MENGENAI TEMPAT KEDUDUKAN DAN WILAYAH JABATAN NOTARIS DAN PPAT Hermansyah 1 , Iwan Permadi 2 , Eko Handoko Widjaja 3
Program Studi Magister Kenotariatan, Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Email: hermansyah_Esa23@yahoo.com ABSTRAKSI Penelitian ini membahas ketidakselarasan peraturan perundang-undangan antara Pasal 17 huruf (g) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dengan Pasal 8 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kedua pasal tersebut mengatur tentang larangan-larangan bagi Notaris dan PPAT yang berkaitan dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris dan PPAT. Perlu atau tidaknya kedua peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatan tersebut dijadikan satu kesatuan. Bagaimana peraturan perundang- undangan yang tepat secara hukum guna mengatur tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris maupun PPAT. Penelitian ini merupakan peneltian normative yakni mengkaji norma-norma terkait penelitian yang diteliti. Dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Hasil penelitian, untuk masalah tempat kedudukan dan wilayah jabatan agar tidak terpecah seperti sekarang tidak perlu diadakan dalam satu perundang-undangan karena landasan hokum berbeda. Untuk menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang tepat secara hukum khususnya mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan baik notaris maupun PPAT maka dalam pembentukannya harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baikyang terdapat
1 Mahasiswa, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. 2 Pembimbing Utama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. 3 Pembimbing Pendamping, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. 2
didalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kata Kunci : Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Notaris Dan PPAT ABSTRACT This study discusses legislation inconsistency between Article 17 letter (g) of Law Number 30 Year 2004 About Notary Department (UUJN) with Article 8 paragraph (1) letter (c) of Government Regulation Number 37 of 1998 of Regulations Office Department Makers The Land Act. The second chapter is about the prohibitions arrange for Notary and PPAT associated with a position and region of the notary and PPAT. Need a second applicability of legislation which was used as a form different from unity. How laws and regulations that regulate employment law accurately and provincial seat of the notary or PPAT. This research is normative peneltianie norms related study that examined research. Done through examining library materials, the foundations of law, systematic review of the law, an examination of the vertical and horizontal sinkronisasai standard, comparative law and legal history.Results of the research, the seat of the problem and provincial departments that are not broken as it is now does not have to be in a legislation for different legal basis. To produce legislation that right in law in particular the place of good standing and provincial departments as well as the notary PPAT then the formation must be done based on the basic formation Legislation good found in article 6 paragraph (1) Law of the Republic Indonesia number 12 Year 2011 About the formation of legislation. Keywords: Synchronization Regulation Legislation Regarding Position And The Dan Region Notary PPAT
3
A. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dengan demikian maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum. Negara hukum ialahnegara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yangtelah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat. 4 Negara hukum merupakan suatu negara yang dalam wilayahnya terdapat alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya terhadap para warga negara dan dalam hubungannya tidak boleh bertindak sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan- peraturan hukum yang berlaku, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 5
Negara kekuasaan, hukum, dan politik merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, karena semua komponen tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan, komponen-komponen tersebut hanya akan berjalan dengan semestinya apabila ada pelaksana yang mengerti tentang bagaimana cara kerja dari komponen tersebut. Diantara banyak pelaksana negara, kekuasaan, hukum dan politik ini terdapat mereka yang disebut sebagai pejabat negara, baik secara umum maupun secara khusus. Diantara para pejabat umum yang memangku tugas dari negara, terdapat pejabat umum yang disebut dengan Notaris, tapi kualifikasi notaris sebagai pejabat umum tidak hanya untuk notaris saja karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai pejabat umum. 6
Notaris merupakan salah satu pejabat negara yang kedudukannya sangat dibutuhkan di masa sekarang ini. Dimasa modern ini, masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain seperti yang mereka kenal dulu, Setiap perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat pasti akan mengarah kepada notaris sebagai sarana keabsahan perjanjian yang
4 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, 1973, Bandung, hlm. 13. 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum,DiaksesTanggal 9 februari 2013 6 HabibAdjie, HukumNotaris Indonesia, RefikaAditama, Bandung, 2009, hlm. 13. 4
