Anda di halaman 1dari 19

A.

Definisi Supply Chain Management


Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan perubahan
lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply Chain Management (SCM)
merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon persoalan tersebut.
Supply Chain Management (SCM) menekankan pada pola terpadu menyangkut
proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir. Dalam
konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga
konsumen akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi
antara berbagai komponen tersebut berlangsung secara transparan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah
suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan
pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas
pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik.
Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah suatu
metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya
tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of raw materials, the manufacturing units,
warehouses, transporters, retailers, and finally selling.
Dari 2 definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus utama dari SCM
adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua supply chain pada hakekatnya
memperebutkan pelanggan dari produk atau jasa yang ditawarkan. Semua pihak yang
berada dalam satu rantai supply chain harus bekerja sama satu dengan lainnya semaksimal
mungkin untuk meningkatkan pelayanan dengan harga murah, berkualitas, dan tepat
pengirimannya.
Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu
perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversarial adalah terfokusnya
ukuran keberhasilan dan aktivitas pada bagian-bagian kecil dari supply chain yang justru
sering berlawanan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau
konsumen akhir.
B. I ntegrated Supply Chain
Semua perusahaan memerlukan sesuatu yang sangat ekonomis guna melakukan
kegiatan memproduksi untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencapai keinginan tersebut,
kelancaran arus material yang diperlukan pasti melibatkan lebih dari satu rantai pasokan.
Faktor kritis dalam rantai pasokan yang efisien adalah pembelian, karena tugas pembeliaan
untuk menyeleksi pemasok (berikut materialnya) dan kemudian membangun hubungan
yang saling menguntungkan. Tanpa pemasok yang baik dan tanpa pembelian yang
memadai, rantai pasokan tidak akan memiliki peran untuk kondisi pasar pada masa seperti
sekarang ini.
SCM diperlukan oleh perusahaan yang sudah mengarah pada pengelolaan dengan
sistem just in time, karena konsep just in time sangat menekankan ketepatan waktu
kedatangan material dari pemasok sampai ke tangan konsumen sesuai dengan yang
ditetapkan. Artinya, kedisiplinan dan komitmen seluruh mata rantai harus benar-benar
dilaksanakan, karena sistem just in time tidak menekankan pada persediaan atau zero
inventory. Sehingga apabila terjadi penyimpangan pada salah satu mata rantai saja, maka
akan mengganggu pasokan material secara keseluruhan dan menghambat kelancaran tugas
dari mata rantai yang lain, karena tidak adanya persediaan. Untuk kondisi di Indonesia
sistem just in time akan berhasil kalau mata rantai terkait berada dalam satu cluster.
Bagi perusahaan yang masih mementingkan persediaan karena karakteristik material
(misalnya faktor musiman) atau sebagai langkah antisipatif untuk menyiasati lingkungan
industri yang tidak stabil, SCM juga diperlukan. Peran SCM untuk jenis perusahaan ini
adalah menekan biaya persediaan, karena persediaan yang tidak optimal akan menimbulkan
dampak biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya backorder (apabila terjadi
stockout).
Baik perusahaan yang menerapkan sistem just in time maupun yang masih
mementingkan persediaan, SCM yang dilaksankan akan lebih optimal apabila diterapkan
secara terintegrasi oleh seluruh mata rantai pasokan yang terkait.
Menerapkan konsep SCM secara menyeluruh dan terintegrasi tentu bukan
merupakan hal yang mudah dilakukan perusahaan. Kesulitan akan banyak dialami dalam
kaitan dengan lingkungan eksternal yaitu hubungan dengan supplier dan distributor serta
konsumen akhir. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan eksternal relatif berada di luar
kendali perusahaan, sehingga perlu upaya kedua belah pihak untuk mencapai komitmen
menjadi mata rantai yang saling berkoordinasi untuk menyalurkan seluruh kebutuhan
material sesuai yang dibutuhkan.
Sekilas konsep SCM memiliki kesamaan dengan manajemen logistik, karena
keduanya mengelola arus barang dan jasa melalui pembelian, pergerakan, penyimpanan,
adminitrasi, dan penyaluran barang. Selain itu baik SCM maupun manajemen logistik juga
memiliki kesamaan dalam hal peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan
barang. Perbedaan SCM dengan manajemen logistik terletak pada orientasinya. SCM
mengusahakan hubungan dan koordinasi antar proses dari perusahaan-perusahaan lain
dalam business pipelines, mulai dari suppliers sampai kepada pelanggan juga
mengutamakan arus barang antar perusahaan, sejak paling hulu sampai paling hilir.
Sedangkan manajemen logistik berorientasi pada perencanaan dan kerangka kerja yang
menghasilkan rencana tunggal arus barang dan informasi di seluruh perusahaan, jadi lebih
terfokus pada pengelolaan termasuk arus barang dalam perusahaan.
Dalam perkembangannya, SCM telah banyak mengalami evolusi yang dapat
digambarkan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut (Indrajit dkk, 2002):
1. Tahap 1, dalam tahap 1 ada semacam kesendirian dan ketidak-saling-tergantungan
fungsi produksi dan fungsi logistik. Mereka menjalankan program-program sendiri yang
terlepas satu sama lain (in-complete isolation). Contohnya adalah bagian produksi yang
hanya memikirkan bagaimana membuat barang sesuai dengan mutu dan yang telah
ditetapkan, dan sama sekali tidak mau ikut memikirkan penumpukan inventory dan
penggunaan ruang gudang yang menimbulkan biaya persediaan yaitu biaya simpan.
2. Tahap 2, dalam tahap 2 perusahaan sudah mulai menyadari pentingnya integrasi
perencanaan walaupun dalam bidang yang masih terbatas, yaitu di antara fungsi internal
yang paling berdekatan, misalnya produksi dengan inventory control dan functional
integration yang lain.
3. Tahap 3, dalam tahap 3 integrasi perencanaan dan pengawasan atas semua fungsi yang
terkait dalam satu perusahan (internal integration).
4. Tahap 4, dalam tahap 4 menggambarkan tahap sebenarnya dari suplly chain integration,
yaitu integrasi total dalam konsep perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
(manajemen) yang telah dicapai dalam tahap 3 dan diteruskan ke upstreams yaitu
suppliers dan downsterams sampai ke pelanggan.
Evolusi SCM yang telah mencapai tahap keempat tersebut menunjukkan suatu
integrasi yang menyeluruh di antara seluruh komponen terkait sehingga menuntut adanya
transparansi arus informasi. Strategi kemitraan dapat digunakan untuk mewujudkan
kelancaran arus pasokan material dari pemasok sampai distributor hingga ke tangan
konsumen. Dengan startegi kemitraan maka perlu mengembangkan komunikasi di antara
semua pihak terkait, sehingga komunikasi arus informasi maupun data yang dibutuhkan
akan lebih lancar.

C. Manfaat SCM
Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan memberikan manfaat
yaitu (Jebarus, 2001) kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya,
pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.
1. Kepuasan pelanggan. Konsumen atau pengguna produk merupakan target utama dari
aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan perusahaan. Konsumen atau
pengguna yang dimaksud dalam konteks ini tentunya konsumen yang setia dalam
jangka waktu yang panjang. Untuk menjadikan konsumen setia, maka terlebih dahulu
konsumen harus puas dengan pelayanan yang disampaikan oleh perusahaan.
2. Meningkatkan pendapatan. Semakin banyak konsumen yang setia dan menjadi mitra
perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga
produk-produk yang dihasilkan perusahaan tidak akan terbuang percuma, karena
diminati konsumen.
3. Menurunnya biaya. Pengintegrasian aliran produk dari perusahan kepada konsumen
akhir berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur distribusi.
4. Pemanfaatan asset semakin tinggi. Aset terutama faktor manusia akan semakin terlatih
dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Tenaga manusia akan
mampu memberdayakan penggunaan teknologi tinggi sebagaimana yang dituntut dalam
pelaksanaan SCM.
5. Peningkatan laba. Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang setia dan
menjadi pengguna produk, pada gilirannya akan meningkatkan laba perusahaan.
6. Perusahaan semakin besar. Perusahaan yang mendapat keuntungan dari segi proses
distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar, dan tumbuh lebih kuat.
Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di atas merupakan manfaat
tidak langsung. Secara umum, manfaat langsung dari penerapan SCM bagi perusahaan
adalah :
1. SCM secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan
mengantarkannya kepada konsumen akhir. Manfaat ini menekankan pada fungsi
produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam fungsi ini dilakukan penggunaan
dari seluruh sumber daya yang dimilki dalam sebuah proses transformasi yang
terkendali, untuk memberikan nilai pada produk yang dihasilkan sesuai dengan
kebijaksanaan perusahaan dan mendistribusikannya kepada konsumen yang dibidik.
2. SCM berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang dipasok oleh rantai
suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau konsumen akhir tersebut. Dalam hal ini
fungsi pemasaran yang akan berperan. Melalui pelaksanaan SCM, pemasaran dapat
mengidentifikasi produk dengan karakteristik yang diminati konsumen. Selanjutnya
fungsi ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut produk yang diharapkan
konsumen tersebut dan mengkomunikasikan kepada perancang produk. Apabila seleksi
rancangan produk sudah dilakukan dan dilakukan pengujian maka produk dapat
diproduksi. Sehingga SCM akan berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1
tersebut.
Ditinjau dari segi ongkos, masing-masing fungsi di atas berkaitan dengan ongkos,
yaitu:
1. Fungsi pertama berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yakni ongkos material, ongkos
penyimpanan, ongkos produksi, ongkos transportasi, dan sebagainya.
2. Fungsi kedua berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan produk, serta
biaya-biaya akibat terpenuhinya aspirasi konsumen oleh produk yang disediakan oleh
rantai supply chain. Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan
harga produk yang tidak laku dengan harga normal, atau ongkos kekurangan supply
yang dinamakan dengan stockout cost.

D. Prinsip-prinsip SCM
Prinsip terpenting yang harus diperhatikan dalam sinkronisasi aktivitas-aktivitas
sebuah supply chain adalah menciptakan hasil yang lebih besar, tidak hanya bagi tiap
anggota rantai tetapi bagi keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi dari prinsip ini
membutuhkan perubahan-perubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya
kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan langkah-
langkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply chain yang
kompleks ke arah yang sama.
Anderson, Britt & Frave (1997) memberikan 7 prinsip SCM untuk membantu para
manajer dalam merumuskan strategi pelaksanaan SCM, yaitu:
1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.
2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda.
3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam perencanaan
kebutuhan (demand planning) sehingga bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan
alokasi sumber daya yang optimal.
4. Diferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan percepat
konversinya di sepanjang rantai supply.
5. Kelola sumber-sumber supply secara strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan
dari material maupun jasa.
6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supply yang mendukung
pengambilan keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang jelas dari aliran produk,
jasa, maupun informasi.
7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara keseluruhan dengan
maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.

E. Persyaratan Penerapan SCM
Sebagai suatu konsep yang melibatkan banyak pihak sebagai mata rantai, SCM
menuntut beberapa persyaratan yang tidak hanya terkait dengan material, tetapi juga
informasi. Syarat utama dari penerapan SCM tentunya dukungan manajemen. Manajemen
semua level dari strategis sampai operasional harus memberikan dukungan mulai dari
proses perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan, sampai pengendalian.
Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat yang melibatkan faktor
eksternal yaitu pemasok dan distributor. Sebelum membangun komitmen dan melaksanakan
kontrak kerja dengan para pemasok, maka perusahaan terlebih dahulu harus melaksanakan
evaluasi pemasok. Sebagi catatan, melaksanakan evaluasi pemasok untuk pemasok yang
bermain dalam pasar yang monopoli tentunya sulit dan tidak bisa dilaksanakan, sehingga
yang perlu dilakukan untuk kondisi ini adalah membangun kemitraan dalam suatu
kesepakatan.
Evaluasi pemasok dilakukan apabila untuk material yang sama dapat diperoleh lebih
dari satu alternatif pemasok. Setidaknya ada tiga kriteria dalam melakukan evaluasi
pemasok, yaitu: keadaan umum pemasok, keadaan pelayanan, dan keadaan material.
