Anda di halaman 1dari 19

HIV NEUROLOGI

HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam subfamily lentivirus ( slow virus), disebut
demikian karena periode laten yang lama pada infeksi primer dan penurunan T-cell CD4 sebagai
karakteristik AIDS. Selama periode laten, system imun menjadi tidak teratur dan proinflamasi
kronis terus berkembang, dimanifestasikan dengan interalia, hipergammaglobulinemia, dan
peningkatan sekresi beberapa sitokin. Banyak komplikasi neurologis, pada umumnya terjadi
sebelum onset AIDS, hal ini berkaitan dengan proses mediasi imun. Tanpa mengontrol virology,
pada dasarnya semua komponen system imun ( biasanya respon seluler ) menjadi berkurang,
memungkinkan infeksi oportunistik dan malignansi berkembang.
Hal ini diperkirakan paling tidak sepertiga dari penderita HIV/AIDS mengalami HIV
yang berhubngan dengan kondisi neurologic. Epidemiologi dari komplikasi ini secara drastic
telah berubah sejak menyebar luasnya highly aktive antiretroviralviral therapy (HAART) pada
tahun 1996 dan kebijaksanaan menggunakan agen kemoprophilaktik lain seperti fluconazole dan
sulfamethoxazole-trimethroprim. Pada umunya kejadian komplikasi neurologic telah menurun.
Namun dengan berkembangnya pertahanan, prevalensi menjadi banyak meningkat.
Konsekuensinya, spesialis saraf secara meningkat mungkin menemui pasien HIV/AIDS dengan
penyakit yang berhubungan dengan HIV atau HIV yang tidak ada hubungan dengan kondisi
neurologis daripada kejadian akut, kejadian yang mengancam jiwa terkait penyakit HIV.
Ketika pasien dengan infeksi HIV datang, spesialis saraf harus tetap berfikiran dengan
merujuk pada prinsip : semua neuroaxis, dari otak sampai otot , dapat dipengaruhi; peraturan
parsimony sering dilanggar, dan lebih dari satu proses mungkin melatarbelakangi gambaran
klinis; dan tipe komplikasi cenderung berhubungan dengan durasi infeksi HIV and derajat dari
imunosupresi (table 28-1). Stadium awal (CD4
+
> 500/l) komplikasi neurologic seperti yang
terjadi selama infeksi primer, biasanya hasil dari HIV itu sendiri atau sebagai akibat dari proses
mediasi-imun; stadium tengah (CD4
+
200-500/l) komplikasi merupakan hasil dari proses
mediasi-imun atau toksisitas pengobatan; dan stadium akhir (CD4
+
<200/l) komplikasi
merupakan hasil dari infeksi opportunistic, proses mediasi-imun, atau toksisitas obat. Serupa
dengan perkembangan differential diagnosis berlaku juga melalui riwayat dan beberapa
gambaran essensial diuraikan pada Table 28-2.


Tabel 28-1 Komplikasi neurologi dari HIV yang biasa terjadi diklasifikasikan
berdasarkan stadium yang terjadi
Stadium awal (CD4
+
> 500)
HIV meningitis (sindrom konversi akut)
Shingles (varicela zoster)
Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP)
Stadium tengah (CD4
+
200 500)
a
Distal sensory polineuropathy (DSP)
HIV-associated dementia (HIVD)
HIV- associated neuromuscular weakness syndrome
Mononeuropathy multiplex
HIV-associated myopathy
Stadium akhir (CD4
+
<200)
Toxoplasmosis system saraf pusat
Meningitis cyptococcal
Primary CNS lymphoma (PCNSL)
Leukoencephalopathy multifocal progresif
HIV associated myelopathy
Vaskulitis varicela-zoster
Ventrikulitis CMV atau poliradikulitis (CD4
+
<100)
CMV= cytomegalovirus; CNS = central venous system.
a
komplikasi terjadi pada stadium tengah dapat juga terjadi pada stadium akhir








Tabel 28-2. Informasi klinis yang penting untuk menentukan differential diagnosis bentuk HIV-
related
Lamanya infeksi HIV
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan HIV
Jumlah sel CD4
+

Level RNA HIV
Obat yang digunakan dan keteraturan minum obat
- Agen antiretroviral, sekarang dan dahulu
- Agen kemoprofilaksis (sulfamethoxazole-trimethoprim, fluconazole, acyclovir)
Status serum IgG antibody toxoplasma
Serologi serum sifilis

GANGGUAN SISTEM SARAF PUSAT TERKAIT DENGAN HIV
CRYPTOCOCCAL MENINGITIS
Essential diagnosis
- Komplikasi stadium lanjut dari infeksi HIV
- Sakit kepala dengan onset subakut, malaise umum, dan demam diikuti dengan
encephalopathy dan neuropathy cranial dari peningkatan tekanan intracranial
- Antigen cryptococcal dan kultur dari cairan cerebrospinal (CCS) merupakan dasar
diagnostic

Pertimbangan Umum
Meningitis cryptococcal disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, jamur ada dimana mana
ditemukan di tanah dan pupuk. Setelah masuk melalui paru paru, menyebabkan pneumonia
asimptomatis, disseminasi Cryptococcus secara hematogen. System saraf pusat merupakan
tempat yang paling sering kedua sebagai tempat masuknya infeksi, and hal ini dipercaya pada
banyak pasien AIDS dengan cryptococcemia dapat berkembang menjadi meningitis jika tidak
ditangani. Apabila tersebar pada system saraf pusat, maka secara perlahan tapi progresif akan
terjadi meningitis. Hal ini terjadi sebagai komplikasi akhir dari infeksi HIV, secara tipikal ini
terjadi jika jumlah limfosit T CD4
+
kurang dari 100 sel/l. Diantara penderita AIDS, probabilitas
kumulatif dari berkembangnya meningitis crytococcal diperkirakan 5-13%, meskipun angka ini
tidak bermakna untuk perkembangan terkini terapi antiretroviral dan penggunaan agen
profilaksis seperti fluconazole.