mereka lakukan, Karena itulah kedudukan notaris menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini. Notaris merupakan sebuah profesi, profesi tersebut sudah ada pada abad ke 2-3 pada masa Romawi kuno yang dikenal sebagai scribae, tabellius, atau notarius. Pada masa itu, Notaris adalah golongan orang yang mencatat pidato. Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius yang kemudian menjadi istilah bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris merupakan salah satu profesi hukum yang tertua di dunia. Jabatan notaris ini tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif, ataupun legislatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka Notaris tidak lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, Notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan Notaris atas permintaan kliennya. 7
Notaris di Indonesia sebelumnya diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notaris ambt), stb, 1860-3. Teks asli dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa ambt adalah jabatan, dan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 disebut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berarti mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Jabatan Notaris. 8
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan UUJN) menyebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Notaris sebagai pejabat umum merupakan sebuah profesi hukum yang memiliki posisi sangat strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia. Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum. Tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa Notaris. 9
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menteri juga berwenang menentukan formasi jabatan notaris pada
7 G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm. 4. 8 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 5. 9 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 50. 5
daerah kabupaten atau kota sebagai tempat keduudukan notaris, notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya dan wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu ditempat kedudukannya serta tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya. 10
Mengenai formasi jabatan notaris telah diatur didalam UUJN, definisi formasi jabatan notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada suatu wilayah jabatan Notaris. 11
Formasi jabatan notaris ditetapkan berdasarkan: 12 a. Kegiatan dunia usaha, b. Jumlah penduduk dan/atau, c. Rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris setiap bulan. Seorang notaris biasanya merangkap jabatan sebagai PPAT, hal ini terjadi karena adanya sinergi atau hubungan antara keduanya.PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, PP ini merupakan delegasi dari pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA) yang memerintahkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah. 13
Notaris dan PPAT Kedudukannya dalam masyarakat sangat diperlukan, sebab masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan- keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda-tangannya serta segel (capnya) memberikan jaminan dan bukti yang sempurna, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. 14
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti dari PP No. 10 Tahun 1961, fungsi PPAT yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah, dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-
10 Pasal 18,19, dan 21 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 11 Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 12 Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 13 H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahn Indonesia) jilid 2, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hlm. 95. 14 Tan Thong kie, Op.cit., hlm. 162. 6
undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. 15
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah pasal 2 ayat (1) fungsi PPAT lebih ditegaskan lagi bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hokum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hokum itu. Pengangkatan dan pemberhentian PPAT ditentukan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. 16 Sebagai pejabat yang melaksanakan tugas dibidang pendaftaran tanah maka jabatan PPAT selalu dikaitkan dengan suatu wilayah pendaftaran tanah tertentu yang menjadi daerah kerjanya. 17
Dalam pelaksanaan wewenang, jika misalnya ada seorang pejabat yang melakukan suatu tindakan diluar atau melampaui kewenangannya melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan, maka perbuatannya itu akan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Demikian pula dengan notaris dan PPAT, para notaris dan PPAT wajib untuk mengetahui batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, notaris juga memilki kewajiban yang harus mereka penuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini dilanggar maka Notaris dan PPAT yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Dalam substansi hukum, terkadang tidak jarang masyarakat disuguhi dissharmonisasi dan dissinkronisasi dalam makna hukum itu sendiri, padahal tanpa disadari hal ini telah mereduksi makna dan tujuan hukum.Hukum yang
15 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 689. 16 Pasal 5 dan 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah 17 Boedi Harsono, op. cit. hlm. 691. 7
seharusnya bertujuan mewujudkan keadilan ternyata sering melahirkan ketidakadilan, hukum yang seharusnya membawa kepastian ternyata masih juga melahirkan ketidakpastian, hukum yang seharusnya melahirkan kemanfaatan ternyata kemanfaatan hanya dinikmati oleh sebagian yang bisa mengurusnya. Notaris dan PPAT mengemban tugas sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, dalam mengemban tugasnya harus mematuhi rambu- rambu hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun didalam peraturan perundang-undangan itu sendiri terdapat dissinkronisasi atau tidak selaras, dalam hal ini Pasal 17 huruf (g) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dengan Pasal 8 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pasal-pasal yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang larangan-larangan bagi Notaris dan PPAT yang berkaitan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris dan PPAT. Secara keseluruhan dalam pasal 17 UUJN mengatur tentang larangan- larangan bagi notaris, Didalam Pasal 17 huruf (g) dijelaskan bahwa notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris. 18 Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan wilayah jabatan maka dapat melihat substansi dari pasal 18 UUJN, sebagai berikut: a. Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan bahwa:Notaris mempunyai tempat kedudukan didaerah kabupaten atau kota, b. Pasal 18 ayat (2) meyebutkan bahwa:Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Menurut pasal 18 ayat (1) notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kebupaten atau kota. Kedudukan notaris di daerah kota atau kabupaten sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Bahwa pada tempat kedudukan Notaris berarti notaris berkantor di daerah kota atau kabupaten sesuai pasal 19 ayat (1) UUJN. 19
18 Pasal 17 huruf (g) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). 19 HabibAdjie, Op.cit.,hlm. 95. 8
Menurut pasal 18 ayat (2) notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Pengertian tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris adalah notaris mempunyai wilayah kerja satu propinsi dari tempat kedudukannya, artinya notaris dapat saja membuat akta di luar tempat kedudukannya selama sepanjang masih berada pada propinsi yang sama. 20
Atas dasar uraian pasal 18 diatas maka dapat dibedakan pengertian tempat kedudukan dengan wilayah jabatan. Bahwa didalam pasal 17 huruf (g) UUJN bila dikaji lebih jauh dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: pasal tersebut memungkinkan notaris merangkap jabatan sebagai PPAT didalam wilayah jabatan notaris tanpa memperhatikan tempat kedudukan notaris., sedangkan didalam Pasal 8 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan PPAT berhenti menjabat karena PPAT tersebut diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT. 21
Daerah kerja seorang PPAT sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) PP no 37 Tahun 1998, Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. 22 Pengertian dari pasal 8 ayat (1) huruf (c) PP no 37 Tahun 1998 adalah PPAT yang merangkap jabatan sebagai notaris diluar daerah kerja atau diluar tempat kedudukan PPAT berhenti secara otomatis. Sehingga terdapat pertentangan dengan pasal 17 huruf (g) UUJN. Walaupun pasal 9 dari PP tersebut membolehkan untuk diangkat kembali PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT karena diangkat dan mengangkat sumpah jabatan Notaris di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten/
20 Ibid. 21 Pasal 8 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah 22 H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2004, hlm. 80. 9
Kotamadya Daerah Tingkat II tempat kedudukannya sebagai Notaris, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. Namun yang menjadi permasalahan berikutnya bagaimana jika ditempat kedudukan dan wilayah jabatan tidak ada formasi sudah tentu tidak dapat diangkat juga. Seperti yang telah terjadi dibogor tahun 2009 dalam hal ini saya mengambil contoh yang sama dengan penulis tesis asal Universitas Indonesia. 23 Notaris tersebut diangkat sebagai notaris kabupaten Lebak dengan wilayah jabatan Propinsi Banten dan diangkat sebagai PPAT daerah kerja kabupaten Bogor. Tidak menutup kemungkinan Notaris/PPAT yang berbeda tempat kedudukan kota/kabupaten dalam Propinsi yang sama, misalnya lulus sebagai PPAT yang berbeda Kota/Kabupaten dalam Propinsi yang sama, misalnya lulus sebagai PPAT kota Malang dan sebagai Notaris di Surabaya itu menimbulkan suatu permasalahan. 24
Menurut Paul Scholten hukum menuntut kepatuhan, masyarakat dan badan hukum sebagai subyek hukum hanya mematuhi sesuatu yang tidak menyandang pertentangan dalam hukum itu sendiri, maka hukum harus mewujudkan suatu kesatuan. 25
Uraian diatas memberikan deskripsi yang jelas bahwa pengaturan tentang wilayah jabatan dan tempat kedudukan Notaris/PPAT yang telah diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 17 huruf (g) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dengan Pasal 8 ayat (1) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, terdapat maksud dan tujuan yang tidak selaras sehingga adanya multitafsir yang berdampak timbulnya ketidakpastian hukum bagi calon notaris maupun calon PPAT.
