Ali Husain Abdul Kadir Mahasiswa Semester VI Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11510 10.2011.435 Email : areliwhosign@yahoo.com
PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kedokteran dan kesehatan yang bermutu dan terjangkau sudah sangat didambakan. Sehingga merupakan tugas profesi untuk mewujudkannya seoptimal mungkin agar masyarakat tetap dan semakin percaya pada sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. 1,2
Definisi dokter keluarga atau dokter praktek umum yang dicanangkan oleh WONCA pada tahun 1991 adalah dokter yang mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan kedokteran dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia, jenis kelamin ataupun jenis penyakit. Dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan dalam lingkup komunitas dari individu tersebut tanpa membedakan ras, budaya dan tingkatan sosial. Secara klinis dokter ini berkompeten untuk menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan memperhatikan latar budaya, sosial ekonomi dan psikologis pasien. Sebagai tambahan, dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya. 1,2
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat Page | 2
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Skenario 4 Seorang bapak (45 tahun) membawa anaknya laki-laki bernama.yang berumur 14 tahun ke puskesmas untuk berobat. Di punggung dan lengan anaknya terdapat bercak- bercak keputihan. Dokter menduga anak itu terkena kusta karena ia berasal suatu wilayah yang memang endemis+kusta. Dokter melakukan kunjungan tinggal di rumah ukuran 4x4 m di pemukiman padat penduduk. Lantai rumah sebagian masih tanah. Sinar matahari sulit masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah lembab. Di rumah itu dihuni oleh 5 orang yang terdiri dari bapak, ibu dan 3 orang anaknya yang masing-masing berumur 14 tahun (laki-laki), 9 tahun (perempuan) dan 6 tahun (laki-laki). Ternyata ibu dari anak-anak tersebut pernah diobati kusta 3 tahun lalu tapi tidak selesai.
PEMBAHASAN Dokter Keluarga Pengertian Dokter Keluarga Definisi kedokteran keluarga (IKK FK-UI 1996) adalah disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari dinamika kehidupan keluarga, pengaruh penyakit terhadap fungsi keluarga, pengaruh fungsi keluarga terhadap timbul dan berkembangnya penyakit, cara pendekatan kesehatan untuk mengembalikan fungsi tubuh sekaligus fungsi keluarga agar dalam keadaan normal. Setiap dokter yang mengabdikan dirinya dalam bidang profesi dokter maupun kesehatan yang memiliki pengetahuan, keterampilan melalui pendidikan khusus di bidang kedokteran keluarga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek dokter keluarga. Page | 3
Definisi kedokteran keluarga (PB IDI 1983) adalah ilmu kedokteran yang mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada kesatuan individu, keluarga, masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Pelayanan kesehatan tingkat pertama dikenal sebagai primary health care, yang mencangkup tujuh pelayanan (Muhyidin, 1996) : 1. Promosi kesehatan 2. KIA 3. KB 4. Gizi 5. Kesehatan lingkungan 6. Pengendalian penyakit menular 7. Pengobatan dasar 1,2
Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga Tujuan pelayanan dokter keluarga mencakup bidang yang amat luas sekali. Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam (Azwar, 1995) :
1. Tujuan Umum Tujuan umum pelayanan dokter keluarga adalah sama dengan tujuan pelayanan kedokteran dan atau pelayanan kesehatan pada umumnya, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga. 2
2. Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus pelayanan dokter keluarga dapat dibedakan atas dua macam : a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga memang lebih efektif. Ini disebabkan karena dalam menangani suatu masalah kesehatan, perhatian tidak hanya ditujukan pada keluhan yang disampaikan saja, tetapi pada pasien sebagai manusia seutuhnya, dan bahkan sebagai bagian dari anggota keluarga dengan lingkungannya masing-masing. Dengan diperhatikannya berbagai faktor yang seperti ini, maka pengelolaan suatu masalah kesehatan akan dapat dilakukan secara sempurna dan karena itu penyelesaian suatu masalah kesehatan akan dapat pula diharapkan lebih memuaskan. b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efisien. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga juga lebih Page | 4
mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Dengan diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit, maka berarti angka jatuh sakit akan menurun, yang apabila dapat dipertahankan, pada gilirannya akan berperan besar dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal yang sama juga ditemukan pada pelayanan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Karena salah satu keuntungan dari pelayanan yang seperti ini ialah dapat dihindarkannya tindakan dan atau pemeriksaan kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu bersifat terbatas. 2
Manfaat Pelayanan Dokter Keluarga Apabila pelayanan dokter keluarga dapat diselenggarakan dengan baik, akan banyak manfaat yang diperoleh. Manfaat yang dimaksud antara lain adalah (Cambridge Research Institute, 1976) 1. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan. 2. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin kesinambungan pelayanan kesehatan. 3. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini. 4. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya. 5. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan ataupun keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang sedang dihadapi. 6. Akan dapat diperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit, termasuk faktor sosial dan psikologis. 7. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara yang lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya kesehatan. 8. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang memberatkan biaya kesehatan. 2,3