Temuan klinis
A. Gejala dan Tanda
Nyeri kepala yang tidak spesifik dan demam adalah cardinal sign dari meningitis
cryptococcal. Mual, muntah, phonophobia, dan photopobia ( gejala migren ) jarang
terjadi pda awal infeksi. Perjalanan klinis biasanya lambat dan tersembunyi, dan ketika
gejala awal tidak tampak, encephalopathy, diplopia, pandangan gelap, nausea, dan
muntah semakin parah, biasanya memperjelas adanya peningkatan tekanan intracranial.
Kejang, dan sedikit lebih luas, stroke berhubungan dengan meningitis cryptococcal. Pada
awal infeksi terdapat tanda neurologis yang minimal. Dengan berlanjutnya infeksi dan
peningkatan tekanan intracranial, encephalopathy, neuropathy cranial (kelumpuhan
nervus enam) dan papil oedem berkembang. Pemberian protean pada awal infeksi, nyeri
kepala atypical atau gejala dan tanda lain dapat dijadikan acuan gangguan system saraf
pusat pada meningitis cryptococcal. Jarang pada meningitis cryptococcal muncul sindrom
fulminant.
B. Pemeriksaan laboratorium dan imaging
Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnosis definitive pada kebanyakan
kasus. Kultur positif cryptococcus pada cairan serebrospinal atau adanya antigen
cryptococcal menegakkan diagnosis meningitis cryptococcal. Preparat india ink mungkin
tidak terlalu spesifik atau sensitive, tetapi dapat secara cepat dapat dilakukan ketika
pemeriksaan lain tertunda. Indeks rutin CCS biasanya menunjukkan abnormalitas yang
tidak spesifi, termasuk mild sampai moderate pleositosis limfositik, konsentrasi protein
meningkat, dan kadar glukosa rendah normal sampai moderat. Caveat: indeks CCS dapat
normal, umumnya pada AIDS lanjut; ditandai dengan indeks abnormal memerlukan
penelitian untuk alternative dan diagnosis yang cocok. Tekanan pada awalnya tinggi
(>250 mm H
2
O) dan harus diukur pada semua pasien yang diduga mempunyai meningitis
streptococcal untuk dijadikan pedoman selama penatalaksanaan.
Serum antigen cryptococcal dan kultur jamur merupakan tes yang sensitive untuk
cryptococcemia. Ketika lumbar puncture dikontraindikasikan atau indeks CCS normal,
termasuk false negatif yang jarang pada antigen cryptococcal CCS atau kultur, serum
antigen positif atau kultur mendukung perkiraan diagnosis meningitis cryptococcal.
Bagaimanapun, meskipun serum antigen negative menandakan tidak mungkin
ditegakkannya meningitis, hal tersebu belum dapat ditentukan.
Penemuan neurologis fokal atau encephalopathy mengarahkan dilakukan pemeriksaan
imaging sebelum dilakukan lumbar puncture. CT-scan maupun MRI, bagaimanapun
menyediakan cukup bukti untuk menegakkan diagnosis meningitis cryptococcal. MRi
mungkin menunjukkan pembesaran ruang Virchow-Robin atau peninggian meninges.
Paling tidak salah satu pemeriksaan imaging, lebih baik dengan menggunakan kontras,
diindikasikan untuk menyingkirkan cryptococcoma atau proses system saraf pusat lain.
Terapi
Pada pasien dengan infeksi akut, terapi induksi dengan amphotericin B, 0,7-1,0
mg/kg/hari, diberikan secara intravena selama 2 minggu sampai CCS steril, yang mana terjadi
kemudian, diikuti dengan fluconazole, 400 mg/hari per oral, selama paling tidak 10 minggu.
Flucytosine, 100 mg/kg/hari secara oral, mungkin dapat ditambahkan dalam 2 minggu pertama
terapi, tetapi level puncak dan bawah harus dimonitor. Setelah terapi induksi selesai, fluconazole,
200 mg/hari secara oral, dilanjutkan sebagai terapi gabungan. Penghentian flukonazole masih
diperdebatkan. Beberapa klinisi melnjutkan terapi dengan tak terbatas, dimana beberapa yang
lain mempertimbangkan penghentian sekali untuk memperbaiki kembali system imun.
Ketika tekanan intracranial meningkat, lumbar puncture berulang diindikasikan.
Ventricular atau lumbar shunting harus digunakan pada pasien dengan peningkatan tekanan
intracranial yang berkepanjangan dan malignan, bahkan jika CCS tidak steril. Acetazolamid dan
mannitol mungkin digunakan pada pasien dengan peningkatan tekanan yang berkelanjutan,
meskipun keuntungannya sedikit dibandingkan dengan shunting. Glucocorticoid tidak
diindikasikan pada meningitis cryptococcal.

