Anda di halaman 1dari 24

kumpulan Review Teater Payung HItam

m e d a n
Rachman Sabur. Foto: dokumentasi Teater Payung Hitam.

Selanjutnya: teritori tubuh dibatasi

a s o s i a s i
oleh hal yang fisikal, oleh bahasa dan
sistem gramatikanya (termasuk bunyi,
gestur, respon kinetic), atau juga

t u b u h oleh budaya? Kumpulan review atas


pentas PostHaste Teater Payung hitam
(GBB, TIM, 17-18 Mei 2017: Djakarta
selanjutnya Teater Platform; dan satu tulisan lagi
dari pentas sama di tempat berbeda,
Sunan Ambu, ISBI Bandung, Desem-
ber 2016), mengurai lagi ketertarikan
pada kategori beragam setelah kata
tubuh pada medan kerja teater?
Asosiasi tubuh ini juga banyak diurai
dalam katalog Teater Payung Hitam
(katalog versi digital bisa diakses dan
diunduh di www.library.dkj.or.id ber-
sama buku-buku terbitan dkj lainnya).
Diskusi Teater Payung Hitam: Asep Martin (moderator), Rachman Sabur (sutradara), Wail Irsyad (aktor), Sugiyan-
ti Ariani (aktor), Nugraha Bazir (aktor), dan Fazar Okto (penata artistik). Foto: Eva Tobing, dokumentasi DKJ.

benda dan tubuh


adalah rumah bagi
pengalaman
Oleh Taufik Darwis

Theater of Found Ob-


jects and Chaos
By: Kerensa Dewantoro

barang bekas.
lepas.
jatuh.
Oleh Afrizal Malna
benda dan tubuh
adalah rumah bagi
pengalaman atau
pengalaman adalah
rumah bagi benda
dan tubuh
(esai pertunjukan dan Taufik Darwis. Foto: AFrizal Malna

diskusi posthaste, tea-


ter payung hitam)
Oleh Taufik Darwis Suatu hari pada sebuah work-
shop penyutradaraan Tu-
buh dan Kata, Toshiki Okda
(sutradara Jepang), merasa
heran kenapa setiap peserta
workshop ketika diminta men-
ceritakan rumah, selalu juga
menceritakan pengalamanya
di rumah itu; tidak hanya men-
ceritakan rumah sebagai ban-
gunan yang memiliki ukuran
dan fungsinya. Kenapa pen-
galaman selalu hadir dalam
level ucapannya, tidak seper-
ti workshop-workshopnya di
Taufik Darwis: Esais, periset, tempat lain.
komite teater dkj 2017 ! 2

mulai banyak bekerja sebagai


dramaturg. Lulusan jurusan
Teater, STSI Bandung. Kini Sejarah teater modern/
sedang menempuh magis- avant-garde yang tumbuh
ter di RAB Sananta Dharma, bersama medan sosial-politik
Yogyakarta. Orde Baru telah membawa
tubuh jauh ke dalam medan
asoiasi, sehingga untuk mengatakan pengalaman keseharian
pun selalu ada kata selanjutnya setelah kata tubuh, seperti tu-
buh distorsi atau tubuh natural. Dan kita mau tidak mau tel-
ah memposisikan tubuh juga sebagai medan dikotomi yang
paling kentara, seperti natur/kultur, objek/subjek, perempuan/
laki-laki, bagus/jelek.

Michael Bodden, antropolog yang meneliti teater di Indonesia


di dasawarsa 90-an menyebutkan teater modern di Indonesia
lahir di antara ketegangan wacana: apolitis-universalis/politis,
tafsir plural/tunggal, seni tinggi/rendah, dan budaya barat/
timur (disarikan: Teater Payung Hitam: Dan Antara Garda De-
pan dan Kebutuhan Bicara Yang Amat Perih).

Wacana ini mungkin, yang menjadikan Rachman Sabur mele-


takan gagasan Teater Tubuh-nya sebagai teater yang tidak
hanya berurusan dengan semata-mata fisikalitas atau teknik,
bukan hanya tubuh pada dirinya sendiri. Tubuh menjadi suatu
cara berbahasa dengan menggambarkan atau meyatakan.
Rachman Sabur percaya bahwa tubuh memiliki konteks kultur-
alnya sendiri, tapi juga sekaligus universal. Sifat universal dan
kekayaan konteks kultural tubuh di TPH itu juga yang menurut-
nya menjadikan daya tarik tersendiri bagi seniman atau kelom-
pok teater luar (Indonesia) untuk melalukan kerja sama dengan
TPH, misalnya: bersama Tikka Sears (Amerika Serikat) dalam
Choice and The Hunters Machine (2003), The Lunatics (Be-
landa) dalam Blackmoon (2005), dan bersama Camille Boite
(Perancis) dalam Segera (2013) yang kelak menjadi cikal
bakal Posthaste.
komite teater dkj 2017 ! 3