Beberapa contoh indikator dari setiap kriteria evaluasi pemasok adalah sebagai berikut
(Gaspersz, 2002):
1. Keadaan umum pemasok
a. Ukuran atau kapasitas produksi
b. Kondisi finansial
c. Kondisi operasional
d. Fasilitas riset dan desain
e. Lokasi geografis
f. Hubungan dagang antar industri
2. Keadaan pelayanan
a. Waktu penyerahan material
b. Kondisi kedatangan material
c. Kuantitas pemesanan yang ditolak
d. Penanganan keluhan dari pembeli
e. Bantuan teknik yang diberikan
f. Informasi harga yang diberikan
3. Keadaan material
a. Kualitas material
b. Keseragaman material
c. Jaminan dari pemasok
d. Keadaan pengepakan (pembungkusan)
Dari ketiga kriteria tersebut, bobot (berdasarkan tingkat kepentingan) yang terbesar
diberikan pada kriteria keadaan material, karena keadaan material akan mempengaruhi
kinerja fungsi produksi dan operasi khususnya kualitas produk. Selanjutnya dilakukan
penilaian untuk setiap indikator dan dihitung total skor-nya.
Syarat berikutnya adalah pemilihan distributor sebagai perantara produk perusahaan
sampai ke tangan konsumen akhir. Intensitas saluran distribusi yang ideal bagi suatu
perusahaan adalah bagaimana menyajikan jenis produk secara luas dalam pemuasan
kebutuhan konsumen (Sitaniapessy, 2001). Penggunaan distributor yang terlalu sedkit dapat
membatasi penyebaran jenis produk dalam aktivitas pemasaran. Sebaliknya, penggunaan
distributor yang terlalu banyak dapat mengganggu brand image dalam posisinya
berkompetisi. Satu kunci yang penting dalam mengelola saluran distribusi adalah
menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan serta membentuk suatu
pola kemitraan yang menunjang pemasaran suatu produk dalam area pemasaran tertentu.
Model penghematan usaha oleh distributor dapat digambarkan sebagai berikut
(Kotler, 1997):


produsen distributor konsumen
Gambar 8.2. Model penghematan usaha oleh distributor
Satu lagi persyaratan yang penting dalam penerapan SCM adalah transparansi arus
informasi. Untuk dapt mendukung arus informasi yang transparan dari seluruh mata rantai
yang terlibat dalam SCM diperlukan komitmen (dapat dicapai melalui kemitraan dan
kesepakatan) disertai dengan ketersediaan database.
Konsep database yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya kumpulan data yang
dikelola dan dikendalikan secara terpusat, melainkan data tersebut harus memenuhi lima
kriteria sebagai berikut :
1. Ketersediaan, kapanpun diperlukan harus tersedia disertai dengan kemudahan akses.
2. Kemampuan dipergunakan untuk berbagi kebutuhan terkait
3. Kemampuan data untuk selalu berkembang dalam konteks yang efektif
4. Jumlah data tidak tergantung kondisi fisik penyimpan data (penyimpan data yang harus
menyesuaikan jumlah data)
5. Konsistensi dan validitas data
F. Strategi Dasar SCM
Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat dengan konfigurasi fisik
maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi
jaringan antar chanel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak bisa
dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply chain.
Dalam SCM karakteristik produk ini dibedakan ke dalam 2 jenis yang didasarkan
pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas
permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown, dan sebagainya. Kedua jenis tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Produk fungsional, biasanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar,
seperti garam, gula, sabun, minyak goreng, buku tulis, ballpoint, dan sebagainya.
2. Produk inovatif, yaitu produk yang permintaannya biasanya sangat tidak stabil dan sulit
diramalkan. Produk inovatif ini biasanya muncul sebagai respon atas perubahan pasar
yang cepat atau sebagai akibat dari kemampuan teknologi dan inovasi yang bagus.
Contoh dari produk inovatif ini adalah komputer yang perubahan rancangannya sudah
dalam hitungan minggu atau bahkan hari. Ini merupakan contoh produk inovatif yang
dipacu oleh kemampuan perusahaan melakukan inovasi (innovation driven). Contoh lain
adalah pakaian yang modelnya cepat berubah dan ini lebih dipacu oleh kebutuhan pasar
yang mengisyaratkan perubahan model (market driven).