Prognosis
Penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan lebih dari 250 mm H
2
O diprediksikan memiliki
prognosis yang lebih buruk. Titer antigen cryptococcal tidak berhubungan dengan aktivitas
penyakit dan tidak perlu diikuti. Meskipun secara teknik infeksi dapat disembuhkan,
Cryptococcus mungkin hidup pada system saraf pusat, yang dapat menimbulkan meningitis
berulang.

Mitchell TG, Perfect JR, Cryptococcosis in the era of AIDS- 100 years after the discovery of
Cryptococcus neoformans. Clin Microbiol Rev 1995; 8; 515 548. [ PMID: 8665468 ] (A
comprehensive review of the biology of C neoformans and its clinical manifestations).
Saag MS, et al. practice guidelines for management of cryptococcal disease. Infectious Disease
Society of America. Clin infect Dis 2000; 30; 710-718. [PMID: 10770733] (A National Institute
of Allergy and Infectious Diseases [NIAID] Mycoses Study Group review of available data and
their recommendations on the treatment of cryptococcal disease.)

TOXOPLASMOSIS PADA SISTEM SARAF PUSAT

Essensial Diagnosis
- Komplikasi stadium lanjut dari infeksi HIV
- Deficit neurologi fokal, subakut encephalopathy dan demam
- Lesi multiple ring-enhancing pada MRI
- Adanya serum antibody IgG Toxoplasma
- Perkembangan klinis dan radiologis dengan pyrimethamine dan sulfadiazine atau
clindamycin

Pertimbangan Umum
Toxoplasmosis sistem saraf pusat merupakan penyebab terbanyak sebagai fokal massa di
otak pada pasien HIV. Hal ini merupakan komplikasi lanjut dari HIV, biasanya terjadi hanya
setelah jumlah limfosit T CD4
+
jatuh sampai dibawah 200 sel/l. Kebanyakan kasus terjadi
sebagai kejadian ulangan dari infeksi laten dari protozoa Toxoplasmosis gondii, yang mana
didapat melalui konsumsi daging yang tidak matang, air yang terkontaminasi, atau feses kucing.
T gondii bukan organisme yang ada dimana-mana; oleh karena itu, prevalensi Toxoplasmosis
sistem saraf pusat mencerminkan prevalensi regional dan virulensi dari organism juga tergantung
pada kebiasaan makan, kontak dengan kucing, status imun, dan predisposisi genetic dari host.
Kejadian dari Toxoplasmosis sistem saraf pusat secara signifikan berkurang dengan banyaknya
penggunaan highly active antiretroviral therapy dan penggunaan sulfamethoxazole-trimethopim
untuk profilaksis melawan pneumonia Pneumoystis carinii.

Penemuan Klinis
A. Gejala dan Tanda
Nyeri kepala, demam, deficit neurologis fokal, dan perubahan status mental merupakan
gejala yang banyak muncul. Kejang akut simptomatis terjadi pada 25% pasien. Jarang terjadi
toxoplasmosis muncul gejala nyeri ocular dan hilangnya penglihatan (retinochoroiditis
toxoplasmik) atau tanda myelopati (toxoplasmosis medulla spinalis). Chorea unilateral atau
ballisme telah dilaporkan dengan abses toxoplasmik di ganglia basalis kontralateral.
B. Pemeriksaan laboratorium dan imaging
Perkiraan diagnosis klinis dibuat dengan mengkombinasikan anamnesis dengan hasil dari
tes serum dan imaging otak. Titer serum antibody IgG mengindikasi adanya T gondii, hal ini
meningkatkan kemungkinan klinis dari Toxoplasmosis sistem saraf pusat. Titer negative
tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi toxoplasmosis, sebagaimana respon antibody
mungkin melemah pada AIDS lanjut atau mungkin belum meningkat pada infeksi yang baru
didapat. Jumlah titer absolute tidak bermakna, begitu juga adanya titer IgM. Jumlah limfosit
T CD4
+
harus diketahui; lebih dari 300 sel/l dianjurkan sebagai alternative diagnosis.
Lumbar puncture sering dikontraindikasikan; lebih jauh, analisis CCS jarang membantu
diagnosis Toxoplasmosis sistem saraf pusat. Pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan
konsentrasi protein, dan kadar glukosa normal sampai rendah biasanya ditemukan. Titer
antibody toxoplasma pada CCS tidak membantu. Analisis CCS untuk DNA toxoplasma
dengan PCR kurang sensitive tetapi membantu mengkonfirmasi diagnosis jika positif.
MRI dan CT-scan kepala pada umumnya menunjukkan multiple ring-enhancing, space
occupying lesions dengan dikelilingi edema vasogenik. Toxoplasma mempunyai predileksi
pada ganglia basalis dan gray-white junction pada hemisfer. Lebih sensitive lagi, MRI lebih
dianjurkan. Jarang lesi soliter, mengarah pada primary CNS lymphoma (PCNSL), atau
hemoragik. Magnetik resonan spectroscopy, thallium brain single photon emission
tomography (SPECT), dan positron emission tomography (PET) dapat membedakan
toxoplasmosis system saraf pusat dari PCNSL (Table 28-3).

Table 28-3. Perbandingan toxoplasmosis system saraf pusat dan limfoma system saraf pusat
primer
Toxoplasmosis PCNSL
Lokasi Ganglia basalis
Gray-white junction
Periventricular
Jumlah lesi Multiple Solitary > multiple
Bentuk peningkatan Ring Heterogen atau homogeny
Edema Moderat sampai nyata Bervariasi
Gambaran penyempitan T2 hiperintense Isointense sampai hipointense
Gambaran difusi penyempitan Biasanya hipointense Sering hiperintense (positif)
Perfusi MR menurun Meningkat
MR spectroscopy Ditandai peningkatan laktat Ditandai peningkatan kolin
SPECT thallium (lesi yang
berhubungan dengan substansi
putih )
dingin tidak ada masukan
thallium
panas peningkatan masukan
thallium
Lain lain Toxoplasma antibody IgG
positif (90% dari pasien)
EBV DNA diketahui dari PCR
CCS (kebanyakan pasien)
CCS = cairan cerebrospinal; EBV = Epstein Barr virus; MR = magnetic resonance; PCNSL =
primary CNS lymphoma; SPECT = single photon emission computed

Terapi
Pada umumnya lesi space-occupying otak pada pasien dengan AIDS diperkirakan
merupakan toxoplasmosis. Terapi klinis pyrimethamine (200 mg secara oral, single dose,
kemudian 100 mg/hari secara oral), sulfadiazine (1.5 2.0 g per oral setiap 6 jam), dan asam
folinik (10-50 mg/hari per oral) harus dimulai segera. Untuk pasien yang alergi sulfa,
clindamycin (600-900 mg per oral setiap 6 jam) atau, sebagai second-line terapi, azythromycin
(1.2 1.5 g/hari secara oral), clarithromycin (1.0 g per oral setiap 12 jam), atau atovaquone (1.5
mg peroral setiap 12 jam) dapat menggantikan sulfadiazine. Glucocorticosteroid harus dihindari
kecuali secara klinis jelas mengancam jiwa karena edema vasogenik, karena PCNSL dan gejala
dari toxoplasmosis system saraf pusat berespon pada kegunaannya, meninggalkan diagnosis
yang sebenarnya dalam keraguan.
Perbaikan klinis dan radiografik harus dilihat dalam 2 minggu. Jika demikian, dan jika
glucocorticosteroid tidak digunakan, diagnosis toxoplasmosis system saraf pusat dapat
ditegakkan. Terapi akut harus dilanjutkan selam 6 minggu atau sampai lesi tidak lagi meninggi,
yang mana terjadi kemudian. Karena risiko tinggi terjadinya kekambuhan, terapi pemeliharaan
berupa pyrimethamine (50 mg/hari) dan sulfadiazine (500-1000 mg per oral 4 kali sehari) atau
clindamicin (800 mg 3 kali perhari) harus dilanjutkan sampai system imun kembali cukup kuat.
Kemudian, sulfamethoxazole-trimethoprim sebagai profilaksis harus dipertimbangkan.
Ketika glucocorticoid maupun terapi toxoplasmosis diberikan, pasien harus diberikan
glucocorticoid secara tappering off secepat mungkin, pemeriksaan untuk PCNSL harus
dilengkapi, dan manajemen harus dilanjutkan sebagai perkiraan toxoplasmosis. Jika pasien tidak
merespon pada terapi percobaan dari terapi antitoxoplasmosis, biopsy harus dilakukan untuk
mengevaluasi penyebab lain dari lesi ( misalkan tumor, abses bacterial, tuberculoma,
cryptococcoma ).

Prognosis
Pada kebanyakan pasien, penyembuhan total dapat diharapkan. Toxoplasmosis system saraf
pusat dapat kambuh, umumnya pada immunosupresi berat dan ketidakpatuhan minum antibiotic
toxoplasmosis. Beberapa pasien biasanya membutuhkan biopsy untuk diagnosis definitive dan
tes resistensi. Kejang juga merupakan komplikasi yang umum.

Antinori A, et al. Diagnosis of AIDS-related fokal brain lesion: A decision-making analysis
based on clinical and neuroradiologic characteristic combined with polymerase chain reaction
assays in CSF. Neurology 1997; 48: 687-694. [PMID: 9065549] (review the strategy for
evaluating focal brain lesions in patient with AIDS.)
Porter SB, Sande MA. Toxoplasmosis of the central nervous system in the acquired
immunodeficiency syndrome. N Engl J Med 1992: 327; 1643-1648. [PMID: 1359410] (reviews
the clinical characteristics of patients with CNS toxoplasmosis.)




