Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang kira-kira
berdiameter 8m, tebal bagian tepi 2 m dan ketebalannya berkurang di bagian tengah menjadi
hanya 1 mm atau kurang. Karena lunak dan lentur maka selama melewati mikrosirkulasi sel sel
ini mengalami perubahan konfigurasi. Stroma bagian luar membran sel mengandung antigen
golongan darah A dan B serta faktor Rh yang menentukan golongan darah seseorang. Komponen
utama eritrosit adalah hemoglobin protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar oksigen dan
sebagian kecil fraksi karbon dioksida dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian
dapar intraselular. Molekul-molekul Hb terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan 4
kelompok heme, masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan
pertukaran gas yang sesuai.
Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah eritrosit kira-kira 5 juta per milimeter kubik,
masing-masing eritrosit memilki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap
dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah sehari-hari. Produksi eritrosit
dirangsang oleh hormon glikoprotein, eritropoietin, yang diketahui terutama bersal dari ginjal,
dengan 10% berasal dari hepatosit hati. Produksi eritropoietin dirangsang oleh hipoksia jaringan
ginjal yang disebabkan oleh perubahan perubahan tekanan 02 atmosfer, penurunan kandungan
02 darah arteri, dan penurunan konsentrasi hemoglobin. Eritropoietin merangsang sel-sel induk
untuk memulai proliferasi dan maturasi sel-sel darah merah. Maturasi bergantung pada jumlah
zat-zat makanan yang adekuat dan penggunaannya yang sesuai, seperti vitamin B12, asam
folat,protein, zat besi dan tembaga. Dalam keadaan adanya penyakit ginjal atau tidak adanya
ginjal, anemia menjadi sangat berat karena hati tidak dapat memasok cukup eritropoetin.
(Guyton, 2001)
Seiring dengan eritrosit yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya
pecah. Hemoglobin terutama difagosit di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang serta direduksi
menjadi globin dan heme. Globin masuk kembali ke dalam kumpulan asam amino. Besi
2

dibebaskan dari heme, dan bagian yang lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke
sumsum tulang untuk produksi SDM. Sisa besi disimpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam
bentuk feritin dan hemosiderin untuk digunakan di kemudian hari. Sisa bagian heme direduksi
menjadi karbon monoksida (CO) dan bliverdin. CO diangkut dalam bentuk karboksihemoglobin,
dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi menjadi bilirubin bebas yang kemudian perlahan-
lahan dilepas ke dalam plasma, tempat bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian ke
dalam sel-sel hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu (Ganong, 1999).
Perubahan massa eritrosit menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah eritrosit
kurang, maka timbul anemia. Sebaliknya, keadaan yang jumlah eritrosit terlalu banyak disebut
polisitemia.
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak
besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya
yang demikian sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan
dilewati oleh para dokter di praktek klinik.









3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke puskesmas mengeluh badan
lemas. Keluhan ini dialami sudah sejak 8 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh ngos-
ngosan saat naik tangga. Dari pemeriksaan didapatkan tanda vital TD 110/70 mmHg,
denyut nadi 110x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, mukosa konjungtiva pucat,
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 6g/dL, MCV60 fl, MCH 20pg. Pemeriksaan
rontgen didapatkan gambaran LVH. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan lebih
lanjut.
2.2. Key Word
Seorang perempuan berusia 40 tahun
Keluhan utama : badan lemas
Keluhan ini dialami sudah sejak 8 bulan terakhir.
Pasien juga mengeluh ngos-ngosan saat naik tangga.
Pemeriksaan fisik : mukosa konjungtiva pucat, TD 110/70 mmHg, denyut nadi
110x/menit dan frekuensi nafas 24x/menit.
Pemeriksaan laboratorium : Hb 6g/dL, MCV60 fl, MCH 20pg.
Pemeriksaan rontgen didapatkan gambaran LVH.

2.3. Terminologi
Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein respiratori yang telah diidentifikasi pada tahun 1862
oleh Felix Seyler. Beliau menemukan spektrum warna hemoglobin dan
membuktikan bahwa warna ini adalah yang memberikan warna pada darah.
Protein yang terdapat dalam sel darah merah ini bertanggungjawab menjalankan
fungsi utama mengangkut oksigen ke jaringan dan membawa karbon dioksida
kembali ke paru. Komponen utama hemoglobin adalah heme dan globin.

4

Hemoglobin yang normal pada dewasa adalah hemoglobin A yang
terdiri dari empat kelompok heme dan empat rantai polipeptida dengan jumlah
keseluruhan 547 asam amino. Rantai polipeptida ini mempunyai dua rantai alfa
dan dua rantai beta. Setiap rantai ini akan mengikat satu kelompok heme. Satu
rantai alfa terbentuk daripada 141 asam amino manakala satu rantai beta pula
terbentuk daripada 146 asam amino (Turgeon, 2005).

MCV (Mean corpuscular volume)
MCV adalah ukuran atau volume rata-rata eritroit. MCV meningkat jika eritrosit
lebih besar dari biasanya (makrositik), misalnya pada anemia karena kekurangan
vitamin B12. MCV menurun jika eritrosit lebih kecil dari biasanya (mikrositik)
seperti pada anemia karena kekurangan zat besi.
MCH (Mean corpuscular hemoglobin)
MCH adalah jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit. Eritrosit yang lebih
besar (makrositik) cenderung memiliki MCH yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada
eritrosit yang lebih kecil (mikrositik) akan memiliki nilai MCH yang lebih rendah.
2.4. Permasalahan
2.4.1 Apa penyebab konjungtiva tampak pucat ?
2.4.2 Penyebab pasien merasa lemas cepat lelah dan terjadi peningkatan denyut jantung?
2.4.3 Pembahasan hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (Hb yang rendah)
dan pemeriksaan rontgen (LVH) diatas?
2.4.5 Diferential diagnosis kasus diatas !

2.5. Pembahasan

2.5.1 konjungtiva merupakan lekukan pada mata, normalnya konjungtiva itu berwarna
kemerahan, pada keadaan tertentu (misal pada anemia) konjungtiva akan berwarna pucat
yang disebut dengan nama konjungtiva anemis. Hal tersebut terjadi karena pada anemia
kekurangan eritrosit sehingga darah yang harusnya dialirkan ke seluruh tubuh dengan
cukup jadi tidak merata sementara itu konjungtiva merupakan salah satu area sensitive
yang apabila tidak teraliri darah dengan sempurna akan tampak pucat sama seperti halnya
5

dengan sklera, bibir dan area kuku, sehingga selain konjungtiva, bibir dan kuku juga
tampak pucat.
2.5.3 tubuh tidak bisa memproduksi sel darah merah yang cukup sehingga menyebabkan
tekanan darah menjadi rendah atau menurun. Dalam tubuh kan ada dua proses
pembentukan energi, yaitu proses aerob (ada oksigen) dan proses anaerob, karena
kekurangan darah menyebabkan oksigen berkurang, dua proses tadi jadi lebih dominan di
proses anaerob, sementara proses anaerob tidak banyak menghasilkan oksigen, sehingga
oksigen yang harusnya dialirkan ke otak dan area sensitive (seperti muka (area mata dan
bibir) dan ekstremitas (tangan (pada kuku dan telapak) dan kaki) dengan sempurna jadi
berkurang, menyebabkan rasa pusing serta berkunang-kunang dan muka pucat dan
konjungtiva anemis, hal tersebut juga kadang menyebabkan jantung sering berdebar-
debar (biasanya berhubungan dengan tekanan nadi yang meningkat). Selain itu pada
proses anaerob akan menghasilkan asam laktat sehingga kadang penderita anemia juga
terasa lelah, letih, lesu, lunglai, lemah
2.5.4 Penyebab paling umum penurunan Hb adalah kekurangan gizi, vitamin , seperti Fe
dan B12 yangmerupakan bahan utama pembentuk sel darah. Selain itu dapat pula
disebabkan terjadinya perdarahan yang berlebihan, dan ketidak seimbangan hormon.
Penyakit kronis seperti infeksi ginjal jangka panjang mengakibatkan gagal ginjaldan
kanker juga menyebabkan Hb rendah.
LVH teradi karena penggunaan otot jantung yang terus menerus sehingga terjadi
hipertrofi. Hal ini terjadi karena kompensasi dari penurunan kadar oksigen (akibat Hb
yang rendah ) oleh jantung (ventikel kiri) yang terus memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.
2.5.5 Anemia
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi
yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat
bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
6

dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan.
Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan
fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah eritrosit,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan
patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. (Sylvia A.Price, 2005).

B. Kriteria Anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa
eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada
umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah
berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan
ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-
laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti
lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa,
11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan antara lain sebagai
berikut :
Tabel 1. Kriteria Anemia menurut WHO
(dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001)
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila
7

kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi
poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia
lebih lanjut. Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah
dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up
anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl.
C. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih rinci
tetntang etiologi anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :
Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
8


C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks


Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat
pada tabel di bawah ini :
Tabel. Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
9

b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

D. Algoritme Pendekatan Diagnosis Anemia






ANEMIA
Hapusan darah tepi dan indeks
eritrosit (MCV,MCH,MCHC)
Anemia
makrositer
Anemia
normokromik
normositer
Anemia
hipokromik
mikrositer
10



Dalam skenario didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium bahwa MCV dan
MCH menurun, sehingga dapat mengarahkan diagnosis ke pembagian anemia
berdasarkan morfologinya yaitu Anemia Hipokromik Mikrositer. Adapun pembagian
Anemia hipokromik mikrositer terdiri atas Anemia Defisiensi Besi, Thalasemia Mayor,
Anemia akibat Penyakit Kronik, dan Anemia Sideroblastik

Tabel. Diagnosa banding
ANEMIA
DEFISIENSI BESI
ANEMIA AKIBAT
PENYAKIT KRONIK
THALASSEMIA ANEMIA
SIDEROBLASTIK
Derajat anemia Ringan sampai
berat
Ringan Ringan Ringan sampai
berat
MCV menurun Menurun/N menurun Menurun/N
MCH menurun Menurun/N menurun Menurun/N
TIBC meningkat menurun N/menurun Normal/N
Saturasi
tranferin
Menurun
<15%
Menurun/N
10-20%
Meningkat
>20%
Meningkat
>20%
Besi sumsum
tulang
negatif positif Positif kuat Positif dengan ring
sideroblast
Protoporfirin
eritrosit
meningkat meningkat N N
Feritin serum Meningkat
<20g/dl
N
20-200g/dl
Meningkat
>50g/dl
Meningkat
>50g/dl
Elektroforesis
Hb
N N meningkat N
Besi serum menurun menurun N/meningkat N/ meningkat

11

E. Anemia Defisiensi Besi
Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan zat besi
(Fe) tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang,
yang pada akhirnya pembentukan Hb berkurang.
Zat besi selain dibutuhkan untuk pembentukan Hb yang berperan dalam
penyimpanan dan pengangkutan oksigen, juga terdapat dalam beberapa enzim yang
berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesa DNA, neurotransmiter dan proses
katabolisme yang bekerjanya membutuhkan ion besi.
Anemia jenis ini paling sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau
negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi.

Zat Besi ( Fe )
Zat besi terdapat pada seluruh sel tubuh kira-kira 40-50 mg/kilogram berat badan.
Hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam
bentuk organik, yaitu sebagai ikatan non ion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik,
yaitu sebagai ikatan ion. Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70 %
dari Fe yang terdapat dalam tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30 %
merupakan Fe yang nonesensial.
Fe esensial ini terdapat pada :
Hemoglobin 66 %
Mioglobin 3 %
Enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer elektron misalnya sitokrom
oksidase, suksinil dehidrogenase dan xantin oksidase sebanyak 0,5%
Pada transferin 0,1 %.
Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin
sebanyak 25 %, dan pada parenkim jaringan kira-kira 5 %.
Makanan sumber zat besi yang paling baik berupa heme-iron adalah hati, jantung
dan kuning telur. Jumlahnya lebih sedikit terdapat pada daging, ayam dan ikan.
Sedangkan nonheme-iron banyak terdapat pada kacang-kacangan, sayuran hijau, buah-
buahan dan sereal. Susu dan produk susu mengandung zat besi sangat rendah. Heme-iron
12

menyumbang hanya 1-2 mg zat besi per hari pada diet orang Amerika. Sedangkan
nonheme-iron merupakan sumber utama zat besi.
Metabolisme Zat Besi
Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di
duodenum sampai pertengahan jejunum, makin ke distal penyerapan akan semakin
berkurang. Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yaitu :
1. Penyerapan dalam bentuk non heme ( +90 % berasal dari makanan)
Zat besi dalam makanan biasanya dalam bentuk senyawa besi non heme
berupa kompleks senyawa besi inorganik (ferri/ Fe3+) yang oleh HCl lambung,
asam amino dan vitamin C mengalami reduksi menjadi ferro (Fe2+). Bentuk fero
diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan di dalam sel usus, fero mengalami oksidasi
menjadi feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Bentuk
ini akan dilepaskan ke peredaran darah setelah mengalami reduksi menjadi fero
dan di dalam plasma ion fero direoksidasi menjadi feri yang akan berikatan
dengan 1 globulin membentuk transferin. Transferin berfungsi mengangkut besi
untuk didistribusikan ke hepar, limpa, sumsum tulang serta jaringan lain untuk
disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Di sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam retikulosit yang akan
bersenyawa dengan porfirin membentuk heme. Persenyawaan globulin dengan
heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit hancur, Hb akan mengalami
degradasi menjadi biliverdin dan besi. Besi akan masuk ke dalam plasma dan
mengikuti siklus seperti di atas.

2. Penyerapan dalam bentuk heme ( +10 % dari makanan)
Besi heme di dalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh HCl lambung dan
enzim proteosa. Besi heme teroksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke sel
mukosa usus secara utuh, lalu dipecah oleh enzim hemeoksigenasi menjadi ion
feri dan porfirin. Ion feri akan mengalami siklus seperti di atas.

Proses absorbsi besi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Heme-iron akan lebih mudah diserap dibandingkan nonheme-iron
13

2. Ferro lebih mudah diserap daripada ferri
3. Asam lambung akan membantu penyerapan besi
4. Absorbsi besi dihambat kompleks phytate dan fosfat
5. Bayi dan anak-anak mengabsorbsi besi lebih tinggi dari orang dewasa karena
proses pertumbuhan
6. Absorbsi akan diperbesar oleh protein
7. Asam askorbat dan asam organik tertentu
Jumlah total besi dalam tubuh sebagian besar diatur dengan cara
mengubah kecepatan absorbsinya. Bila tubuh jenuh dengan besi sehingga seluruh
apoferitin dalam tempat cadangan besi sudah terikat dengan besi, maka kecepatan
absorbsi besi dari traktus intestinal akan menjadi sangat menurun. Sebaliknya bila
tempat penyimpanan besi itu kehabisan besi, maka kecepatan absorbsinya akan
sangat dipercepat.
Di dalam tubuh, cadangan besi ada dua bentuk, yang pertama feritin yang
ebrsifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.
Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih
sedikit dibanding feritin. Hemosiderin terutama ditemukan dalam sel Kupfer hati
dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi
untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh
Etiologi
Anemia Defisiensi Besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia
Saluran kemih : hematuria
Saluran nafas : hemoptoe
14

2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi totaldalam makanan, atau kualitas
besitotal dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik
(makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamian.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan
gastrointestinal,di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang.
Sementara itu, pada wanita paling sering karena menorrhagia/metrorhagia.
Patofisiologi
Anemia defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung
lama. Bila keseimbangan besi ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. Terdapat 3 tahap defisiensi besi, yaitu :
1. Iron depletion
Ditandai dengan cadangan besi menurun atau tidak ada tetapi kadar Fe serum dan
Hb masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
2. Iron deficient erythropoietin/iron limited erythropoiesis
Pada keadaan ini didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis. Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar Fe serum dan saturasi
transferin menurun sedangkan TIBC dan FEP meningkat.
3. Iron deficiency anemia
Keadaan ini merupakan stadium lanjut dari defisiensi Fe. Keadaan ini ditandai
dengan cadangan besi yang menurun atau tidak ada, kadar Fe serum rendah,
saturasi transferin rendah, dan kadar Hb atau Ht yang rendah
Gejala
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu :
Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpa pada anemia
defisiensi besi apabila kadar Hb turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia
15

defisiensi besi karena penurunan kadar Hb yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali
sindrom anemia tidak terlalu mencolok deibandingkan dengan anemia yang lain yang
penurunan kadar Hb-nya terjadi lebih cepat.
Gejala khas akibat defisiensi besi
Koilonychia/kuku sendok (spoon nail) : kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang.
Stomatitis angularis : adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai becak berwarna pucat keputihan.
Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.





Gambar. koilonychia

Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
kuning, seperti jerami.

Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang apat dijumpai adalah :
a. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
16

Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan Hb mulai dari ringan
sampai berat. MCV, MCHC, dan MCH menurun. MCV<70fl hanya ddapatkan pada
ADB dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang
menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan
sebelum kadar Hb menurun. Kadar Hb sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan
gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-lahan.
Apusan darah menunjukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikillositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target.


Gambar. Sel pensil pada hapusan darah tepi

b. Kadar besi serum menurun <50mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat
>350mg/dl, an saturasi transferin <15%.
c. Kadar serum feritin <20g/dl (ada yang memakai <15g/dl, dan <12g/dl. Jika terdapat
inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60g/dl masih dapat menunjukan adanya
defisiensi besi.
d. Protoporfirin eritrosit meningkat (>100g/dl).
e. Sumsum tulang : menunjukan hiperplasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil
(micronormoblast) dominan.
f. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin : kadar reseptor
transferin meningkat pada defisiensi besi.
g. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab ADB : antara lain pemeriksaan
feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif (Kato-
Kartz), pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi,barium intake atau barium
inloop dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
17


Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis ADB harus dilkukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk
menegakkan diagnosis ADB dapat dipakai kriteria diagnosis ADB (modifikasi dari
kriteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV <80fl dan
MCHC <31% dengan salah satudari a, b, c, atau d.
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini
- Besi serum < 50mg/dl
- TIBC >350mg/dl
- Saturasi transferin : <15%
b. Feritin serum <20g/dl
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru pusia (perls stain) menunjukan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar Hb lebih dari 2 g/dl
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia diferensiasi besi dapat berupa :
1) Terapi kausal (tergantung penyebabnya)
Pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal
harus dilakukan kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.

2) Pemberian preparat Fe untuk mengganti kekurangan Fe dalam tubuh
Terapi Oral
Senyawa zat besi yang sederhana dan diberikan peroral adalah ferous glukonat, fumarat,
dan suksinat dengan dosis harian 4-6 mg/kg/hari besi elemental diberikan dalam 2-3
dosis. Penyerapan akan lebih baik jika lambung kosong, tetapi ini akan menimbulkan
efek samping pada saluran cerna. Efek samping yang dapat terjadi adalah iritasi
gastrointestinal, yang dapat menyebabkan rasa terbakar, nausea dan diare. Oleh karena itu
18

pemberian besi bisa saat makan atau segera setelah makan, meskipun akan mengurangi
absorbsi obat sekitar 40-50%. Preparat besi harus terus diberikan selama 2 bulan setelah
anemia pada penderita teratasi.
Terapi parental
Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Kemampuan
untuk meningkatkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Indikasi parenteral:
- Tidak dapat mentoleransi Fe oral
- Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi dengan Fe oral.
- Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan pemberian Fe oral
(colitis ulserativa).
- Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal.
- Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa
Preparat yang sering diberikan adalah dekstran besi, larutan ini mengandung 50
mg besi/ml. Besarnya dosis dapat dihitung dari rumus dibawah ini :

3) Pengobatan lain
- Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani.
- Vitamin C : vitamin c diberikan 3 x 100mg /hari untuk meningkatkan absorpsi
besi.
- Transfusi darah : anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfusi darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada ADB adalah :
o Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung
o Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat mencolok
o Penderita memerlukan eningkatan kadar Hb yang cepat, sepeti pada
kehamilan trimester akhir atau preoprasi.
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x3
19

Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi
bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
intravena.
Pencegahan
Beberapa tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada
awal kehidupan adalah sebagai berikut :
- Meningkatkan pemberian ASI eksklusif.
- Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun.
- Memberi bayi makanan yang mengandung besi serta makanan yang kaya dengan
asam askorbat (jus buah).
- Memberi suplemen Fe pada bayi kurang bulan.
- Pemakaian PASI yang mengandung besi.
Prognosis
Prognosa baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinisnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

F. Thalasemia
Definisi
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah
mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat,
badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang.
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya. Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi
sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh yang
membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak ada,
maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan
aktivitasnya secara normal.Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang
20

merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam
amino yang membentuk hemoglobin.
Thalasemia adalah penyakit yang sifatnya diturunkan. Penyakit ini, merupakan
penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.

Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk
menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika
hanya 1gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak
menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2 jenis yang utama
adalah :
1. Alfa Thalasemia (melibatkan rantai alfa) Alfa Thalasemia paling sering ditemukan
pada orang kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen).
2. Beta Thalasemia (melibatkan rantai beta) Beta Thalasemia pada orang di daerah
Mediterania dan Asia Tenggara.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1) Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.
Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar
hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa
menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan
umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah
untuk memperpanjang hidupnya
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain
seperti jantung berdetak lebih kencang danfacies cooley. Facies cooley adalah ciri khas
thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat
sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.
21

Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus.
Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan
pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan.
Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat
ringannya penyakit. Semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus
menjalani transfusi darah.
2) Thalasemia Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup
normal,tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor tak
bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi
masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis
keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami
pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang
hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya


Manifestasi Klinis
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian
besar penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat,
misalnya beta-thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di
kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa.
Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran
tulang, terutama tulang kepala dan wajah.Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan
mudah patah. Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih lambat dan
mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.
Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka
kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada
akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.
22

Oleh karena itu, untuk memastikan seseorang mengalami thalasemia atau tidak,
dilakukan dengan pemeriksaan darah. Gejala thalasemia dapat dilihat pada banak usia 3
bulan hingga 18 bulan.Bila tidak dirawat dengan baik, anak-anak penderita thalasemia
mayor ini hidup hingga 8 tahun saja
Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah seumur hidup. jika tidak diberikan
tranfusi darah, penderita akan lemas, lalu meninggal.

Diagnosa
Thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya. Hitung
jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular
volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfa-
thalasemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan
pemeriksaan hemoglobin khusus.

Penatalaksanaan
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi
dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang
berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Pencegahan
Pada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk
menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia.
Pengidap thalasemia yang mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan
hidup layaknya orang normal di tengah masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk
di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan bantuan obat, melalui urine.
Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika
suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka
memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia.


23

G. Anemia akibat Penyakit Kronik
a. Definisi
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,
peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak
disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.

b. Etiologi
Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti
infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.

c. Patogenesis dan Patofisiologi
Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3
abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses
terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan
termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut
oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor
Necrotizing Factor (TNF)-, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1
menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalamsirkulasi
terhambat, produksi protein fase akut (PFA),lekositosis dan demam. Hal itu dikaitkan
dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan
eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang,sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan
makrofag menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF- juga berasal dari
makrofag berefek sama yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin.
IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan
ke dalam darah.
24

Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF- dan IL-6,
maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti C-
reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula
perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan di
sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan
penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan
prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi
meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 23 kali normal, sedangkan transferin, albumin
dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses
inflamasi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya
memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi
yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis
disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun,
sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin yang
meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang
sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena
kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.

d. Gambaran klinik
Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-2
bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat
ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang
dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada
pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat
25

dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi,angina pektoris dan gangguan
serebral.

e. Laboratorium
Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, transferin, saturasi
transferin dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau
meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normla. Berbeda
dengan defisiensi besi yang kadar total protein pengikat besi meningkat, sedangkan
feritin menurun, dan kadar reseptor transferin menigkat.
f. Diagnosis
1. Tanda dan gejala klinis yang dapat dijumpai seperti kelelahan,lemah ,berdebar-debar
dan lain-lain
2. Pemeriksaan laboratorium :
Derajat anemia,biasanya ringan sampai sedang
Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau
mikrositik ringan.
Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit ( 80 fl)
Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)
TIBC menurun (<250 mug/dL)
Jenuh transferin (saturasi transferin) menurun (<20 %)
Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)


g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila penyakit
dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan membaik.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu anemia akibat penyakit kronis, antara lain :
1. Rekombinan eritropoetin (EPO), dapat diberikan pada pasien-pasien anemia
penyakit kronis yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Aquired Immuno
26

Deficiency Syndrome (AIDS) dan Inflamatory Bowel Disease.Dosisnya dapat
dimulai 50-100 unit/ Kg,3xseminggu, pemberiannya secara intra vena (IV),atau
subcutan (SC).
2. Transfusi darah berupa Packed Red Cell (PRC), dapat diberikan bila anemianya
telah memberikan keluhan atau gejala.Tetapi ini jarang diberikan karena
anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang.Diberikan pada
pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasar artritis temporal, reumatik
dan polimialgia.Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan
gejala-gejala polimialgia akan segera ilang dengan cepat.
4. Kobalt klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronis.cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi karena efek toksiknya
obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.

H. Anemia Sideroblastik
Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang ditandai dengan adanya
sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam sirkulasi dan sumsum tulang. Anemia
sideroblastik primer dapat terjadi akibat cacat genetik pada kromosom X yang jarang
ditemukan (terutama dijumpai pada pria), atau dapat timbul secara spontan terutama pada
orang tua. Penyebab sekunder anemia soderoblastik adalah obat-obat tertentu, misalnya
beberapa obat kemoterapi dan ingesti timah. Anemia sideroblastik merupakan anemia
dengan cincin sideroblas (ring sideroblastik) dalam sumsum tulang. Anemia ini relatif
jarang dijumpai, tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu diagnosis
banding anemia hipokromik mikrositik.
Klasifikasi
I. Anemia sideroblastik primer
1. Herediter sex linked sideroblastic anemia
2. Primary acuquired sideroblastic anemia (PASA) atau idiopatic acuired
sideroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan disini adalah refractory
27

anemia with ring sideroblast (RARS) yang tergolong dalam sindrom
mielodisplastic.
II. Anemia sideroblastik sekunder
1. Akibat obat ;INH, pirasinamid dan sikloserin
2. Akibat alkohol
3. Akibat keracunan timah hitam
III. Pyridoxin responsive anemia
Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan inkorporasi besi ke
dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan besi mengendap pada
mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan terlihat binyik-bintik yang
mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan
kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan
menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
Bentuk Klinik
Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu bentuk herediter dan
bentuk didapat.
1. Bentuk herediter
Jarang dijumpai, herediter dan sex linked (X-linked). Sebagian besar
menunjukkan bentuk defek enzim ALA synthetase.
2. Idiopathic acquired sideroblastic anemia
a. Mutasi somatik pada progenitor eritroid
b. Tergolong sebagai sindrom mielodisplastik
c. Menurut klasifikasi FAB sideroblastik sekunder disebut sebagai refractory
anemia with ring sideroblastik (RARS)
3. Anemia sideroblastik sekunder
Akibat alkohol, obat anti TBC: INH dan keracunan Pb.
4. Anemia yang responsif pada terapi piridoksin (piridoksin responsif anemia)


28

Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
(pembentukan heme)


Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin
dalam mitokondria


ring sideroblastik hipokromik mikrositer


eritropeisis inefektif
Skema patofisiologi anemia sideroblastik

Gambaran Klinik
Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk yang didapat
dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah dilaporkan adanya suatu sindroma
anemia sideroblastik yang refrakter pada 4 orang anak dengan adanya vakuolalisasi
prekurser sel-sel sumsum dan gangguan fungsi eksokrin pancreas. Anemia sideroblastik
kongenital terjadi pada orang dewasa dengan berbagai proses peradangan dan keganasan
atau pada alkoholisme.

Gambaran Laboratorium
Pada anemia sideroblastik dijumpai :
1. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat.
2. Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gamabaran populasi ganda
(double population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer
berdampingan dengan normokromik normositer.
29

3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama pada eritrosit,
kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.
4. Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.
5. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian blue (memakai
biru prusia) dijumpai sideroblas cincin > 15 % dari sel eritroblas.
Terapi
1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah.
2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita bersifat
responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis 200-500
mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme triptofan atau
defensiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-
sintase.
















30


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Pasien mengeluhkan badan lemas sejak 8 bulan yang lalu disertai keluhan
penyerta yaitu mudah ngos-ngosan saat naik tangga. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva tampak pucat dan terjadi peningkatan denyut nadi yaitu sebesar 110x/menit.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb, MCV dan MCH menurun, hal
tersebut dapat mengarahkan diagnosis sesuai dengan klasifikasi anemia berdasarkan
morfologinya yakni anemia mikrositer.
Anemia mikrositer hipokromik dibagi menjadi 4, yaitu Anemia defisiensi zat besi,
Thalasemia, Anemia akibat penyakit kronis dan Anemia sideroblastik. Berdasarkan hasil
pemeriksaan lebih lanjut didapatkan kelainan kuku yaitu koilonychia atau kuku sendok,
selain itu pada pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan sel darah merah berbentuk
pensil dan terdapat target sel.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis dalam scenario dapat ditegakkan yaitu anemia defisiensi zat besi. Terapi
diberikan berdasarkan penyebabnya dan diberikan preparat Fe untuk mengganti
kekurangan Fe dalam tubuh.









31

DAFTAR PUSTAKA
Bruce M. Camitta. Nelson Textbook of Pediatric,Anemia. 17th edition. United State of
America;Saunders;2004
Made Bakta. Hematologi Klinik Ringkas. EGC;2006
Mansjoer Arif dkk.,2001, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculaplus.
Price Sylvia A,dkk, 2005,Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC
Sudoyo Aru W.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi . Jakarta: FKUI
Supandiman.I. Hematologi Klinik. Anemia Edisi 2. Alumni 1997
Wulan, Arum. 2012. Anemia. Available at http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/
118/jtptunimus-gdl-arumwulann-5862-2-babii.pdf diakses pada 20 Agustus 2014

Anda mungkin juga menyukai