Untuk lebih jelasnya pembagian produk sesuai dengan karakteristiknya dapat dilihat
pada tabel 8.1.
Tabel 8.1. Produk fungsional vs invovatif
Karakteristik Fungsional Inovatif
Siklus hidup > 2 tahun < 2 tahun
Variasi produk 10 20 per kategori Jutaan per kategori
Variabilitas permintaan tinggi rendah
Kesalahan peramalan 10 % 40 % - 100 %
Tingkat markdown 0 % 10 % - 25 %
Margin keuntungan Rendah Tinggi
Lead time 6 bln 1 thn 1 hari 2 minggu
Aspirasi konsumen Harga murah cepat

Pernyataan kedua produk berdasarkan karakteristik di atas mengindikasikan kebutuhan akan
penanganan yang berbeda, baik dalam aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar sebuah
supply chain sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk masing-masing produk, seperti
ditunjukkan pada tabel 8.2.
Tabel 8.2. Strategi yang tepat berdasarkan jenis produk
Strategi Produk
Fungsional Inovatif
Lean Tepat Tidak tepat
Agile Tidak tepat Tepat

Strategi Lean Supply Chain adalah strategi efisiensi yang membutuhkan dukungan
struktur supply chain yang ramping dan terintegrasi dengan baik. Pada produk fungsional,
fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih mudah dilakukan karena siklus hidup produknya
panjang atau selera konsumen yang tidak banyak berubah. Dengan demikian ongkos-
ongkos mediasi pasar akan merupakan fokus utama, sehingga strategi yang tepat untuk
produk-produk fungsional adalah efisiensi.
Fokus utama dalam mengelola Lean Supply Chain adalah menekan ongkos-ongkos
fisik disepanjang supply chain yang terdiri dari ongkos-ongkos material, produksi,
distribusi, penyimpanan dan sebagainya. Dalam lean supply chain koordinasi yang baik
antar chanel dalam rantai supply sangat diperlukan, termasuk di dalamnya koordinasi untuk
manangani dampak variabilitas dan ketidakpastian permintaan maupun supply.
Untuk produk inovatif, keunggulan kompetitif produk terletak pada kemampuan
supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat berubah. Kunci keberhasilan di
sini adalah yang dinamakan agility. Agility untuk suatu supply chain harus mempunyai
kemampuan kecepatan dalam merespon kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai
suatu team. Kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada dalam suatu supply
chain.
Distributor yang handal tidak dapat menjamin keunggulan berkompetisi apabila
perusahaan yang mensuplai produk-produk yang didistribusikannya tidak mampu secara
cepat merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar. Dengan demikian hubungan antar
perusahaan merupakan faktor kritis dalam menciptakan agility suatu supply chain. Strategi
supply chain yang menekankan pada agility tentunya memerlukan pola pikir yang berbeda
dengan pola pikir untuk strategi supply chain yang mendasarkan pada efisiensi.
G. Tantangan Penerapan SCM
Meskipun SCM memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem produksi dan
operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan disikapi oleh
perusahaan apabila akan menerapkannya. Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan
makro dan juga lingkungan eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang
menunjukkan adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu juga
kecenderungan perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan banyak
menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi
yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi oleh perusahaan-
perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola informasi yang bergerak
sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk. Sehingga sangat perlu bagi perusahaan
yang menerapkan SCM untuk memiliki peralatan fungsional seperti (Watanabe, 2001):
1. Demand management / forecasting
2. Advanced planning and scheduling
3. Transportation management
4. Distribution and deployment
5. Production planning
6. Available to promise
7. Supply Chain Modeler
8. Optimizer (Linier programming, non linier programming, heuristic, dan genetic
algorithm)
Selain tantangan-tantangan tersebut, tantangan yang juga sering dihadapi khususnya
negara berkembang adalah masalah infrastruktur termasuk birokrasi yang rumit. Masalah
ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tantangan SCM yang lain, yaitu
teknologi informasi.