LYMPHOMA PRIMER SISTEM SARAF PUSAT

Essensial Diagnosis
- Komplikasi stadium lanjut dari infeksii HIV
- Deficit neurologi fokal dan ensefalopati subakut
- Lesi massa meningkat pada MRI
- Virus DNA Epstein-Barr pada CCS (diketahui dari PCR)

Pertimbangan Umum
Lymphoma primer system saraf pusat adalah penyebab kedua lesi massa otak setelah
toxoplasmosis system saraf pusat diantara pasien dengan stadium akhir HIV. Pada kebanyakan
kasus hal ini merupakan tingkat tinggi, sel B pada non-Hodgkin lymphoma dimediasi oleh
Epstein-Barr virus (EBV). Hal ini terjadi diantara pasien dengan AIDS stadium lanjut, dimana
pada umumnya jumlah limfosit T CD4
+
kurang dari 50 sel/l. Sejak penggunaan secara luas
HAART, frekuensi lymphoma primer system saraf pusat berkurang, kemungkinan terjadinya
tidak lebih dari 5% pada pasien dengan HIV dan 10% pada pasien AIDS.

Temuan klinis
A. Gejala dan Tanda
Lymphoma primer system saraf pusat secara klasik memperlihatkan deficit neurologis
fokal subakut dan encephalopathy. Demam tidak biasa, berbeda dengan toxoplasmosis
system saraf pusat. Lymphoma biasanya terisolasi di CCS; oleh karena itu, manifestasi
klinis tidak tampak.
B. Pemeriksaan laboratorium dan imaging
Jika tidak ada kontraindikasi, lumbar puncture harus dilakukan. CCS pada
umumnya ringan, pleositosis predominan limfositik, konsentrasi protein normal sampai
terjadi peningkatan sedikit, dan level glukosa normal. Kebanyakan test yang berguna
adalah PCR untuk EBV; pada pemeriksaan CCS dengan hasil positif DNA EBV pada lesi
massa mempunyai peningkatan uptake thallium pada SPECT otak (dilihat pada table 28-
3) mengarah kuat pada lymphoma primer system saraf pusat. Bagaimanapun, hasil tes
negative tidak menyingkirkan diagnosis dan tes positif tidak menyingkirkan factor
komorbid seperti toxoplasmosis. Jika cukup sel muncul, sitologi dan analisis molecular
mungkin membantu. Tes serum tidak membantu menegakkan diagnosis lymphoma
system saraf pusat, tetapi beberapa tes seperti IgG toxoplasma, kultur, dan marker untuk
malignansi mungkin membantu diferensial.
CT scan atau MRI umumnya menunjukkan lesi asing atau lebih jarang lagi, lesi
multiple tinggi, biasanya berada pada lobus frontal dan regio perventrikuler (lihat table
28-3). Peninggian mengarah pada keberagaman daripada bentukan seperti cincin dengan
toxoplasmosis. Edema vasogenik munculnya bervariasi. MRI merupakan pilihan.
Intensitas sinyal pada penyempitan T2 bervariasi tetapi jarang ringan pada gambaran
penyempitan defuse. Gambaran penyempitan perfusi menunjukkan area yag mengalami
peningkatan volum darah regional, hal ini berbeda dengan toxoplasmosis yang
menunjukkan area dengan volum rendah. Imaging SPECT thallium dan spectroscopy
magnetic resonan dapat membantu membedakan lymphoma system saraf pusat dengan
toxoplasmosis (lihat table 28-3). Tidak satupun dari pemeriksaan imaging, bagaimanapun
patognomonik dari lymphoma system saraf pusat.
Biopsy merupakan diagnosis definitive dan harus dipertimbangkan dalam semua
kasus yang mana terapi dengan agen antitoxoplasma tidak tergantung pada
perkembangan radiografi maupun perkembangan klinis.

Terapi
Methotrexate, pada saat ini konsentrasi utama dari terapi, dapat diresepkan secara intravena,
intratecal, dan secara intraventrikuler. Terapi tambahan dengan terapi radiasi fraksi pada seluruh
otak atau agen kemoterapi lainnya juga dapat digunakan, tetapi pilihan ini harus dibuat kasus
perkasus dan berkolaborasi dengan spesialis onkologi. Control virology dari HIV sama jika tidak
lagi penting; oleh karena itu, HAART harus diinisiasi pada pasien baru dan berubah pada terapi
tetapi dengan ditemukannya level RNA plasma HIV.

Prognosis
Baik methotrexate dan terapi radiasi otak menghasilkan ketahanan yang lebih lama, namun tanpa
control virology HIV, ketahanan setelah diagnosis tinggal beberapa bulan. Jika control virology
dapat dilakukan dengan HAART, ketahanan dapat diukur dalam beberapa tahun. Pada
kenyataannya control virology daripada penggunaan methotrexate atau radiasi otak setelah
diagnosis tegak, menawarkan prognosis terbaik.

Skiest DJ, Crosby C. Survival is prolonged by highly active antiretroviral therapy in AIDS
patiens with primary central nervous system lymphoma. AIDS 2003; 17 : 1787-1793. [PMID:
12891064] (Illustrates the importance of virologic control and immune reconstitution on survival
in HIV patients with PCNSL.)

