TEORI POSTMODERNISME DAN POSTKOLONIAL PENELITIAN KEBUDAYAAN A. DASAR-DASAR POSTMODERNSISME 1. Menuju Kemapanan Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik. Akan semakin rumit lagi, kalau posmodernisme sekedar diterima sebagai pengolok- olok wawasan modern. Akibatnya, mereka menerima tak ke dasar yang jelas, melainkan sekedar kulit-kulit saja. Penerimaan yang setengah-setengah, jelas akan memojokkan postmo- dernisme, sehingga boleh jadi menganggap paham tersebut sekedar buru-buru, reaksioner, dan lebih bersifat sembrana. Apalagi, penambahan awalan post dan akhiran isme! tersebut, oleh beberapa pemikir budaya masih diragukan. Apakah post! menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekostr!ksi be"aka. "anakala isme! tersebut kelak justru menjadi payung keilmuan #kajian$ budaya yang lebih jernih, artinya kajian dekonstruksi yang konstruktif, tentu semua pihak akan mengangguk. %al ini berarti posmodernisme menjadi pijaran neo-modernisme atau pasca-modernisme. Pada tingkatan demikian, postmodernisme telah melahirkan sebuah hirarkhi keilmuan yang handal. Postmodernisme tak sekedar gila! terhadap meta#ora$meta#ora #bahasa$ yang didengungkan &icoeur, yang selalu berpijak seperti ini! dan adalah bukan! #'ugiharto, ())*+*,$. -ebih dari itu, postmodernisme seharusnya menjadi kampiun kajian budaya, yang mampu mengungkap makna tertentu, yang referensinya tak sekedar konvensional!. Karena, konvensional! adalah referensi yang tak murni, melainkan yang telah dikatakan! dan dipoles lewat %a&a'a ba&asa. Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmodernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan. .eror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata saya! pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya - sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya dii/inkan dalam postmodernisme. 0ang lebih penting lagi, dalam postmodernisme memang sedang menuju! pada titik lebenswelt, sebagaimana digagas %usserl. -ebenswelt adalah tataa pe(a"ama &id!p 'a( mata() 'a( i(i dire#"eksika me*adi seb!a& (a(asa i"mia&+ Postmodernisme akan bergerak ke arah ini, untuk menemukan kesejatian pemahaman budaya. 0akni, mulai dari taraf prai"mia&) i,esi) re#"eksi) sampai ti(kat kemapaa.Postmodernisme ingin mendudukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering dikesampingkan kaum modernisme. 1ika kaum modernisme cenderung menepikan pemahaman budaya dari aspek &istoris) meai#ka b!da'a terpe%i") b!da'a ter*a*a&) da %eder!( mede-aka oposisi$oposisi bier, potmodernisme takdemikian. Postmodernisme justru ingin mengangkat dunia kecil, yang dibuang! oleh modernisme. 1ika kaum modernisme cenderung memahami budaya dengan struktur yang pasti, postmodernisme justru membuka dialog baru pemahaman budaya. Pemahaman budaya justru lebih ke arah demokratis dan terbuka. . Ke!enaran" #eja$a Ra%i&a$Paham postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia. "ereka tak semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan kesulitan-kesulitan metodologis untuk menaklukkannya tetapi malah mempertanyakan konsep self sebagai hal yang hidup. Percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming #menjadi$ #-iliweri, ())*+23$. Dari pernyataan demikian, berarti penelitian postmodernisme terhadap budaya lebih bebas dan radikal. %al demikian, juga diakui L'otard #'arup, *445+*5*-*56$ bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya radika"+ Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum- hukum, pola-pola budaya yang la/im, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status 7uo. 8tulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak- kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin. Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusionisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern 9 dianggap kurang berdaya. "aksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. .untutan /aman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya harus ini! dan harus itu!. Keharusan semacam ini, seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu sendiri, melainkan sekedar kamuflase belaka. Postmodernisme berpendapat bahwa kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. 