Anda di halaman 1dari 43

Page | 1

Kedokteran Keluarga Terhadap Penyakit Kusta


Ali Husain Abdul Kadir
Mahasiswa Semester VI
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11510
10.2011.435
Email : areliwhosign@yahoo.com

PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kedokteran dan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau sudah sangat didambakan. Sehingga merupakan tugas profesi untuk
mewujudkannya seoptimal mungkin agar masyarakat tetap dan semakin percaya pada sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia.
1,2

Definisi dokter keluarga atau dokter praktek umum yang dicanangkan oleh WONCA
pada tahun 1991 adalah dokter yang mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif
bagi semua orang yang mencari pelayanan kedokteran dan mengatur pelayanan oleh provider
lain bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia, jenis kelamin ataupun
jenis penyakit. Dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan dalam
lingkup komunitas dari individu tersebut tanpa membedakan ras, budaya dan tingkatan sosial.
Secara klinis dokter ini berkompeten untuk menyediakan pelayanan dengan sangat
mempertimbangkan dan memperhatikan latar budaya, sosial ekonomi dan psikologis pasien.
Sebagai tambahan, dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya.
1,2

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan
yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang
dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial
sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari
penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh
terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
Page | 2

mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit,
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut
sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta
adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan
masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial.

Skenario 4
Seorang bapak (45 tahun) membawa anaknya laki-laki bernama.yang berumur 14
tahun ke puskesmas untuk berobat. Di punggung dan lengan anaknya terdapat bercak- bercak
keputihan. Dokter menduga anak itu terkena kusta karena ia berasal suatu wilayah yang
memang endemis+kusta. Dokter melakukan kunjungan tinggal di rumah ukuran 4x4 m di
pemukiman padat penduduk. Lantai rumah sebagian masih tanah. Sinar matahari sulit masuk
ke dalam rumah. Keadaan rumah lembab. Di rumah itu dihuni oleh 5 orang yang terdiri dari
bapak, ibu dan 3 orang anaknya yang masing-masing berumur 14 tahun (laki-laki), 9 tahun
(perempuan) dan 6 tahun (laki-laki). Ternyata ibu dari anak-anak tersebut pernah diobati
kusta 3 tahun lalu tapi tidak selesai.

PEMBAHASAN
Dokter Keluarga
Pengertian Dokter Keluarga
Definisi kedokteran keluarga (IKK FK-UI 1996) adalah disiplin ilmu kedokteran yang
mempelajari dinamika kehidupan keluarga, pengaruh penyakit terhadap fungsi keluarga,
pengaruh fungsi keluarga terhadap timbul dan berkembangnya penyakit, cara pendekatan
kesehatan untuk mengembalikan fungsi tubuh sekaligus fungsi keluarga agar dalam keadaan
normal. Setiap dokter yang mengabdikan dirinya dalam bidang profesi dokter maupun
kesehatan yang memiliki pengetahuan, keterampilan melalui pendidikan khusus di bidang
kedokteran keluarga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek dokter
keluarga.
Page | 3

Definisi kedokteran keluarga (PB IDI 1983) adalah ilmu kedokteran yang mencakup
seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya untuk memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada kesatuan individu, keluarga,
masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan sosial budaya.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama dikenal sebagai primary health care, yang mencangkup
tujuh pelayanan (Muhyidin, 1996) :
1. Promosi kesehatan
2. KIA
3. KB
4. Gizi
5. Kesehatan lingkungan
6. Pengendalian penyakit menular
7. Pengobatan dasar
1,2


Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Tujuan pelayanan dokter keluarga mencakup bidang yang amat luas sekali. Jika
disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam (Azwar, 1995) :

1. Tujuan Umum
Tujuan umum pelayanan dokter keluarga adalah sama dengan tujuan pelayanan
kedokteran dan atau pelayanan kesehatan pada umumnya, yakni terwujudnya keadaan sehat
bagi setiap anggota keluarga.
2

2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus pelayanan dokter keluarga dapat dibedakan atas dua macam :
a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif.
Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga memang
lebih efektif. Ini disebabkan karena dalam menangani suatu masalah kesehatan, perhatian
tidak hanya ditujukan pada keluhan yang disampaikan saja, tetapi pada pasien sebagai
manusia seutuhnya, dan bahkan sebagai bagian dari anggota keluarga dengan lingkungannya
masing-masing. Dengan diperhatikannya berbagai faktor yang seperti ini, maka pengelolaan
suatu masalah kesehatan akan dapat dilakukan secara sempurna dan karena itu penyelesaian
suatu masalah kesehatan akan dapat pula diharapkan lebih memuaskan.
b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efisien.
Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga juga lebih
Page | 4

mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Dengan diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit,
maka berarti angka jatuh sakit akan menurun, yang apabila dapat dipertahankan, pada
gilirannya akan berperan besar dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal yang sama juga
ditemukan pada pelayanan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Karena salah
satu keuntungan dari pelayanan yang seperti ini ialah dapat dihindarkannya tindakan dan atau
pemeriksaan kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah
penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu bersifat terbatas.
2


Manfaat Pelayanan Dokter Keluarga
Apabila pelayanan dokter keluarga dapat diselenggarakan dengan baik, akan banyak
manfaat yang diperoleh. Manfaat yang dimaksud antara lain adalah (Cambridge Research
Institute, 1976)
1. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya,
bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan.
2. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin
kesinambungan pelayanan kesehatan.
3. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah,
terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini.
4. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga penanganan
suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya.
5. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala keterangan
tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan ataupun keterangan
keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang
sedang dihadapi.
6. Akan dapat diperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit,
termasuk faktor sosial dan psikologis.
7. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara yang lebih
sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya
kesehatan.
8. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan.
2,3


Page | 5

Fungsi, Tugas dan Kompetensi Dokter Keluarga
Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azrul Azwar, dkk. 2004) :
a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)
Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu dan
sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas, lingkungannya,
dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, komprehensif,
kontinu, dan personal dalam jangka waktu panjang dalam wujud hubungan
profesional dokter-pasien yang saling menghargai dan mempercayai. Juga sebagai
pelayanan komprehensif yang manusiawi namun tetap dapat dapat diaudit dan
dipertangungjawabkan
b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan)
Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan yang efektif
sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatannya sendiri serta memicu perubahan cara berpikir menuju
sehat dan mandiri kepada pasien dan komunitasnya
c. Decision Maker (Pembuat Keputusan)
Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan teknologi
kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan mempertimbangkan
harapan pasien, nilai etika, cost effectiveness untuk kepentingan pasien
sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah dan empatik
d. Manager
Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi di dalam
maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan pasien dan
komunitasnya berdasarkan data kesehatan yang ada. Menjadi dokter yang cakap
memimpin klinik, sehat, sejahtera, dan bijaksana

e. Community Leader (Pemimpin Masyarakat)
Yang memperoleh kepercayaan dari komunitas pasien yang dilayaninya,
menyearahkan kebutuhan kesehatan individu dan komunitasnya, memberikan
nasihat kepada kelompok penduduk dan melakukan kegaiatan atas nama
masyarakat dan menjadi panutan masyarakat
2

Selain fungsi, ada pula tugas dokter keluarga, yaitu :
a. Mendiagnosis dan memberikan pelayanan aktif saat sehat dan sakit
b. Melayani individu dan keluarganya
Page | 6

c. Membina dan mengikut sertakan keluarga dalam upaya penanganan penyakit
d. Menangani penyakit akut dan kronik
e. Merujuk ke dokter spesialis
Kewajiban dokter keluarga :
a. Menjunjung tinggi profesionalisme
b. Menerapkan prinsip kedokteran keluarga dalam praktek
c. Bekerja dalam tim kesehatan
d. Menjadi sumber daya kesehatan
e. Melakukan riset untuk pengembangan layanan primer
Kompetensi dokter keluarga yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter
Keluarga yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia tahun 2006
adalah (Danasari, 2008) :
a. Keterampilan komunikasi efektif
b. Keterampilan klinik dasar
c. Keterampilan menerapkan dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan
epidemiologi dalam praktek kedokteran keluarga
d. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga ataupun
masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, berkesinambungan,
terkoordinir dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer
e. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi
f. Mawas diri dan pengembangan diri atau belajar sepanjang hayat
g. Etika moral dan profesionalisme dalam praktek
2


Organisasi Pada Dokter Keluarga
Pada dokter keluarga, memiliki 2 organisasi yang akan dibahas sebagai berikut :
a. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) yang saat ini seluruh anggotanya adalah
Dokter Praktik Umum (DPU) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah anggota
yang telah mendaftar sekitar 3000 orang. Semua anggota PDKI adalah anggota IDI. PDKI
merupakan organisasi profesi dokter penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer yang
utama.
2,3

Ciri dokter layanan primer adalah (Danasari, 2008) :
1. Menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan
berkelanjutan (continuing care)
Page | 7

2. Membuat diagnosis medis dan penangannnya
3. Membuat diagnosis psikologis dan penangannya
4. Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar belakang
dan berbagai stadium penyakit
5. Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan melalui
penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit, terapi preventif,
dan perubahan perilaku.
Setiap dokter yang menyelenggarakan pelayanan seperti di atas dapat menjadi
anggota PDKI. Anggota PDKI adalah semua dokter penyelenggara pelayanan
kesehatan tingkat primer baik yang baru lulus maupun yang telah lama berpraktik
sebagai Dokter Praktik Umum.
Dokter penyelenggara tingkat primer, yaitu :
1. Dokter praktik umum yang praktik pribadi
2. Dokter keluarga yang praktik pribadi
3. Dokter layanan primer lainnya seperti :
a. Dokter praktik umum yang bersama
b. Dokter perusahaan
c. Dokter bandara
d. Dokter pelabuhan
e. Dokter kampus
f. Dokter pesantren
g. Dokter haji
h. Dokter puskesmas
i. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat
j. Dokter yang bekerja di poliklinik umum RS
k. Dokter praktik umum yang bekerja di bagian pelayanan khusus

Sejarah PDKI
PDKI pada awalnya merupakan sebuah kelompok studi yang bernama Kelompok
Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983), sebuah organisasi dokter seminat di bawah IDI.
Anggotanya beragam, terdiri atas dokter praktik umum dan dokter spesialis. Pada tahun 1986,
menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia (WONCA). Pada tahun 1990, setelah
Page | 8

Kongres Nasional di Bogor, yang bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik
di Bali, namanya diubah menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), namun tetap
sebagai organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003, dalam Kongres Nasional di Surabaya,
ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum,
dengan nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum
mempunyai kolegium yang berfungsi.

Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu Kedokteran
Keluarga (KIKK) dan telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Masyarakat
Kestabilan dan Kendali Indonesia (MKKI).
Continuing Professional Development (CPD) yang dilakukan oleh Perhimpunan
Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) adalah :
1. Pelatihan Paket A : Pengenalan Konsep Dokter Keluarga
2. Pelatihan Paket B : Manajemen Pelayanan Dokter Keluarga
3. Pelatihan Paket C : Pengetahuan Medis Dasar dan Keterampilan Teknis Medis
4. Pelatihan Paket D : Pengetahuan Mutakhir Kedokteran
5. Konversi DPU menjadi DK bagi dokter yang telah praktek 5 tahun atau lebih dan
masih punya izin praktek dengan mengisi borang yang telah disediakan sampai
tahun 2012, setelah itu bila ingin jadi dokter keluarga harus mengikuti
pendidikan formal baik S2 atau spesialis DK
6. Pengisian modul DK
7. Kerja sama dengan Australia dengan mengisi modul online

b. Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia ( KIKKI )
Dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus 2006 2 September
2006, dan telah dilaporkan ke PB IDI Pusat dan MKKI. Kolegium memang harus ada
dalam sebuah organisasi profesi. Jadi PDKI harus mempunyai kolegium yang akan
memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada setiap anggotanya. Dalam
PDKI lembaga ini yang diangkat oleh kongres dan bertugas sebagai berikut :
2

1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan
yang ditetapkan kongres
2. Mempunyai kewenangan menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang kedokteran
keluarga
Page | 9

3. Mengkoordinasikan kegiatan kolegium kedokteran
4. Mewakili PDKI dalam pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
5. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga beserta
kurikulumnya
6. Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan profesi
kedokteran keluarga
7. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi)
8. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan untuk
pendidikan dokter keluarga
9. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
Angota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat integritas
dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian anggotanya. Atas
anjuran dan himbauan IDI sebaiknya KIKK digabung dengan KDI karena keduanya
menerbitan sertifikat kompetensi untuk Dokter Pelayanan Primer (DPP). Setelah
melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya bergabung dengan nama Kolegium
Dokter dan Dokter Keluarga (KDDKI) yang untuk sementara melanjutkan tugas
masing-masing, unsur KDI memberikan sertifikat kepada dokter yang baru lulus
sedangkan unsur KIKK memberikan sertifikat kompetensi (resertifikasi) kepada DPP
yang akan mendaftar kembali ke KKI (Qomariah, 2000).
2

Perbedaan Dokter Praktek Umum dan Dokter Keluarga
Tabel ini menjelaskan tentang perbedaan antara dokter praktek umum dengan dokter
keluarga (Qomariah, 2000) :
2


DOKTER PRAKTEK
UMUM
DOKTER KELUARGA
Cakupan Pelayanan Terbatas Lebih Luas
Sifat Pelayanan Sesuai Keluhan
Menyeluruh, Paripurna,
bukan sekedar yang
dikeluhkan
Cara Pelayanan
Kasus per kasus dengan
pengamatan sesaat
Kasus per kasus dengan
berkesinambungan
sepanjang hayat
Jenis Pelayanan Lebih kuratif hanya untuk Lebih kearah
Page | 10

penyakit tertentu pencegahan, tanpa
mengabaikan pengobatan
dan rehabilitasi
Peran keluarga Kurang dipertimbangkan
Lebih diperhatikan dan
dilibatkan
Promotif dan pencegahan Tidak jadi perhatian Jadi perhatian utama
Hubungan dokter-pasien Dokter pasien
Dokter pasien teman
sejawat dan konsultan
Awal pelayanan Secara individual
Secara individual sebagai
bagian dari keluarga
komunitas dan
lingkungan