PROGRESSIVE MULTIFOCAL LEUKOENCEPHALOPATY

Essensial Diagnosis
- Komplikasi stadium lanjut dari infeksi HIV
- Deficit neurologi fokal onset subakut dan demensia
- MRI otak menunjukkan peningkatan sinyal gambaran penyempitan-T2 pada substansi
putih, termasuk serabut U
- Virus JC DNA pada CCS diketahui dengan CCS

Pertimbangan umum
Progresif multifocal leukoencephalopathy (PML) adalah penyakit infeksi demyelinasi subakut
mempengaruhi CCS. Penyebabnya adalah virus JC, penyebaran virus yang mana mencapai 80%
dari orang dewasa di Amerika mempunyai antibodi yang berkembang sejak paparan pertama.
Reaktivasi virus, dengan CCS atau bagian ekstraneural seperti ginjal atau jaringan limfoid yang
selanjutnya menyebar ke CCS, pada kondisi immune-compremised mengarah pada infeksi
produktif dengan oligodendrosit, menyebabkan apoptosis dan demyelinasi lanjut.
PML dipertimbangkan sebagai komplikasi lebih lanjut dari HIV. Umumnya, jumlah
limfosit T CD4
+
kurang dari 100 sel/l, meskipun beberapa kasus dilaporkan jumlah melebihi
500 sel/l. kurang dari 5% pada penderita AIDS berkembang PML, dan angka ini berkurang
dengan berkembangnya terapi antiretroviral.



Temuan Klinis
A. Gejala dan tanda
Pasien dengan PML menunjukkan gejala subakut, deficit neurologis fokal progresif.
Hemiparesis, gangguan bicara, kelemahan kognitif, lapang pandang terpotong, dan
ataksia adalah gejala awal yang paling sering terjadi. Gejala yang lebih jarang terjadi
adalah nyeri kepala, hilangnya sensoris, dan gejala yang menunjukkan gangguan pada
otak. Deficit multiple adalah normal sejalan dengan berkembangnya penyakit. Jarang
melibatkan medulla spinalis, dan system saraf tepi, termasuk nervus cranialis, ini selalu
bertahan.
B. Pemeriksaan laboratorium dan Imaging
Pemeriksaan PCR pada CCS untuk DNA virus JC mempunyai sensitifitas 65-90%
dan spesifisitas 90-100%. Hasil PCR yang negative tidak menyingkirkan diagnosis
(negative palsu), dan hasil positif mungkin menunjukkan infeksi asimptomatik (positif
palsu). Analisis darah dengan PCR untuk DNA JC dan antibody virus JC pad umumnya
positif dan dibutuhkan sehubungan dengan penyakit neurologis, meskipun beberapa tes
negative, berlawanan dengan diagnosis PML. Indeks CCS yang lain normal atau
menunjukkan ringan, gangguan nonspesifik.
MRI merupakan pemeriksaan imaging yang disarankan. Abnormalitas pada
substansi alba baik soliter maupun multifocal digambarkan dengan gambaran
penyempitan-T2 intensitas tinggi dan penyempitan-T2 intensitas rendah. Gambaran
penyempitan difusi mungkin menunjukkan sinyal terang pada area yang dipengaruhi,
mengarah pada diagnosis stroke palsu. Seiring dengan perkembangan penyakit,area yang
terpengaruh dapat bergabung, dan secepatnya menyerang serat U. Efek massa,
peninggian, atau keterlibatan subsansia grisea jarang terjadi, mengingat biasanya terjadi
atrofi fokal dan kehilangan volum. CT scan otak menunjukkan area hipodens substansi
alba dan atrofi.
Meskipun riwayat klinis, virus DNA JC pada CCS (pemeriksaan dengan PCR)
dan karakteristik abnormalitas MRI mendukung kemungkinan diagnosis PML, hal ini
jarang menunjukkan gambaran. Lebih jauh lagi, abnormalitas pada substansia alba pada
MRI sudah biasa terjadi pada pasien HIV. Jika ragu, biopsy otak diindikasikan,
mengarahkan sebuah area abnormal pada MRI, menyediakan diagnosis definitive.
Terapi
HAART harus diinisiasikan untuk menyusun kembali system imun. Hal ini tidak pasti dimana
regimen spesifik lebih manjur. Untuk menggunakan HAART sesuai virology efektif pada
beberapa pilihan yang ada, akan tetapi pertimbangan harus diberikan tambahan inhibitor protease
atau agen antiretroviral yang masuk system saraf pusat (zidovudin, stavudin, abacavir, indinavir,
efavirenz, dan nevirapine). Laporan anekdot menggambarkan remisi dengan penggunaan
cytosine arabinoside (4mg/kgBB secara intravena selam 5 hari, diulang setipa 3 minggu, atau 50
mg intratecal setiap minggu selama 4 minggu) atau cidofovir (5 mg/kg intravena tiap minggu
selama 2 minggu, kemudian setiap minggu selanjutnya), meskipun trial yang lebih besar
menantang khasiatnya.

Prognosis
Penggunaan HAART telah mengarah pada perkembangan signifikan pada ketahanan dan bahkan
dilaporkan remisi komplit. Munculnya lagi deficit neurologis jarang terjadi. Dengan HAART,
berkurangnya deficit neurologis berat, jumlah CD4
+
lebih dari 100 sel/l, dan munculnya
peninggian pada neuroimaging mengarah pada prognosis yang lebih baik.