1alan mencari kebenaran perlu dicari secara kreatif memberi makna budaya. "aka budaya yang telah ada perlu didekonstruksi, karena konstruksi yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran. Kemungkinan besar, logika postmodernisme memang kontroversial dan paradoks. .egasnya, logika berpikir mereka sangat labil dan tak menghendaki kemapanan dalam mencari kebenaran makna. Kendati logika mereka sangat cerdas, tetapi sering dicap tidak konsisten, dan ini ciri postmodernisme. "ereka akan memahami gejala budaya menurut sistem yang dianutnya. "ungkin, sistem itu sangat subyektif, individualis, idealis, dan sulit dipahami oleh orang awam. 0ang jelas, sistem pemahaman itu sendiri tak bisa dibakukan, dikukuhkan, dan disistematikakan. "emang harus diakui, penelitian budaya yang menggunakan paham postmodernisme seakan-akan belum diakui oleh akademisi tertentu. Para peneliti masih budaya sering menganggap bahwa postmodernisme sebagai gejala radikal akademik, yang sering memaksakan sebuah paradigma. Padahal, bagi mereka sebenarnya kaca pandang! mutakhir ini merupakan rangkaian pelengkap kajian budaya sebelumnya. Paling tidak, postmodernisme akan memberikan pencerahan penelitian budaya pasca-tafsir kebudayaan yang dianggap kurang berhasil. .erutama, setelah :eert/ menafsirkan budaya 1awa di Pare dengan samaran "ojokuto. Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di 1awa secara keseluruhan. Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan. 'andaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. -ogika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan grandtheory! sudah tidak relevan lagi. ;amun, mereka lebih menghargai perbedaan,pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya. B+ TEORI KA.IAN /+ P"!ra"itas Maka"enurut "arvin %arris #*44(+*<5-*<6$ postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang #sedikit$ bertentangan dengan modernisme. 8stilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradigma penelitian yang lebih istimewa. =agi >oucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. 88mu akan mencari best answer!. ;amun, jawaban yang hadir dalam pandangan postmodernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran. 'alah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya. "ereka cenderung memandang budaya itu bermakna banyak #plural$. =udaya menyuguhkan makna yang bersifat poli-interpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat problematis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. =ahkan 'trorey #())5+*(5$ menyatakan pascastrukturalisme mengimani! bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final. Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. "akna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. "akna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. 1adi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. %al ini tidak berarti bahwa postmodernisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melainkan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan. 1ika kaum modernis selalu mengandalkan rahasia makna! budaya dalam sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demikian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. %ubungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus- menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esensial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan pluralitas makna. Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. .entunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. "akna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. =iasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. %al ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. "eskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandangan yang luar biasa bagi pengkaji budaya. "enurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah rajutan!, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks. =agi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. =udaya, pada mulanya adalah kata!. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. "akna budaya justru tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. "akna teks akan berubah dan berkembang terns. 1ika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu /aman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. "akna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah e7uivocity #berdalih$ untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran objektif? ke subyektif?, yang umum ke individual. Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagaimana orang mengartikannya. 0ang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, =arthes, dan lain-lain - pengalaman empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. =erarti bahasa #teks budaya$ itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. "akna akan terkait denga kreativitas manusia dalam berbahasa. -ogika yang digunakan dalam analisis budaya secara postmodernisme memang berlaku sempit. -ogika tersebut lebih bersifat sensible@make sense, yang penting dapat dimengerti, meskipun informasi yang digunakan untuk menarik kesimpulan tidak konsisten. Dalam kaitan ini, "arilyn 'trathen #*4,2$ mengatakan, .he *4()s shift between >ra/er and postmodernismeist anthrophology helps interpret the alleged shift from modernism to postmodernisme in the *4,)s. .he phenomenon lies in how anthopologists represent what they do, what they say they are wrtiting, and in the purpose of communication. 8deas cannot in the end be divorced from relationships A ! #*4,2+*34$. Pendapat tersebut sejajar dengan pernyataan Keesing bahwa ! .. anthophology as an interpretive 7uest will havve to be situated more wisely within a wider theory of society, cultural meanings will have to be more clearly and carefully connected to the real humans who live out their live through them! #*4,2+*34$. 'engaja atau tidak, dari kutipan di atas, tampak bahwa antara 'trathern dan Keesing bisa dicari titik temunya. .anpa mencari point puncak keduanya, sulit untuk melihat implikasi penting dalam jagad peneliti budaya di 8ndonesia. Kalau 'trathern dengan mengomentari >ra/er menunjukkan adanya pergeseran peneliti budaya modern ke postmodernisme, dari konteks ke luar konteks, dengan tujuan agar etnografi yang dihasilkan terkomunikasikan - Keesing lebih menekankan persoalan interpretasi. "aksudnya, tafsir kebudayaan hendaknya diletakkan dalam teori masyarakat luas secara tepat, dan makna budayanya harus lebih cermat dikaitkan dengan manusia yang hidup melalui budaya itu. Pertemuan kedua pendapat ini, adalah pada maksud etnografi itu ditulis. Eto(ra#i) per"! bar(aii( atara pee"iti$'a( dite"iti) pe!"is$pemba%a) a(ar ada pema&ama 'a( tepat di atara mereka. Di satu pihak, 'trathern telah memikirkan demokratisasi beretnografi, ada tawar-menawar, ada asah- asih-asuh, agar kajian budaya lebih komunikatif, tetapi tetap menjaga orisinalitas. Dalam beretnografi, tidak salah jika memperhatikan p"!ra"isme) m!"ti,oka"it') re#"eksi ,itas) re"ati,isme) da meta#oris. 1ika demikian halnya, kita salut dengan Keesing #*4,4+<$ yang semula mengorek habis-habisan peneliti budaya tafsir, lalu pada bagian lain ia juga mengakui #agak lunak$ bahwa para pakar peneliti budaya tidak begitu dibayang-bayangi oleh keilmiahan dibanding dengan kebanyakan rekan mereka di bidang psikologi, sosiologi, dll. Akhirnya, Keesing harus mengakui bahwa peneliti budaya harus berjuang menghadapi masalah komunikasi pada saat bekerja melintasi jurang pemisah perbedaan budaya. Bleh karena konsepobjektivitas! barat tidak selalu tepat diterapkan di dunia peneliti budaya kita, ahli peneliti budaya cenderung memanfaatkan kembali kemampuan kemanusiaan dalam belajar memahami dan berkomuni- kasi. Cpaya memahami simbol budaya, tidak selalu tepat untuk mengobjektivitaskan kontak-kontak kemanusiaan. =egitu pula pemahaman makna