23 Yuli Kristi, Tesis: "Analisis Terhadap Perbedaan Wilayah Jabatan Seorang Notaris Dan PPAT" (Depok: Universitas IndonesiaDepok, 2012), hlm. 49-51. 24 Dilema : Notaris dan PPAT yang Berbeda Tempat Kedudukan/Wilayah Jabatan http://herman- notary.blogspot.com/2009/06/dilemma-notaris-dan-ppat-yang berbeda.html 14 2013. 25 Paul Scholten,StrukturIlmuHukum, Alumni, Bandung, 2005,hlm. 29. 10
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan jurnal ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kedua peraturan perundang-undangan tentang jabatan notaris dan jabatan PPAT khususnya mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan perlu diadakan dalam satu peraturan perundang-undangan sehingga tidak terpecah seperti sekarang? 2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang tepat secara hukum guna mengatur tempat kedudukan dan wilayah jabatannotaris maupun PPAT? B. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, penelitian hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasai vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 26 Pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan oleh peneliti dengan maksud sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini dilakukan karena peraturan perundang-undangan merupaan titik fokus dari penelitian ini. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hokum dari waktu kewaktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hokum dari waktu kewaktu. Pendekatan konseptual yang digunakan oleh peneliti adalah konsep-konsep yuridis yang dalam hal ini teori-teori hukum yang berkaitan dengan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Notaris Dan PPAT yaitu teori perlindungan hukum, teori tujuan hukum dan teori hierarki (stufenbau theory). Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah didalam membuat perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder pada penelitian ini meliputi buku-buku literatur, jurnal hukum,
26 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta,1985, hlm. 17. 11
tulisan ilmiah, dan pendapat sarjana atau ahli hukum dan bahan hukum tersier, terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian serta artikel- artikel dari media cetak maupun media elektronik. Teknik Penelusuran Bahan Hukumpeneliti dalam rangka menemukan bahan hukum menggunakan metode penelitian studi dokumentasi atau disebut juga sebagai penelitian kepustakaan (Library Research) dengan langkah-langkah mengumpulkan, membaca, dan mengelompokkan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan peraturan perundang-undangan tentang wilayah jabatan dan tempat kedudukan notaris dan ppat, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier untuk diuji secara komprehensif. Analisis Bahan HukumSemua bahan hukum yang dikumpulkan dalam penelitian ini kemudian dikelompokkan dan dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :Langkah analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun untuk lebih mudah dalam membaca dan mempelajarinya.Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan deskriptif analisis, yaitu peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian. Logika hukum yang digunakan bersifat deduktif kualitatif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang- undangan dan literatur yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. C. HASIL DAN PEMBAHASAN C.1. Perlu Atau Tidaknya Diadakan Dalam Satu Peraturan Perundang- Undangan antara UUJN Dan PP Tentang PPAT Khususnya Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Sehingga Tidak Terpecah Seperti Sekarang Membahas antara kedua peraturan perundang-undang yang berbeda tingkatan (hirarki) antara Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah Dalam hal ini Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah perlu atau tidak diadakan dalam satu peraturan perundang-undangan, maka perlu perlu mengetahui terlebih dahulu asas-asas 12
apa saja yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut, dalam hal ini asas-asas yang digunakan dalam pembentukan suatu perundang- undangan serta teori-teori apa saja yang akan dijadikan landasan untuk menjawab permasalahan peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebenarnya untuk menjawab pertentangan tersebut bisa saja dijawab dengan sederhana yaitu dengan menggunakan asas-asas pertentangan hukum atau asas konflik hukum yaitu, asas lex superior derogaat legi inferiori. Pemahaman tentang asas Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (lex superior derogaat legi inferiori) adalah apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang- undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus dikesampingkan. Namun dalam pembahasan ini untuk menjawab rumusan masalah diatas tidak sesederhana itu karena pada tesis ini penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, maka dalam pembahasannya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, penelitian hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasai vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 27
Dalam pandangan seperti ini, klasifikasi sebagai suatu kegiatan membangun teori menjadi alat untuk mengorganisis dan mengintegrasikan apa yang diketahui tentang bidang tersebut di mana kegiatan berteori sedang dilaksanakan. Disini bangunan model merupakan proses yang sering dipergunakan dalam berteori, Model merupakan analogi. Bangunan suatu model merupakan suatu cara menyajikan fenomena yang diberikan dan hubungan- hubungannya, tetapi itu bukanlah fenomena semata. Dalam pembahasan ini menggunakan bangunan model yang berisikan teori-teori, asas-asas, sistematik hukum dan sejarah hukum yang selanjutnya diformulasikan dan disusun sedemikian rupa untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah diatas.
