Anda di halaman 1dari 7

Realis dan Realisme (Bagian 1)

Dari “Greyhound” untuk Inovasi-inovasi Penting Dilakukan Agar Teater Realis Tetap Mampu


Bertahan.

Pentas “GREYHOUND” Teater Nonton (21/3/2015) menurun jika dibandingkan kualitas


pertunjukan mereka pada Festival Teater Jakarta (FTJ) tahun 2014. Pentas ulang yang
diselenggarakan di Aula Fakultas Ilmu Budaya (FIB)-Universitas Padjajaran (UNPAD), Jatinangor,
Bandung, Jawa Barat memperlihatkan capaian yang diraih pada pentas di Teater Luwes Institut
Kesenian Jakarta (IKJ, 13/12/2014) dalam FTJ 2014 tidak mampu dipertahankan. Teater Nonton
kembali mengelola prosenium sebagai bahan dasar estetis  dalam mencipta ruang pertunjukan.
Hal itu dilakukan tanpa olah ruang yang cukup kreatif, walau pun tidak harus berobsesi menjadi
baru. Tanda-tanda itu tampak pada gaya komposisi ruang yang memosisikan ruang tamu di
tengah panggung, frontal menghadap penonton. Jugabackdrop panggung menjadi dinding
tempat meletakkan lukisan dan sandaran buffet, rak buku, serta pemanfaatan bagian wings di
kiri dan kanan sebagai pintu-pintu ke ruang lain yang merupakan bagian dari rumah seperti
kamar-kamar anggota keluarga, dapur, kamar pembantu dan atau ke bagian belakang rumah.

Model dinding ruang tamu dari backdrop panggung prosenium di gedung teater seperti itu
membuat konsep realis menjadi rancu. Ruang di wings kanan dan kiri untuk menyarankan
kamar yang berada di lantai atas dan bawah, dapur, kamar pembantu dan ruang di belakang
rumah menjadi seolah bertumpukan. Upaya mengatasi panggung yang sempit
ke backdrop panggung, memaksakan skenografi ruang dalam cerita. Hal itu menyebabkan
kewajaran menjadi pertanyaan. Walau ada upaya penggunaan apron kiri depan menuju tangga
keluar/ turun panggung sebagai pintu utama masuk rumah. Bukankah teater realis kebanyakan
mengupayakan suatu kewajaran, dan konon mau mencapai hal-hal yang natural? Demikian
kiranya tafsir terhadap teater realisme yang berakar di barat dan tidak memiliki akar budayanya
di negeri ini, kecuali sebagai suatu kabar pengetahuan, yang dibawa kaum berpendidikan barat
pada awal teater modern di Indonesia. Walau teks verbal dari naskah drama karya Diky
Soemarno yang mereka bawakan, tetap mendapat pujian sebagai karya sastra yang bernas,
sekaligus karya terbaik penyandang predikat Juara Naskah Drama Asli Terbaik FTJ 2014.
Dok : Teater Nonton

“Secara umum pertunjukan ini bisa dibilang sukses, karakter yang dimainkan sangat baik,
pemainnya sangat matang. Lalu ceritanya juga adalah cerminan kehidupan sehari-hari. Lalu
saya juga melihat ada keluarga saya disana. Pertunjukan tadi juga mengingatkan saya dengan
gaya realis teater STB (Studiklub Teater Bandung-pen) dan Teguh Karya dengan gaya realisnya.
Tetapi dalam pertunjukan ini ada ditambahkan dengan lagu dan guyon,” dikatakan Lina
Meilinawati Rahayu, Koordinator Bidang Studi Ilmu-ilmu Sastra FIB UNPAD.

“Apakah pernah didiskusikan bagaimana bermain dengan gaya timur misalnya? Apakah bicara
dengan orang tua, dengan saudara sambil berjalan-jalan itu sudah tidak menjadi masalah yang
penting, karena ini teater. Maka tidak menjadi masalah dan yang penting menjadi tontonan
yang kita senang menontonnya. Ada kehidupan kita dipanggungnya. Saya teringat bagaimana
rangkaian adegan per adegan itu antara yang bermakna dan main-main terus secara apik
diatur. Arifin C. Noer mengatakan antara sense dan non sense itu berulang, yang non
sense akhirnya menjadi sense, main-main yang mendukung, berfungsi mengalihkan satu
peristiwa ke peristiwa lain. Tetapi sebetulnya menguatkan. Itu terus berulang sampai akhir.
Poinnya adalah: Tontonan ini bernas, menyenangkan, dapat melihat pementasan ini dilebih-
lebihkan, ditekankan, dikurangkan, diberikan arsiran, diberikan tanda kutip,” Kang Tedi
Muhtadin, Penggiat Teater, Dosen Sastra Sunda FIB UNPAD menambahkan.

 “Waktu itu ada beberapa poin yang dianggap penting oleh Juri, kenapa Diky (Teater Nonton-
pen) dianggap terbaik dari 18 kelompok yang tampil. Salah satunya adalah pendobrakan ruang.
Bagaimana Teater Nonton main di Teater Luwes? Mirip dengan Aula FIB UNPAD, bentuknya
arena. Ada panggung tetapi tidak digunakan, kemudian ada  kursi yang lepas. Waktu itu kita
semua kaget karena belum pernah terjadi satu kelompok teater mengubah panggung, tidak
menggunakan panggung tetapi menggunakan belakang. Diubah dari belakang ada tangga,
belakang diubah menjadi pintu masuk, dan itu yang tidak terjadi disini. Saya pikir, saya sedikit
kecewa. Jadi salah satu yang dianggap penting dalam pementasan Diky adalah mendobrak
kebekuan ruang. Saya pikir ini dalam pertunjukan teater sesuatu yang amat penting, tidak
hanya dalam pertunjukan tetapi dalam berteater sendiri amat penting. Membongkar ruang,
membongkar medan baru, atau membuka medan ruang kemungkinan baru itu adalah penting,”
kata Dewi Noviami, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta pada Diskusi “Bertaruh pada
Teater” yang diselenggarakan usai menonton petunjukan Teater Nonton.

 “Saya merindukan benar-benar bicara dan berkomunikasi sebagai manusia. Manusia harus
tetap sebagai manusia, bahwa manusia harus punya mimpinya. Jangan sampai seperti yang
tertulis dalam naskah saya, dengan dalil kasih sayang kita mengorbankan mimpi dan cita-cita
kita. Mengenai konsep penyutradaraan saya nggak tau, apakah ini seperti konsep STB atau
bagaimana? Saya melakukan apa yang saya mau dan apa yang saya mengerti. Saya berangkat
dari apa yang mau saya tulis dan saya mengerti, tanpa tahu apakah aliran realis atau surealis
tetapi saya melakukan apa yang saya bisa dan saya mampu, dan bagus menurut saya,” ujar Diky
Soemarno selaku sutradara dan penulis naskah.
Dok : Teater Nonton

Evaluasi Seno Joko Suyono sebagai salah satu Juri FTJ 2014 menuliskan hal sebagai berikut:

“Sementara realis mau tidak mau harus tetap dipandang dengan basis: kemampuan
menciptakan peristiwa di panggung. Realisme tetap harus ditakar pengadegan demi
pengadegan, kejadian demi kejadian, teknik pengembangan dan struktur plot.  Yang sering
dilupakan adalah realisme sendiri tidak statis. Realisme adalah sesuatu estetika yang belum
selesai. Realisme belum berhenti. Realisme sampai saat ini  tetap mencari kemungkinan-
kemungkinan baru. Dalam sebuah festival, maka diharapkan mereka yang mengarungi realisme
terus berani melakukan eksperimen bentuk dan tema.”

“Inovasi-inovasi penting dilakukan agar tetap membuat realisme mampu bertahan dalam
kepungan trendterkini teater dan tidak digilas oleh wacana-wacana estetika baru teater.
Diperlukan penafsiran dan uji coba terus menerus bagaimana misal membuat tubuh mampu
berekspresi secara wajar dan natural  sebagaimana ekspresi sehari-hari. Diperlukan keberanian-
keberanian menciptakan kejutan-kejutan atau keterdugaan dalam mengolah dramaturgi.
Singkatnya mereka yang bergerak dalam jalur realisme selalu siap dan antusias menghadapi
tantangan bentuk dan tema. Mereka seyogianya mencari tantangan dan tidak menghindari
tantangan. Itu semata-mata agar tidak membuat estetika realisme mandek atau involutif.”
Dok : Teater Nonton

Realisme

Konon sejarah teater realisme di barat pada akhir abad 19 itu dimulai untuk meninggalkan
romantisme setelah Napoleon berkuasa dan Revolusi Industri Pecah. Romantisme dianggap
tidak punya ide tentang kebebasan, persaudaraan dan persamaan hak. Borjuasi merajalela dan
manusia makin menderita. Inti realitas yang dibawakan dalam romantisme adalah realitas
dalam istana, realitas seputar keluarga kerajaan. Maka, revolusi harus dilakukan dengan
mengangkat kisah-kisah dari keluarga biasa atau keluarga non-istana ke dalam pentas teater.
Romantisme yang didominasi Teater Elizabethan, seperti karya Shakespeare di Eropa, yang
selalu berbicara soal keluarga kerajaan harus digantikan. Gerakan teater realisme bersamaan
dengan merebaknya gerakan penciptaan seni modern barat.

Timbulnya gagasan untuk mementaskan lakon kehidupan sehari-hari dari kenyataan orang
biasa dan kebanyakan ke atas pentas teater realisme, dengan menyajikannya seolah peristiwa
itu terjadi secara nyata. Gagasan ini melahirkan konvensi baru dan mengubah konvensi lama
yang lebih menampilkan seni teater sebagai sebuah pertunjukan yang memang hanya khusus
menjadi tontonan. Tidak ada lagi pamer keindahan bentuk akting dan puitika kata dalam
realisme. Semua ditampilkan apa adanya seperti sebuah kenyataan kehidupan.

Aliran filsafat yang memengaruhi pola pikir realisme adalah positivisme yang beranggapan
bahwa pengetahuan itu semata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Ia berpangkal
pada sesuatu yang faktual, nyata, dari apa yang diketahui berdasar data empiris. Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta atau apa yang tampak.
Ia bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai
suatu realita. Manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta. Dalam “pencapaian
kebenarannya”, positivisme bersumber pada kejadian sebenarnya.

Aliran berpikir positivisme didukung dan kait mengait dengan paham-paham naturalisme dan
empirisme. Konon pula, Teori Evolusi Charles Darwin juga memengaruhi pikiran gerakan
realisme menjadi semacam kanon besar kebudayaan Barat. Teori itu menuliskan bahwa
manusia yang hidup adalah manusia dari gen yang unggul; dan bahwa persaingan antar gen
terus terjadi selama manusia hidup.

Teater yang menghadirkan semacam penggalan kenyataan hidup di atas pentas itu digemari,
seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung artistik pentas. Para penonton dibuat
terhanyut dan larut ke dalam cerita yang dimainkan. Teater Realisme menjadi pesona yang
berpengaruh dalam waktu yang cukup lama. (Bersambung-Deds)

Anda mungkin juga menyukai