Teater Payung Hitam (TPH) diundang Komite Teater- Dewan


Kesenian Jakarta untuk mementaskan Posthaste di Graha
Bakti Budaya (GBB) pada tanggal 17-18 Mei 2017 sebagai
pertunjukan pembuka rangkaian program Djakarta Teater Plat-
form. Sesuai di buku acara, Djakarta Teater Platform adalah se-
buah laboratorium bersama untuk melakukan kurasi di dataran
PostHaste Teater Payung Hitam: Graha Bhakti Budaya, TIM,17 Mei 2017. Foto: Eva Tobing,
dokumentasi DKJ.

gagasan, bukan di dataran karya, bagaimana teater diperta-


ruhkan dalam medan politik budaya di sekitarnya.

Sore hari, di sela-sela pertunjukan, untuk mengartikulasikan visi


program, komite teater mengadakan diskusi dari proses dan
riset internal yang dilakukan aktor di dalam produksi Posthaste
di lobi GBB. Diskusi ini melibatkan Rachman Sabur (sutradara),
Wail Irsyad (aktor), Sugiyanti Ariani (aktor), Nugraha Bazir (ak-
tor), dan Fazar Okto (penata artistik).

Saya yang duduk dan ikut mendengarkan pemaparan pengala-


man yang notabene generasi baru di produksi TPH (setelah
generasi Tony Broer, Hendra Mboth, Otong Durachim), dian-
komite teater dkj 2017 ! 4

tarkan pada bayangan bagaimana kerja keaktoran dan strategi


artistik terjadi di TPH sekarang, dan menandai kata-kata yang
kerap diulang-ulang: pemain saya, intruksi, perubahan-be-
rubah, kebebasan, gambaran, diskusi, tubuh natural, tubuh
distorsi, benda sebagai bahasa, barang bekas, tubuh bunyi.
Disadari atau tidak, istilah-istilah ini keluar di dalam omongan,
saya menyerap dan menempatkannya sebagai kata-kata kunci
yang mendasari proses artistik TPH; setidaknya dalam produk-
si Posthaste, untuk saya kaitkan dengan pengalaman menon-
ton saya dari mulai pertunjukan Segera. Sayang, diskusi yang
menurut saya penting, untuk melihat bagaimana distribusi dan
negosiasi gagasan (pengetahuan) di dalam wacana apa yang
sering banyak disebutkan sebagai teater sutradara tidak
banyak terjadi, kalau tidak pujian, debat kesenimananlah yang
terjadi. Padahal tujuan dari program ini adalah menguraikan,
bukan memotong atau mengusutkan.

Tapi penjelasan dari TPH lewat diskusi itu tetap menarik saya,
dengan hasil penandaan pada penjelasan di diskusi, saya coba
mengingat setidaknya perubahan yang terjadi dari pertunjukan
Segera bersama Camille Boite ke pertunjukan Posthaste di
34 tahun TPH (2016). Segera adalah pertunjukan yang sesak
dengan plastik, bukan karena atmosfir pertunjukan yang mem-
buat kita mengalami empati dan merasakan sesak di dada, tapi
karena material artistiknya yang memenuhi panggung. Pilihan
untuk menghadirkan kisah dari serangkaian efek kecemasan
di antara jarak tubuh dan benda, membuat saya bertanya, apa-
kah benda mempunyai pikiran dan keputusannya sendiri da-
lam menentukan, kapan dia jatuh, kapan dia rubuh, kapan dia
mengacam dan kapan dia melindungi? Atau apakah itu semua
juga disebabkan manusia modern, pikiran manusia yang ada
di dalam pertunjukan? (link youtube Segera: https://www.
youtube.com/watch?v=glntx4tsNtI).

Saya melihat Segera tidak dalam perspektif tema lingkungan


masyarakat konsumennya, tapi saya tertarik dengan lintasan-lin-
komite teater dkj 2017 ! 5

tasan saya dalam gambar-gambar adegan pertunjukan TPH


yang kerap menghadirkan efek kecemasan dan mendramati-
sasi jarak antara tubuh dan benda. Kadang terlihat bagaima-
na kisah berada di luar jarak tubuh dan benda, malah kadang
meniadakan efek dari jarak tersebut, karena kisah mengambil
alih peran dari tubuh dan benda. Sebut saja salah satu pertun-
Diskusi Teater Payung Hitam, loby GBB, TIM, 18 Mei 2018. Foto: Eva Tobing, dokumentasi DKJ.

jukannya, Merah Bolong (link youtube Merah Bolong: https://


www.youtube.com/watch?v=UaPJEzBrgkQ&t=46s). Saya had-
irkan beberapa komentar penonton Merah Bolong:

Dengan kuat, mereka menggambrakan ritual penderitaan


rakyat miskin yang menggeral susul-meyusul di hadapan mata
kita. Itulah realitas kehidupan rakyat dewasa ini. Rakyat miskin
memakai celana pedek dengan topeng-topeng yang menyer-
ingai dengan rambut palsu awut-awutan, ember, skop, pikulan,
batu, hanyalah sejumlah alat peraga yang dimiliki rakyat miskin
yang tak bisa menolong apa-apa. Danarto: Teror Membayangi
Kita Terus (TEMPO, 7 November 1999)
komite teater dkj 2017 ! 6

Sembilan pemain bertopeng, laki-laki yang semua wajahnya


mengekspresikan beban penderitaan; mengeluh meringis,
menagis. Orang-orang menderita dengan kostum celana hi-
tam potongan kaki dua pertiga. Kelompok Payung Hitam sep-
erti ingin menghadirkan dunia yang menderita. [] Kucuran,
ditambah gesekan kerikil dengan ember kaleng, menghadir-
kan suara yang mendesah. Sejak ini, mulailah penonton diteror
oleh suara, batu dan ember, batu dengan lantai, batu dengan
kerikil, batu dengan batu. Zoos: Ketika Payung Hitam Makin Ke
Depan (ADIL, No 44, 13 Agustus 1997)

Di sisi lain, saya juga membayangkan bagaimana seni sirkus


bekerja dalam sebuah pertunjukan teater. Melalui pertunju-
kan Segera, selain kepiawaian teknik dan akrobatika tubuh,
juga ada kerja pengaturan durasi, trik-game, dan humor di da-
lam jarak antara tubuh dan benda. Ada kerja untuk menghad-
irkan respon organik dari pengalaman tubuh ketika berada di
lingkungan objek, meskipun objek-objek ini telah dirancang se-
demiakan rupa. Jadi kalau disimpulkan bahwa kolaborasi an-
tara TPH dan Camille Boite adalah kolaborasi dari dua cara ker-
ja yang mirip (yaitu melakukan eksplorasi tubuh dan eksplorasi
material artistik), justru saya menangkap perbedaannya: Yaitu
bagaimana mereka mengelola jarak antara tubuh dan benda.

Saya tidak begitu tahu bagaimana setelah kerja kolaborasi ini


diteruskan atau mempengaruhi Camille Boite. Tapi di Teater
Payung Hitam, lewat produksi Posthaste, pengaruh dari kerja
kolaborasi ini bisa terbaca. Pergeseran tema dari lingkungan
ke Hak Asasi Manusia dan Politik Kekuasaan menjadikan per-
tumbuhan Posthaste bergerak dengan kata-kata yang saya tan-
dai pada penjelasan diskusi TPH. Yang paling kentara adalah
tubuh distorsi dan tubuh natural.

Kalau misalnya definisi tubuh natural yang berkembang da-


lam diskusi adalah tubuh keseharian ketika kita mengalami ke-
satuan waktu dan ruang, berarti tubuh berada di posisi yang
komite teater dkj 2017 ! 7

akan mengalami apapun. Sedangkan tubuh distori yang


Wail tegaskan lagi adalah tubuh ekspresif adalah tubuh yang
menampung pengalaman, dan juga sebagai pengalaman yang
diungkapkan, dimensi waktu dan ruangnya menjadi sesuatu
yang berlalu. Dua konsep tubuh ini dalam Posthaste berkelin-
dan sebagai peristiwa dan ungkapan yang ikut mempengaruhi
Tony Broer. Foto: dokumentasi Teater Payung Hitam.

bagaimana peran dari benda-benda. Maka dari itu seseorang


di dalam diskusi yang mempertanyakan sekaligus memband-
ingkan di mana tubuh Tony Broer (Kaspar atau Merah Bolong)
di dalam pertunjukan Posthaste, adalah pembeli tiket bioskop
yang ingin melihat di setiap film Tim Burton untuk capaian ak-
ting serupa Johnny Depp di film Edward Scissorhands dalam
film Planet of the Apes.

Tema HAM dan Politik Kebudyaan dalam sejarah Indonesia di


dalam pertunjukan Posthaste di Jakarta meskipun ingin di-
hadirkan secara asosiatif, tapi malah yang terjadi diartikulasikan
lebih verbal dari pada pertunjukan di Bandung, meskipun ter-
pal warna-merah putih secara vertikal tetap menjadi layar be-
komite teater dkj 2017 ! 8

lakang panggung. TPH menambahkan aksentuasi pada tingkat


penandaan yang dilakukan secara repetitif pada unsur kinetic
dan visual, seperti menggerak-gerakan tangan-kaki sebelah
kiri kiri, tubuh dan beberapa benda condong ke kiri, dan me-
nempelkan kaos tangan-kaki berwarna merah. Saya juga meli-
hat ada pengecualian pengaruh seni sirkus di beberapa ade-
gannya. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada hal-hal teknis,
seperti bentuk dan tempo kesegeraan tubuh di antara ben-
da-benda, tetapi juga medan pengalaman yang ingin dihad-
irkan. Koneksitas tubuh sehari-hari saya di antara jarak tubuh
aktor dan benda rumahan di dalam panggung dihentikan oleh
orkestrasi lagu Genjer-Genjer yang dinyanyikan tanpa lirik, tapi
kemudian nadanya dirusak oleh orang-orang yang menjulur-
kan kepalanya ke luar dari dinding. Juga oleh gambar Munir
yang muncul dan melintas beberapa kali.

TPH seolah ingin menguraikan bahasa menjadi amorf, teta-


pi tidak mendapatkan jalinan kodifikasinya, karena TPH tidak
menghadirkan kompleksitas dan sifat-sifat kontradiktif jalinan
dikotomi politis dari makna lagu Genjer-Genjer ataupun Munir.
TPH terlalu cepat melakukan asosiasi di dalam peristiwa yang
saya tunggu akan terjadi, apa lagi dari adegan ke adegan.

Tubuh makro yang disebut Wail dalam laporan risetnya sebagai


realitas tubuh di sekitar kita tidak terjadi, sebab Wail berada
di medan bahasa, sementara di sekitarnya adalah medan post-
haste, yang mengharuskan tubuhnya bergerak secepat-cepat-
nya. Kedaruratan tubuhnya beberapa kali hilang dibawa kisah.
Dan seperti sampai saat ini, kisah yang membawanya itu tidak
terurai, tidak bisa putus/lepas dari struktur biner sosial yang
sudah mengikat dan dianggap umum dalam kehidupan se-
hari-hari alias laten.

Beberapa pertanyaan di bawah ini adalah pertanyaan yang la-


hir setalah menonton Posthaste di Jakarta. Pertanyaan yang
serupa dengan ketika saya mendapati peristiwa atau produk
komite teater dkj 2017 ! 9

budaya yang mewacanakan tema-tema di sekitaran HAM:


Apakah lagu Genjer-Genjer dan Munir mempunyai dan meng-
hadirkan momen emergensi? Apakah kita mempunyai mana-
jemen emergensi terhadapnya, agar bisa keluar dari situasi
yang secara tidak sadar mencederai ruang dan waktu kita?***
Kerensa Dewantoro

Theater of Found Review: Payung


Objects and Chaos HItam PostHaste
performed at Graha
Bakti Budaya, TIM
on Wednesday,
18th May, 2017
komite teater dkj 2017 ! 10

Kerensa Dewantoro
Theater Maker
DarahRouge
http://darahrouge.blogspot.
co.id/
Chaos, things falling down, contemporary physical theater and pol-
itics all meshed into an essentially pure concept of theatre that re-
lies on the actors and their actors bodies - their physicalities, their
expressions, the sounds created as they moved through space and
refreshingly with no technology is what PostHaste is about.

PosteHaste was performed as part of the opening of series of events


curated by Dewan Kesenian Jakartas Djakarta Teater Platform.

I had seen it before as part of Payung Hitams anniversary celebra-


tions and had seen an earlier version of it in 2012 when theatre of
found objects, slapstick chaotic contemporary circus and was at first
done as a collaboration with Limmediate conceptor, Camille Boitel
(an award winning circus/ physical theatre performer and director
form France) which was the outcome of workshops facilitated by
Institute Francais and STSI Banding in 2012. The Limmediat model
of the theatre was first performed in 1996.

Though fundamental elements of the performance remained, it is


very clear that this is a new show - after (post) immediate (haste)
with a seemingly bigger focus on the trajectory of current Indonesian
politics affected by the past. It raises a very big question of how do
we end the turmoil and the chaos that this country is going through?
It does not answer the question. The performance just ends - there
is not solution, there in not even any real hope - in fact, it even seems
to be commenting we are are being suffocated under the burden
of our Indonesian history and nationalism. The huge red and white
Indonesian flag crashes onto the main character. And then nothing
- with the actors walking out for a curtain call.

It may have been that I had already seen it twice before in this for-
komite teater dkj 2017 ! 11

mat, but it seemed last night some of the initial magic had been lost
in an attempt to ascribe even greater meaning to what was already
dense with imagery. It also seemed Payung Hitam was making an
effort to make PostHaste seem more artistic. However, for my friends
who were watching it and seeing for the first time, they loved the
symbolism, the use of stage, the performers. Celia F commented,
PostHaste Teater Payung Hitam: Graha Bhakti Budaya, TIM,17 Mei 2017. Foto: Eva Tobing,
dokumentasi DKJ.

There was just so much meaning for so many different elements of


society. Ibu Thia said it had reminded her of reformation. Another
commented on the immense functionality of the set.