Bereguer J, et al. clinical course and prognostic factors of progressive multifocal
leukoencephalopathy in patients treated with highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis
2003; 36: 1047-1052. [PMID: 1268918] (finding for this study highlight the variable clinical
course and risk factors for death.)
Hall CD, et al. failure of cytarabine multifocal leukoencelophaty associated with human
immunodeficiency virus infection. AIDS Clinical Trials Group 243 Team. N engl J Med 1998:
338: 1345-1351. [PMID: 9571254] ( A randomized study that found no benefit of intravenous or
intratechal cyraban on survival in those with PML )






DEMENSIA TERKAIT HIV

Essensial Diagnosis
- Komplikasi stadium ringan sampai stadium lanjut dari infeksi HIV
- Gangguan kognitif subakut sampai kronis, perlambatan motorik (retardasi psikomotor),
dan perubahan perilaku tanpa deficit neurologis fokal
- MRI menunjukkan peningkatan sinyal di substansia alba subcorteks pada gambaran
penyempitan T2 dan atrofi sentral.

Pertimbangan Umum
Dalam beberapa minggu viremia primer, invasi HIV pada CCS, pertama kali lewat jalur monosit
dari perifer. Monosit, makrofag, microglia dan astrosit merupakan tipe sel yang dapat
mendukung terjadinya infeksi pada CCS. Terjadinya ensefalitis kronis dicirikan sebagai
gambaran patologis dari infiltrate monositik perivaskuler, nodul microglia, giant sel
multinuclear, substansia alba pucat, astrositosis, dan terpotongnya dan hilangnya neuronal.
Demensia berkembang hanya dalam beberapa tahun setelah terjadinya immunosupresi, dan oleh
karena itu, hal ini dipertimbangkan sebagai sekuel lambat dari infeksi HIV. Kebanyakan
kerusakan system saraf tidak diperoleh langsung dari HIV; namun lebih kepada HIV muncul
dengan pengaturan berlebihan produksi mediator imun dan inflamasi dari sel yang memproduksi
infeksi, membentuk toksik milieu pada neuron dan sel yang mendukung.
Insidensi dari demensia HIV (HIVD) telah berkurang sejak 1996, ketika HAART
diperkenalkan, mencerminkan perkembangan status imun pada para penderita HIV.
Bagaimanapun diantara infeksi HIV lanjut, termasuk didalamnya dengan resisten dan kepatuhan
yang rendah dalam meminum HAART, insidensi dapat mencapai 25%.

Temuan klinis
A. Gejala dan Tanda
Demensia subkortikal, HIVD dikarakteristikkan dengan triad yaitu gangguan kognitif,
gangguan motor dan perubahan perilaku yang mengakibatkan penurunan keterampilan
aktivitas sehari hari. Retardasi psikomotor merupakan gejala yang mencolok. Gejala
kognitif awal melibatkan fungsi eksekutif, dan termasuk kesulitan berkonsentrasi,
gangguan memproses informasi, dan fleksibilitas mental rendah. Memori relative
bertahan sampai stadium selanjutnya dari demensia; gangguan memori mencerminkan
masalah dengan penyimpanan dan pemahaman dibanding penyandian, hal ini berbeda
dengan penyakit Alzheimer. Bahasa dan system visual-spasial secara relative terjaga.
Bradikinesia biasa terjadi dan merupakan gejala awal. Pada pemeriksaan, pergerakan
mata saccadiac dan gerakan anggota gerak berulang secara cepat berlangsung lambat,
dimana suara (dengan roda penggerak) semakin meningkat. Korea, athetosis, dan distonia
biasanya jarang. Kelemahan fokal mengarah pada diagnosis alternative, dan salah satu
yang harus tetap dipertimbangkan adalah myelopathy mungkin diikuti dengan HIVD,
yang mana tanda pada kasus dapat dijadikan acuan untuk mengarah gejala medulla
spinalis. Gejala tingkah laku sama dengan yang terlihat pada depresi: apathy, iritabilitas,
dan afek tumpul.

B. Pemeriksaan Laboratorium dan imaging
HIVD adalah diagnosis klinis. Pemeriksaan tambahan dapat mendukung diagnosis dan
menyingkirkan yang lain. CCS biasanya menunjukkan pleositosis ringan, peningkatan
sedikit konsentrasi protein, dan level glukosa normal, salah satu dari gejala di atas sering
ditemukan asimptomatis pada pasien HIV. Beberapa serum dan penanda aktivasi imun
CCS dan level RNA HIV berhubungan dengan HIVD, tetapi peran mereka penting untuk
diagnosis atau bahkan memperkirakan gangguan neurologis yang lebih jauh yang masih
menyisakan keraguan. Satu pengecualian pada pasien yang diduga HIVD dimana plasma
HIV RNA tidak terdeteksi. Pada pasien ini, pemeriksaan CCS untuk RNA HIV mungkin
menunjukkan dissosiasi antara plasma dan level CCS, mengarah pada infeksi produktif
CCS daripada control virologik sistemik. Penyebab lain demensia harus disingkirkan, dan
standar pemeriksaan harus dimasukkan seperti pada table 28-4.
MRI pada umumnya menunjukkan hiperintensitas subkortikal substansi alba pada
penyempitan T2 dan atrofi sentral. Mungkin ada atrofi yang khas pada ganglia basalis,
umunya pada caudatus. CT scan kepala menunjukkan area lusen yang tidak sempurna
pada substansia alba dan atrofi kortikal yang tidak spesifik.