terhadap simbol mitos atau ritual tidaklah bisa diramalkan seperti halnya siapa yang akan memenangkan Pemilu. .ugas peneliti budaya, mirip seperti upaya menafsirkan %amlet. Kita tidak dapat menggali, mengukur, dan menguji 'hakespeare untuk mengetahui apakah tafsiran kita itu benar! dan tafsiran orang lain keliru. . Out o' (onte)t Dengan masuknya wacana sastra dan seni, dalam penelitian budaya langsung atau tidak 9 etnografi akan menjadi lebih Dberbunga?, tidak kering. D=unga? yang dimaksud, tidak sekedar asesori,melainkan juga menawarkan komunikasi khusus dalam etnografi, sehingga dalam konteks pluralisme budaya pun, akan tetap terpahami. Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran yang bergabung dengan semiotik yang menyangkut Dbagaimana? makna teks, dan tidak lagi hanya seperti hermeneutika yang lebih menyangkut Dapa? makna teks. %al semacam itu sejalan dengan pemikiran Eagleton #*4,,+542$ bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari moderisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari a,at$(arde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, meo"ak tradisi) da seba(ai oposisi &i(& %!"t!re. Dalam istilah yang sederhana, %abermas #%ardiman, *445+*24$ postmodernismeime itu sebagai langkah %o!ter %!"t!re , artinya keb!da'aa e"it ata! keb!da'aa massa pada masa moderisme *!str! di&a%!rka. 'trathern, yang banyak menyoroti gagasan >ra/er dengan cukup tajam, tampak memuji dan sekaligus mengujinya. >ra/er adalah peneliti budaya yang semula berinspirasi dari pendapat "alinowski, khususnya bahwa penelitian lapangan adalah upaya untuk+ to grasp the native?s of view! #hal. (<($. Di pihak lain, dengan sengaja atau tidak sebenarnya "alinowski sendiri juga mencoba menggulingkan ide-ide >ra/er yang cemerlang itu. 'etidaknya, dia ingin mengganti peneliti budaya teoritis dengan peneliti budaya lapangan. Kendati demikian, >ra/er tidak goyah dan tetap teguh pendiriannya pada karya yang ber!asa 0ter"a"!1 sastra, sehingga mengundang Dkecaman akademik? dari berbagai pihak. =ahkan karyanya telah memperlakukan peristiwa, tingkah laku, dan ritus di luar konteks. Karya >ra/er yang bersumber pada folklor Perjanjian -ama, jelas menghadirkan aroma baru dalam hal persuasi dan khayalan peneliti budaya. Dengan kegigihannya ia telah membahas pluralitas dan keragaman folklor, sehingga mampu melukiskan hubungan sastra dengan masa lampau. Dengan cara ini, ia merasa lebih dekat pembaca. Dengan model >ra/er itu, paling tidak telah terbuka jalan munculnya peneliti budaya komunikatif #istilah saya sendiri$, sehingga ada kaitan jelas antara pe!"is eto(ra#i) pemi"ik b!da'a) da pemba%a eto(ra#i. Karena itu, memang tidak keliru jika 'trathern juga memuji -eenhard bahwa karyanya pascastrukturalis memang mampu mengungkapkan teori budaya yang lebih terbuka dan inovatif. Pendek kata, apa yang dihasilkan >ra/er telah mampu menggeser tesis :eert/ bahwa menulis etnografi merupakan pekerja lapangan sebagai sumber kekuasaan terpadu. >ra/er secara diam-diam, telah membersitkan pee"iti b!da'a re#"ekti#, yakni karya etnografi merupakan &asi" dia"o( atara pee"iti b!da'a de(a i#orma. %ubungan antara pengamat dengan yang diamati, tidak lagi seperti hubungan subjek-objek. Dalam dialog tersebut subjektivitas dan objektivitas selalu bisa diciptakan. Dari akar semacam ini, >ra/er lalu mengangkat istilah sese o# &istor' untuk mengupas lebih jauh relasi antara pembaca dan penulis. Pendapat inilah yang juga terilhami oleh tafsir kebudayaan yang memandang budaya sebagai teks, budaya yang harus dibaca sebagai teks. Kelebihan >ra/er dalam hal ini adalah bahwa penulis dan pembaca #etnografi$, keduanya memiliki 2se*ara& ide3 yang menimbulkan imajinasi yang seringkali berbeda dalam menghadapi persoalan #baca+budaya$ yang sama. Asumsi inilah yang membuat >ra/er mulai Dpindah? dari frame modernis yang sering ke arah positivistik, menuju pada suatu shift #pergeseran$ pola pikir peneliti budaya. Pergeseran konteks, yang semula Din of conteFt? ke arah Dout of conteFt! akan membuahkan pola