Di sisi lain, ada juga tantangan yang dapat digolongkan dalam lingkungan mikro
atau di lingkungan perusahaan itu termasuk stakeholdernya. Mengingat sebuah rantai
supply chain terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, maka
pengelolaannya tidak mudah. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan cepat begitu
pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam lingkungan
keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena kompleksnya permasalahan
pengelolaan tersebut, banyak sekali tantangan yang bisa mengakibatkan kegagalan
pengelolaan sebuah supply chain.
Lee & Bilington (1992) mendeskripsikan 14 tantangan yang harus diperhatikan
dalam SCM, yaitu:
1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap chanel menentukan
ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk membuat joint matrics yang
mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.
2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, tidak ada pengukuran terhadap
kelambatan respon dalam pelayanan, dan sebagainya.
3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat.
4. Sistem informasi tidak efisien.
5. Dampak ketidakpastian diabaikan.
6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidakpastian tidak diperhitungkan
dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang terlalu statis dan
generik.
7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah, service levelnya tidak
terukur, sistem insentifnya tidak tepat.
8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.
9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek
persediaan dan waktu respon.
10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.
11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.
12. Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan konsep supply chain.
13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah.
14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi internal saja, tidak bisa
membedakan antara immediate customers dengan end customers.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, terlebih dahulu perusahaan harus melakukan
perbaikan dan membangun komitmen di lingkungan internal perusahaan tersebut, baru
kemudian membangun kemitraan dan komitmen dengan mata rantai lain di lingkungan
eksternal. Satu hal yang juga penting dalam mengatasi tantangan untuk penerapan SCM
adalah mengelola informasi dalam sebuah sistem yang harus mendukung proses
pengambilan keputusan di wilayah penerapan SCM.
H. Perkembangan-perkembangan Terbaru dalam SCM
Agar perusahaan selalu dapat memimpin dalam berkompetisi di pasaran, cara-cara
baru yang lebih inovatif perlu ditemukan atau dikembangkan. Seiring dengan menyebarnya
konsep-konsep SCM di dunia industri baik industri manufaktur atau jasa. Konsep-konsep
yang lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM bermunculan. Konsep-
konsep tersebut antara lain:
1. Just In Time (JIT), prinsip ini menekankan pada kemitraan yang erat antara perusahaan
dengan pemasoknya, dan pemasok akan memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya.
Wakil tersebut berfungsi menggantikan peran bagian pembelian di perusahaan pembeli.
Atas nama perusahaan pembeli, wakil tersebut akan membuat order pembelian ke
perusahaannya berdasarkan rencana produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan
pembeli. Praktek ini memungkinkan kedua belah pihak untuk merundingkan rencana-
rencana produksi maupun pembelian sehingga menguntungkan kedua belah pihak.
Perusahaan pembeli akan lebih mudah menegosiasikan jadwal pengiriman karena wakil
tadi sewaktu-waktu bisa ditemui di perusahaannya. Demikian pula wakil tadi akan lebih
banyak memberikan masukan tentang kemampuan perusahaannya untuk memasok
kebutuhan material atau bahan baku yang dibutuhkan perusahaan pembeli.
2. Vendor Managed Inventory (VMI), adalah merupakan salah satu variasi dari JIT II.
Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai bisnis retail. Selama
ini pihak retail yang berkewajiban membuat order pembelian untuk menjaga
kelangsungan persediaan dari setiap item yang terjual. Pada VMI kebalikannya, justru
pemasoklah yang berkewajiban untuk menentukan kapan dan berapa jumlah suatu item
harus dikirim ke retailnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan
stock yang ada di retail tersebut. Pada VMI pertukaran informasi yang lancar sangat
diperlukan. Pemasok akan mampu membuat keputusan yang baik, apabila informasi
tingkat kebutuhan maupun tingkat persediaan yang dimiliki pihak retail bisa diakses
dengan mudah.
3. Global Pipeline Management (GPM), konsep ini didasarkan pada teori kontrol di mana
aliran material atau produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Aliran material
atau produk pada konsep GPM hendaknya dikendalikan oleh satu pihak atau chanel
dalam supply chain, yang lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi
yang diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai