Anda di halaman 1dari 30

Pendahuluan

Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka
kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan Bali, karena di daerah tersebut
terdapat campuran penduduk dari daerah endemis dan non endemis malaria sehingga masih
sering terjadi letusan wabah malaria yang menyebabkan banyak kematian.
1

Malaria terjadi bila eritrosit diinvasi oleh salah satu dari empat spesies parasit protozoa genus
Plasmodium, ditandai dengan demam tinggi, yang sering intermiten, dan dengan anemia dan
pembesaran limpa. Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama di daerah beriklim panas.
Untuk tujuan klinis dan diagnosis, malaria dapat dianggap sebagai 2 wujud penyakit: yang lebih
berbahaya, karena P.falciparum dan dahulu disebut malaria subtertiana atau malaria tertian
maligna, dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis akut dan jika tidak diobati, dapat
mematikan dalam beberapa hari sejak mulainya; yang lain karena P.vivax atau P.ovale (malaria
tertiana benign) atau P.malariae (malaria quartana), adalah khas paroksismal dan hampir tidak
pernah mematikan.
2


Etiologi
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi.
2
Malaria
disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium terdiri dari empat
spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan
plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat
menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu
plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang
menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan
plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale.
1

Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk. Pada umumnya dua jenis Plasmodium yang paling banyak dijumpai adalah
campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau malariae. Kadang-kadang
ada tiga jenis Plasmodium sekaligus tapi jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di
daerah dengan angka penularan tinggi.
1

Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak berumur
beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat bahkan tertian dan kuartana dan
dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.
1

Daur Hidup Plasmodium
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai 2 hospes yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus
aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang
membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan
ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan
tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit
tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum hanya
terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-
tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan
pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer),
tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin,
disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi
merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan
keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat
meghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni.
Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu
membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas
intrinsik.
1


Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan
waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi
makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya
menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit.
Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut
disebut masa tunas ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria;
walaupun ada beberapa faktor yang mempengaruhi:
1

1. Ras / suku bangsa.
Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S cukup tinggi, penduduknya lebih tahan terhadap
infeksi P.falciparum. HbS menghambat perkembangbiakan P.falciparum baik waktu invasi
atau berkembang biak.
2. Kurangnya suatu enzim tertentu.
Kurangnya G6PD memberikan perlindungan terhadap infeksi P.falciparum yang berat.
Namun, kurangnya G6PD merugikan ditinjau dari segi pengobatan dengan golongan
sulfonamide dan primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Defisiensi G6PD
merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada perempuan.
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang
masuk atau menghalangi perkembangbiakannya.

Transmisi
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1

1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga
tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain plasenta
penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan
melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan
jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan
siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga
dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium), burung
dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria,
baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
1


Epidemiologi
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropis dan
menyerang negara dengan penduduk padat. Hanya pada daerah dimana orang-orang mempunyai
gametosit dalam darahnya dapat menjadikan nyamuk anopeles terinfeksi. Kini malaria terutama dijumpai
di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika tengah dan selatan, Afrika sub- sahara, Timur Tengah, India, Asia
selatan, Indo China dan pulau- pulau di Pasifik selatan. Plasmodium vivax mempunyai distribusi
geografis yang paling luas, mulai dari daerah beriklim dingin, subtropik sampai daerah tropis, kadang-
kadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan
daerah tropis lainnya.
1

Di Indonesia, malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda- beda dan dapat
berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut. Angka Annual
Parasite Incidence (API) malaria di pulau Jawa dan Baali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000
penduduk, sedangkan di luar pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78 % pada tahun
1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR pada tahun 1990 (4,84 %). Spesies yang paling bbanyak
dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dijumpai di
Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Air
tergenang dan udara panas masing-masing diperlukan untuk pembiakan nyamuk menunjang endemisitas
penyakit malaria.
1

Malaria kongenital, disebabkan oleh penularan agen penyebab melalui barier plasenta, jarang ada.
Sebaliknya, malaria neonatus agak sering dan dapat sebagai akibat pencampuran darah ibu yang
terinfeksi dengan darah bayi selama proses kelahiran.
2



Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit,
seperti membran dan isi sel- sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh
mengeluarkan produk- produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem
retikuloendotelialdab dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu
pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi
saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan
darah.
Patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan
eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia
menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin
malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui
limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria
adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum, ditandai oleh hemolisis intravaskuler berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut
akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Sebagai tambahan, kasus meninggal
yang disebabkan malaria selalu mneunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari sistem
retikuloendotelial dan mungkin juga melibatkan berbagai sistem organ.
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi
sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi
fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi
hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di
daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama
dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan
respon imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.
Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer- seperti sel dalam sistem
retikuloendotelial- terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna
kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel
mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria.
Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati
di daerah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi syok.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria
serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai dengan edema dan
hiperemis. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga
dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat
pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga di jumpai salah satu atau
dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative
glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan
hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibatnya
berkurangnya aliran darah karena hipovolemia dan hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum
menyebabkan nefritis sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik
dan sindrom nefrotik.

Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang
paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan
interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan
jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan
jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko
terjadinya ruptur limpa.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem
retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung dari jenis Plasmodium dan status imunitas
pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit
yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat dapat
terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering
ditemukan.
Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel
darah merah yang terinfeksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler
terganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit.
Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat dan timbul
hipoksi jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan
bahkan perdarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat menimbulkan
manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru, gagal ginjal dan malabsorpsi usus.
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun
yang didapat. Pertahanan terhadap malaria terutama penting untuk melindungi anak kecil atau
bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang- biaknya
parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit
dan struktur khusus pada permukaan eritrosit.
Imunitas humoral dan seluler tehadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan.
Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat
menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat
dijumpai hipergamaglobulinemia poliklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang
diproduksi untuk melengkapibeberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi
proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan.
Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak
adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan
salah satu faktor. Monosit/ makrofag merupakan partisipan selular yang terpenting dalam
fagositosis eritrosit yang terinfeksi.
2



Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi oleh suatu periode (periode laten)
bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu
makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis
plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus
(tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin
(cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage).
Paroksisme ini biasanya terlihat jelas pada orang dewasa namun jarang dijiumpai pada usia
muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin seringkali bermanifestasi sebagai
kejang. Serangan demam yang pertama didahului oleh masa iinkubasi (intrinsik). Masa
inkubasi bervariasi antara 9- 30 hari t ergantung pada spesies parasit. Masa inkubasi ini juga
tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat
imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum
adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari, dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih
setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing- masing spesies
parasit, untuk Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13- 17
hari, dan Plasmodium malariae 28- 30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan
orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium atau trias malaria (malaria
proxym), yaitu :
Stadium dingin.
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi
gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan
selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit
kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak-anak terjadi kejang. Stadium ini
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
Stadium demam.
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit
kering dan terasa sangat panas seperti kebakar, nyeri kepala, sering kali terjadi mual dan
muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat
meningkat sampai 41C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam
disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang dan
masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam
setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae,
demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada
Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.
Stadium Berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah,kemudian suhu
badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal.
Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada spasies parasit, berat
infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit ( bentuk tropozoit dan skizon) untuk berkumpul
pada pembuluh darah organ tubuh tertentu seperti otak, hati dan ginjal, sehingga menyebabkan
tersumbatnya pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang
sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini. Black
water fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin
berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna
seperti empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi
Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat.
Di daerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada orang dewasa
seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini
disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi berulang. Limpa biasanya
membesar pada serangan pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode yang
cukup lama. Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil
kembali.

Malaria tanpa komplikasi
Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria tidak efektif sehingga serangan malaria
akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas
secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi
lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang
tidak sempurna atau lupa minum obat pada saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah
hipoendamik malaria, semua usia dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia, pada anak besar dapat
mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut
dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut,
pembesaran hati biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama)
dan lebih sering terjadi dari pada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit, namun fungsinya
jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberapa
anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat
untuk waktu singkat.
Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua, pembesaran limpa progresif
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa
dapat sangat besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat penting malaria tropika
pada anak. Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung dengan derajat parasitemia.
Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertian. Pada hari terakhir
masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan
nausea. Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada
bayi dan belita, selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu
singkat. Demam sering terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat
pada kurang dari 2%. Malaria tertian dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya
membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang
disertai ikterus,sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk waktu sedikit. Limpa
bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada minggu kedua. Kejang dapat terjadi
pada saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kematian pada anak sangat jarang
terjadi tetapi dapat terjadi bila disertai bebagai penyakit lain yang berat, gizi buruk dan anemia
berat. Pada malaria tertiana dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati
dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan
hanya dengan obat skizontosida saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian, hanya periode demam terjadi pada
72 jam. Sindrom nefrotik dapat terjadi pada umur 2 sampai 12 tahun dengan puncak pada usia 5-
7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap, hipoproteinemia berat dan asites.
Serum albumin kurang dari 2g/dl, bahkan pada 95% kurang dari 1g/dl. Tekanan darah biasanya
normal dan tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.