pemikiran baru, yang implikasinya menghadirkan arus postmodernisme. Dengan mempertimbangkan isyarat >ra/er, 'trathern berdalih bahwa pemahaman budaya dengan menempatkan suatu konteks yang dibangun oleh peneliti #penulis etnografi$ sesuai dengan kaidah teoritis dan pengorganisasian frame work - akan meluncurkan Dasap? karya-karya yang etnosentris. Etnosentrisme menurut 'wart/ dan 1ordan #*423+32$ adalah %ara mema&ami da me(e,a"!asi b!da'a me!r!t si pee"iti it! sediri. Bleh karena, di sini otoritas penuh berada pada diri peneliti dan atau penulis etnografi terhadap teks, kehadiran penulis menjadi dominan. Akibatnya menggembosi objektivitas itu sendiri. Dalam kaitan ini, penulis-peneliti etnografi tidak memberi Druang bicara? kepada pembaca, mematikan pembaca, dan membodohkan atau mendungukan. Karena itu, dalam Dout of conteFt? tidak menjadikan konteks sebagai hal utama yang harus didewakan. Penulisan dan penelitian yang akan membuahkan pelukisan budaya selalu sharing of culture. Dari alasan-alasan itu, 'trathern boleh dinilai telah berani Dmerobek? konteks. Artinya, dia telah mengarahkan agar penulispeneliti dan pembaca generasi masa kini, harus berbagi teks. Trias &ermee!tik) 'ait! rea"itas$ pe!"is4pee"iti) pemba%a) teks) da pem ba%a4pea#sir1) tidak &ar!s diberi sekat 'a( teba". "aksudnya, kalau dalam pandangan peneliti budaya modern masih berpusar pada prinsip putting thing in conteFt!, melalui pandangan >ra/er, peneliti budaya bisa keluar dari frame ini. 'ebab, sadar atau tidak di dalam kontak budaya, antara kutub penulis- pembaca, keduanya akan terdapat Dthe persuasive fiction?. Dengan khayalan yang meyakinkan ini, khayalan tingkat tinggi #meminjam istilah dalam wacana kreativitas sastra$, mungkin sampai ke tingkat fantasi, penulis akan menciptakan sesuatu yang Dbaru?, yang familier bagi pembaca. %al ini berarti bahwa pembahasan kebudayaan menjadi lebih demokratis, tidak ada Dpenguasa tunggal?, orang nomer satu #merujuk kata-kata K%. Gainudin "G$. =aik penulis maupun pembaca memiliki ruang yang sama dalam memahami kebudayaan. Konteks, boleh berpindah-pindah dan hanya ada dalam komunikasi dimana suatu konstruksi pemikira ters!s! me"a"!i dia"ektika+ Dengan pergeseran itu, timbul kebebasan atau kemerdekaan dalam mengetengahkan dimensi-dimensi kemanusiaan, dibanding tuntutan kepastian yang mereduksi realitas kemanusiaan. Dengan kata lain, out of conteFt bukan mengejar budaya sebagai where, budaya tidaklah mono, melainkan p"!ra" da me!r!t siapa. 'trathern juga memberikan sugesti bahwa gerakan feminisme pun memiliki andil penting dalam postmodernisme, karena tidak sedikit karya feminis yang dibentuk dengan wacana plural. Keduanya, memang memiliki visi yang berbeda, namun juga ada hal-hal esensial yang saling melengkapi. 'eperti halnya ditegaskan oleh >raser dan ;icholson #*44)+()$, jika postmodernisme ke arah prinsip dan esensi kritik budaya yang canggih dan persuasif serta cenderung mencari kekurangan-kekurangan, feminisme berusaha secara tegas cenderung mencari pergeseran prinsip dan esensi. Dengan kehadiran postmodernisme itu, penulis dan peneliti peneliti budaya menjadi lebih longgar. 'ekarang, bukan lagi soal objektivitas yang harus diperhatikan, melainkan pada pemahaman budaya yang tidak tercerabut dari akar pluralisme budaya. .idakkah =enjamin dan Adorno #'ullivan, *44)+(34$ juga mensugestikan bahwa postmodernisme mampu me*embatai (ap atara s!b*ek da ob'ek) praktis da teori da"am pee"iti budaya. la mengatakan+ .he merger of theory and teFtual form in postmodernismeist ethnography may, upon closer historical eFaminantion, prove to be a similarly illusory fiat!. =ahkan =runer #*445+(5$ mengungkapkan bahwa lukisan karya postmodernisme adalah+ a world that is multivocal, fragmented, desentered, with no master narrativees or central teFs, a world in wich meaning is radically plural!. %anya saja, apakah konteks serupa telah mendapat sambutan hangat dari peneliti budaya kitaH Apakah skripsi- skripsi dan juga desertasi peneliti budaya di 8ndonesia telah mau menjelajah apa yang dikehendaki >ra/erH 1ika belum, atau tidak, lalu kapan postmodernisme akan berkembangH Pertanyaan ini, tidak harus dijawab serta merta, melainkan waktulah yang menjawab dengan pasti. Kendatipun begitu, kehadiran ide >ra/er dan Keesing telah membuka mata kita. 'etidaknya, implikasi penting dari semua itu bagi calon peneliti budaya akan terbuka wawasan baru ke arah dunia baru yang rumit. -alu, kita akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan dan memahami budaya masa kini. .erlebih lagi jika bertumpu pada pernyataan Keesing #*4,*+()2-(2)$ dengan adanya persoalan mendasar pada dunia ketiga dan dunia keempat. Pandangan ini menginginkan seorang peneliti budaya yang #!t!ro"o(, mampu melihat ke depan dengan kacamata postmodemisme. Bleh karena, mengalirnya pengaruh postmo di pasar global dan abad mellenium nanti penuh tantangan. %al serupa juga telah ditunjukkan 'trinati #*44<+((,-(5<$ bahwa masa budaya massa dan budaya populer jelas akan hadir di depan mata kita. Pengaruh globalisasi, seperti film, arsitektur, televisi,"an, musik pop dan sebagainya akan membuat pergeseran konteks budaya kita juga. -ebih khusus lagi, kita akan tercuci batinnya bahwa dalam beretnografi dan meneliti+ #*$ kita jangan memaksakan pandangan, #($ kita mesti harus berhati-hati dalam meletakkan budaya dalam posisinya, #5$ dalam memahami budaya tidak harus etnosentris, artinya menurut Dkaca mata? si peneliti saja, #6$ pemahaman budaya perlu share, berbagi pengalaman antara penulis dan pembaca, #<$ penulis dan pembaca harus akrab, familier, kendati kita boleh bermain-main dengan bahasa, #3$ harus jujur? akan karya kita dan keterbatasan jangkauan kita. Persoalan yang harus dihadapi lebih jauh lagi, dengan adanya pemahaman bahwa konteks bisa bergeser, berubah, meloncat, dan bahkan berputar sampai 53) derajat - memang pada gilirannya akan menyulitkan penulisan sejarah peneliti budaya #baca+ kebudayaan$ itu sendiri. Kebudayaan menjadi sangat bebas dan hanya akan terpahami secara mendalam oleh kritikus kebudayaan. Akhirnya, karya kritik ini akan menyulitkan pula dalam menyusun teori kebudayaan. Atau mungkin, analog dengan wacana sastra, pada tataran tertentu memang tidak dibutuhkan sejarah dan teori peneliti budaya, etnografi, dan kebudayaan. -alu, dengan munculnya sejumlah buku, seperti tulisan Ian =all dan Kcentjaraningrat, yang masih beria-ria dengan sejarahteori itu menjadi kurang pentingH Pasalnya, kenapa harus ditulis sejarah dan teori, jika budaya itu sendiri Dtidak jelas? ada dimana, seperti apaH Postmodernisme biasanya mengembangkan paradoks$paradoks pea#sira maka. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap pinggiran, dan kurang mendukung makna - oleh kaum postmo justru dikejar. Kemungkinan hal-hal yang sepele yang kurang ber'a-a itu menjadi bermakna istimewa. 8tulah sebabnya Esneva dan Prakash #*44,+5$ menyatakan bahwa grass roots dari postmodernisme adalah kotra diksi. "elalui asumsi ke hal-hal yang kontradiktif dengan yang telah la/im, justru mereka mampu menemukan makna hakiki sebuah fenomena budaya. *. +ang&ah Kajian "enurut kaum postmodernisme, telah ada pelenyapan batas- batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara budaya struktural #legitimated, birokrasi$ dengan budaya populer, semua itu akan ditandai dengan penghilangan kode stilistik masing-masing. =ahkan, menurut mereka pada suatu saat budaya akan menjadi sebuah iroi) parodi) da pe!& permaia. 1adi, fenomena budaya boleh 'B bersifat imajiner, bebas, liar, dan bermakna. =udaya tak lagi berupa monumen! dan bangunan! kokoh, melainkan sebuah #eomea "et!r) mesra) da artistik. Dengan demikian, postmodernisme memang menolak sebuah &irark&i) (eea"o(ik) koti!itas) kesera(ama) da perkemba(a+ Dalam tataran ini, tidak berarti kaum postmodernisme sekedar membuat dobrakan #destruksi$ pada kaum modern, melainkan ingin merepresentasikan segala sesuatu yang buntu pada masa modern. Bleh karena kaum modern sering taat pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak menggunakan standar baku, melainkan bersifat kreati#. 8tulah sebabnya, Demda selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme tak ragu-ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja, asalkan bertujuan untuk memahami makna. Dalam kaitan ini, Derrida mengusulkan adanya istilah s!pp"emet3, yang berasal dari bahasa Perancis suppleer! artinya mengganti, "isalkan saja, kita harus menafsirkan budaya baik dan buruk. Ada yang berpendapat kebaikan ada karena ada standar keburukan. =ahkan, dalam tema tertentu sering muncul keb!r!ka aka ter&ap!s de(a kebaika. Paham semacam ini, semestinya didekonstruksiJ dengan cara berpikir me((ati. Kita perlu menyajikan tesis bahKa buruk! hanyalah pengganti saja perannya. Atas dasar itu, Derrida memberikan saran agar berhati-hati jika peneliti budaya berhadapan dengan budaya sebagai teks maupun ujaran dan tindakan. =udaya sebagai teks sering akan mengaburkan kenyataan, karena telah dipoles oleh kata+ Be(it! p!"a tidaka da !*ara 'a( dit!"is) seri(ka"i *!(a me*a!&i rea"itas. Padahal, makna budaya kadang-kadang boleh terpisah dari yang nampak dan referensi yang hadir. "aka, paham postmodernisme selalu berada pada posisi+ p"!ra" maka dibadi( otoritas kesat!a maka) "ebi& ber!pa kritika dibadi( kepat!&a) ke ara& perbedaa dibadi( persamaa) da "ebi& bersikap skeptis ter&adap sistem b!da'a+ "elalui postmodernisme, paham budaya sebagai teks akan dibongkar habis-habisan. Karena, teks sering diliputi kek!asaa. Ada hegemoni makna yang seringkali mengintervensi budaya. Dalam hal ini, memang ada benarnya jika >oucault menolak adanya se*ara& 'a( ob'ekti#+ T!"isa se*ara& ada"a& #eomea b!da'a. 'ayangnya, fenomena ini sering terkotori oleh trope #kiasan$ dan sejumlah ulangan! absurd. Di sini telah terjadi pemerkosaan wacana budaya. Karena itu, jika hal ini dimaknai menggunakan kacamata modern, seringkali gagal. -angkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji postmodernisme menurut Derrida #'ugiharto, ())*+6<$ yaitu+ Pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Ked!a, oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik. Keti(a, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama. 5+ KA.IAN POSTKOLONIALISME Kajian postko"oia" dalam bidang budaya memang tergolong baru. =ahkan, mungkin masih jarang yang berani menerapkan teori kajian ini ke dalam wilayah budaya. Karena, awal munculnya paham tersebut berasal dari ka*ia sastra #postcolonial literature$ yang dipelopori oleh =ill Aschroft dkk #:andi, ())*+vi$. Paham ini, semula mencuatkan pemahaman model national dan black writing. Mode" atioa" memusatkan perhatian pada hubungan antara e(ara da bekas *a*a&a'a. 'edangkan b"a%k -riti(, menekankan aspek etisitas. 'ebagaimana kehadiran postmodernisme dalam kajian budaya, yang juga dipicu oleh teori-teori sastra dan seni, postkolonialisme pun sebenarnya layak diangkat untuk mengkaji budaya. Konteks penjajah terjajah, dalam fenomena budaya sebenarnya lebih kaya. =anyak hal yang unik dan menarik untuk diungkap melalui teori postkolonialisme. %egemoni penjajah yang luar biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. =egitu pula persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham postkolonialisme. .radisi postkolonial mengenal dua kunci utama pemahaman budaya+ Pertama) domiasi$s!bordiasi+ 8su dominasi dan subordinasi muncal berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis dengan etnis. =ahkan, pada gilirannya dengan sistem kolonial yang aristokrat telah mengubah suborninasi dan dominasi individu kepada individu lain. 1ika hal ini terjadi, maka hubungan atasan-bawah, patron-clien, majikan-buruh, akan selalu ada. =udaya semacam ini, telah melahirkan keunikan-keunikan yang patut dicermati oleh peneliti budaya. =ahkan, suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga di 1awa ada anggapan wanita minangka kanca wingking, artinya wanita hanyalah teman di belakang #baca+ dapur$ menjadi semakin rumit. Ked!a) &ibriditas da kreo"isasi+ =udaya lama di era kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. =ahasa juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru. =udaya kolonial akan diubah #transkultural$ ke dalam wacana hidup baru. 8dentitas budaya yang konon selalu dianggap halus dan agung #adiluhung$, kemungkinan besar segera bergeser maknanya. Era ("oba"$"oka" da otoomi daera&, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke dalam budaya baru. Kek!ata patera" da p!sat) "ama$ke"amaa ber!ba& ke pi((ira. Kekuatan sakral #njeron beteng$ misalnya, akan berubah sembilan puluh derajat. .embok keraton dari waktu ke waktu juga runtuh!, bercampur dengan kelugasan di luar keraton. Dalam perubahan tersebut selalu terjadi negosiasi antar pelaku. %ibriditas tradisi yang konon dianggap hebat, lalu berkembang menjadi melemah. Dengan adanya postkolonial ini, peneliti budaya 1awa misalkan, dapat melalukan studi mendalam tentang terjadinya sinkretisme 8slam 1awa, %indu 1awa, yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat. 1ika pada awalnya, rakyat terjajah enggan menerima paham lain, namun dengan ada sinkretik barangkali mereka sama-sama diuntungkan. "ereka sama-sama tak terasa telah mengalami akulturasi budaya. "ereka pula secara halus telah mau menerima dan memberi kepada pihak lain. Proses keberterimaan dan penolakan budaya inilah yang menarik perhatian peneliti. 0ang perlu dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah konsep kajian :ayatri 'pivak tentang s!ba"ter. Dia mengajukan pertanyaan kritis+ dapatkan subaltern berbicaraH! S!ba" ter ada"a& s!b*ek 'a( terteka #:andhi, ())*+*$. Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. =iasanya posisi kaum terjajah adalah i#erior, sedangkan penjajah s!perior. Pihak inferior sering bisu! karena harus menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan dapatkah subaltern berbicara. 8ni sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak. Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama) ber&!b!(a de(a peak"!ka #isik. Ked!a peak"!ka pikira) *i-a) da b!da'a+ Baik peak"!ka pertama ma!p! ked!a) sama$sama tak me(eakka ba(i ka!m ko"oia"is+ Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. =egitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak tradisi penjajah. Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua hal. Pertama, me(!t!(ka si pe*a*a&) ter!tama pada bida($bida( tertet!+ Ked!a) me(!t!(ka ked!a$d!a'a, karena si terjajah dapat belajar banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa. Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan imperalismenya, tentu kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, ke&id!pa si ter*a*a& se%ara tak sadar aka me(ik!ti ke&edak pe*a*a&+ Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik. Pe*a*a&a teko"o(i i#ormasi) k!"t!ra") da po"itik te"a& me'isaka pe(a"ama pa&it. =ahkan, bangsa terjajah akan mengalami stress berat, karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. "isalkan saja, ketika isu teror ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas 8slam telah semakin gerah. Dengan demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah kolonialisme. Karena itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah ini. .ermasuk di dalamnya juga pe*a*a&a k!"t!ra") seperti b!da'a pe"a%!r ke"as kakap) teror bom) *!a" be"i ba'i) AB6) dan sebagainya patut disorot dalam postkolonialisme. 0ang penting dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus menarik mundur kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya kolonialisme. Kolonialisme dapat berlangsung singkat, datang pergi, dan tak pernah berhenti sepanjang bangsa dan etnis satu berhubungan dengan yang lain. Kajian postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan aspek politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Bleh karena, penjajah akan meaamka apa sa*a da "e-at sa*a 'a( m!(ki da strate(is seba(ai media. 8tulah sebabnya studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi dok!metasi kritik se*ara&+ Dokumentasi ini akan menjadi pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.