Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Nunung A. M.
Umur : 44 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jambewangi, RT 02/015, Secang, Magelang
Pekerjaan : Guru
Status Perkawinan : Sudah menikah

II. ANAMNESIS
(Anamnesis dilakukan dengan penderita sendiri pada tanggal 4 Juli 2013 di
poli mata RST dr.Soedjono)
Keluhan Utama : Penglihatan tidak jelas saat melihat jauh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 6 bulan yang lalu pasien merasakan pandangan kedua matanya
tidak jelas pada saat melihat jauh. Pasien juga merasakan kedua matanya
terasa cepat lelah dan pegal terutama setelah membaca. Selain itu pasien juga
mengeluhkan kepala nya terasa berat. Pasien memiliki kebiasaan sering berada
berjam-jam di depan komputer.

Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat memakai kacamata sebelumnya disangkal
- Tidak ada riwayat penyakit Diabetes Mellitus sebelumnya
- Tidak ada riwayat trauma atau operasi pada mata sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang memakai kacamata yang dipakai
sehari-hari sebelumnya.
- Ayah, ibu serta suami dari pasien menggunakan kacamata untuk
membaca
- Tidak ada anggota keluarga memiliki riwayat Diabetes Mellitus
2
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang guru. Biaya pengobatan ditanggung oleh Askes.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

III. PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (Tanggal 4 Juli 2013)
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : TD : 120/70 mmHg Suhu : 36,8
0
C
Nadi : 76x/menit RR : 20x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala/leher : tidak ada kelainan
Thoraks : Cor : tidak ada kelainan
Paru : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan
Status Oftalmologi (Tanggal 4 Juli 2013)

Oculus Dexter PEMERIKSAAN Oculus Sinister
6/9 Visus 6/12
S - 0,75 6/6
Add S + 1,50
Koreksi S - 0,75 6/6
Add S + 1,50
Gerak bola mata normal
Enoftalmus (-)
Eksoftalmus (-)
Strabismus (-)
Bulbus Oculi Gerak bola mata normal
Enoftalmus (-)
Eksoftalmus (-)
Strabismus (-)
Edema (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), blefarospasme (-),
lagoftalmus (-)
Palpebra Edema (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), blefarospasme (-),
lagoftalmus (-)
Edema (-), injeksi konjungtiva Konjungtiva Edema (-), injeksi konjungtiva
3
(-), injeksi siliar (-), bangunan
patologis (-)
(-), injeksi siliar (-), bangunan
patologis (-)
Normal, warna putih Sklera Normal, warna putih
Bulat, edema (-), infiltrat (-),
sikatriks (-)
Kornea Bulat, edema (-), infiltrat (-),
sikatriks (-)
Jernih, kedalaman cukup,
hipopion (-), hifema (-)
COA Jernih, kedalaman cukup,
hipopion (-), hifema (-)
Kripta ( ), warna cokelat,
edema (-), sinekia (-), atrofi (-)
Iris Kripta ( ), warna cokelat,
edema (-), sinekia (-), atrofi (-)
Reguler, letak sentral, diameter
3 mm, refleks pupil L/TL (+/+)
Pupil Reguler, letak sentral, diameter
3 mm, refleks pupil L/TL (+/+)
Jernih Lensa Jernih
Jernih

Vitreus Jernih
+ cemerlang Fundus Refleks + cemerlang
tidak ditemukan adanya
gambaran bulan sabit di polus
posterior fundus (miopik
kresen), tidak ditemukan
adanya degenerasi makula &
retina perifer
Retina tidak ditemukan adanya
gambaran bulan sabit di polus
posterior fundus (miopik
kresen), tidak ditemukan
adanya degenerasi makula &
retina perifer
Tonometri digital normal TIO Tonometri digital normal

IV. DIAGNOSIS BANDING
Oculus Dexter Sinister
ODS Miopia
Dipertahankan karena pada pasien terdapat keluhan melihat jauh dan
kabur, juga disertai keluhan nyeri kepala, serta dapat dokoreksi dengan lensa
sferis negatif.
ODS Presbiopia
Dipertahankan karena pasien berusia lebih dari 40 tahun, memiliki
keluhan mata cepat lelah dan pegal setelah membaca, dan dapat dikoreksi
dengan lensa add S+1,50
4
ODS Hipermetropia
Disingkirkan karena pada hipermetropia melihat jarak jauh dan dekat
penglihatan menjadi kabur dan dikoreksi dengan lensa sferis positif.
ODS Astigmatisma
Disingkirkan karena pada astimatisma melihat jarak jauh penglihatan
menjadi kabur dan dikoreksi dengan lensa silindris.

Oculus Dexter Sinister
ODS Presbiopia
Dipertahankan karena pasien berusia lebih dari 40 tahun, memiliki
keluhan mata cepat lelah dan pegal setelah membaca, dan dapat dikoreksi
dengan lensa add S+1,50
ODS Miopia
Dipertahankan karena pada pasien terdapat keluhan melihat jauh dan
kabur, juga disertai keluhan nyeri kepala, serta dapat dokoreksi dengan lensa
sferis negatif.
ODS Hipermetropia
Disingkirkan karena pada hipermetropia melihat jarak jauh dan dekat
penglihatan menjadi kabur dan dikoreksi dengan lensa sferis positif.
ODS Astigmatisma
Disingkirkan karena pada astimatisma melihat jarak jauh penglihatan
menjadi kabur dan dikoreksi dengan lensa silindris.

V. PEMERIKSAAN LAIN
Autorefraksi dengan autorefraktometer

VI. DIAGNOSA KERJA
ODS Miopia
ODS Presbiopia

VII. TATALAKSANA
- Medikamentosa : -
- Non medikamentosa : -
o Resep kacamata sesuai dengan koreksi
5
o Miopia
OD : S 0,75
OS : S 0,75
o Presbiopia
Add S + 1,50 Dioptri
- Edukasi
o Untuk ODS Miopia
Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
dialami salah satunya disebabkan oleh bentuk bola
mata yang panjang.
Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
terjadi dapat diperbaiki dengan kaca mata.
Mengingatkan pasien untuk memperhatikan sumber
pencahayaan saat membaca, terutama pada malam hari
dan menyarankan untuk lebih sering melihat ke
kejauhan, jangan terlalu berlama-lama di depan
komputer dan jangan membaca sambil tiduran.
Menyarankan kepada pasien untuk melakukan kontrol
visus setiap tahun.
o Untuk ODS Presbiopia
Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
dialami salah satunya disebabkan oleh melemahnya
otot mata karena usia tua
Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
terjadi dapat diperbaiki dengan kaca mata baca
Menjelaskan bahwa penurunan tajam penglihatan yang
terjadi dapat terjadi perubahan terus sehingga pasien
harus sering kontrol dan menyesuaikan ukuran kaca
mata baca pasien dengan pertambahan usia.
Mengingatkan pasien untuk memperhatikan sumber
pencahayaan saat membaca, terutama pada malam hari


VIII. PROGNOSIS
6
OD OS
Quo ad visam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad vitam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad functionam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad cosmeticam Dubia ad bonam Dubia ad bonam

IX. KOMPLIKASI
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi
retina dan juling ke dalam (esotropia)

X. RUJUKAN
Dalam kasus ini tidak dilakukan Rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran
Lainnya, karena dari pemeriksaan klinis dan laboratorium tidak ditemukan kelainan
yang berkaitan dengan Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.


















7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MIOPIA
2.1.1. Definisi
Miopia (nearsightedness, shortsightedness, penglihatan dekat) yaitu
seseorang tidak bisa melihat benda jauh dengan jelas tapi bisa melihat dengan
jelas benda-benda yang dekat. Hal ini terjadi apabila bayangan dari benda yang
terletak jauh berfokus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi.
2,8,9

2.1.2. Klasifikasi
Borish and Duke-Elder membagi beberapa bentuk miopia menjadi :
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia
indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan
lensa yang terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat penjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
Miopia diukur dalam satuan dioptri dapat dibagi menurut derajat
beratnya yaitu :
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri. Pasien dengan
miopia sedang lebih cenderung terkena sindrom penyebaran pigmen atau
glukoma pigmentasi.
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri. Pasien
dengan miopia berat atau tinggi lebih cenderung mengalami pelepasan retina
dan glukoma primer sudut terbuka. Pasien dengan miopia berat atau tinggi
juga sering melihat floaters , bentuk seperti bayangan yang terlihat tunggal
atau berkelompok pada lapang pandang. Pada mata dengan miopia tinggi
akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti miopik kresen yaitu bercak
atrofi koroid yang berbentuk bulan sabit pada bagian temporal yang
berwarna putih keabu-abuan kadang-kadang bercak atrofi ini mengelilingi
papil yang disebut annular patch. Dijumpai degenerasi dari retina berupa
kelompok pigmen yang tidak merata menyerupai kulit harimau yang disebut
8
fundus tigroid, degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer
(degenerasi latis). Degenerasi latis adalah degenerasi vitreoretina herediter
yang paling sering dijumpai, berupa penipisan retina berbentuk bundar, oval
atau linear, disertai pigmentasi, garis putih bercabang-cabang dan bintik-
bintik kuning keputihan. Perkiraan insiden sebesar 7% dari populasi umum.
Degenerasi latis lebih sering dijumpai pada mata miopia dan sering disertai
ablasio retina, yang terjadi hampir 1/3 pasien dengan ablasio retina. Tanda
utama penyakit adalah retina yang tipis yang ditandai oleh batas tegas
dengan perlekatan erat vitreoretina di tepinya. Secara garis besar, 30% dari
pasien yang menderita miopia adalah kelompok miopia berat atau tinggi.
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk :
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia
maligna = miopia degeneratif.
Miopia dibagi berdasarkan usia terjadinya miopia yaitu:
a. Kongenital miopia atau infantil miopia, muncul pada saat lahir dan menetap
selama masa infant.
b. Miopia onset usia muda, terjadi sebelum usia 20 tahun
c. Miopia masa sekolah, biasanya terjadi pada masa anak-anak, ketika usia
sekolah. Bentuk miopia ini diakibatkan penggunaan mata untuk bekerja
secara dekat selama masa sekolah.
d. Miopia onset usia tua
a. Miopia onset usia dewasa awal, terjadi antara usia 20 dan 40 tahun.
b. Miopia onset usia dewasa akhir, terjadi setelah usia 40 tahun.
2.1.3. Patogenesis
Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang terlalu kuat
untuk panjangnya bola mata akibat:
1. Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter antero-posterior
yang lebih panjang, bola mata yang lebih panjang ) disebut sebagai miopia
aksial.
9
2. Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu cembung
atau lensa mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut miopia
kurvatura/refraktif.
3. Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes mellitus.
Kondisi Ini Disebut Miopia Indeks
4. Miopi Karena perubahan posisi lensa Posisi lensa lebih ke anterior,
misalnya pasca operasi glaukoma.
2.1.4. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala subjektif miopia antara lain:
1. Kabur bila melihat jauh.
2. Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat.
3. Lekas lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai dengan
akomodasi).
4. Astenovergens
Gejala objektif miopia antara lain
Miopia simpleks :
a. Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang
relatif lebar. Kadang-kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol.
b. Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat
disertai kresen miopia (myopic cresent) yang ringan di sekitar papil saraf
optik.
Miopia patologik :
a. Gambaran pada segmen anterior serupa dengan miopia simpleks.
b. Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa kelainan-
kelainan pada.
Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan atau
degenerasi yang terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang
mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang ditemukan ablasi
badan kaca yang dianggap belum jelas hubungannya dengan keadaan
miopia.
Papil saraf optik : terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia, papil
terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen
miopia dapat ke seluruh lingkaran papil sehingga seluruh papil
10
dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan pigmentasi yang tidak
teratur.
Makula : berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang
ditemukan perdarahan subretina pada daerah makula.
Retina bagian perifer : berupa degenersi kista retina bagian perifer.
Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid
dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid tampak lebih
jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.
2.1.5. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Dalam menegakkan diagnosis miopia, harus dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
pasien mengeluhkan penglihatan kabur saat melihat jauh, cepat lelah saat
membaca, atau melihat benda dari jarak dekat. Berikut ini gejala utama yang
terjadi pada:
2,8

a. Miopia simpel
Gejala utama miopia simpel adalah pandangan kabur yang menetap saat
melihat jauh, sedangkan penglihatan dekat biasanya normal. Gejala selain
pemandangan kabur mungkin saja muncul.
b. Miopia malam
Gejala utamanya adalah pandangan jauh kabur saat pencahayaan kurang.
Pasien sering mengeluhkan sulit melihat rambu-rambu lalu lintas saat
berkendaraan malam hari.
c. Pseudomiopia
Pandangan jauh kabur yang sementara, khususnya saat setelah melakukan
pekerjaan yang dekat. Hal ini mengindikasikan tidak cukup baiknya
fungsi akomodasi.
d. Miopia degeneratif
Pada miopia degeneratif terdapat pemandangan jauh yang sangat kabur
karena derajat miopia sangat signifikan. Pasien harus meletakkan objek
sangat dekat dengan matanya. Pasien mungkin mengeluhkan adanya
kilatan cahaya atau benda-benda yang mengapung akibat perubahan dari
vitreoretinalnya. Jika patologi dari segmen posterior berubah maka akan
mengakibatkan gangguan fungsi retina, pasien akan mengeluhkan
11
memiliki riwayat hilangnya penglihatan atau riwayat menggunakan alat
optik dengan koreksi tinggi.
e. Miopia terinduksi
Pasien dengan miopia terinduksi juga melaporkan adanya pandangan jauh
yang kabur. Waktu kaburnya itu sesuai dengan agen atau kondisi yang
mempengaruhi miopia tersebut. Pupil konstriksi saat penyebab dari
miopia ini adalah agen agonis kolinergik.
Setelah melakukan anamnesis, pada pasien dilakukan pemeriksaan
mata sebagai berikut:
2,8,10-12

a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus, refraksi subjektif)
Cara subjektif dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen dan lensa
coba. Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak 5-6
meter dari kartu Snellen dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan
tenang. Pada pemeriksaan terlebih dahulu ditentukan tajam penglihatan
atau visus yang dinyatakan dengan bentuk pecahan.Visus yang terbaik
adalah 5/5 (20/20), yaitu pada jarak pemeriksaan 5 meter dapat terlihat
huruf yang seharusnya terlihat pada jarak 5 meter.

Gambar 7. Snellen Chart
10

Bila huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat dilihat, maka
pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung jari
12
pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan normal terlihat
pada jarak 60 m, jika penderita hanya dapat melihat pada jarak 2 m, maka
visusnya sebesar 2/60. Apabila pada jarak terdekat pun hitung jari tidak
dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa
menggerakkan tangannya pada bermacam-macam arah dengan jarak
bermacam-macam dan meminta penderita mengatakan arah gerakan
tersebut. Gerakan tangan pada penglihatan normal terlihat pada jarak 300
m, jika penderita hanya dapat melihat gerakkan tangan pada jarak 1 m,
maka visusnya 1/300.Namun apabila gerakan tangan tidak dapat terlihat
pada jarak terdekat sekalipun, maka pemeriksaan akan dilanjutkan dengan
menggunakan cahaya dari senter pemeriksa dan mengarahkan sinar
tersebut pada mata penderita dari segala arah, dengan salah satu mata
penderita ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat melihat arah
sinar dengan benar, apabila penderita dapat melihat sinar dan arahnya
benar, maka fungsi retina bagian perifer masih baik dan dikatakan
visusnya 1/~ dengan proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat
melihat sinar dan tidak dapat menentukan arah dengan benar atau pada
beberapa tempat tidak dapat terlihat maka retina tidak berfungsi dengan
baik dan dikatakan sebagai proyeksi buruk. Bila cahaya senter sama sekali
tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi kerusakan dari retina
secara keseluruhan dan dikatakan visus nol atau buta total.
b. Retinoskopi atau refraksi objektif
Pemeriksaan retinoskopi dilakukan dalam kamar gelap, dengan jarak
pemeriksa dan penderita sejauh 0,5 meter. Sumber cahaya terletak di atas
penderita agak kebelakang dan cahaya ditujukan kepada pemeriksa yang
memegang cermin, dimana cermin kemudian memantulkan cahaya
tersebut ke arah pupil penderita, sehingga pemeriksa dapat melihat refleks
fundus pada pupil penderita melalui lubang pada bagian tengah cermin.
13

Gambar 8. Reflek Fundus pada Retinoskopi
12


Kemudian cermin tersebut digerak-gerakkan dan pemeriksa
memperhatikan gerakan dari refleks fundus pada mata penderita. Pada
penderita miopia akan didapatkan arah gerak refleks fundus yang
berlawanan dengan arah gerak cermin, maka perlu ditambahkan dengan
lensa konkaf (minus), sampai reflek pupil mengisi seluruh apertura pupil
dan tidak lagi terdeteksi adanya gerakan (titik netralisasi). Pemeriksaan
dilakukan dengan memasangkan lensa sferis +2 D, selanjutnya dilakukan
koreksi yang sesuai sampai dicapainya titik netralisasi.


Gambar 9. Gerak Reflek Fundus yang Berlawanan Arah
12

Selain itu, pemeriksa juga perlu memperhatikan terang, bentuk dan
kecepatan gerak fundus. Refleks yang terang, pinggirnya tegas dan gerak
yang cepat menunjukkan kelainan refraksi yang ringan, sedangkan refleks
yang suram, pinggir tidak tegas dan gerak lamban menunjukkan adanya
kelainan refraksi yang tinggi.


14
Pada pasien dewasa, pemeriksaan subjektif dan objektif harus dilakukan.
Setelah melakukan pemeriksaan mata, dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk mengidentifikasi keadaan yang berhubungan serta
memantau perubahan retina pada pasien dengan miopia degeneratif atau
progresif, yaitu melalui:
12

a. Fundus fotografi
b. A- dan B-scan ultrasonografi
c. Lapangan pandang
d. Pemeriksaan lain, seperti gula darah puasa, dan lain-lain.
2.1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis miopia ditegakkan secara subyektif dan obyektif. Menegakkan
diagnosis secara subyektif melalui gejala klinis pada miopia dan menggunakan
cara trial and error. Diagnosis secara obyektif menggunakan pemeriksaan
penunjang berupa funduskopi, streak retinoskopi dan autorefraksi. Diagnosis
banding dari miopia adalah hipermetropi, astigmatisma, dan kelainan pada
segmen belakang mata
2.1.7. Penatalaksanaan
a. Koreksi optikal
Koreksi penglihatan dilakukan dengan memberikan kaca mata atau lensa
kontak yang memberikan penglihatan jauh yang baik. Derajat miopia
diperkirakan dengan menghitung kebalikan dari jarak titik jauh. Dengan
demikian, titik jauh sebesar 0,25 meter menandakan perlunya lensa koreksi
sekitar minus 4 dioptri.
Beberapa keuntungan menggunakan kaca mata yaitu:
Kaca mata lebih hemat dalam beberapa kasus.
Kaca mata memberikan beberapa perlindungan pada mata, terutama ketika
lensanya berbahan policarbonat.
Kaca mata bisa digunakan bersamaan dengan terapi gangguan mata lain,
seperti prisma, bifokal, atau lensa progresif tambahan.
Kaca mata membutuhkan akomodasi yang kurang dibandingkan dengan
lensa kontak untuk miopia.
Kaca mata memberikan koreksi yang lebih baik pada beberapa tipe astigmat.
Beberapa keuntungan lensa kontak yaitu:
15
Lensa kontak lebih baik dari segi kosmetik
Lensa kontak memberikan gambaran pada retina yang lebih besar dan
ketajaman pemandangan yang sedikit lebih bagus pada miopia berat.
Lensa kontak mengurangi kejadian anisikonia pada anisometropia.
Lensa kontak mengurangi masalah tentang berat kaca mata dan keterbatasan
lapangan pandang pada penggunaan kaca mata.
Lensa kontak (rigid gas-permeable lenses) bisa mengurangi progresivitas
miopia.
b. Farmakoterapi
Kadang-kadang sikloplegik dapat digunakan untuk mengurangi respon
akomodasi yang merupakan bagian dari pengobatan pseudomiopia. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa penggunaan harian atropin dan siklopentolin
topikal dapat menggurangi progresivitas miopia pada anak dengan onset usia
muda. Oleh karena terjadi inaktivasi dari otot siliar, penambahan lensa positif
tinggi (2.50 D) diperlukan untuk penglihatan dekat. Untuk pasien yang
memiliki potensi reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi dan toksisitas sistemik,
maka penggunaan atropin dalam jangka waktu lama dapat memberikan efek
kebalikannya pada retina.
11-13

c. Operasi refraktif
1) Radial keratotomi (RK)
Insisi dengan pola seperti jari-jari radial pada parasentral kornea untuk
melemahkan bagian dari kornea. Bagian yang curam pada kornea akan
menjadi lemah sedangkan bagian central kornea akan mendatar. Hasil dari
perubahan refraktif tergantung pada ukuran zona optiknya dan jumlah serta
dalamnya insisi.
16

Gambar 10. Radial Keratotomi
13

2) Photorefraktive Keratektomi (PRK)
PRK adalah suatu prosedur dimana kekuatan kornea dikurangi dengan
menggunakan ablasi laser pada central kornea. Data dari beberapa penelitian
menyatakan bahwa 48-92% pasien mendapatkan ketajaman penglihatan 6/6
setelah melakukan prosedur ini. Pasien kadang-kadang menyatakan tidak ada
perbaikan setelah PRK, namun PRK ini lebih baik daripada RK. Baik RK
maupun PRK ini diindikasikan untuk miopia ringan dan sedang.

Gambar 11. Photorefractive Keratectomy
14


3) Laser Assisted In situ Keratomileusis (LASIK)

17

Gambar 12. Operasi Metode LASIK
14

LASIK merupakan metode terbaru didalam operasi mata, direkomendasikan
untuk miopia dengan derajat sedang sampai berat. Pada LASIK digunakan
laser dan alat pemotong yang dinamakan mikrokeratom untuk memotong
flap secara sirkular pada kornea. Flap yang telah dibuat dibuka sehingga
terlihat lapisan dalam dari kornea. Kornea diperbaiki dengan sinar laser
untuk mengubah bentuk dan fokusnya, setelah itu flap ditutup kembali.
4) Ekstraksi Lensa Mata (Lensektomi)
Ekstraksi lensa mata (extraction of clear crystalline lens, lensektomi)
dianjurkan pada miopia dengan -16 D sampai -18 D, khususnya pada
anisometropia miopia. Ekstraksi lensa mata pada anisometropia miopia yang
berat dikenal dengan operasi Fucala. Setelah ekstraksi lensa mata, dilakukan
implantasi lensa intraokular artifisial dengan kekuatan 0 D. Ekstraksi lensa
mata dengan implantasi lensa intraokular artifisial baru-baru ini
direkomendasikan untuk miopia dengan -12 D.

18

Gambar 13. Lensektomi dengan Implan Lensa Intraokuler
13


5) Implantasi Lensa Kontak Intraokuler (Phakic IOLs)
11,13

Pasien yang tidak memenuhi syarat untuk LASIK karena memiliki miopia
yang sangat tinggi atau kornea yang sangat tipis adalah calon potensial untuk
operasi implan lensa kontak. Fungsi lensa kontak ini sama dengan lensa
kontak yang dipakai di ekstraokular, namun ditempatkan antara kornea dan
iris. Beberapa ahli bedah mata menganggap metode ini merupakan pilihan
terbaik untuk miopia ekstrim. Lensa mata pasien tetap ada sehingga fungsi
akomodasi tidak terganggu.


Gambar 14. Koreksi Refraktif dengan Phakic IOLs
13

6) Intracorneal Ring (ICR) Implantation
Implantasi cincin intrakorneal dilakukan pada kira-kira dua per tiga
kedalaman stroma menggunakan implan dari plastik sintetik yang berbentuk
dua buah setengah lingkaran. Tindakan ini dianjurkan pada miopia dengan
usia di atas 2 tahun. Adapun hasil yang diharapkan yaitu sentral kornea lebih
datar dan mengurangi miopia.
19

Gambar 15. Intracorneal Ring Implantation
13
2.1.8. Komplikasi
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya
ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat
mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi
satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.
2.1.9. Prognosis
Prognosis dari miopia simpel sangatlah bagus. Pasien dapat memperoleh
penglihatan jauh yang baik dengan menggunakan koreksi. Hal ini tergantung
juga dengan derajat miopianya, astigmat, anisometropia dan fungsi akomodasi
dari pasien. Pemeriksaan secara teratur sangat penting untuk penderita
degeneratif miopia karena mereka mempunyai faktor risiko untuk terjadinya
ablasio retina, degerasi retina atau masalah lainnya.
10

2.2. AMBLIOPIA
2.2.1. Definisi
Ambliopia adalah penurunan tajam penglihatan yang terjadi secara
unilateral maupun bilateral tanpa defek anatomik yang nyata pada mata atau
jaras-jaras penglihatan sekalipun telah dikoreksi kelainan refraksinya akibat
deprivasi penglihatan dan/atau interaksi binokular yang abnormal.


2.2.2. Etiologi
Ambliopia dapat terjadi akibat banyak hal, diantaranya yaitu deprivasi
penglihatan, strabismus, dan kelainan refraksi yang tidak setara
(anisometropia). Sering pula keadaan ini disebabkan oleh lebih dari satu
etiologi. Selain itu intoksikasi zat seperti tembakau dan alkohol serta kelainan
organik juga dapat menimbulkan ambliopia.
20
2.2.3. Klasifikasi
Beberapa tipe dari ambliopia adalah sebagai berikut:
1. Ambliopia strabismik
Ambliopia strabismik terjadi akibat interaksi binokular abnormal yang
menimbulkan supresi monokular berkelanjutan pada mata yang mengalami
deviasi.
2. Ambliopia anisometropik
Ambliopia anisometropik disebabkan oleh perbedaan kesalahan
refraksi di antara kedua mata dengan rentang perbedaan sferis 1 D. Keadaan
ini biasanya berhubungan dengan mikrostrabismus atau muncul bersamaan
dengan ambliopia strabismik.
3. Ambliopia deprivasi stimulus
Ambliopia deprivasi stimulus terjadi akibat deprivasi penglihatan yang
terjadi unilateral atau bilateral biasanya disebabkan oleh kekeruhan media
refraksi (misalnya katarak) atau ptosis yang menghalangi cahaya masuk
melalui pupil.
4. Ambliopia ametropik bilateral
Ambliopia ametropik bilateral terjadi akibat kesalahan refraksi
simetris, biasanya hipermetropi.
5. Ambliopia meridional
Ambliopia meridional disebabkan oleh gambar yang kabur pada satu
meridian. Keadaan ini dapat terjadi secara unilateral atau bilateral dan
biasanya muncul akibat astigmatisma ( biasanya lebih dari 1 dioptri) yang
tidak dikoreksi dalam waktu lama dan muncul pada awal masa kanak-kanak.
2.2.4. Patofisiologi
Meskipun ambliopia memiliki banyak tipe sesuai dengan penyebab
munculnya, dari hasil penelitian didapatkan bahwa mekanisme terjadinya
ambliopia pada setiap tipe adalah sama walaupun masing-masing faktor
berperan dalam intensitas yang berbeda. Secara umum, ambliopia terjadi
akibat nirpakai (disuse) fovea yang rusak atau stimulasi perifer retina dan/atau
interaksi binokular yang abnormal sehingga menyebabkan input visual yang
berbeda pada fovea.
Pada ambliopia, sistem saraf pusat menjadi tidak dapat
mengidentifikasi stimulus visual; yaitu sinyal dikirimkan oleh mata namun
21
tidak dikenali di otak. Strabismus, deprivasi, dan gangguan refraksi dapat
menyebabkan ambliopia. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan normal
visual talamus dan korteks penglihatan memerlukan stimulus visual binokular
selama periode kritis perkembangan.
Periode kritis perkembangan visual tersebut adalah:
Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 hingga 20/20 yang terjadi
saat lahir hingga usia 3-5 tahun
Risiko tertinggi terjadinya ambliopia deprivasi terjadi pada masa beberapa
bulan hingga usia 7-8 tahun
Pemulihan ambliopia dapat dicapai mulai masa terjadinya deprivasi hingga
usia remaja sampai dewasa.
Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab ambliopia masih sangat
belum jelas, hasil penelitian menunjukkan ambliopia berkembang karena
gangguan sistem penglihatan dan fungsi neuron yang besar akibat pengalaman
melihat abnormal dini. Sel pada korteks visual primer dapat kehilangan
kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau kedua mata, dan sel
yang masih responsif fungsinya akhirnya dapat menurun. Kelainan juga
terjadi pada neuron corpus geniculatum lateral. Sedangkan keterlibatan retina
belum dapat dibuktikan.

Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan terutama
interaksi kompetitif antar jalur penglihatan di kedua mata pada korteks visual
untuk berkembang hingga dewasa. Bayi sudah dapat melihat sewaktu lahir,
tapi mereka harus belajar bagaimana menggunakan mata mereka. Mereka
harus belajar bagaimana untuk fokus, dan bagaimana cara menggunakan
kedua mata bersamaan.

Penglihatan yang baik harus jernih, bayangan terfokus sama pada
kedua mata. Bila bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak
sama pada kedua mata, maka jaras penglihatan tidak dapat berkembang
dengan baik, bahkan dapat memburuk. Bila hal ini terjadi, otak akan
mematikan mata yang tidak fokus dan orang tersebut akan bergantung pada
satu mata untuk melihat.
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis ambliopia ditegakkan melalui langkah-langkah berikut:
22
1. Anamnesa
Anamnesa dilakukan untuk menggali informasi yang mendukung seseorang
menderita ambliopia. Biasanya pasien akan mengeluh pandangannya kabur
pada sebelah atau kedua mata. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat
menjalani terapi oklusi (patching) atau penggunaan obat tetes mata
sebelumnya sebagai upaya mengurangi gejala pandangan kaburnya dan
seberapa patuh pasien menjalani terapi tersebut.
Pasien juga perlu ditanyakan mengenai riwayat operasi mata atau riwayat
menderita penyakit mata sebelumnya. Riwayat keluarga dengan strabismus
atau gangguan penglihatan lainnya juga dapat ditanyakan sebagai informasi
tambahan.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia sulit untuk mengidentifikasi huruf yang tersusun
linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang terisolasi, maka dapat kita
lakukan dengan meletakkan balok di sekitar huruf tunggal. Hal ini disebut
Crowding Phenomenon.
Terkadang mata ambliopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada
huruf isolasi dapat turun hingga 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk
(contour interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang juga muncul
sewaktu pasien sedang diobati kontrol, dimana tajam penglihatannya jauh
lebih baik pada huruf isolasi daripada huruf linear. Oleh karena itu, ambliopia
belum dikatakan sembuh hingga tajam penglihatan linear kembali normal.
12

b. Neutral Density Filter Test
Tes ini digunakan untuk membedakan ambliopia fungsional dan
organik. Filter densitas netral dengan densitas yang cukup untuk menurunkan
tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan di depan mata yang ambliopia.
12,14
Bila pasien menderita
ambliopia, maka tajam penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus
semula atau sedikit membaik.
Jika ada ambliopia orgaanik, tajam penglihatan menurun dengan nyata
bila digunakan filter, misalnya 20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau
lambaian tangan. Keuntungan dari dilakukannya tes ini adalah skrining cepat
23
sebelum dilakukkannya terapi oklusi bila penyebab ambliopia belum
diketahui.
c. Menentukan Sifat Fiksasi
Pada pasien ambliopia, sifat fiksasi haruslah ditentukan. Penglihatan
sentral terletak pada fovea; pada fiksasi eksentrik, yang digunakan adalah
daerah retina parafoveal ini sering dijumpai pada pasien ambliopia
strabismik daripada pasien ambliopia anisometropik. Fiksasi eksentrik ditandai
dengan tajam penglihatan 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi.

Sifat fiksasi
tidak cukup hanya dinilai dengan posisi refleks cahaya korneal. Fiksasi
didiagnosis dengan menggunakan visuskop dan dapat diddokumentasikan
dengan kamera fundus Zeiss. Tes lainnya dapat dilakukan dengan alternate
cover test untuk fiksasi eksentrik bilateral.
Visuskop
Visuskop adalah oftalmoskop yang telah dimodifikasi yang
memproyeksikan target fiksasi ke fundus. Mata yang tidak diuji ditutup.
Pemeriksa memproyeksikan target fiksasi ke dekat makula, dan pasien
mengarahkan pandangnnya ke tanda bintik hitam (asterisk/*).
13,14
. Posisi
tanda asterisk di fundus pasien dicatat. Pengujian ini diulangi beberapa kali
untuk menentukan ukuran daerah fiksasi eksentrik. Pada fiksasi sentral, tanda
asterisk terletak di fovea. Pada fiksasi eksentrik, mata akan bergeser sehingga
asterisk bergerak ke daerah ekstrafoveal dari fiksasi retina.

Alternate Cover Test
Fiksasi eksentrik bilateral adalah suatu kelainan yang jarang dijumpai
dan terjadi pada pasien-pasien dengan ambliopia kongenital kedua belah mata
dan dalam hal ini, pada penyakit makula bilateral dalam jangka lama.
Misalnya bila kedua mata eksotropia atau esotropia, maka bila mata
kontralateral ditutup, mata yang satunya tetap pada posisi semula, tidak ada
usaha untuk refiksasi bayangan. Tes visuskop akan menunjukkan adanya
fiksasi eksentrik pada kedua belah mata.
2.2.6. Penatalaksanaan
Ambliopia pada sebagian besar kasus dapat ditatalaksana dengan
efektif selama satu dekade pertama. Lebih cepat tindakan terapetik dilakukan,
maka akan semakin besar pula peluang keberhasilannya.
24
Pada prinsipnya, penatalaksanaan ambliopia meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Menghilangkan (bila ada dan memungkinkan) semua penghalang
penglihatan seperti katarak
2. Koreksi kelainan refraksi
3. Memaksa penggunaan mata yang ambliopik dan membatasi penggunaan
mata yang lebih baik.
Katarak yang dapat menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi.
Pengangkatan katarak kongenital pada usia 2-3 bulan pertama kehidupan,
sangat penting dilakukan agar penglihatan kembali pulih dengan optimal. Pada
kasus katarak bilateral, interval operasi pada mata yang pertama dan kedua
sebaiknya tidak lebih dari 1-2 minggu. Terbentuknya katarak traumatika berat
dan akut pada anak di bawah umur 6 tahun harus diangkat dalam beberapa
minggu setelah kejadian trauma, bila memungkinkan, karena katarak
traumatik sangat bersifat ambliopiogenik.
9
Kegagalan dalam menjernihkan
media, memperbaiki optikal, dan penggunaan reguler mata yang terluka akan
mengakibatkan ambliopia berat dalam beberapa bulan, selambat-lambatnya
pada usia 6 hingga 8 tahun.
12

Pada ambliopia yang disebabkan oleh kelainan refraksi dapat diterapi
dengan kacamata atau lensa kontak. Ukuran kacamata untuk mata ambliopia
diberi dengan koreksi penuh dengan penggunaan siklopegik. Bila dijumpai
miopia tinggi unilateral, lensa kontak merupakan pilihan, karena bila memakai
kacamata akan terasa berat dan penampilannya akan buruk.
12

Karena kemampuan mata ambliopia untuk mengatur akomodasi
cenderung menurun, maka ia tidak dapat mengompensasi hiperopia yang tidak
dikoreksi seperti pada mata anak normal. Koreksi afakia pada anak dilakukan
sesegera mungkin untuk menghindarkan terjadinya deprivasi penglihatan
akibat keruhnya lensa menjadi defisit optikal berat. Ambliopia anisometropik
dan ambliopia isometropik akan sangat membaik walau hanya dengan koreksi
kacamata beberapa bulan.
9

Selanjutnya untuk tujuan memaksa penggunaan mata ambliopik dan
mengurangi penggunaan mata yang normal dapat dilakukan melalu terapi
oklusi dan degradasi optikal. Terapi oklusi (patching) telah dilakukan sejak
abad ke-18 dan merupakan terapi pilihan pada ambliopia yang
25
keberhasilannya cukup baik dan cepat. Patching dapat dilakukan penuh waktu
(full time) atau paruh waktu (part time).
1,4,14
a. Terapi Oklusi
Oklusi Full Time
Oklusi dilakukan pada mata sehat untuk setiap saat kecuali 1 jam
berjaga. Penutup mata yang digunakan biasanya berupa adhesive patch. Patch
dapat dibiarkan terpasang pada malam hari saat akan tidur atau dapat pula
dilepaskan. Selain adhesive patch, penggunaan kacamata okluder atau lensa
kontak opak juga dapat digunakan sebagai pilihan terapi ini. Teknik oklusi full
time baru akan dilakukan hanya bila strabismus konstan menghambat
penglihatan binokular, karena oklusi full time mempunya sedikit risiko, yaitu
bingung dalam penglihatan binokular.
9

Oklusi full time, berdasarkan aturannya, diberikan selama 1 minggu
per tahun usia. Misalnya, seorang anak ambliopia mata kanan berusia 3 tahun,
diterapi oklusi pada mata kiri selama 3 minggu, lalu dilakukan evaluasi untuk
menghindari terjadinya ambliopia pada mata yang masih sehat.
4


Oklusi Part Time
Oklusi part time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari, akan
memberikan hasil sama dengan oklusi full time. Durasi interval buka-tutup
patch tergantung pada derajat ambliopia.
9

Ambliopia Treatment Studies (ATS) telah membantu menjelaskan
peranan oklusi full time dibandingkan dengan oklusi part time. Dari hasil
penelitian tersebut disampaikan bahwa pasien usia 3-7 tahun dengan
ambliopia berat (tajam penglihatan antara 20/100 dan 20/400) akan
menunjukkan hasil yang sama baik dengan terapi oklusi full time maupun part
time selama 6 jam per hari. Dalam penelitian lainnya juga didapatkan bahwa
kemajuan tajam penglihatan pada terapi oklusi 2 jam/hari sama efektifnya
dengan terapi oklusi 6 jam/hari pada pasien ambliopia sedang (tajam
penglihatan lebih baik dari 20/100) usia 3-7 tahun. Pada penelitian ini, teknik
oklusi dikombinasikan dengan aktivitas melihat dekat selama 1 jam/hari.
4

26
Idealnya, terapi ambliopia diteruskan hingga terjadi fiksasi alternat
atau tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing-masing
mata. Hasil ini tidak selalu dicapai. Sepanjang terapi terus menunjukkan
kemajuan, maka penatalaksanaannya harus tetap dilanjutkan .
12

b. Degradasi Optikal
Metode lain untuk penatalaksanaan ambliopia adalah dengan
menurukan kualitas bayangan pada mata yang lebih baik hingga menjadi lebih
buruk dari mata yang ambliopia, yang sering disebut sebagai teknik penalisasi.
Siklopegik (biasanya atropine 1%) diberi satu kali dalam sehari pada mata
yang lebih baik sehingga tidak dapat sehingga tidak dapat berakomodasi dan
kabur bila melihat dekat.
9
ATS menunjukkan metode ini memberi hasil yang sama efektifnya
dengan patching untuk ambliopia sedang (tajam penglihatan lebih baik
daripada 20/100). ATS tersebut dilakukan pada anak usia 3-7 tahun. ATS juga
memperlihatkan bahwa pemberian atropine pada akhir minggu memberi
perbaikan tajam penglihatan sama dengan ambliopia sedang. Ada juga studi
terbaru yang membandingkan atropine dengan patching pada 419 orang anak
usia 3-7 tahun menunjukkan atropine merupakan pilihan efektif. Sehingga,
ahli mata yang tadinya masih ragu-ragu, memilih atropine sebagai pilihan
pertama daripada patching.
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi utama dari ambliopia yang tidak diterapi adalah hilangnya
penglihatan permanen. Sebagian besar ambliopia dapat reversibel jika
dideteksi dan diterapi secepatnya sehingga komplikasi ini dapat dicegah.

2.2.8. Prognosis
Beberapa faktor mempengaruhi prognosis dan keberhasilan terapi
ambliopia, yaitu:

1. Tipe ambliopia; pasien dengan anisometropia tinggi dan kelainan organik
memiliki prognosis yang lebih buruk, sedangkan ambliopia strabismik
memiliki prognosis yang lebih baik.
2. Umur saat terapi dimulai; semakin muda usia pasien saat memulai terapi,
semakin baik prognosisnya.
3. Tajam penglihatan awal; semakin baik tajam penglihatan awal pada mata
ambliopia, maka semakin baik pula prognosisnya.

27
2.3. Sikatrik Kornea
2.3.1. Definisi
Sikatriks kornea adalah terbentuknya jaringan parut pada kornea oleh berbagai
sebab.
2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi sikatrik kornea pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumbar (2,5%),
terendah di Provinsi di Sumut, Kepulauan Riau, Provinsi DKI Jakarta, Papua Barat
dan Papua (0,3%). Prevalensi sikatrik kornea pada salah salah satu mata tertinggi di
Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Sulawesi Tengah (0,9%), terendah di Provinsi
DKI Jakarta dan Kepulauan Riau (0,1%). Prevalensi sikatrik kornea pada dua mata
maupun satu mata terendah dijumpai pada kelompok umur 20-29 tahun (0,1%)
sedangkan prevalensi tertinggi ditemui pada kelompok umur 75 tahun (8.7%).
Sikatrik kornea dua mata dan sikatrik kornea satu mata berdasar gender hampir sama
prevalensinya, sedangkan menurut pekerjaan tertinggi pada petani (1,8%) dan
terendah pada pekerja di sektor swasta (0,4%); lebih tinggi pada kelompok yang tidak
bersekolah (4,1%) dan terendah pada kelompok pendidikan tamat SLTA (0,4%); lebih
tinggi di pedesaan baik dua mata (1,2%) maupun satu mata(0,6%) dibanding
perkotaan. Prevalensi sikatrik kornea dua mata (1,1%) lebih tinggi ditemui pada
tingkat pengeluran rumah tangga yang rendah sedangkan sikatrik kornea pada satu
mata (0,4%) persentasenya lebih rendah pada tingkat pengeluran rumah tangga yang
tinggi. Gangguan penglihatan berat (10,4%) kebutaan (9,8%).
2.3.3. Patofisologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.
5

Sikatriks sendiri penyebab paling banyak dikarenakan ulkus kornea, maka dalam
perjalanannya menjadi penyakit dapat menimbulkan jaringan parut.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
28
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear
(PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin,
kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
6

Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua
arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka
akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika
lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan
ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.
5
2.3.4. Etiologi

Kondisi medis berikut adalah beberapa kemungkinan penyebab luka kornea .
Abrasi kornea Laserasi kornea Burns Herpes simpleks Neurotrophic keratitis Syphilis
Kornea cedera Cedera mata Bisa disebabkan oleh luka pada kornea (abrasi, laserasi,
luka bakar, atau penyakit), tergantung pada tingkat jaringan parut, visus dapat berkisar
dari blur ke kebutaan total walaupun sangat menyakitkan atau penyembuhan
transparan (tidak meninggalkan bekas luka). Lecet yang lebih dalam dan ulcerations /
luka mengakibatkan hilangnya jaringan kornea, yang diganti oleh jaringan parut.
Sikatrik dari penyakit (biasanya peradangan) biasanya merupakan hasil dari
proliferasi pembuluh darah baru ke dalam kornea jelas, untuk membantu dalam proses
penyembuhan. Penyakit yang menyebabkan vaskularisasi termasuk herpes simpleks,
sifilis, dan keratitis.
2.3.5. Klasifikasi
Sikatrik Kornea dibagi menjadi tiga menurut ketebalannya yaitu : Nebula (bentuk
paling ringan, tidak terlihat jika tidak menggunakan senter), Makula (terlihat dengan
menggunakan senter), dan Lekoma (sangat kelihatan sekali seperti kekeruhan pada
kornea).
2.3.6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada sikatriks kornea secara umum dapat berupa :
Gejala Subjektif
Pandangan kabur
Gejala Objektif
29
Nebula
Penyembuhan akibat
keratitis superfisialis
Kerusakan kornea pada m.Bowman
sampai 1/3 stroma
Pada pemeriksaan, terlihat kabut di
kornea, hanya dapat dilihat di kamar
gelap dengan Slit-lamp dan bantuan kaca pembesar

Makula
Penyembuhan akibat ulkus kornea
Kerusakan kornea pada 1/3 stroma
sampai 2/3 ketebalan stroma
Pada pemeriksaan, putih di kornea,
dapat dilihat di kamar gelap dengan slit-lamp tanpa bantuan kaca
pembesar

Leukoma
Penyembuhan akibat ulkus kornea
Kerusakan kornea lebih dari 2/3
ketebalan stroma
Kornea tampak putih, dari jauh sudah
kelihatan
Apabila ulkus kornea sampai ke
endotel akan mengakibatkan perforasi, dengan tanda :
o Iris prolaps
o COA dangkal
o TIO menurun
kemudian sembuh menjadi leukoma adheren (leukoma disertai sinekia
anterior)
2.3.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya
30
riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat,
misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh.
Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti
kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus
terutama keratitis herpes simplek.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya debula, makula,
leukoma.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
Ketajaman penglihatan
Tes refraksi
Tes air mata
Pemeriksaan slit-lamp
Keratometri (pengukuran kornea)
Respon reflek pupil
2.3.8. Penatalaksanaan
Ketika jaringan parut kornea cukup padat untuk mempengaruhi penglihatan,
sebuah transplantasi kornea ditunjukkan. Prosedur ini 90% berhasil karena laju
penolakan minimal (karena kurangnya pasokan darah pada kornea). Implikasi:
Pengobatan terbaik adalah pencegahan (penyakit dan cedera). Edukasi kebutuhan
akan bervariasi, tergantung kondisi individu (luas dan Iocation jaringan parut kornea).
2.3.9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa kebutaan parsial atau komplit
2.3.10. Prognosis
Prognosis sikatris tergantung pada tingkat keparahannya namun siktriks
kornea prognosisnya buruk.









31
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE, 2006. Sifat Optik Mata. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, terj. Edisi ke-11. Jakarta: EGC. 2008; h.641-53.
2. Riordan-Eva P, Whitcher JP, 2008. Optik dan Refraksi. Dalam: Vaughan &
Ashbury Oftalmologi Umum, terj. Edisi ke-17. Jakarta: EGC. 2010; Widya
Medika: Jakarta. 2000. h.382-98.
3. Dandona R, Dandona L, 2001. Refractive error blindness. Bulletin in The World
Health Organization. 79(3): h.237-43.
4. Sirlan, F. 2006. Blindness reduction rate: Is it important to
evaluate?MajalahOphtalmologicaIndonesiana. 3(3): h.241.
5. Depkes RI,Ditjen Binkenmas, 2005. Hasil Survey InderaPenglihatan dan
Pendengaran. h.189-99.
6. Schlote T, 2006. Pocket Atlas of Ophtalmology.Jerman: Georg Thieme Verlag.
h.20-43
7. Crick R, Khaw PT, 2003. A Textbook Of Clinical Ophthalmology. 3rd edition.
London: World Scientific Publishing. 2003. h.97-135.
8. The Eye M.D. Association. Fundamentals and Principles of Ophtalmology.
Section 2.San Francisco: American Academy of Ophtalmology. 2012. h.67-78.
9. Myrowitz EH, 2012. Juvenile Myopia Progression, Risk Factors and Intervention.
Saudi Journal of Ophthalmology. 2012; 26: h.293-7.
10. David A. Goss, OD, 2006. Optometric Clinical Practice Guidline: Care of The
Patient with Myopia. American Optometric Association. 2006; h.3-31.
11. William AL, 2003. Basicand Clinical Science Course: Optics, Refraction, and
Contac Lens. Section 3. USA: American Academy of Ophtalmology. 2003; 118-9.
12. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, 2009. Basic and Clinical Science Course:
Clinical Optics. Section 3. USA: American Academy of Ophtalmology. 2009;
121-64.
13. David A. Goss, OD, 2006. Optometric Clinical Practice Guidline: Care of The
Patient with Hyperopia. American Optometric Association. 2006; h.2-23.
14. David A. Goss, OD, 2006. Optometric Clinical Practice Guidline: Care of The
Patient with Presbiopia. American Optometric Association. 2006; h.2-26.


32

Anda mungkin juga menyukai