27 Ibid,.hlm. 34. 13
Bagan hasil analisis
C.1.1. Analisis Berdasarkan StufenbauTheory Perlu Atau Tidaknya Diadakan Dalam Satu Peraturan Perundang-Undangan Antara UUJN Dan PP Tentang PPAT Khususnya Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Sehingga Tidak Terpecah Seperti Sekarang Stufenbautheory atau teori hierarki merupakan teori yang menjelaskan tentang sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak). Contoh norma hukum paling dasar abstrak di indonesia adalah Pancasila. Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia, pada awalnya jenis dan tata urutan (susunan) peraturan perundang-undangan belum pernah dituangkan dalam suatu instrumen hukum yang termasuk jenis peraturan perundang- undangan, secara teratur dan komprehensif. Dalam UU No.1/1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (dikeluarkan berdasarkan UUD 1945) dan UU No.2/1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan Mengumumkan dan Mulai Menganalisis tingkatan peraturan perundang-undangan secara history Teori Hierarki (stufenbau theory) Menganalisis perlindungan pfeventif dan represif terhadap calon Notaris dan PPAT Teori Perlindungan Hukum Menganalisis peraturan perundang- undangan mengenai kepastian hukum yang diberikan bagi calon Notaris dan PPAT Teori Kepastian Hukum 14
Berlakunya UU Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (dikeluarkan berdasarkan KRIS 1949) memang diatur mengenai mengenai jenis-jenis peraturan perundang-undangan namun belum ditata secara hirarki berdasarkan teori stufentheory (jenjang) norma hukum Hans Kelsen/Hans Nawiasky. Demikian pula dalam Surat Presiden kepada DPR No.2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, dan Surat Presiden kepada DPR No.2775/HK/59 tanggal 22September 1959 tentang Contoh-Contoh Peraturan Negara, serta Surat Presiden kepada DPR No.3639/HK/59 tanggal 26 Nopember 1959 tentang Penjelasan Atas Bentuk Peraturan Negara, jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Surat-surat tersebut tidak ditata secara hirarkis. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) diletakkan di atas Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang (Perpu). Setelah tumbangnya pemerintahan orde lama pada tahun 1966, DPR-GR pada tanggal 9 Juni1966 mengeluarkan memorandum yang diberi judul Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia pada awalnya berpedoman pada Memorandum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan RI dan Skema Susunan kekuasaan didalam Negara RI yang dikukuhkan dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS ini hanya berisakan tiga pasal yang pada intinya menyetujui isi Memorandum DPR-GR, berikut isi dari ketiga pasal terbut: 28
Pasal 1, Menerima baik isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966, khususmengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 2, Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia tersebut pada pasal 1 berlaku bagi pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pasal 3, Isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dilampirkan pada Ketetapan ini. Dalam Memorandum DPR-GR tersebut isi awalnya berisi tentang Pendahuluan yang memuat latar belakang ditumpasnya pemberontakan G-30-S PKI kemudian selanjutnya berisikan tentanga sumbangan pikiran. Memorandum
28 Isi dari TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 15
DPR-GR merupakan sumbangan pikiran mengenai pokok-pokok persoalan yang langsung atau tidak langsung menyangkut hidup ketatanegaraan, dengan tujuan utama supaya Republik Indonesia sesungguh-sungguhnya de facto dan de jure adalah Negara Hukum yang hidup dan ditegakkan secara konsekuen diatas landasan Undang-Undang Dasar 1945. Surat Perintah Presiden 11 Maret sebagai titik tolak lahirnya memorandum DPR-GR, menyusun kembali segala segi kehidupan kenegaraan Bangsa Indonesia sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, guna menyelamatkan jalannya Revolusi dan jalannya Pemerintahan dan guna mentrapkan ajaran Pemimpin Besar Revolusi (PBR) yang setepat-tepatnya. Sumbangan pikiran itu meliputi tiga pokok persoalan, yakni :I.SUMBER TERTIB HUKUM REPUBLIK INDONESIA, II.TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANGAN R.I. DAN BAGAN SUSUNAN KEKUASAAN DIDALAM NEGARA R.I., III.SKEMA SUSUNAN KEKUASAAN DIDALAM NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Ketiga (3) Sumbangan pikiran DPR-GR itu merupakan poin-poin penting mengenai pokok-pokok persoalan yang langsung atau tidak langsung menyangkut hidup ketatanegaraan Republik Indonesia, namun dalam pembahasan ini lebih difokuskan pada poin kedua (2) yaitu Tata Urutan Peraturan Perundangan R.I. dan Bagan Susunan Kekuasaan Didalam Negara R.I. karena berkaitan dengan rumusan masalah. Adapun Tata Urutan Peraturan Perundangan R.I. atau hierarki Sebagai berikut:
16
Tabel 3.1 Hierarki berdasarkan sejarah TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 TAP MPR No.lll/MPR/2000 UU Nomor 10 Tahun 2004 UU Nomor 12 Tahun 2011 1. UUD RI 1945 2. TAP MPRS 3. UU/Perpu 4. PP 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: Peraturan Menteri instruksi Menteri dan lain-lainnya 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR RI 3. UU 4. Perpu 5. PP 6. KepPres 7. PerDa 1. UUD RI 1945 2. UU/Perpu 3. PP 4. PerPres 5. Peraturan Daerah a.Perda Provinsi dibuat oleh Gubernur b.Perda Kab/Kota dibuat oleh DPRD Kab/Kota bersama Bupati /walikota c.Peraturan Desa yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. 1. UUD RI 1945 2. TAP MPR RI 3. UU/ Perpu 4. PP 5. PerPres 6. PerDa Propinsi 7. PerDa Kab./Kota Sumber: Data Sekunder, diolah 2013 C.1.2. Analisis Berdasarkan Teori Perlindungan Hukum Perlu Atau Tidaknya Diadakan Dalam Satu Peraturan Perundang-Undangan Antara UUJN Dan PP Tentang PPAT Khususnya Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Sehingga Tidak Terpecah Seperti Sekarang Notaris dan PPAT sebelum menjalankan tugas dan jabatannya sebagai seorang pejabat umum hendaknya harus mendapatkan perlindungan hukum terlebih dahulu idealnya bentuk Perlindungan Hukum Preventif karena hukum ini merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Perlindungan hukum Preventif itu hendaknya harus mempunyai kejelasan, Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.Bahwa dalam Pasal 17 huruf g UUJN, ditegaskan Notaris dilarang merangkap jabatan diluar wilayah jabatan Notaris. Jika larangan tersebut dilanggar maka berdasarkan Pasal 85 UUJN, dapat dikenai sanksi administratif dari Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang Notaris terlebih 17
dahulu diberi kesempatan untuk membela diri mulai dari MPD, MPW, MPP dan pada akhirnya atas usulan MPP akan dilakukan Pemberhentian tidak hormat oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Bahwa kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN, bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Maka dengan demikian Notaris yang berbeda wilayah jabatan sebagaimana tersebut telah melanggar Larangan jabatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 huruf g UUJN, maka kepada Notaris yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari Jabatannya selama 6 (enam) bulan. 29 Dan sebelum pemberhentian tersebut dilakukan kepada Notaris yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri secara berjenjang di hadapan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat). 30
Meskipun dalam hal ini berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UUJN Notaris yang diberhentikan sementara dari jabatannya tersebut dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir. Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa diangkat sebagai PPAT yang berbeda wilayah jabatan dengan Notaris tidak bersifat sementara, tapi bersifat tetap, apakah mungkin, dengan tidak merubah (tidak pindah) Wilayah Jabatan, setelah masa 6 (enam) bulan masa pembehentian sementara berakhir dapat diangkat kembali dalam wilayah jabatan yang sama pula. Bahwa agar sama wilayah jabatan Notaris dan PPAT, apakah bisa Notaris yang bersangkutan mengundurkan diri dari wilayah jabatan yang lama agar sama dengan PPAT? Jawabannya bisa, tapi permasalahannya jika ternyata, pada wilayah jabatan tersebut (kota/kabupatennya) tidak ada formasi, sudah tentu tidak dapat diangkat juga, begitu juga sebaliknya, jika wilayah jabatan PPAT yang pindah untuk disesuaikan dengan wilayah jabatan Notaris, permasalahannya, apakah ada formasi pada daerah yang bersangkutan ? Jika tidak ada formasi, akhirnya tidak dapat diangkat juga. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, ditegaskan bahwa PPAT berhenti dari Jabatan sebagai PPAT karena
29 Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). 30 Pasal (Pasal 9 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). 18
melaksanakan tugas sebagai Notaris pada daerah kota/kabupaten yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT. Dengan demikian mereka yang lulus sebagai PPAT dan juga telah menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris berbeda tempat kedudukannya sebagai PPAT, maka PPAT yang bersangkutan secara otomatis berhenti sebagai PPAT.Dengan kejadian sebagaimana tersebut di atas, sehingga pembelaan apapun yang akan dilakukan oleh Notaris di hadapan Majelis Pengawas atau di hadapan Badan Pertanahan Nasional, tidak ada gunanya karena sudah jelas kesalahannya dan pengaturannya sudah jelas. Dalam pengertian lainnya tindakan perlindungan preventif adalah tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan tindakan perlindungan represif adalah tindakan perlindungan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah adanya peristiwa hukum. Diharapkan nantinya ada sebuah peraturan yang jelas, terang, dan mengatur secara implisit norma yang mampu memberikan perlindungan hukum yang pasti tentang wilayah jabatan dan tempat kedudukan notaris ppat sehingga tercapai suatu kepastian hukum. C.1.3. Analisis Berdasarkan Teori Kepastian Hukum Perlu Atau Tidaknya Diadakan Dalam Satu Peraturan Perundang-Undangan Antara UUJN Dan PP Tentang PPAT Khususnya Mengenai Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Sehingga Tidak Terpecah Seperti Sekarang Menurut kamus istilah hukum Fockema Andreae, Kepastian hukum (Rechtszekerheid) yaitu suatu jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa ia akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan aturan hukum dan tidak dengan sewenang-wenang, begitu juga kepastian dari isi aturan itu. 31 Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), kepastian (Rechtszekerheid) yaitu jaminan bagi anggota masyarakat bahwa hukum akan diterapkan secara benar dan adil. 32
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk kaidah hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang (dimana tidak ada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).
31 N.E Algra, H.R.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia), diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata et.al., Binacipta, Bandung, 1983, hlm. 456. 32 BPHN, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda Bahasa Indonesia, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, 1997/1998, hlm. 122. 19
Berdasar pada Reinhold Zippelius kepastian hukum mempunyai dua arti, yaitu: a). Kepastian dalam pelaksanaan. Yang dimaksud ialah bahwa hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum juga. b). Kepastian orientasi, yang dimaksud ialah bahwa hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan hakim dapat berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tidak ada keragu-raguan tentang tindakan apa yang dimaksud. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran subyektif dan selera pribadi hakim. Kepastian orientasi menuntut agar ada prosedur pembuatan dan peresmian hukum yang jelas dan dapat diketahui oleh umum. Kepastian orientasi ini juga menuntut agar hukum dikembangkan secara kontinu dan taat asas, peraturan perundangan saling terkait, harus menunjuk ke satu arah agar masyarakat dapat membuat rencana ke masa depan, begitu pula jangan dibuat undang-undang yang saling bertentangan. 33
Kepastian dalam atau dari hukum tercapai apabila hukum itu (peraturan perundangan-undangan) didalamnya tidak terdapat keterangan-keterangan yang bertentangan dan tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlainan. Faktor-faktor yang merupakan acuan bagi suatu kepastian orientasi antara lain: 34
a). Norma-norma yang menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang, b). Transparansi hukum yang menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif, c). Kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa mendatang. Kemudian menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun otto ingin memberi batasan kepastian hukum yang lebih jauh. Untuk itu Otto mendefinisikan kepastian hukum sebagai
33 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 79-80. 34 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat Hukum),Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 154. 20
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu, seperti: 35 a). Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten, dan mudah diperoleh (accessible) , diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara, b). Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya, c). Warga negara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut, d). Hakim- hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan e). Keputusan peradilan secara konkret dilaksanakan. Berdasarkan hasil analisa tersebut di atas mengenai perlu atau tidaknya diadakan dalam satu peraturan perundang-undangan antara UUJN dengan PP tentang PPAT khusunya mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan sehingga tidak terpecah seperti sekarang, maka atas dasar analisa yang telah dikemukan diatas penulis memandangnya tidak perlu karena dengan menggunakan stufenbau theory, teori perlindungan hukum (preventif), teori tujuan hukum dalam hal ini lebih difokuskan kepada teori kepastian hukum dan asas-asas aturan pembentukan perundang-undangan yang baik yang telah diformulasikan berdasarkan model pendekatan penelitian yaitu Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), dan Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) maka cukup dengan merubah substansi atau keterangan-keterangan yang bertentangan dan yang dapat ditafsirkan secara berlainan antara Pasal 17 Huruf (g) Undang-Undang no. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengan Pasal 8 Ayat (1) Huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan kata lain keberadaan kedua peraturan perundang- undangan yang berbeda tingkatan tersebut dirubah sehingga memiliki kesamaan diantara keduanya. Di samping itu dalam perundang-undangan ppat maupun notaris adalah merupakan "pejabat umum" yang diberikan kewenangan membuat "akta otentik" tertentu. Yang membedakan keduanya adalah Landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT diaturdalam UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37 tahun 1998 dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Notaris
35 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006. Hlm. 82-85. 21
diaturdalam UU No. 30 tahun 2004. Perbedaan tersebut tergambar dengan jelas lembaga hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan, tugas dan kewenangannya dalam rangka pembuatan akta-akta otentik tertentu, system pembinaan dan pengawasannya. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan sesuai pasal 68 UUJN ada pada majelis pengawas daerah, majelis pengawas wilayah dan majelis pengawas pusat. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat daerah kabupaten/kota hal ini Kepala Kantor pertanahan setempat. Produk hukum yang dihasilkan adalah akte otentik, namun berbeda jenisnya. Didalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, dan seterusnya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 36 PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik untuk perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah susun yang terletak diwilayah kerjanya. 37
C.2. Peraturan Perundang-undangan Yang Tepat Secara Hukum Guna Mengatur Tempat Kedudukan Dan Wilayah Jabatan Baik Notaris Maupun PPAT Untuk menghasilkan suatu produk peraturan perundang-undangan yang tepat secara hukum khususnya mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan baik notaris maupun PPAT yang diatur didalam dua ranah/tingkatan peraturan perundang-undangan yang berbeda maka dalam pembentukannya harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang baik dan tentang materi muatan Peraturan Perundang-
36 Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 37 lihat UU No. 5 tahun 1960 pasal 19, kemudian mendelagasikan PP No.24/1997 atas dasar pasal 6 ayat (2) maka lahirlah PP No. 37/1998 jo. Permenag/KBPN No.1 / 2006). 22
undangannya juga harus mencerminkan asas-asas yang terdapat didalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Agar tidak terdapat inkonsistensi antara Pasal 17 Huruf (g) UUJN Dengan Pasal 8 Ayat (1) Huruf (c) PP Tentang PPAT. Dengan kata lain agar ketentuan di pasal-pasal tersebut tidak bersifat ambiguous, dan konsisten serta dapat memberikan kepastian hukum bagi calon notaris maupun PPAT. D. KESIMPULAN 1. Untuk masalah tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris maupun PPAT tidak perlu dijadikan dalam satu peraturan perundang- undangan karena Landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya berbeda. PPAT diatur dalam UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37 tahun 1998 dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Notaris diatur dalam UU No. 30 tahun 2004. Perbedaan tersebut tergambar dengan jelas dalam lembaga hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan keduanya, tugas dan kewenangan keduanya dalam rangka pembuatan akta-akta otentik tertentu, serta sistem pembinaan dan pengawasannya. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan sesuai pasal 68 UUJN ada pada majelis pengawas daerah, majelis pengawas wilayah dan majelis pengawas pusat. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat daerah kabupaten/kota dalam hal ini Kepala Kantor pertanahan setempat. 2. Pengaturan peraturan perundang-undangan yang tepat secara hukum guna mengatur tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris 23
maupun PPAT adalah dengan diatur didalam dua ranah/tingkatan peraturan perundang-undangan yang berbeda, yang didalam pembentukan materinya harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang terdapat didalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Muatan tersebut diatas bertujuan agar tidak terdapat inkonsistensi antara Pasal 17 Huruf (g) UUJN dengan Pasal 8 Ayat (1) Huruf (c) PP Tentang PPAT, demi melindungi dan memberikan kepastian hukum baik bagi calon Notaris maupun PPAT. E. Saran Dengan menilai berbagai fakta-fakta hukum tersebut, maka dibutuhkan adanya keseriusan dari pembuat undang-undang untuk 24
segera mengakhiri keterangan-keterangan yang bertentangan dan dapat ditafsirkan secara berlainan antara Pasal 17 Huruf (g) Undang-Undang no. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengan Pasal 8 Ayat (1) Huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengakibatkan ketidak pastian hukum mengenai tempat kedudukan Notaris dan PPAT. Dalam hal ini perlu diingat UUJN sebagai suatu Undang-undang tidak dapat dieliminasi dengan bentuk aturan hukum di bawah undang- undang,oleh karena itu perlu adanya perundingan antara Menteri Hukum dan HAM RI, Badan Pertanahan Nasional, INI dan IPPAT serta Majelis Pengawas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, hilangkan ego sektoral masing- masing. Karena perlu diingat Indonesia adalah Negara Kesatuan, tidak diatur berdasarkan hanya pada kemauan para pihak tersebut di atas, tetapi berdasarkan aturan hukum dengan tujuan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
25
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Boedi Harsono , 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. BPHN, 1997/1998, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda Bahasa Indonesia, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI. Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat Hukum), Grasindo, Jakarta. Franz Magnis Suseno, , 2001, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. G.H.S. Lumban Tobing. 1983. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, H. Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustakaraya, Jakarta. HabibAdjie. 2009. HukumNotaris Indonesia, RefikaAditama, Bandung. N.E Algra, H.R.W. Gokkel, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Belanda-Indonesia), diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata et.al., Binacipta, Bandung. Paul Scholten, 2005, Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Supriadi, 2008,Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. B. PeraturanPerundangan Undang-undangDasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 26
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik IndonesiaNo. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum Dpr-Gr Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 TentangJabatanNotaris. KitabUndang-undangHukumPerdataBurgelijk Weetbook. Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 tentang pejabat pembuat akta tanah C. DataElektronik http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum http://kamusbahasaindonesia.org/notaris, http://myleaf-clover.blogspot.com/2012/04/manusia-dan-keadilan.html http://notariat.fh.unsri.ac.id/mkn/index.php/posting/35 http://Notary-herman.blogspot.com http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-perlindungan-hukum http://riz4ldee.wordpress.com/2009/03/04/sejarah-notaris/ http://tandjoeng.wordpress.com http://yiebawej.blogspot.com www.penataanruang.net,lapan. Prosedur Penyusunan Sinkronisasi, 2007: 1.