Morbus Hansen (Kusta)
Latar belakang
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya
penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk
lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional
kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian
besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Di Indonesia,
pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan
kesehatan (Puskesmas, sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang
dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT)
mulai digunakan di Indonesia.
Page | 11

Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan
keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan
periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak
menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati,
penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan
yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus
diantara penyakitpenyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut
yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab
penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan.Darisudut
pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang
bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional.
Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke
masalah sosial.
Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seluruh lapisan masalah masyarakat karena
dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul.
Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter
yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut
terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut
dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap
usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan
apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.

Definisi
Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada
manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah k
usta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Page | 12

Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan
kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya.

Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk
batang tahan asam yang termasuk
familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan ge
netik dengan mikobakterium lainnya. Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah
mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah pecah (fragmented), bentuk granular
(granulated), bentuk globus dan bentuk clumps.
Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana
dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak
merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus
atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau
granulated mengandung ikatan atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah
kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok
yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular
membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA .


Type Lepra
Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley dan
Jopling
TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Puskesmas PB MB
Page | 13

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa
perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)
Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Lepromatosa
(BL)
Mid Borderline (BB)
Lesi:
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
- Permukaan
- Batas
- Anestesia
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Tidak ada sampai tidak
jelas
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas
Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out
Dapat dihitung, kulit sehat
jelas ada
Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit
- Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Bannyak (ada globus)
Banyak
Biasanya negatif
Agak banyak
Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)
Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline Tuberculoid
(BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
- Bentuk
- Jumlah
- Distribusi
Makula saja, makula
dibatasi infiltrat
Satu, dapat beberapa
Asimetris
Makula dibatasi
infiltrat: infiltrat saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Hanya makula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak berkilat
Page | 14

- Permukaan
- Batas
- Anestesia
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit
Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative


Pemeriksaan
a.Anamnesis
1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
2). Apakah ada riwayat kontak .
3). Riwayat pengobatan sebelumnya.
b.Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian
disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk
pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari
telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk
bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas,
maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian
untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin
karena pada tempat ini kulit lebih tebal.

c.Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf
ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada
saraf-saraf utama.

Tehnik Pemeriksaan Saraf .
a.Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit
ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri
Page | 15

pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken
diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis ).
Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas
dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .


b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan
rilek.
2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri
penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .
3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian
luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang
(caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf
peroneus 1 cm kearah belakang
4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri
sambil melihat mimik / reaksi penderita .
c.Saraf Tibialis Posterior .
1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian
belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan
menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa
memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien )
3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari
penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata,
Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan :
ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.

Cara pemeriksaan Fungsi Saraf .
Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki .
a. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis )
Page | 16

1).Penderita diminta memejamkan mata.
2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak ,
apakah ada celah.
3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, missal
lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus)
tidak dilakukan dilapangan .

b.Tangan
1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita
atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari
tersangga .
b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau
dua titik pada telapak tangan
c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .
e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang
diperiksa.
f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis .
a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
(1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita
dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking
/5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa .
(2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari
lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada
posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada bagian
pangkal kelingking.
Page | 17

Penilaian :
(a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya
berarti lumpuh.
(b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah .
(c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan
dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat.
(d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari
manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada
tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .

Penilaian :
(e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .
(f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat
b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
(1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan
penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi .
(2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan
penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk
mempertahankan posisi tersebut.
(3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara
punggung dengan telapak mendekati telapak tangan .
Penilaian :
(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
(b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
(c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
(1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita
.
(2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas (ektensi
).
(3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan
pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi .
Penilaian :
Page | 18

(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
(b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
(c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa
digerakkan keatas)

c. Kaki
1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )
a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap
keatas .
b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm.
e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

2).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ).
a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit
tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit).
b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan
kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai .
Keterangan:
c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas).

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan Bakterioskopik
Pewarnaan Ziehl Neelsen
Bahan dari 6 lokasi: lesi kulit (2), cuping telinga (2), kulit distal telunjuk/tengah (2)
Bahan biopsi kulit atu saraf
Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan melihat
kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular)
Indek Bakteri (IB):




Page | 19

0 BTA (-)
1 - 10/ 100 LP +1
1 - 10/ 10 LP +2
1 10/ 1 LP +3
10 100/ 1 LP +4
100 1000/ 1 LP +5
>1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati
Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat infeksisitas
penyakit.
o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL)
Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit)
Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)
Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita terhadap
penyakit kusta.

o Pemeriksaan serologic
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta
1. Faktor Internal.
a.Umur.
Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari
pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat
sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya
juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara
perlahan-lahan menurun.
b.Jenis kelamin.
Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian
besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkanbahwa laki-laki lebih
banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadiankusta pada wanita
kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi sepertikebanyakan pada penyakit
Page | 20

menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya
hidupnya.
c.Daya tahan tubuh seseorang.
Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan
rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama
bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnyamenurun bisa terinfeksi,
misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.
d. Etnik/suku.
Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat
karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama
kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di
Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa
lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian
di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa
dan Melayu.

2. Faktor Ekternal.
a.Kepadatan hunian
Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni
yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang
menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif
bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman
kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh
ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan
tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.
Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status
kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan
persyaratan sebagai berikut :




Page | 21

1). Bahan bangunan memenuhi syarat :
a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan,
karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.
b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi
kurang lebih baik dari papan .
c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidakcocok
untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas
di dalam rumah.
2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai, karena
ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam
kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40
70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni
rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat
diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah
adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae
tumbuh optimal pada suhu37C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh
Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan
bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan
jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan
menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat ,
sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota
keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang
lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni
( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila
kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura
kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan
sehingga angka prevalensi lebih besar.

Page | 22

b. Perilaku
Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap
stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses :
Stimulus Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R
_Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon
seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan
minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan
dibagi dua, yakni :
1).Perilaku sehat (healty behavior )
Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit (
perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku
promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi,
menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara
bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal,
kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda
awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat
datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih
sulit dan resiko cacat lebih besar.

2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang
diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya
pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan
modern atau professional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya( Soekidjo
Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan,
dan membagi menjadi tiga, yakni :
1. Perilaku Sehat (healhty behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan, misalnya :
a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.
b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan menyebabkan
bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.
c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal,
kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang
Page | 23

kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.
d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.
e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.
2. Perilaku Sakit(illness behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk mencari
penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.
3. Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak-
haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).

Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk
memperoleh kesembuhan.
c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat .
d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo
Notoatmodjo, 2010 )
c. Sosial Ekonomi
Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan
kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi
dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga
menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan
yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah
tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk
menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman
(misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu
membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akanterganggu.

Epidemiologi
Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis
dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja.Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita
Page | 24

kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan
jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit
kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108
kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik
kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia
terdapat.
6



b. Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,
perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka
manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara
isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.
Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
6

Daerah
Prevalensi
terdaftar
(rate/10,000 pop.)
Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814
Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780
Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635
Mediterania
Timur
4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137
Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
Page | 25

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia
sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi
salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan
oleh WHO yaitu tahun 2000.
6

Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat
pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan
tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per
10.000 penduduk menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi
menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta
(0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah di
propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran prevalendi
di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi
terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering terjadi konflik.
6

Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB
(76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061
dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan
75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001
dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per
100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di
Propinsi Papua (49,65) dan terendah di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002
tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan terendah di Propinsi Bengkulu (0,250. Cakupan
penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta
sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785
kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan
kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus
pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.
Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini
Page | 26

bersama Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.
6

c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara
Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267
penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten
yaitu kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41
penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota
Bau-bau sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita,
Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
No Kabupaten/Kota Penderita Jml
Penduduk
Prevalensi/10.000
pnddk
PB MB Total
1. Konawe 1 20 21 255.283 1
2. Muna 2 24 26 296.003 1
3. Kolaka 2 40 41 264.149 2
4. Buton 11 37 48 270.100 2
5. Kota Kendari 2 30 32 227.190 1
6. Kota Bau-bau 4 41 45 121.416 4
7. Konawe Selatan 1 4 5 226.734 0
8. Bombana 5 14 19 106.181 2
9. Kolaka Utara 4 9 13 96.784 1
10 Wakatobi 0 14 14 95.574 1
Jumlah 31 233 264 1.959.414 1,3
Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dink
6



Page | 27

Cara Penularan Lepra
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multy basillary (MB) ke orang
lain dengan cara penularan langsung(droplet), namun demikian belum diketahui pasti
bagaimana cara penularan penyakit kusta. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang
membutuhkan waktu yang relatif lama, tergantung dari beberapa faktor antara lain :
Faktor penyebab
Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari tergantung pada
suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid yang dapat menimbulkan
penularan, selain itu kuman kusta juga mempunyai waktu pembelahan yang lama yaitu 2-3
minggu;
Faktor sumber penularan
Penderita kusta tipe MB di anggap sebagai satu-satunya sumber penularan penyakit kusta
meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus
putih. Penderita tipe MB ini apabila sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO secara
teratur tidak menjadi sumber penularan lagi;
Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang dalam
lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut, yaitu :
1). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan kelompok
terbesar yang telah atau menjadi resisten terhadap kuman kusta;
2). Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh rendah terhadap kuman kusta mungkin
akan menderita penyakit kusta yang ringan (PB);
3). Manusia (host) yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta merupakan
kelompok kecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan progresif.

Faktor yang berperan dalam penularan
Pada usia anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijangkiti
Ras bang sa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
Kesadaran sosial: umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan
tingkat sosial ekonomi rendah
Lingkungan: fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat




Page | 28

Faktor Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain
dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan
kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sumber penularan
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan menularkan kusta
apabila berobat teratur.
b. Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu dan
cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian menunjukkan
gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang
sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan
pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan
gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
4



Manifestasi Klinik dan Diagnosis
Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan
diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah seseorang
yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa peemeriksaan bakteriologik dan
memerlukan pengobatan.
Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam
menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign,
yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa .
Page | 29

Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi )atau
kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.ganggguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).gangguan fungsi saraf
ini bisa berupa :

a.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada kasus yang meragukan.
5


Klasifikasi kusta
Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya menentukan type/klasifikasi
penyakit kusta yang diderita, penentuan type penyakit kusta pada seseorang penderita disebut
klasifikasi penyakit kusta. Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya
dibagi dalam 2 tipe yaitu
5
:
Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB).
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut :
Tanda Utama Tipe PB Tipe MB
Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah <5
Penebalan saraf yang disertai
gangguan Fungsi (mati/kurang rasa /
kelemahan otot yang dipersarafi).
Hanya 1 saja Lebih dari 1 saraf
Sedian hapus BTA negatif BTA positif

Cara penemuan penderita
A. Penemuan Penderita Secara Pasif (Sukarela)
Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum pernah berobat kusta datang
sendiri atau saran orang lain ketempat pelayanan kesehatan terutama pada puskesmas
maupun dokter praktek umum dan sarana pengobatan lainnya. Pada saat datang umumnya
penderita sudah dalam stadium lanjut. Oleh karena itu untuk pencegahan penyakit kusta
Page | 30

secara dini petugas kesehatan harus rajin memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai
tandatanda mengenai penyakit kusta.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat kepuskesmas/sarana
kesehatan lainnya:

a. Tidak mengerti tanda dini kusta.
b. Malu datang kePuskesmas.
c. Adanya Puskesmas yang belum siap
d. Tidak tahu bahwa ada obat tersedia Cuma-Cuma di Puskesmas.
e. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
B. Penemuan Penderita Secara Aktif
Penemuan penderita secara aktif dapat dilaksanakan dalam beberapa kegiatan yaitu :
Pemeriksaan kontak serumah (survai kontak).
a. Tujuan:
1. Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum lama ada dan belum
berobat (index case).
2. Mencari penderita baru yang mungkin ada.
b. Sasaran:
Pemeriksaan ditujukan pada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita.
c. Frekuensi pemeriksaan:
Pemeriksaan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali dimulai pada saat anggota keluarga
dinyatakan sakit kusta pertama kali dan perhatian khusus ditujukan pada kontak tipe MB.
d. Pelaksanaan:
1. Membawa kartu kuning (kartu penderita), dari penderita yang sudah dicatat dan membawa
kartu penderita kosong.
2. Mendatangi rumah penderita dan memeriksa anggota keluarga penderita yang tercatat
dalam kolom yang tersedia pada kartu kuning.
3. Bila ditemukan penderita baru dari pemeriksaan itu maka dibuat kartu baru dan dicatat
sebagai penderita baru.
4. Memberika penyuluhan kepada penderita dan anggota keluarganya. Selain langkah-
langkah yang ditempuh di atas maka untuk penemuan penderita kusta dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan pada kelompok masyarakat yang dicurigai adanya penderita kusta,
anak-anak sekolah didaerah yang pernah dijumpai kasus penyakit kusta.

Page | 31

Untuk melakukan survei khusus disekolah yang yang ingin dilakukan pemeriksaan,
perlu dibina kerja sama dengan UKS dan guru-guru sekolah. Perlu diberikan penyuluhan
kesehatan terlebih dahulu kepada murid-murid bertempat dilapangan upacara atau didalam
suatu ruangan besar bila memungkinkan. Pertemuan atau penyuluhan kesehatan yang
dilaksanakan disekolah hendaknya dilaksanakan dengan menggunakan media yang mudah
dipahami oleh anak-anak sekolah, misalnya dengan menggunakan alat bantu audio visual,
yang dilengkapi dengan gambar-gambar. Gambar yang perlu ditampilkan mulai dari orang
yang terpapar dengan penyakit kusta, dengan tanda-tanda bercak-bercak dipermukaan kulit
penderita sampai dengan kelainan yang ditimbulan akibat penyakit kusta yang dapat
menimbulkan kecacatan pada anggota tubuh. Selain penyuluhan disekolah-sekolah juga perlu
diberikan penyuluhan pada masyarakat karena penyakit ini dewasa ini masih banyak
dijumpai dimasyarakat, misalnya penyuluhan yang diberikan melalui kelurahan yang
dikoordinir oleh petugas kesehatan, dimana materi yang disampaikan mulai dari gambaran
penyakit kusta dan tanda-tanda khas yang diperlihatkan akibat penyakit ini.

Pengobatan
1.Tujuan Pengobatan adalah ;
a.Memutus mata rantai penularan .
b.Menyembuhkan penyakit Penderita .
c).Mencegah Terjadinya cacat.
7

2.Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie).
WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen
MDT Yaitu :
a.Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 Dewasa.
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ).
1). Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg ).
2). Satu tab Dapson /DDs 100 mg .
Pengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone /DDS 100 mg 1 blister untuk satu bulan)
lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan .
b.Penderita Multi-Basiler ( MB ) Dewasa
Pengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ).
1). Tiga capsul Rifampicin @300 mg ( 600 ).
2).Tiga Tablet Lampren @100 mg ( 300 ).
3). Satu tablet Dapsone @100 mg .
Page | 32

Pengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet Dapsone
/DDS 100 mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum
selama 12-18 bulan.
7

3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut :
Type PB
Jenis obat < 5 thn 5-9 thn 10-14 thn >15 thn Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300mg/bl 450mg/bl 600 mg/bl Minum depan
petugas
25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum depan
petugas
DDS 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum dirumah

Type MB
Jenis obat < 5 thn 5-9 thn 10-14 thn >15 thn Keterangan
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300mg/bl 450mg/bl 600 mg/bl Minum depan
petugas
25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum depan
petugas
DDS 25 mg/bl 50 mg/bl 100 mg/bl Minum dirumah
Clofazimin 100 mg/bl 150 mg/bl 300 mg/bl Minum depan
petugas
50 mg 2x
seminggu
50mg/2hr 50 mg/hr Minum di
rumah

Program Pemberantasan Kusta
Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia
dalam melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai
penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita
dan mencegah timbulnya cacat.
4,5


Tujuan Program Jangka Panjang
a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di antara
penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.
Page | 33

b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar dan
penderita baru.
c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan dan untuk
MB 18 bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan cermat.
d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam
batas waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya
dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular
langsung Departemen Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171
e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan terjadi cacat baru.
f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat
memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia.
g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan motivasi kepada
semua penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa
pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB.
h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam memenuhi kebutuhan program.
4,5


Tujuan Program Jangka Pendek
Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan penyakit kusta menjadi kurang
dari 1/10.000 penduduk secara nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah
kesehatan masyarakat.

Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud
mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan
percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan
pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,
rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,
dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga
metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di
Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka
prevalensi penyakit kustra menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang
dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
Page | 34

2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
5. Rehabilitasi penderita kusta.

Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah
timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan
masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih
merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia.
Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu
dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang
lebih efektif.
Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan
penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan
mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat
anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya, ternyata dapson
menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi
resisten, sehingga pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu
pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan
malas berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug
Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadappasien dengan kusta multibasil dan pasien
dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan
diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk
penyakit kusta.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada
pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi
bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi
bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan
klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan
rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali
kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali
Page | 35

direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan
multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan
atau resistensi bakteri
4,5

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama
24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua
adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson..
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama
pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat
dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua
pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat secara gratis.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan
unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem
pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan
kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah,
namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam
program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.

Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-
obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan
penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.
4,5

Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada
kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta,
dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat
enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
Page | 36

c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai
efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek
antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat
ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering
merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan
hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan
Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan
kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan
peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu
lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT,
petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara
teliti.
Semua bercak masih nampak.
Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
Semua syaraf yang masih tebal.
Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung
dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi
penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
Pengobatan telah selesai.
Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai
luka.
Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang

Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan
benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari
Page | 37

pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik,
pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar
mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta
dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan
satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.
4

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik
yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk
mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi
anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk
pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan
perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan
terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik,
paralisis, dan kontraktur.
2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan
penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus
lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a. Pemeliharaan kulit harian :
1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan
detergen)
2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
4. kulit digosok dengan minyak.
5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-lain)
b. Proteksi tangan dan kaki
1. Tangan :
- pakai sarung tangan waktu bekerja
- stop merokok
Page | 38

- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung
- lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut
2. Kaki
- selalu pakai alas kaki
- batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
- meninggikan kaki bila berbaring

c. Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
Cegah kontraktur
Peninkatan fungsi gerak
Peningkatan kekuatan otot
Peningkatan daya tahan (endurance)
1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan
yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 10 kali
per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah
kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah
gerak.
2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri
3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara
berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap
berpijak.
4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas
otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.
d. Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi
deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai
dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang
ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi.
e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.
f. Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk mempertahankan
dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus
diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu
khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
Page | 39

1. latihan reedukasi motorik
- diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan.
- Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari,
sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat.
- Gerak terampil tangan dan jari
- Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.
2. latihan reedukasi sensorik
- Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien untuk
mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional
juga meningkat
- Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan
hangat.
- Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.

3. latihan aktivitas menolong diri
4. latihan aktivitas rumah tangga
5. latihan aktivitas kerja
6. latihan daya tahan kerja
g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus
dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
dijadikan titik tolak program terapi psikososial
4

Pencegahan Penyakit Kusta
Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang
bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam
mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk
dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya
pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu
: pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier.
4

1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya
pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum
dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal
Page | 40

hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan.
Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu
penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
5

2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah
sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik.
Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang
ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan
utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa
gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.
5

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan
fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat
rehabilitasi medik.
Pencegahan Kecacatan
M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf
tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom.
Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :
a) I mpairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik,
fisiologik, atau anatomik.
b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk
melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.
c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang
membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks,
dan faktor sosial budaya.
4,5

Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas
penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat
primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi
otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.
Page | 41

b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis
atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu :
a) Cacat pada tangan dan kaki :
Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b) Cacat pada mata :
Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
- Pengobatan secara teratur dan adekuat
- Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
- Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi
b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur
- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar
tidak mendapat tekanan yang berlebihan
- Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksi
Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.
4,5









Page | 42

KESIMPULAN
Dokter keluarga merupakan profesi dokter yang dapat mencegah terjadinya
pembengkakkan biaya dengan cara memperhatikan riwayat daripada suatu keluarga. Dengan
tindakan seperti itulah dokter keluarga dapat mencegah penyakit yang akan timbul. Dan ini
pula yang dilewati oleh dokter praktek umum.
Dokter keluarga juga dapat berperan sebagaimana layaknya dokter praktek umum, yaitu
sama-sama sebagai five stars doctor dimana mereka menjadicommunicator, care provider,
decision maker, community leader dan manager. Selain itu juga, dokter keluarga tergabung
dalam organisasi Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Kolegium Ilmu
Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI).
PDKI terbentuk pada tahun 2003 dengan anggotanya adalah dokter praktik umum (IDI)
yang juga bekerja sebagai pelayanan jasa primer. Kemudian, pada kongres selanjutnya
mendirikan kolega yaitu Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKKI).
Namun, ada juga perbedaan antara dokter praktik umum dan dokter keluarga yang
dapat dilihat dari cakupan pelayanan, sifat pelayanan, cara pelayanan, jenis pelayanan, dan
lain-lain.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh
manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.
Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur
termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian
Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta. Penderita
penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara sebanyak 267 penderita sedangkan
pada tahun 2006 sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten yaitu kabupaten
konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41 penderita,
kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau
sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana
sebanyak 19 penderita.
Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi
5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis.
Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe
Page | 43

tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline
lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak
terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :
Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar
dan banyak.
Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus seryta peroneus.
Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
Alis rambut rontok
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)

DAFTAR PUSTAKA
1. Danakusuma, Muhyidin. Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran
Komunitas. IDI : Jakarta. 2005. Hal : 67-71
2. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga. Binarupa Aksara:
Jakarta. 2002. Hal: 91-115
3. Danasari. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta. 2008. Hal : 32-38
4. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta:
MedicalMultimedia, 2005; 68-9.15.
5. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta: 2005 Hal : 128-135
6. Epidemiologi Penyakit Kusta. Diunduh dari http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/05/
definisi-dan-epidemiologi-penyakit.html 1 Juli 2013
7. Syarif A. Farmakologi dan Terapi. 5
th
ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007 hal 180-187.
8. Ditjen BKAK, PMD dan BKM Dep. Kes. RI, Pedoman Pengobatan Dasar Di
Puskesmas, jakarta, 2007; 138-40.

Anda mungkin juga menyukai