Page | 5
Fungsi, Tugas dan Kompetensi Dokter Keluarga Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azrul Azwar, dkk. 2004) : a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan) Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu dan sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas, lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka waktu panjang dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang saling menghargai dan mempercayai. Juga sebagai pelayanan komprehensif yang manusiawi namun tetap dapat dapat diaudit dan dipertangungjawabkan b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan) Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan yang efektif sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatannya sendiri serta memicu perubahan cara berpikir menuju sehat dan mandiri kepada pasien dan komunitasnya c. Decision Maker (Pembuat Keputusan) Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan teknologi kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan mempertimbangkan harapan pasien, nilai etika, cost effectiveness untuk kepentingan pasien sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah dan empatik d. Manager Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi di dalam maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan pasien dan komunitasnya berdasarkan data kesehatan yang ada. Menjadi dokter yang cakap memimpin klinik, sehat, sejahtera, dan bijaksana
e. Community Leader (Pemimpin Masyarakat) Yang memperoleh kepercayaan dari komunitas pasien yang dilayaninya, menyearahkan kebutuhan kesehatan individu dan komunitasnya, memberikan nasihat kepada kelompok penduduk dan melakukan kegaiatan atas nama masyarakat dan menjadi panutan masyarakat 2
Selain fungsi, ada pula tugas dokter keluarga, yaitu : a. Mendiagnosis dan memberikan pelayanan aktif saat sehat dan sakit b. Melayani individu dan keluarganya Page | 6
c. Membina dan mengikut sertakan keluarga dalam upaya penanganan penyakit d. Menangani penyakit akut dan kronik e. Merujuk ke dokter spesialis Kewajiban dokter keluarga : a. Menjunjung tinggi profesionalisme b. Menerapkan prinsip kedokteran keluarga dalam praktek c. Bekerja dalam tim kesehatan d. Menjadi sumber daya kesehatan e. Melakukan riset untuk pengembangan layanan primer Kompetensi dokter keluarga yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Keluarga yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia tahun 2006 adalah (Danasari, 2008) : a. Keterampilan komunikasi efektif b. Keterampilan klinik dasar c. Keterampilan menerapkan dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktek kedokteran keluarga d. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga ataupun masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, berkesinambungan, terkoordinir dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer e. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi f. Mawas diri dan pengembangan diri atau belajar sepanjang hayat g. Etika moral dan profesionalisme dalam praktek 2
Organisasi Pada Dokter Keluarga Pada dokter keluarga, memiliki 2 organisasi yang akan dibahas sebagai berikut : a. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) yang saat ini seluruh anggotanya adalah Dokter Praktik Umum (DPU) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah anggota yang telah mendaftar sekitar 3000 orang. Semua anggota PDKI adalah anggota IDI. PDKI merupakan organisasi profesi dokter penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer yang utama. 2,3
Ciri dokter layanan primer adalah (Danasari, 2008) : 1. Menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan berkelanjutan (continuing care) Page | 7
2. Membuat diagnosis medis dan penangannnya 3. Membuat diagnosis psikologis dan penangannya 4. Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar belakang dan berbagai stadium penyakit 5. Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan prognosis 6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan melalui penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit, terapi preventif, dan perubahan perilaku. Setiap dokter yang menyelenggarakan pelayanan seperti di atas dapat menjadi anggota PDKI. Anggota PDKI adalah semua dokter penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer baik yang baru lulus maupun yang telah lama berpraktik sebagai Dokter Praktik Umum. Dokter penyelenggara tingkat primer, yaitu : 1. Dokter praktik umum yang praktik pribadi 2. Dokter keluarga yang praktik pribadi 3. Dokter layanan primer lainnya seperti : a. Dokter praktik umum yang bersama b. Dokter perusahaan c. Dokter bandara d. Dokter pelabuhan e. Dokter kampus f. Dokter pesantren g. Dokter haji h. Dokter puskesmas i. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat j. Dokter yang bekerja di poliklinik umum RS k. Dokter praktik umum yang bekerja di bagian pelayanan khusus
Sejarah PDKI PDKI pada awalnya merupakan sebuah kelompok studi yang bernama Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983), sebuah organisasi dokter seminat di bawah IDI. Anggotanya beragam, terdiri atas dokter praktik umum dan dokter spesialis. Pada tahun 1986, menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia (WONCA). Pada tahun 1990, setelah Page | 8
Kongres Nasional di Bogor, yang bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali, namanya diubah menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), namun tetap sebagai organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003, dalam Kongres Nasional di Surabaya, ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum mempunyai kolegium yang berfungsi.
Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK) dan telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Masyarakat Kestabilan dan Kendali Indonesia (MKKI). Continuing Professional Development (CPD) yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) adalah : 1. Pelatihan Paket A : Pengenalan Konsep Dokter Keluarga 2. Pelatihan Paket B : Manajemen Pelayanan Dokter Keluarga 3. Pelatihan Paket C : Pengetahuan Medis Dasar dan Keterampilan Teknis Medis 4. Pelatihan Paket D : Pengetahuan Mutakhir Kedokteran 5. Konversi DPU menjadi DK bagi dokter yang telah praktek 5 tahun atau lebih dan masih punya izin praktek dengan mengisi borang yang telah disediakan sampai tahun 2012, setelah itu bila ingin jadi dokter keluarga harus mengikuti pendidikan formal baik S2 atau spesialis DK 6. Pengisian modul DK 7. Kerja sama dengan Australia dengan mengisi modul online
b. Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia ( KIKKI ) Dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus 2006 2 September 2006, dan telah dilaporkan ke PB IDI Pusat dan MKKI. Kolegium memang harus ada dalam sebuah organisasi profesi. Jadi PDKI harus mempunyai kolegium yang akan memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada setiap anggotanya. Dalam PDKI lembaga ini yang diangkat oleh kongres dan bertugas sebagai berikut : 2
1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan yang ditetapkan kongres 2. Mempunyai kewenangan menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga Page | 9
3. Mengkoordinasikan kegiatan kolegium kedokteran 4. Mewakili PDKI dalam pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga 5. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga beserta kurikulumnya 6. Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan profesi kedokteran keluarga 7. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi) 8. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan untuk pendidikan dokter keluarga 9. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga Angota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat integritas dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian anggotanya. Atas anjuran dan himbauan IDI sebaiknya KIKK digabung dengan KDI karena keduanya menerbitan sertifikat kompetensi untuk Dokter Pelayanan Primer (DPP). Setelah melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya bergabung dengan nama Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga (KDDKI) yang untuk sementara melanjutkan tugas masing-masing, unsur KDI memberikan sertifikat kepada dokter yang baru lulus sedangkan unsur KIKK memberikan sertifikat kompetensi (resertifikasi) kepada DPP yang akan mendaftar kembali ke KKI (Qomariah, 2000). 2
Perbedaan Dokter Praktek Umum dan Dokter Keluarga Tabel ini menjelaskan tentang perbedaan antara dokter praktek umum dengan dokter keluarga (Qomariah, 2000) : 2
DOKTER PRAKTEK UMUM DOKTER KELUARGA Cakupan Pelayanan Terbatas Lebih Luas Sifat Pelayanan Sesuai Keluhan Menyeluruh, Paripurna, bukan sekedar yang dikeluhkan Cara Pelayanan Kasus per kasus dengan pengamatan sesaat Kasus per kasus dengan berkesinambungan sepanjang hayat Jenis Pelayanan Lebih kuratif hanya untuk Lebih kearah Page | 10
penyakit tertentu pencegahan, tanpa mengabaikan pengobatan dan rehabilitasi Peran keluarga Kurang dipertimbangkan Lebih diperhatikan dan dilibatkan Promotif dan pencegahan Tidak jadi perhatian Jadi perhatian utama Hubungan dokter-pasien Dokter pasien Dokter pasien teman sejawat dan konsultan Awal pelayanan Secara individual Secara individual sebagai bagian dari keluarga komunitas dan lingkungan
Morbus Hansen (Kusta) Latar belakang Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Di Indonesia, pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (Puskesmas, sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Page | 11
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakitpenyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan.Darisudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seluruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
Definisi Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah k usta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala- gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Page | 12
Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.
Etiologi Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan ge netik dengan mikobakterium lainnya. Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA .
Type Lepra Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi Klasifikasi Zona Spektrum Kusta Ridley dan Jopling TT BT BB BL LL Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB) Puskesmas PB MB Page | 13
Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Lepromatosa (BL) Mid Borderline (BB) Lesi: - Bentuk - Jumlah - Distribusi - Permukaan - Batas - Anestesia Makula Infiltrat difus Papul Nodus Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Tidak ada sampai tidak jelas Makula Plakat Papul Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Plakat Dome-shaped (kubah) Punched-out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas BTA - Lesi kulit - Sekret hidung Banyak (ada globus) Bannyak (ada globus) Banyak Biasanya negatif Agak banyak Negatif Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB) Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline Tuberculoid (BT) Indeterminate (I) Lesi - Bentuk - Jumlah - Distribusi Makula saja, makula dibatasi infiltrat Satu, dapat beberapa Asimetris Makula dibatasi infiltrat: infiltrat saja Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Hanya makula Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Page | 14
- Permukaan - Batas - Anestesia Kering bersisik Jelas Jelas Kering bersisik Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas BTA - Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negative
Pemeriksaan a.Anamnesis 1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak . 2). Apakah ada riwayat kontak . 3). Riwayat pengobatan sebelumnya. b.Pemeriksaan kulit / rasa raba. Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.
c.Pemeriksaan saraf (nervus ) Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama.
Tehnik Pemeriksaan Saraf . a.Saraf Ulnaris. Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Page | 15
pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .
b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rilek. 2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan . 3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang 4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita . c.Saraf Tibialis Posterior . 1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks . 2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien ) 3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita. 3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf . Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki . a. Mata Fungsi Motorik (Saraf Facialis ) Page | 16
1).Penderita diminta memejamkan mata. 2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak , apakah ada celah. 3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, missal lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan. Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .
b.Tangan 1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus ) a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga . b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain . d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif . e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa. f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh . g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .
2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis . a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa . (2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. Page | 17
Penilaian : (a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh. (b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah . (c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat. (d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .
Penilaian : (e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah . (f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari ) (1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi . (2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut. (3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan . Penilaian : (a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah . (c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .
c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita . (2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas (ektensi ). (3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi . Penilaian : Page | 18
(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . (c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas)
c. Kaki 1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior ) a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap keatas . b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita . c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan. d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm. e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.
2).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ). a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit). b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai . Keterangan: c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat. d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas).
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Pemeriksaan Bakterioskopik Pewarnaan Ziehl Neelsen Bahan dari 6 lokasi: lesi kulit (2), cuping telinga (2), kulit distal telunjuk/tengah (2) Bahan biopsi kulit atu saraf Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan melihat kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular) Indek Bakteri (IB):
Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x % Jumlah BTA solid + non solid Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat infeksisitas penyakit. o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL) Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit) Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra) Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita terhadap penyakit kusta.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta 1. Faktor Internal. a.Umur. Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun. b.Jenis kelamin. Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkanbahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadiankusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi sepertikebanyakan pada penyakit Page | 20
menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya. c.Daya tahan tubuh seseorang. Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnyamenurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya. d. Etnik/suku. Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.
2. Faktor Ekternal. a.Kepadatan hunian Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :
Page | 21
1). Bahan bangunan memenuhi syarat : a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit. b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papan . c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidakcocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah. 2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).
3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.
4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar.
Page | 22
b. Perilaku Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses : Stimulus Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R _Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni : 1).Perilaku sehat (healty behavior ) Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar.
2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni : 1. Perilaku Sehat (healhty behavior) Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, misalnya : a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi. b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta. c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang Page | 23
kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan. d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat. e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan. 2. Perilaku Sakit(illness behavior) Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya. 3. Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior) Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak- haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).
Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain : a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat . d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ) c. Sosial Ekonomi Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akanterganggu.
Epidemiologi Epidemiologi Secara Global Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita Page | 24
kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat. 6
b. Epidemiologi Kusta di Indonesia Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa 6
Daerah Prevalensi terdaftar (rate/10,000 pop.) Kasus baru yang ditemukan pada tahun Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005 Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814 Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780 Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635 Mediterania Timur 4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133 Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137 Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499 Page | 25
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000. 6
Prevalensi Penderita Kusta Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92. Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran prevalendi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering terjadi konflik. 6
Angka Penemuan Penderita Baru Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan terendah di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan terendah di Propinsi Bengkulu (0,250. Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90% Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini Page | 26
bersama Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta. 6
c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : No Kabupaten/Kota Penderita Jml Penduduk Prevalensi/10.000 pnddk PB MB Total 1. Konawe 1 20 21 255.283 1 2. Muna 2 24 26 296.003 1 3. Kolaka 2 40 41 264.149 2 4. Buton 11 37 48 270.100 2 5. Kota Kendari 2 30 32 227.190 1 6. Kota Bau-bau 4 41 45 121.416 4 7. Konawe Selatan 1 4 5 226.734 0 8. Bombana 5 14 19 106.181 2 9. Kolaka Utara 4 9 13 96.784 1 10 Wakatobi 0 14 14 95.574 1 Jumlah 31 233 264 1.959.414 1,3 Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dink 6
Page | 27
Cara Penularan Lepra Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multy basillary (MB) ke orang lain dengan cara penularan langsung(droplet), namun demikian belum diketahui pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang membutuhkan waktu yang relatif lama, tergantung dari beberapa faktor antara lain : Faktor penyebab Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid yang dapat menimbulkan penularan, selain itu kuman kusta juga mempunyai waktu pembelahan yang lama yaitu 2-3 minggu; Faktor sumber penularan Penderita kusta tipe MB di anggap sebagai satu-satunya sumber penularan penyakit kusta meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus putih. Penderita tipe MB ini apabila sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO secara teratur tidak menjadi sumber penularan lagi; Faktor daya tahan tubuh Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang dalam lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut, yaitu : 1). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan kelompok terbesar yang telah atau menjadi resisten terhadap kuman kusta; 2). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh rendah terhadap kuman kusta mungkin akan menderita penyakit kusta yang ringan (PB); 3). Manusia (host) yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta merupakan kelompok kecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan progresif.
Faktor yang berperan dalam penularan Pada usia anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijangkiti Ras bang sa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti Kesadaran sosial: umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah Lingkungan: fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
Page | 28
Faktor Penularan Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain : a. Faktor sumber penularan Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. b. Faktor kuman kusta Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan. c. Faktor daya tahan tubuh Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. 4
Manifestasi Klinik dan Diagnosis Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa peemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign, yaitu : 1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa . Page | 29
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi )atau kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi ). 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa. b.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise). c.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak. 3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. 5
Klasifikasi kusta Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya menentukan type/klasifikasi penyakit kusta yang diderita, penentuan type penyakit kusta pada seseorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu 5 : Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB). Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO adalah sebagai berikut : Tanda Utama Tipe PB Tipe MB Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah <5 Penebalan saraf yang disertai gangguan Fungsi (mati/kurang rasa / kelemahan otot yang dipersarafi). Hanya 1 saja Lebih dari 1 saraf Sedian hapus BTA negatif BTA positif
Cara penemuan penderita A. Penemuan Penderita Secara Pasif (Sukarela) Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum pernah berobat kusta datang sendiri atau saran orang lain ketempat pelayanan kesehatan terutama pada puskesmas maupun dokter praktek umum dan sarana pengobatan lainnya. Pada saat datang umumnya penderita sudah dalam stadium lanjut. Oleh karena itu untuk pencegahan penyakit kusta Page | 30
secara dini petugas kesehatan harus rajin memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai tandatanda mengenai penyakit kusta. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat kepuskesmas/sarana kesehatan lainnya:
a. Tidak mengerti tanda dini kusta. b. Malu datang kePuskesmas. c. Adanya Puskesmas yang belum siap d. Tidak tahu bahwa ada obat tersedia Cuma-Cuma di Puskesmas. e. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh. B. Penemuan Penderita Secara Aktif Penemuan penderita secara aktif dapat dilaksanakan dalam beberapa kegiatan yaitu : Pemeriksaan kontak serumah (survai kontak). a. Tujuan: 1. Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum lama ada dan belum berobat (index case). 2. Mencari penderita baru yang mungkin ada. b. Sasaran: Pemeriksaan ditujukan pada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita. c. Frekuensi pemeriksaan: Pemeriksaan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali dimulai pada saat anggota keluarga dinyatakan sakit kusta pertama kali dan perhatian khusus ditujukan pada kontak tipe MB. d. Pelaksanaan: 1. Membawa kartu kuning (kartu penderita), dari penderita yang sudah dicatat dan membawa kartu penderita kosong. 2. Mendatangi rumah penderita dan memeriksa anggota keluarga penderita yang tercatat dalam kolom yang tersedia pada kartu kuning. 3. Bila ditemukan penderita baru dari pemeriksaan itu maka dibuat kartu baru dan dicatat sebagai penderita baru. 4. Memberika penyuluhan kepada penderita dan anggota keluarganya. Selain langkah- langkah yang ditempuh di atas maka untuk penemuan penderita kusta dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada kelompok masyarakat yang dicurigai adanya penderita kusta, anak-anak sekolah didaerah yang pernah dijumpai kasus penyakit kusta.
Page | 31
Untuk melakukan survei khusus disekolah yang yang ingin dilakukan pemeriksaan, perlu dibina kerja sama dengan UKS dan guru-guru sekolah. Perlu diberikan penyuluhan kesehatan terlebih dahulu kepada murid-murid bertempat dilapangan upacara atau didalam suatu ruangan besar bila memungkinkan. Pertemuan atau penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan disekolah hendaknya dilaksanakan dengan menggunakan media yang mudah dipahami oleh anak-anak sekolah, misalnya dengan menggunakan alat bantu audio visual, yang dilengkapi dengan gambar-gambar. Gambar yang perlu ditampilkan mulai dari orang yang terpapar dengan penyakit kusta, dengan tanda-tanda bercak-bercak dipermukaan kulit penderita sampai dengan kelainan yang ditimbulan akibat penyakit kusta yang dapat menimbulkan kecacatan pada anggota tubuh. Selain penyuluhan disekolah-sekolah juga perlu diberikan penyuluhan pada masyarakat karena penyakit ini dewasa ini masih banyak dijumpai dimasyarakat, misalnya penyuluhan yang diberikan melalui kelurahan yang dikoordinir oleh petugas kesehatan, dimana materi yang disampaikan mulai dari gambaran penyakit kusta dan tanda-tanda khas yang diperlihatkan akibat penyakit ini.
Pengobatan 1.Tujuan Pengobatan adalah ; a.Memutus mata rantai penularan . b.Menyembuhkan penyakit Penderita . c).Mencegah Terjadinya cacat. 7
2.Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie). WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT Yaitu : a.Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 Dewasa. Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ). 1). Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg ). 2). Satu tab Dapson /DDs 100 mg . Pengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone /DDS 100 mg 1 blister untuk satu bulan) lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan . b.Penderita Multi-Basiler ( MB ) Dewasa Pengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ). 1). Tiga capsul Rifampicin @300 mg ( 600 ). 2).Tiga Tablet Lampren @100 mg ( 300 ). 3). Satu tablet Dapsone @100 mg . Page | 32
Pengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet Dapsone /DDS 100 mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan. 7
3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut : Type PB Jenis obat < 5 thn 5-9 thn 10-14 thn >15 thn Keterangan Rifampisin Berdasarkan berat badan 300mg/bl 450mg/bl 600 mg/bl Minum depan petugas 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum depan petugas DDS 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum dirumah
Type MB Jenis obat < 5 thn 5-9 thn 10-14 thn >15 thn Keterangan Rifampisin Berdasarkan berat badan 300mg/bl 450mg/bl 600 mg/bl Minum depan petugas 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum depan petugas DDS 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum dirumah Clofazimin 100 mg/bl 150 mg/bl 300 mg/bl Minum depan petugas 50 mg 2x seminggu 50mg/2hr 50 mg/hr Minum di rumah
Program Pemberantasan Kusta Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat. 4,5
Tujuan Program Jangka Panjang a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di antara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin. Page | 33
b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar dan penderita baru. c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan dan untuk MB 18 bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan cermat. d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular langsung Departemen Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171 e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan terjadi cacat baru. f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia. g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB. h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan program. 4,5
Tujuan Program Jangka Pendek Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan penyakit kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk secara nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah kesehatan masyarakat.