For me personally, the show last night had lost the stark, bright lights of
the shows in Bandung which had helped us, the audience, really feel
the terror of objects dropping and crashing around the stage on top of
Mohamed Wail Irsyad. The actors expressions were hidden in shadows
and the lack of brightness created a distance between the audience
and the performers. The chaos had begun to feel staged. Some of the
danger was lost. My single biggest complaint about the performance
komite teater dkj 2017 ! 12

this time was the lack of lighting. The bad lighting actually made it look
a lot less professional and detracted from not only the danger inherent
in this performance but also the beautiful articulation of the some of
the actors work. As an audience we seemed to be watching the show
in soft focus, when in fact with the chaos and the title PostHaste what
we want and need, is to see the nuance of ugliness, chaos and pain - it
cant be covered up in artistic mystical lights.
Some of the new theatrical metaphors spoke to us on multiple lev-
els - rich in social and political criticism.The chain saw at the end
was alight with imagery of a disintegrating Indonesian state - one
destructed both environmentally with deforestation and the loss of
common land for children; the disintegration of Indonesian plural-
ism and a culture of bullying - those with the loudest voices and re-
ligious self-righteousness can sway power; a culture of gender vio-
lence. The whimsical elfin like character played by Mohammed Wail
Irsyad danced poetically imitating the movement and gesture of the
pot plant at the end on top a wooden painters ladder when a chain
saw (which initially we had thought was a motorbike) came out from
the Indonesian flag waving viscously and moving dangerously close
to Wails foot and then chopping the wooden painters bench in half.

Whilst I felt that some of the newly symbolism had great potency
there were others that just seemed to be trying too hard. A TV play-
ing, which on some level seems to be representative of those of dis-
advantaged economic background (- ojek drivers watching tv on the
side of the road, local members of the RW watching tv at the warteg;
hoarding a broken TV because one is to poor to fix it and so poor
that the fear of never getting another is too painful), didnt really add
to the show. The tv metaphor is an over done cliche. The introduc-
tion of the song GENJER- GENJER which is a traditional song from
Banyuwangi and sung in social criticism of Soeharto (and used way
to conjure images of the treatment of Indonesia Communist Party)
replaced the hilarious little scene Nugraha Bazier Susanto teaching
bad orchestral music was a loss to the performance. (Though, it want
one of my favourite scenes in the production in Bandung- I certainly
missed it in this and realised the importance of that little bit of comic
relief actually enhanced meaning of other aspects of the show.) The
effort to be political detracted from the mood of the performance
komite teater dkj 2017 ! 13

and then to add injury - actors ate the vegetable GENJER. It was a
little like mixing butter and oil - too much. Reflecting back on what
happened to communists is relevant but it is done so often and un-
fortunately there are just far more potent issues facing Indonesia now.

In a landscape where women are disappearing behind veils, be-


hind jilbabs, I watch the show and feel yep , Indonesia is still a mans
PostHaste Teater Payung Hitam: Graha Bhakti Budaya, TIM,17 Mei 2017. Foto: Eva Tobing,
dokumentasi DKJ.

world - we can spend an hour watching men in dresses, exposing


their body, flashing their underpants with no-one questioning the
joy and beauty of a mans body on stage. In a show that is so rich in
symbolism, the token gesture of a female performers at the begin-
ners the show, the exposure of Wails body parts brings to question
- is the absence of the female body on stage as opposed to the
way Wails was exposed, either an ingrained view of of theatre and
theatre making. Is making theatre and saving Indonesia an inherent-
ly male thing? Was the absence a genuine social commentary or a
token gesture to show international audience that woman can also
perform on stage?
komite teater dkj 2017 ! 14

PosteHaste offers up a feast of experiences - the soundscape cre-


ated by actors bodies, their feet on the stage, the plastic cups be-
ing swept sounding like a trickling stream, the sliding of the wood
doors across the stage shows the power of poor theatre - one that
embraces the very human elements of making theatre - a body in
space - no technology and confident to not compete with technolog-
ical advances. The endorphins are there in real moments of shock
and concern of the safety of performance and the humour - at times
hilarious (though the humour was stronger in Bandung). Moham-
mad Wail Irsyads sinewy body moves through the space - he is part
dancer, part actor, part butoh artist, part pantomime - and he plays
his part of a nymph like gender neutral/transgender type/marginal-
ised character wondering innocently through the chaos. His desire
to see the world and experience, unaware of the dangers faced or at
the very least facing them at moments of impact, is kind of rallying
cry against a culture which lives day to day. (Once again the minor
changes in costume with the addition to red underpants underneath
the white petticoat make me wonder if the director thinks his au-
dience is dumb. Surely with an Indonesian flag, we get the show is
often social political commentary.) Wail plays with a beauty, inno-
cence and empathy and is very present. One minute he is fumbling
through trash, locked and hidden in locker, dancing in harmony with
a plant and flying through the air and the next sleeping amid the
chaos. The ensemble work was refreshing - the sliding doors, the
tableaus appearing form behind the doors and then changing as an-
other slides forward.* The ensemble and the sheer precision of it is a
testimony to the vision and the ability of Rachman Sabur as a director
and conceptor for Payung Hitam over the last twenty plus years. It
is a testimony to his dedication the show and it is hard to imagine
Wail shining as brightly as he did without that wonderful ensemble
of the other actors. They had energy in stillness, though there were
times I had the sense that their biggest challenge in the future will be
maintaining that emotional freshness when in role and the urgency
for precision.
komite teater dkj 2017 ! 15

PosteHaste by Payung Hitam and directed by Rachman Sabur is one


of those brilliant shows where you are thrilled by the magic of the-
atre (everything looks so easy and yer it s not), where you can read
it with deep meaning or see it as pure entertainment. I am sure for
an Indonesian audience it would have resonated on so many levels
and for myself, I just enjoyed watching the work of some of my favou-
PostHaste Teater Payung Hitam: Graha Bhakti Budaya, TIM,17 Mei 2017. Foto: Eva Tobing,
dokumentasi DKJ.

rite actors in Indonesian theater.


Salut.

Whilst this technique hasbeen


used many times in various oth-
er countries, the criticism lacks
validity. There are no new ideas,
its simply how we execute them
and whether they are are rele-
vant for what we are watching.
komite teater dkj 2017 ! 16

Note: At the time of writing, I had


not read the programme notes.
barang bekas. (dari Posthaste Teater
Payung Hitam)
Oleh Afrizal Malna

Seolah-olah sebuah museum


barang bekas sedang menentu-
kan keberadaan mereka antara
lepas. kebekasan dan pergantian. Na-
mun yang terjadi: waktu bukan-
lah dinding untuk apapun bisa
dicantolkan pada badannya. Ga-
lon-galon plastik, pipa paralon,
tangga bambu, meja kursi kayu,
baskom ember plastik, triplek-
komite teater dkj 2017 ! 17

triplek kumuh, kap lampu, pintu


jatuh. mesin cuci rusak, lemari arsip,
kembang kantong plastik, terpal
plastik kumuh, bola-bola kecil:
Objek-objek ini (sebagai produk
budaya urban) membentuk nara-
si realitas yang telah terpakai, ru-
sak dan terbuang sebagai ruang pertunjukan Teater Payung Hitam
(20 - 22 Desember 2016, gedung teater Sunan Ambu, ISBI Bandung).

Dalam sebuah bangunan minimalis mirip dapur, aktor Nugraha Ba-


zier Susanto mulai memasak. Namun setiap benda yang diletakkan
dan disentuh, jatuh. Seolah-olah setiap benda sudah tidak memiliki
dasar untuk berada. Kemudian dalam waktu hitungan detik, seluruh
konstruksi minimalis mirip dapur dari kayu itu berlepasan, ambruk
bersama tubuh Bazier. Lampu gantung juga jatuh menimpa reruntu-
han dapur dan padam.

Pertunjukan seperti dimulai lagi dari awal, adegan sebelumnya seo-


lah-olah batal. Aktor Cristie Yaam Lumanta duduk mengangkang di
sebuah kotak dengan gambar seorang calon pilkada dalam posisi
terbalik pada dinding kotak. Cristie seolah-olah sedang membaca
koran. Tetapi tidak. Cristie sedang memakan koran itu sedikit demi
sedikit hingga seluruh tubuh lembaran koran itu hampir masuk ke
dalam mulutnya. Ini adegan pengantar membuka kesedihan pas-
angan homo yang menghadapi tekanan sosial dari pandangan aga-
mis: setiap benda yang tergantung di dinding, berjatuhan.

Cristie memerankan adegan homo bersama aktor Ayu Rahayu Putri


melalui pertukaran jaket antara keduanya. Pada dinding triplek ku-
muh tergantung foto calon pilkada yang sama, jam dinding mati,
kalender dan sebuah sepatu bot karet. Namun jaket yang akan mer-
eka gantung di dinding, juga lepas. Berkali-kali lepas, seakan dind-
ing menolak apapun yang akan ditempatkan pada badan dinding.
Benda-benda yang tergantung di dinding juga berjatuhan dalam
hitungan detik. Akhirnya dinding ambruk dan mereka berdua tertim-
pa dinding yang sama.

Pertunjukan seperti dimulai lagi dari awal, adegan sebelumnya seo-


komite teater dkj 2017 ! 18

lah-olah dibatalkan. Sebuah cara berpikir sedang ditawarkan dalam


pertunjukan ini: seluruh adegan dibuat sebagai adegan yang ber-
jatuhan dan berganti lagi dengan adegan lain dan berjatuhan lagi:
semuanya jatuh, tertimpa dan hilang.

Memasuki Tahun 2000-an, Indonesia mengalami beberapa bencana


alam dari laut (tsunami), gunung (letusan, gempa, longsor), hutan
PostHaste Teater Payung Hitam: Graha Bhakti Budaya, TIM,17 Mei 2017. Foto: Eva Tobing,
dokumentasi DKJ.

(kebakaran), Daratan (banjir, gempa); memunculkan wacana tentang


rapuhnya peradaban. Mengingatkan kembali akan kemampuan tu-
buh manusia sebagai bagian dari alam yang hilang dalam mengh-
adapi bencana. Kian lemahnya tubuh-modern dalam merespon ge-
jala-gejala alam. Kian lengahnya kita bahwa kita hidup di atas tanah
dan laut yang terus bergerak dan dihuni seratus lebih gunung be-
rapi. Bumi yang hidup dalam mata rantai tumbuh, jatuh, tumbang,
longsor, meletus, laut yang tiba-tiba naik dalam hempasan gelom-
bang tinggi ke daratan menjadi semacam agresi waktu dalam ruang
pentas Posthaste Teater Payung Hitam yang disutradarai Rachman
Sabur dalam pertunjukan ini.
komite teater dkj 2017 ! 19

Bencana itu diletakkan paralel dengan bencana kebudayaan, sosial


politik dalam kehidupan publik yang mudah terperangkap dalam
dua belahan ekstrim: halal-haram, agama-komunis, benar-salah,
mayoritas-minoritas. Mengalami kesulitan untuk melihat sejarah se-
bagai data dan bukan sebagai konstruksi kekuasaan. Peletakan ben-
cana alam dan bencana peradaban ini merupakan alur logika yang
ditempuh Rachman Sabur dalam pertunjukan ini. Barang bekas dan
status-quo yang selalu berjatuhan, tidak mendapatkan tempatnya
untuk tumbuh, menjadi kodifikasi utama dalam membangun mata
rantai adegan.

Agresi waktu sebagai sejarah dari konstruksi kekuasaan kemudian


mendapatkan alur yang cukup panjang dengan berbagai layer pe-
rubahan. Layer-layer adegan ini diproduksi melalui aktor Muhamad
Wail Irsyad. Setiap gerak yang dilakukan Wail terancam jatuh, tertim-
pa benda yang jatuh dari atas, atau mendapatkan agresi dari lingkun-
gan di sekitarnya. Ruang geraknya sebagai aktor yang ingin meng-
hidupkan tangan kiri maupun kaki kirinya, selalu mendapatkan
agresi dari lingkungan di sekitarnya. Contoh sebuah adegan: Wail
naik ke atas tangga bambu, dan seluruh anak-anak tangga bambu
alih-alih berlepasan. Dua batang bambu yang mengkonstruksi tang-
ga ini terbelah ke masing-masing arah dan Wail jatuh, sama seperti
jatuhnya anak-anak tangga bambu itu.

Dalam pertunjukan ini, Wail memproduksi tubuh yang lumer. Ener-


ji tidak lagi bersifat fisikal maupun monumental. Tekstur dari setiap
geraknya mendapatkan detil tidak sebagai efek grafis untuk tubuh
melakukan dekorasi. Melainkan sebagai respon dua arah antara tu-
buhnya dengan objek-objek maupun peristiwa yang berlangsung
dalam ruang pertunjukan. Tubuh lumer ini berjalan seperti menga-
pung di atas lantai pertunjukan, melangkah dengan banyak meng-
gunakan bagian depan telapak kaki, dan posisi kaki yang sedikit me-
nekuk mirip kaki pada tubuh burung bangau.

Gesekan waktu yang cepat berlangsung melalui adegan gesekan


dinding-dinding triplek (antara 3 sampai 5 dinding). Dinding-dind-
ing triplek ini digerakkan sebagai layar-layar yang membelah dan
menyayat ruang pertunjukan. Lalu sosok-sosok aktor terus berganti
di balik dinding, setiap dinding membelah, melakukan sayatan dan
komite teater dkj 2017 ! 20

berganti lagi.

Koreografi dinding yang dibuat Rachman Sabur ini (disain artistik:


Fajar Okto) menghasilkan ruang tidak permanen: semua terus ber-
ganti. Dinding tidak lagi berfungsi sebagai pembatas, namun justru
sebagai pembelah dan pusat manipulasi peristiwa. Pergantian ter-
us-menerus yang berlangsung dalam ruang pertunjukan, membuat
34 Tahun Teater Payung Hitam. Foto: Afrizal Malna

perubahan yang tidak menghasilkan perubahan atau perubahan


terus-menerus menghasilkan penghancuran basis produksi. Kore-
grafi dinding seperti ini signifikan untuk mengambarkan budaya
kekuasaan maupun kekerasan yang hidup dalam realitas sosial-poli-
tik masa kini di Indonesia.

Pertunjukan ini, walau sama sekali tidak menggunakan teks dan


musik, kecenderungan naratif tetap bocor pada beberapa adegan
dan tubuh aktor. Kebutuhan atas narasi tidak semata merupakan
platform utama dalam tradisi lisan kita, tetapi sejarah teater modern
di Indonesia juga merupakan sejarah narasi yang panjang hingga
kini. Kebutuhan atas cerita telah menjadi tubuh-teater sendiri dalam
sejarah teater modern Indonesia yang laten.

Bocornya tubuh-naratif maupun adegan-naratif dalam pertunjukan


Teater Payung Hitam ini cukup efektif dalam menghasilkan adegan
komite teater dkj 2017 ! 21

yang komunikatif dan vibratif. Ada semacam kebutuhan: tubuh juga


harus memiliki rima dan lirisisme. Tetapi pada sisi lain, tubuh dan
adegan-naratif ini juga beresiko dalam menawarkan penalaran da-
lam konteks dramaturgi yang konsisten sebagai sebuah bahasa per-
formatif.
Pertunjukan ini memang menghasilkan kerja koreografi yang organ-
ik antara tubuh aktor dan objek-objek pertunjukan dalam mempro-
duksi adegan. Objek-objek atau benda-benda juga menjadi tubuh
baru. Konstruksi diperlakukan sekaligus juga sebagai arsitektur yang
anti konstruksi untuk menghasilkan gerak dan tubuh-gerak.

Aktor Wail, sebagai satu-satunya aktor yang menggunakan rok ter-


usan mini berwarna putih kotor (seluruh aktor lain menggunakan
rok terusan hitam tanpa pemisahan gender), memiliki kecerdasan
mengalihkan ruang pada hampir setiap berakhirnya sebuah adegan.
Pengalihan ruang ini berlangsung dalam perubahan tempo, kece-
patan, posisi, tatapan maupun perubahan arah kepala pada setiap
akhir adegan dalam durasi hitungan detik. Wail memiliki kelebihan
pada detil celah-celah otot dan tulang di antara daging tubuhnya,
dan menjadi tekstur tersendiri dalam membangun bahasa perfor-
matif pada tubuhnya.

34 Tahun Teater Payung Hitam


Posthaste merupakan pertunjukan Teater Payung Hitam dalam usia
kelompok ini yang ke 34 tahun. Jejak-jejak kerja Rachman Sabur,
pola maupun metoda yang digunakan dalam memproduksi per-
tunjukan, terlihat dalam pertunjukan ini. Rachman tampak berusaha
keluar dari semacam dramatisasi adegan maupun ketubuhan aktor
yang generik. Dramatisasi memang tetap terjadi, namun bergeser
ke arah yang sifatnya lebih organik antara tubuh dan adegan dalam
ruang yang terukur.

Dalam realitas teater di Indonesia, ada pertanyaan: apakah artinya


waktu? Hampir sebagian aktor dalam teater di Indonesia, adalah ak-
tor yang usia pentas mereka bergerak antara 3 sampai 5 tahun. Lalu
sebuah kelompok teater, atau lebih tepat sutradara dari kelompok
komite teater dkj 2017 ! 22

teater ini harus mencari atau kedatangan orang baru yang ingin be-
raktifitas dalam teater. Sebagian mereka yang pernah menjadi aktor,
setelah keluar dari kelompoknya, tidak pernah melanjutkan perjala-
nannya sebagai seorang aktor.

Hal yang sama juga terjadi pada Teater Payung Hitam: usia 34 ta-
hun tidak sepenuhnya merupakan kuantitas maupun kualitas 34 ta-
Tony Broer Foto: Afrizal Malna

hun. Personil-personilnya berganti. Dalam Posthaste, sebagian aktor


Teater Payung Hitam merupakan generasi baru. Kerja penyutrada-
raan Rachman Sabur, juga menjadi kerja mekurasi datangnya gener-
asi baru dari era berbeda di dalam medan produksi Teater Payung
Hitam. Ini hal yang tidak mudah dalam membangun dramaturgi
Teater Payung Hitam antara kelanjutan produksi dengan soal wa-
cana-wacana kritis dalam melihat perbedaan generasi dari era yang
berbeda. Kita bisa melihat, misalnya, ruang tubuh berbeda yang
dibawa Tony Broer sebagai generasi lebih awal dari Payung Hitam,
dengan Wail sebagai generasi masa kini. Pada ruang tubuh Tony
Broer, kita masih bisa menemukan konstruksi kekuasaan era Orde
Baru. Sementara pada ruang tubuh Wail, kita menemukan ruang cer-
ita yang lebih sehari-hari dengan berbagai vibrasi organiknya.

Pengalaman Rachman Sabur yang pernah mendapat serangan struk:


tubuh yang tiba-tiba lumpuh dan meleot, merupakan sebuah kuali-
komite teater dkj 2017 ! 23

tas tersendiri yang berada di luar hitungan 34 tahun. Sebuah pen-


galaman di mana Rachman melihat kelebihan lain bahwa teater juga
adalah media untuk recovery tubuh.

Selamat ulang tahun, kang.

(Tulisan juga dimuat di Jawa Pos, Desember 2016)

Anda mungkin juga menyukai