Malaria Berat
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual.
Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera di bawah ini merupakan malaria
berat, antara lain:
Malaria serebral dengan kesadaran menurun ( delirium, stupor, koma)
Anemia berat, kadar hemoglobin <= 5g/dl
Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
Hipoglikemia berat
Gagal ginjal
Edema paru akut
Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
Kecenderungan terjadi perdarahan
Hiperpireksia/hyperthermia
Hemoglobinuria/Black water fever
Ikterus
Hiperparasitemia

1. Malaria Serebral
Kejang pada anak dengan malaria dapat merupakan permulaan serangan malariaserebral.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa kejang demam sering terjadi pada anak balita oleh
sebab lain. Di Thailand angka kejadian kejang pada malaria tropika 9,6% pada anak kurang dari
5 tahun dan hanya 1,5% pada anak 5-12 tahun.
Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) dari 133 penderita malaria usia 2
bulan sampai 13 tahun, ditemukan kejang sebanyak 13,53% dan malaria selebral 8,27%. Pada
malaria selebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Pada penelitian tentang malaria selebral
selama 3 tahun di RSU Gunung Wenang Manado tahun 1978-1980, pada penderita dijumpai 15
dengan somnolen sampai koma, dengan disorientasi dan 2 dengan mengamuk. Pada penelitian
tersebut , dijumpa 10% penderita malaria selebral yang disertai animea berat, meninggal sebelum
sempat diberi transfuse darah. Tanda neurologic yang penting pada malaria selebral adalah
gangguan upper motor neuron yang simetris dan batang otak. Perdarahan dan eksudat pada retina
dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium,
halusinasi atau mengamuk sangat jarang dijumpai pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal
biasanya dalam batas normal. Pada kebanyakan kasus malaria selebral, dijumpai parasitemia
berat disertai animea berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia di dalam darah tepi rendah yang
mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau parasitnya berada di
dalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru dijumpai pada 10%
kasus anak, sedangkan oliguria dan azotema jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan
orang dewasa. Pemeriksaan EEG terdapat kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa penyebab lain
dari koma. Gejala paling dini malaria serebral pada anak-anak umumnya adalah demam (37,5-
41C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang
diare. Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-
anak yang sering kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria
serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma
dapat dinilai sesuai dengan skala koma. Glasgow atao modifikasi khusus pada anak yaitu skala
koma Blantyre,melalui pengamatan terhadap respon rangsangan bunyi atau nyeri yang standar,
ketukan (knuckle) iga pada dada anak dan jika tidak ada respon lakukan tekanan kuat pada kuku
ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan
hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada kemajuan atau
kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah timbul koma. Hal ini secara
bermakna behubungan dengan morbiditas dan gejala sisa. Sekelompok anak-anak yang dapat
bertahan hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa
neurologic yang menetap. Selama periode penyembuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis,
ataksia sereberal, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang
menyeluruh atau afasia.
Skala Koma Blantyre
Penilaian Spontan Nilai
Pergerakan mata

Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya)
Tidak terarah
1
0
Respons verbal


Respons motorik
Menangis yang wajar
Menangis yang tidak wajar atau merintih
Tidak ada
Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau sternum)
Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat pada kuku
dengan pensil)
Respons yang tidak spesifik atau tidak ada
2
1
0
2
1

0
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah nilai 3
2. Anemia
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa pasien,
serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia
normokrom sebagai akibat perubahan eritropoetik di dalam sumsum tulang. Walaupun
parasitemia tidak berat, didalam darah perifer sudah tampak sel leukosit monosit berpigmen.
Seorang anak yang mendadak menderita anemia berat seringkali berhubungan dengan
hiperparasitemia. Anemia dapat pula terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung
parasit. Anak dengan anemia berat dapat menderita takikardia dan dispneu. Anemia turut
berperan dalam (1) gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan pendarahan retina, (2)
gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru. Pada
penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) ditemukan anemia (Hb<10gr%)
sebanyak 38,35%.
3. Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (asidosis metaolik) dan Gangguan Elektrolit
Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa haus,
penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor kulit, peningkatan
kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dL), asidosis metabolic pada pemeriksaan urin,
kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan tanda terjadinya dehidrasi dan
bukan gagal ginjal.
4. Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjadi pada malaria berat, terutama pada anak kecil di bawah 3 tahun
dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang lebih
ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab serta napas tidak teratur.
Hipoglikemi berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina.
Gejala hipoglikemia serupa dengan malaria serebral. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan
di mana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dL atau lebih rendah. Pada penderita yang
sadar dapat timbul hipoglikemia dengan gejala klasik rasa cemas, berkeringat, dilatasi pupil,
sesak napas, pernapasan sulit dan berbunyi, oliguria, rasa dingin, takikardia dan pening.
Gambaran ini dapat berkembang menjadi penurunan kesadaran, kejang umum, sikap tubuh
ekstensi, syok dan koma. Penurunan kesadaran dapat menjadi satu-satunya tanda. Jika
memungkinkan pastikan melalui pemeriksaan glukosa darah.
5. Gagal Ginjal
Jarang terdapat pada anak dengan malaria terutama pada anak kecil. Demikian juga oliguria
jarang dijumpai pada anak kecil bila dibandingka dengan anak besar. Kadar ureum serum
sedikit meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun. Seringkali gagal ginjal
disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat. Pada orang dewasa dapat pula disertai
nekrosis tubular akut; bagaimana mekanismenya belum diketahui. Gagal injal pada
umumnya bersifat reversible.
6. Edema Paru Akut
Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat. Frekuensi
napas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala edema paru
seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria, pada umumnya terjadi
bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan asidosis. Apabila kita
menemukan peninkatan frekuensi napas, harus dibedakan antara edema paru yang
diakibatkan oleh pemberian cairan yang berlebihan atau bronkopeneumonia. Sebagai akibat
edema paru dapat terjadi hipoksia yang mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran
serta kematian.
7. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)
Hipotensi lebih banyak dilaporkan pada malaria berat dewasa dan jarang dijumpai pada anak.
Malaria Algid adalah malaria falsiparum yang disertai syok oleh karena adanya septicemia
kuman gram negative. Penderita malaria berat pada anak dapat jatuh keadaan kolaps
dengan tekanan darah sistoli kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba dingin,
lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut jantung lemah dan cepat. Di beberapa
Negara berkembang gambaran klinis ini sering berhubungan dengan septicemia gram
negative yang berkomplikasi. Kolaps sirkulasi juga terlihat pada penderita dengan edema
paru atau asidosis metabolic dan diikuti dengan pendarahan gastrointestinal yang hebat.
Dehidrasi dengan hipovolemik juga menyebabkan hipotensi. Tempat yang mungkin
berkaitan dengan infeksi harus diperiksa misalnya paru paru, saluran kemih, meningitis,
tempat suntikan intravena, jalur intravena.
8. Kecenderungan Terjadi Perdarahan
Pendarahan yang sering dijumpai adalah pendarahan gusi, epistaksis, ptechiae dan
pendarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi DIC akan timbul pendarahan yang lebih hebat
yaitu melena dan hematemesis. DIC pada umunya terjadi pada seseorang yang tidak
mempunyai imunitas pada malaria. Kecendeungan terjadi pendarahan ditandai dengan
perpanjangan waktu pendarahan, trombositopenia dan menurunnya factor koagulasi.
Pendarahan spontan dari saluran cerna terjadi pada kira kira 10% malaria serebral.
9. Hiperpireksia /Hipertermia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali berhubungan
dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala sangat
dianjurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat menjadi 42 C atau
lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologic yang menetap.
10. Hemoglobinuria/ Black Water Fever
Hemolisis intravascular massif dengan hemoglobinuria merupakan komplikasi komplikasi
malaria yang jarang terjadi pada anak. Hamper seluruh kasus hemoglobinuria berkaitan
dengan defisiensi G6PD pada pasien dengan infeksi malaria. Pada kasus ini, hemolisis akan
berhenti setelah pecahnya eritrosit tua.
11. Ikterus
Manifestasi ikterus (kadar bilirubin darah > 3mg%) sering dijumpai pada orang dewasa namun
bila ditemukan pada anak prognosanya jelek.
12. Hiperparasitemia
Pada penderita yang nonimun, densitas parasit parasit > 5% dan adanya skizontaemia yang
berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia berat akan meningkatkan
terjadinya resiko komplikasi berat.

Gambaran Laboratorium
Anemia akut ataupun kronis, disebabkan oleh kerusakan eritrosit pleh parasit, penekan eritropoesis
dan terjadinya hemolisis oleh proses imunologis. Pada malaria akut juga akan terjadi penghambatan
eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi
hiperemik, pigmentasi aktif dengan hiperplasia dan normoblast. Pada darah tepidapat dijumpai
poikilositosis, anisositosis, polikromatosis dan bintik- bintik basofilik yang menyerupai anemia
pernisiosa.
Trombositopenia dapat mengganggu proses koagulasi
Pada malaria tropika berat terjadi enurunan plasma fibrinogen disebabkan peningkatan konsumsi
fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravaskular.
Ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek dan tes fungsi hati yang abnormal seperti
meningkatnya transaminase, kadar glukosa dan fosfatase alkali menurun
Penurunan plasma protein terutama albumin, peningkatan globulin disebabkan demam dan
peningkatan fungsi hati
Hipokolesterolemia
Penurunan glukosa darah pada malaria tropika dan tertian karena untuk respirasi plasmodia
Peningkatan kalium plasma saat demam akibat destruksi dari sel- sel darah merah
Bisa terjadi peningkatan LED namun kembali normal setelah diberi pengobatan.
Asidosis walaupun sangat jarang
Proteinuria dan gangguan ginjal menyebabkan nefrosis kronik dengan retensi air, natrium dan
azotemia terutama pada malaria kuartana.
Plasmodium falciparum, menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit sampai eritrosit
yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal dijumpai parasit
muda bentuk cincin (ring form), dapat juga di temukan gametosit ataupun skizon (pada kasus berat
yang biasanya disertai dengan komplikasi). Bentuk seksual gametosit muncul dalam waktu satu
minggu dan bertahan sampai beberapa bulan setelah sembuh. Tangda parasit malaria yang khas pada
sediaan tipis: gametosit bentuk pisang dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan
darah tebal ada gametosit berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa bentuk lain yang
dewasa (stars in the sky), ada balon merah di sisi luar gametosit.
Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada hapusan tipis maupun tetes tebal dijumpai
semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang <2% eritrosit.
Tanda parasti malaria yang khas pada sediaan darah tipis, ada sel darah merah membesar, terdapat
titik Schuffner pada sel darah merah dan sitoplasma amuboid. Pada sediaan darah tebal dijumpai
sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang berkembang) dan bayangan merah di sisi
luar gametosit.
Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang yang telah matang. Pada sediaan apus darah
tepi tipis maupun tebal dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang
<1% jumlah eritrosit. Parasit pada sediaan darah tepi tipis erbentuk khas seperti pita (band form),
skizon berbentuk bunga ros (rosette form), tropozoit kecil bulat dan kompak berisi pigmen yang
menumpuk, kadang- kadang menutupi sitoplasma/ inti atau keduanya.
Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding
malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu
demam, splenomegali, dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil
pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala
pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang anak
penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu
harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk
penyakit lain. Dapat saja tidak ditemukan parasit pada pemeriksaan darah pada naak yang sedang
sakit malaria. Maka untuk menemukan parasit di dalam darah harus diperhatikan waktu
pengambilan specimen darah dan apakah pasien sedang minum obat antimalaria yang akan
mengurangi kemungkinan ditemukannya parasit.
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal merupakan
metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai
trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim
seperti aminotransferase dan 5-nukleotidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami
asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan
elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat
dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat.
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescent antibody
test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay).
Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif
beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi
merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah endemis, tes
serologi berguna untuk menentukan:
1. Berapa lama endemisitas berlangsung
2. Perubahan derajat transmisi malaria
3. Daerah malaria dan focus transmisi
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk:
1. Skrining donor darah
2. Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah
tidak ditemukan parasit
3. Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak
berhasil
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan
menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah
mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak
DNA probe untuk mendeteksi antigen.
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam
oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis, atau
hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan atau penyakit virus
lainnya.

Pengobatan
Pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan malaria berat (disertai komplikasi).

A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap
sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai
berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10
mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa).
Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika
ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan
primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih
dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30
mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih
dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila
sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis
kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8
tahu atau lebih)

Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis untuk
anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup tiap ml
mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan dosis yang sama 1
minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari pertama
diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap
obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan
strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi
WHO untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain.
Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari
pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari;
untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari
pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk hari
pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari
pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk -artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB,
6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama 4 hari.

Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin

Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat +
amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat ini tersedia untuk program
dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin
dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB
sekali sehari selama 3 hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10
mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan
malaria positif, sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.

Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan malaria secara
dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan gagal pengobatan bila
dijumpai salah satu criteria berikut :
4. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
5. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan
berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal
pengobatan dini.
b. Secara parasitologi :
Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
6. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang
menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.

B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan
tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ

Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :
a. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
b. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
c. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap jam. Awasi ikterus dan perdarahan
d. Posisi tidur sesuai kebutuhan
e. Perhatikan warna dan suhu kulit
f. Cegah hiperpireksi
g. Pemberian cairan: oral, sonde, infuse
h. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
i. Perhatikan kebersihan rambut
j. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
k. Kebersihan kulit: madikan tiap hari dan keringkan
l. Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kain kasa lembab
m. Perawatan: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakan kepala sedikit rendah,
posisi diubah cukup sering, pemberian cairan dan obat harus hati-hati.

Pemberian obat anti-malaria pada malaria berat
Pada malaria berat perlu daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di dalam
darah untuk segera menurunkan derajat parasitemia sehingga dipilih pemakaian obat secara
suntikan.
1. Kina (Kina Hcl / kinin antipirin)
Kina merupakan obat antimalaria yang sangat efektif untuk semua jenis plasmodium dan
efektif sebagai skizontozid maupun gametosit. Dipilih sebagai obat utama untuk malaria
berat karena masih berefek kuat terhadap P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan
dapat diberikan cepat perinfus atau intramuscular dan cukup aman. Cara pemberian kina
dihidroklorida melalui infuse, dosis 10 mg/kgbb/kali dilarutkan dalam 100-200 ml infuse
garam fisiologis atau cairan 2a atau dextrose 5% dan diberikan selama 4 jam, 3 kali sehari
selama pasien belum sadar (max 3 hari) tetapi apabila pasien telah sadar (walaupun belum 3
hari) kina dilanjutkan peroral hingga total IV + oral selama 7 hari. Kalau tak dapat diberikan
secara i.v maka dapat diberikan secara i.m berupa kina HCl atau kina antipirin dengan
pengenceran 4x lipat pada paha kiri dan kanan.
2. Kanidin
Kanidin diberikan jika tidak tersedia kina. Dengan cara pemberian sama dengan kina tetapi
dosisnya adalah 7,5 mg basa/kgbb/kali
3. Derivate artemisinin
Merupaka obat baru dengan efektivitas tinggi terhadap strain malaria yang multiresisten
terhadap obat antimalaria.
a. Artesunat
Diberikan i.v atau i.m dengan dosis 2,4 mg/kgbb/kali selama 3 hari, untuk hari pertama
diberi 2 dosis dan selanjutnya diberi oral 2mg/kgbb/hari sekali sehari sampai total 7 hari
untuk seluruh pengobatan, dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin/doksisiklin selama 7
hari untuk anak >7 tahun atau dengan klindamisin 5mg/kgbb selama 7 hari.
b. Artemeter
Dalam larutan minyak diberi i.m dosis 1,6 mg/kgbb sekali sehari selama 6 hari; untuk
hari pertama diberi 2 dosis.
Penatalaksanaan Tambahan pada Malaria Berat
1. Malaria serebral
Selain penatalaksaan umum untuk malaria berat, maka pada malaria serebral,
pelaksanaan/pencegahan kejang sangat penting dilaksanakan dan dapat diberi:
a. Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgbb atau 0,5-1 mg/kgbb rectal 5 mg dengan dosis
optimal 10 mg/kali dan dapat diulangi tiap 5-15 menit
b. Paraldehid 0,1 mg/kgbb
c. Klormetiazol 0,8% diinfus sampai kejang berhenti
d. Fenitoin 5mg/kgbb iv selama 20 menit
e. Fenobarbital im 30-75 mg dilanjutkan oral 8mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2
hari, dilanjutkan dengan dosis rumat 4 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis
2. Anemia berat (Hb <5 g/dL)
Kebutuhan transfuse bukan hanya berdasarkan kadar HB saja, tapi harus dilihat pula densitas
parasitemia dan keadaan klinis. WHO menganjurkan kadar Ht sebagai patokan anemia: kadar
Ht 15% atau lebih rendah merupakan indikasi pemberian transfuse darah (10 ml/kgbb PRC
atau 20 ml/kgbb whole blood), disertai pemberian furosemid 1-2 mg/kgbb sampai maksimal
20 mg, dapat diberikan secara iv untuk menurangi beban jantung. Jika tidak tersedia
pemeriksaan darah untuk HIV, lebih baik digunakan darah segar dari keluarga karena ini
dapat menurunkan risiko infeksi HIV
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan gangguan elektrolit
Lactic acidosis sering terjadi sebagai komplikasi malaria berat, ditandai dengan peningkatan
kadar asam laktat darah atau dalam LCS. Larutan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5%
segera diberikan secara hati-hati dan awasi tekanan darah. Di RS dengan fasilitas pediatric
gawat darurat, dapat dipasang central venous pressure (CVP) untuk mengetahui kebutuhan
cairan lebih cermat. Apabila telah tercapai rehidrasi, tetapi jumlah urin tetap < 1 ml/kgbb/jam
maka dapat diberikan furosemid 3mg/kgbb (diberikan dalam waktu 15 menit). Untuk
memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan napas, beri O2 2-4 lpm dan apabila diperlukan
dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang.
4. Hipoglikemia (gula darah <= 40 mg/dl)
Dalam menghadapi malaria berat, terutama pada anak yang mengalami penurunan kesadaran
perlu diberi glukosa rumatan untuk mencegah hipoglikemi karena anak tidak bisa makan.
Diberikan larutan rumatan glukosa 5% atau glukosa konsentrasi tinggi secara intermitten.
Jika hipoglikemia berikan glukosa 20% (2-4 ml/kgbb) dilanjutkan dengan cairan rumatan
10% sambil dilakukan pemeriksaan kadar gula darah berkala atau mempergunakan
dextrostick. Pemantauan glukosa darah harus terus menerus dilakukan bahkan setelah
Nampak perbaikan sebab hipoglikemi dapat berulang.
5. Gagal ginjal
Sebaiknya kadar ureum dan kreatinin diperiksa 2-3 kali/minggu. Jika tidak memungkinkan,
maka dapat dengan mengukur produksi urin. Bila oliguri (produksi urin < 1ml/kgbb/jam)
yang disertai dengan tanda klinik dehidrasi, maka diberi cairan untuk rehidrasi dengan
pengawasan ketat untuk mencegah overload. Observasi TTV, balans cairan, auskulatasi paru,
jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) dipertahankan pada
tekanan 0-5 cm H2O. bila terjadi anuri (tidak ada produksi urin dalam 8 jam) diberi
furosemid 1 mg/kgbb/kali. Bila tida berespons dapat diulang setelah 8 jam dengan dosis 3
mg/kgbb dan dapat diulang. Periksa kadar kreatinin dan ureum serum karena mungkin telah
terjadi GGA. Bila terjadi GGA maka dilakukan dialysis. Bila GGA disertai overloas, maka
pemberian cairan harus dihentikan.
6. Edem paru akut
Anak ditidurkan setengah duduk, diberikan O2 konsentrasi tinggi dan diuretic iv. Pemberian
ventilator mekanik dapat dipertimbangkan bila terjadi gagal napas dan fasilitas
memungkinkan. Apabila edema pasru disebabkan oleh pemberian cairan iv yang berlebihan,
segera hentikan pemberian cairan iv, berikan furosemid 1 mg/kgbb/kali dan diulang bila
perlu.
7. Kegagalan sirkulasi (Algid Malaria)
Hipovolemi dikoreksi dengan pemebrian cairan yang tepat. Rehidrasi dengan cairan RL
sebanyak 10-20 mg/kgbb secepatnya sampai nadi teraba. Bila nadi belum teraba dalam 20
menit, ulangi loading dose. Bila sesudah 2 kali loading dose nadi belum terba, berikan
loading dose dengan plasma expander 20 ml/kgbb secepatnya. Bila syok belum teratasi,
berikan dopamine 3-5 mcg/kgbb/menit.
Bila nadi teraba, dilanjutkan dengan pemberian rehidrasi dengan cairan RL sesuai keadaan
pasien, periksa nadi, tekanan darah dan pernapasan setiap 20 menit. Bila memungkinkan
monitor dengan CVP, tekanan dipertahankan antara 5-8 cm H2O. kadar gula darah diperiksa
periodic. Bila ada kecurigaan septicemia, lakukan biakan darah dan uji sensitivitas dan segera
berikan antibiotic spectrum luas.
8. Perdarahan
Biasanya karena trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan pada kulit berupa
petekia, purpura, hematom, atau perdarahan hidung, gusi dan saluran pencernaan. Pasien
dapat diberi darah segar, fresh frozen plasma berisi faktor pembekuan dan suspensi trombosit.
Bila ada perpanjangan waktu protrombin dan partial thromboplastin, dianjurkan pemberian
vitamin K 10 mg perlahan-lahan.
9. Hiperpireksia
Bila suhu > 40 C, segera kompres hangat dan antipiretik Parasetamol dosis awal 20 mg/kgbb
peroral, melalui sonde lambung atau rectal, diikuti 15 mg/kgbb tiap 4-6 jam. Bila kejang
diberi:
a. Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kgbb perlahan-lahan (1 mg/menit) atau rectal 5 mg untuk BB
<10 kg dan 10 mg untuk BB >10kg. bila kejang belum teratasi setelah 2 kali pemberian
diazepam, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-15 mg/kgbb dalam NaCl 0,9% sama
banyak diberi bolus iv perlahan-lahan, kemudian diikuti dosis rumatan fenitoin 5
mg/kgbb dibagi dalam 2-3 dosis.
b. Fenobarbital, bila tidak ada pilihan lain sebagai alternative, diberikan im: 30 mg untuk
usia < 1 bulan, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, 75 mg untuk usia > 1 tahun.
Setelah 4 jam pemberian dosis awal dilanjutkan dengan fenobarbital 8 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis, berikan selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis rumat 4 mg,kgbb,hari dibagi 2
dosis sampai 3 hari bebas panas.
10. Hemoglobinuria / black water fever
Pada hemoglobinuria malaria, jika ada parasitemia maka pengobatan antimalaria yang sesuai
harus diteruskan. Transfusikan darah segar untuk mempertahankan nilai Ht > 20%. Pantau
tekanan vena jugularis atau sentralis untuk menghindari kelebihan cairan dan hipervolemia.
Berikan furosemid 1 mg/kgbb secara iv. Jika oliguria disertai kadar ureum darah dan
kreatinin serum yang meningkat, mungkin perlu dilakukan dialysis peritoneal atau
hemodialisa.
11. Ikterus
Tidak ada terapi khusus ikterus. Bila ditemukan hemolisi berat dan Hb sangat turun, maka
diberikan transfuse darah. Kadar bilirubin akan kembali normal dalam beberapa hari setelah
pengobatan dengan antimalaria. Pada ikteus berat, dosis obat antimalaria sebaiknya diberi
setengah dosis dengan waktu pemberian dua kali lebih lama.
12. Hiperparasitemia
Segera beri obat antimalaria. Respons pengobabtan dievaluasi dengan memeriksa ulang
parasitemianya. Indikasi transfuse tukar bila:
Parasitemia >30%.
Parasitemia >10% disertai komplikasi berat lainnya seperti malaria serebral, GGA,
ARDS, ikterus dan anemia berat.
Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian antimalaria
yang optimal.
Parasitemia >10% disertai adanya skizon pada darah perifer.
Kemoterapi Antimalaria
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina,
pirimetamin, dan sulfadoksin. Obat antimalaria dapat dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrositer dalam
beberapa hari sehingga mencegah parasit masuk ke dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai
profilaksis kausal, yaitu pirimetamin, proguanil.
2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus praeritrositer P. vivax
dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, yaitu
primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrositik pada malaria akut (disertai
gejala klinik) pada semua spesies Plasmodium. Obat ini digunakan untuk pengobatan
supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P.
vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya
adalah kuinin, klorokuin, proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosida P.
falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan
kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P.
ovale.
5. Sporontosida: dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk
ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles.Contoh: primakuin dan proguanil.

Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian,
walaupun tidak diobati infeksi rata- rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena
mempunyai sifat relaps, sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan keccenderungan
relaps, pernah dilaporkan sampai 30- 50 tahun. Infeksi P.falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai
satu tahun. Infeksi P.falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi
secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indikator
prognosis buruk apabila Indikator klinis:
1. Umur 3 tahun atau kurang
2. Koma yang berat
3. Kejang berulang
4. Refleks kornea negatif
5. Deserebrasi
6. Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edem paru)
7. Terdapat perdarahan retina
8. Indikator laboratorium
9. Hiperparasitemia (> 250.000/ ml atau > 5%)
10. Skizontemia dalam darah perifer
11. Leukositosis
12. PCV (packed cell volume) < 15%
13. Hemoglobin < 5 g/ dl
14. Glukosa darah < 40 mg/ dl
15. Ureum > 60 mg/ dl
16. Glukosa LCS rendah
17. Kreatinin > 3,0 mg/ dl
18. Laktat dalam LCS meningkat
19. SGOT meningkat > 3 kali normal
20. Antitrombin rendah
21. Peningkatan kadar plasma 5- nukleotidase.

Pencegahan
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria, maka 2
minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari daerah endemik malaria,
tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a) Klorokuin basa 5 mg/ kgbb (8,33 mg garam), maksimal 300 mg basa sekali seminggu
atau
b) Fansidar atau Suldox dengan dasar Pirimetamin 0,50 0,75 mg/ kgbb atau Sulfadoksin
10- 15 mg/ kgbb sekali seminggu ( hanya untuk umur 6 bulan atau lebih)
2. Menghindar dari gigitan nyamuk
a) Obat pembunuh nyamuk
b) memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
3. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit
ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria menimbulkan kesulitan
pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
1. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk
dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c. Gametosit yang
menginfeksi nyamuk;
2. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan
vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing,
tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium Falciparum
merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat
mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil.
Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.





Daftar Pustaka
1. Soedarmo SSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.h.408-36.

Anda mungkin juga menyukai