Terapi
Terapi bertujuan untuk menurunkan RNA HIV pada plasma dan CCS sampai level yang tidak
diketahui dan membaiknya system imun. Untuk pasien yang tidak menerima terapi antiretroviral,
HAART harus segera dimulai. Untuk pasien yang sudah menggunakan HAART dan dengan
level RNA HIV plasma tidak terdeteksi tetapi pada CCS terdeteksi, dipertimbangkan harus
diberikan regimen dari agen antiretroviral yang adekuat sehingga dapat penetrasi ke blood-brain
barrier (penetrasi-CCS)- zidovudine, stavudine, abacavir, indinavir, efavirenz, and nevirapine.
Ambilan selektif serotonin inhibitor harus dipertimbangkan pada pasien yang menunjukkan
gejala depresi. Sasaran terapi adalah produk imun dan inflamasi yang dipercaya sebagai
penyebab kerusakan CCS masih terus dikembangkan.
Table 28-4. diagnosis kerja awal pada pasien HIV dengan gangguan kognitif subakut atau
kronik.
Diagnosis kerja
serum Tes fungsi thyroid
Tes fungsi liver dan ammonia
Antigen cryptococcal
DNA CMV dengan PCR
RPR/FTA-ABS
Profil metabolic
Toksikologi
Level vitamin B12
Jumlah limfosit T CD4
+
Level RNA HIV
CCS Jumlah sel dan diferensial
Level protein
Level glukosa
VDRL ( mempertimbangkan FTA-ABS )
Antigen cryptococcal
DNA EBV dengan PCR
DNA VZV dengan PCR
DNA CMV dengan PCR
DNA HSV dengan PCR
DNA virus JC dengan PCR
Kultur bakteri, jamur, dan basilus acid-fast
level RNA HIV
Urin Toksikologi
Imaging MRI kepala dengan gadolinium
CMV= cytomegalovirus; CCS = cairan cerebrospinal; EBV = Epstein-Barr virus; FTA-
ABS = fluorescent treponemal antibody, absorbed (tes); HSV = herpes simplek virus;
MRI magnetic resonance imaging; PCR= polymerase chain reaction; RPR= rapid plasma
regain; VDRL= venereal disease research laboratory ( tes untuk sifilis); VZV= varisela-
zoster virus.

Prognosis
Beberapa penelitian menunjukkan perkembangan klinis pasien yang lama dengan terapi HAART
berikutnya. Tanpa control virology, demensia seperti yang telah diduga dapat berkembang, dan
dapat terjadi kematian dibeberapa bulan berikutnya.

Lipton S, Gendelman H. Dementia associated with acquired immunodeficiency
syndrome. N engl J Med 1995; 332: 934-940. [PMID: 7877652] (A useful review of
HIV-associated dementia)
McArthur JC, et al. Human immunodeficiency virus associated dementia: An evolving
disease. J Neurovirol 2003; 9: 205-221. [PMID: 12707851] (Reviews how the clinical
course and epidemiology has changed since the antroduction of HAART.)

HIV TERKAIT MYELOPATHY
Essensial Diagnosis
- Komplikasi stadium lanjut dari infeksi HIV
- Onset yang tersembunyi dari disfungsi urin dan difungsi erektil, paraparesis spastic, dan
ataksia gait


Pertimbangan Umum
HIV terkait myelopathy, juga disebut vacuolar myelopathy, komplikasi stadium lanjut
dari HIV muncul ketika jumlah sel CDketika jumlah sel CD4
+
kurang dari 200 sel/l. Sebelum
perluasan penggunaan HAART, 10% berkembang mengalami kondisi ini, namun kini kondisi ini
jauh dari biasanya. Secara klinis dan histopatologi, HIV myelopathy menyerupai myelopathy
yang berhubungan dengan kekurangan vitamin B12, dan penelitian mengarah pada vitamin B-
12 tergantung jalur trans-metilasi yang mendasari penyebab.

Temuan Klinis
A. Gejala dan Tanda
Myelopathy terkait HIV merupakan gangguan kronis yang samar, sering onset asimetris
dikarakteristikkan dengan disfungsi erektil dan urin, paraparesis spastic dan ataksia gait
dari kolumna posterior. Paresthesia yang cepat hilang pada kaki dapat terjadi. Karena
segmen thorak dari medulla spinalis terkena terlebih dulu, kemudian tangan baru terkena
pada stadium lanjut penyakit.
Pemeriksaan menunjukkan paraparesis spastic, melemahnya sensasi getar dan
propioseptik pada jari kaki, mencerminkan disfungsi kolumna posterior. Sensari nyeri
dan suhu relative aman. Gejala tambahan termasuk reflek regangan yang berlebihan ari
patella dan ankle, respon ekstensi plantar, spastic gait, dan Romberg sign. Seiring
perjalanan penyakit, gejala yang sama dapat terjadi pada tangan. Ketika HIV terkait
neuropathy perifer terjadi, semua modalitas sensoris mengalami gangguan dan reflek dan
tonus mungkin berkurang atau hilang.

B. Pemeriksaan laboratorium dan imaging
Diagnosis HIV terkait myelopathy berdasarkan sumber yang samar, tanda dan gejala
menunjukkan dari medulla spinalis (biasanya kolumna posterior), dan menyingkirkan
penyakit medulla spinalis yang lain (table 28-5). Serum tes tidak berkontribusi pada
penegakan diagnosis meskipun mereka menyingkirkan penyebab lain myelopathy.

Anda mungkin juga menyukai