Penanggulangan Penyakit Kusta Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui : 1. Penemuan penderita secara dini. Page | 34
2. Pengobatan penderita. 3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta. 4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta. 5. Rehabilitasi penderita kusta.
Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif. Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya, ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadappasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk penyakit kusta. Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali Page | 35
direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri 4,5
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.. Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat secara gratis. Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.
Program MDT Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat- obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 4,5
Obat dalam rejimen MDT-WHO a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. Page | 36
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus : 1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti. Semua bercak masih nampak. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan. Semua syaraf yang masih tebal. Semua cacat yang masih ada. 2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar). 3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu : Pengobatan telah selesai. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang
Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi Rehabilitasi Medik Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari Page | 37
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna. 4
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu : 1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur. 2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan. 3. Kontrol nyeri. 4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit. Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah : a. Pemeliharaan kulit harian : 1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan detergen) 2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin 3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas. 4. kulit digosok dengan minyak. 5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-lain) b. Proteksi tangan dan kaki 1. Tangan : - pakai sarung tangan waktu bekerja - stop merokok Page | 38
- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung - lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut 2. Kaki - selalu pakai alas kaki - batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan - meninggikan kaki bila berbaring
c. Latihan fisioterapi Tujuan latihan adalah : Cegah kontraktur Peninkatan fungsi gerak Peningkatan kekuatan otot Peningkatan daya tahan (endurance) 1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak. 2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri 3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak. 4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan. d. Bidai Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi. e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi. f. Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien. Page | 39
1. latihan reedukasi motorik - diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan. - Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari, sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat. - Gerak terampil tangan dan jari - Latihan posisi dan postur pasif dan aktif. 2. latihan reedukasi sensorik - Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional juga meningkat - Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan hangat. - Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.
3. latihan aktivitas menolong diri 4. latihan aktivitas rumah tangga 5. latihan aktivitas kerja 6. latihan daya tahan kerja g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi psikososial 4
Pencegahan Penyakit Kusta Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier. 4
1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal Page | 40
hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi. 5
2. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit. 5
3. Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik. Pencegahan Kecacatan M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom. Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah : a) I mpairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik. b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. 4,5
Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi. Page | 41
b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : a) Cacat pada tangan dan kaki : Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis b) Cacat pada mata : Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus) Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu Upaya pencegahan cacat terdiri atas : a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : - Pengobatan secara teratur dan adekuat - Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis - Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : - Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka - Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur - Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan - Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksi Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot. 4,5
Page | 42
KESIMPULAN Dokter keluarga merupakan profesi dokter yang dapat mencegah terjadinya pembengkakkan biaya dengan cara memperhatikan riwayat daripada suatu keluarga. Dengan tindakan seperti itulah dokter keluarga dapat mencegah penyakit yang akan timbul. Dan ini pula yang dilewati oleh dokter praktek umum. Dokter keluarga juga dapat berperan sebagaimana layaknya dokter praktek umum, yaitu sama-sama sebagai five stars doctor dimana mereka menjadicommunicator, care provider, decision maker, community leader dan manager. Selain itu juga, dokter keluarga tergabung dalam organisasi Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI). PDKI terbentuk pada tahun 2003 dengan anggotanya adalah dokter praktik umum (IDI) yang juga bekerja sebagai pelayanan jasa primer. Kemudian, pada kongres selanjutnya mendirikan kolega yaitu Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI). Namun, ada juga perbedaan antara dokter praktik umum dan dokter keluarga yang dapat dilihat dari cakupan pelayanan, sifat pelayanan, cara pelayanan, jenis pelayanan, dan lain-lain. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta. Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe Page | 43
tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL) Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu : Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit Alis rambut rontok Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
DAFTAR PUSTAKA 1. Danakusuma, Muhyidin. Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas. IDI : Jakarta. 2005. Hal : 67-71 2. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga. Binarupa Aksara: Jakarta. 2002. Hal: 91-115 3. Danasari. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta. 2008. Hal : 32-38 4. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: MedicalMultimedia, 2005; 68-9.15. 5. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2005 Hal : 128-135 6. Epidemiologi Penyakit Kusta. Diunduh dari http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/ definisi-dan-epidemiologi-penyakit.html 1 Juli 2013 7. Syarif A. Farmakologi dan Terapi. 5 th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007 hal 180-187. 8. Ditjen BKAK, PMD dan BKM Dep. Kes. RI, Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas, jakarta, 2007; 138-40.
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis