angga saya punya alasan untuk senang dengan gagasan
performance Abi Rama, yang terbebas dari dilema moral atas penggunaan
teknologi media. THE ABSENCE OF BODY ITSELF, sore di hari terakhir,
kurator mengumumkan giliran Abi Rama. Semua orang menunggu di jalan
depan Galeri Cipta III/XXI sambil melihat sekeliling kira-kira di mana Abi akan
muncul. Sebuah ruangan tercipta dari kesepakatan yang dipimpin curator/mc
untuk menunggu Abi di satu titik. Tapi ternyata Abi tidak muncul di tengah-
tengah, di pinggir, atau dari atas titik kami berkerumun. Abi muncul di masing-
masing Smartphone kami lewat fitur pesan WhatsApp: Dear, Taufik. Thanks
you for your presence. Abi Rama The Absence of Body Itself. Seketika itu
juga ruang fisik untuk kehadiran fisik Abi dibatalkan, setiap orang membaca
pesan dan beberapa orang yang tidak menulis data diri dibuku tamu melihat
apa yang dibaca orang sambil tersenyum pada layar smartphone-nya. Alih-
alih ingin mempertanyakan kehadiran tubuh di dalam performance art, Abi
menegaskan persepsi ketidakhadirannya berdampak pada lingkungan spasial
dan menciptakan ruang sosial dan kolektif. Seketika itu juga tubuh Abi hadir
secara digital dan di ruang digital pula. Sebab, sama seperti segala informasi
di dunia yang mencuat dan tersebar di dalam smartphone yang membuat
kita memaknai suatu yang terjadi di sana, Abi telah hadir mengemuka lewat
teknologi dan membuat memaknai suatu yang terjadi di sini dan saat ini.
Dia hadir secara privat dan publik sekaligus, karena setiap orang menerima
pesan yang sama. Tapi apa jadinya bila setiap orang menerima pesan yang
berbeda-beda dan di dalam waktu yang juga berbeda? Ya, mungkin akan
menjadi pesan biasa yang tersasar atau mengajak kenalan dengan strategi-
strategi gimmick murahan.

Situ Oke?!

Taufik Darwis menyelesaikan


studinya di jurusan Teater,
STSI Bandung. Sekarang
sedang menyelesaikan studi
komite teater dkj 2017 ] 8

Pasca Sarjana di Reliji dan


Budaya Sananta Dharma,
Yogyakarta. Menulis esai,
bekerja sebagai dramaturg di
beberapa pertunjukan

Taufik Darwis dalam karya Rahman Usalim. Foto: Eva Tobing. Kokeksi DKJ.

Anda mungkin juga menyukai