Anda di halaman 1dari 14

Octavio Paz, Amerika Latin, dan Senjakala Modernism

Oleh Nirwan Dewanto



BERTAHUN-TAHUN lalu saya mengenal nama Octavio Paz melalui sebuah sajaknya dalam
terjemahan Indonesia. Baris-baris sajak itu tidak dapat saya ingat lagi, tetapi yang tertinggal
pada saya adalah inti-nya: aku yang melihat perlahan-lahan berubah menjadi aku yang dilihat,
aku yang menyatakan bermetamorfosis menjadi aku yang dinyatakan.

Bertahun-tahun kemudian saya sadar, ketika itu saya tengah dan telah terpesona oleh nada
tragis dan sentimental pada sajak-sajak Indonesia mulai dari Amir Hamzah sampai para
penyair tahun 1970-an yang justru terjadi karena sang aku telah memisahkan diri dan
memberontak dengan serta-merta, aku yang menguasai kenyataan yang telah dimurnikan
dari kenyataan sehari-hari. Modernisme Indonesia, sebutlah demikian, telah memuncak dengan
cara seperti itu. Saya, yang begitu tergoda oleh lirikisme Indonesia, tidak sampai pada
penglihatan kritis pada sajak Paz itu. Untuk selanjutnya, Paz adalah nama yang menghilang
dalam khazanah sastra yang saya jelajahi. Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan lagi
Octavio Paz sebagai bagian dari Amerika Latin, yakni faset yang melakukan reaksi terhadap
modernisme Eropa. Dan reaksi itu, bagaimanapun serunya, dilakukan baik setelah percumbuan
maupun pertarungan dengan Eropa.

Ada banyak cara untuk memahami modernisme, namun yang ingin saya kutip adalah diktum
Immanuel Kant: pengetahuan, atau pengertian, tidak menurunkan hukum-hukumnya dari,
melainkan memaksakannya pada, alam. Diktum inilah yang dipraktekkan, secara terang-
terangan maupun terselubung, oleh ekonomi, politik, dan seni modern. Inilah juga sisi
tersembunyi dari humanisme terbit dan terang-benderangnya akal budi (rasio, reason). Dan
humanisme mempunyai konsekuensi logis: penaklukan, yakni penaklukan terhadap yang hadir
di luar aku: alam. Yang disebut kemudian sebagai Dunia Ketiga emas, rempah-rempah,
manusia kulit berwarna, eksotisme adalah bagian dari alam. Pengetahuan dan kekuasaan
adalah dua sisi sebuah mata uang. Penaklukan Amerika Latin dibungkus dengan eufemisme
Eropa: bahwa benua itu adalah sebuah Dunia Baru.

Beratus-ratus tahun setelah mata Eropa terbuka pada Asia, Amerika Latin bukan saja sebuah
wilayah yang teramat jauh, melainkan tak dikenal sama sekali. Amerika Latin adalah sebuah
kenyataan dalam dirinya sendiri, yang harus dilahirkan oleh manusia Eropa sebagaimana
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan: ia lebih merupakan invention daripada discovery, kata
sejarawan Edmundo OGorman.

Kebudayaan Indian Pra-Kolombia sebelum masa kolonialisme adalah kebudayaan yang paling
murni dalam sejarah kemanusiaan, karena ia terisolasi selama ribuan tahun oleh dua lautan
besar: ia ada untuk dirinya sendiri, tidak dikalahkan dan tidak menaklukkan. Ia tidak mengenal
sesuatu di luar dirinya, yakni yang lain (the other, otherness). Inilah benih kehancuran yang
dikandungnya sendiri, karena Dunia Baru adalah otherness bagi Eropa.

Penaklukan bukanlah kejahatan, demikian menurut pikiran sadar Eropa, melainkan penyebaran
sabda Tuhan dan akal budi. Pertemuan antara si penakluk dan si tertakluk adalah kenyataan
yang fantastis bagi yang pertama namun pembalasan dendam ilahiah bagi yang terakhir.
Amerika Latin terhukum untuk menjadi utopia Eropa. Orang-orang Spanyol, kata Pablo Neruda,
mengambil emas kita, tapi kita mendapatkan emas mereka: kata-kata. Marilah kita urai kata-
kata penyair Cile itu. Dengan kedatangan para conquistadores kebudayaan Pra-Kolombia
hancur sama sekali kecuali artifak-artifaknya. (Bandingkan dengan, misalnya, pertemuan antara
Jawa dan Islam, atau Jawa dan Belanda.) Pun kolonialisme Spanyol tidak merekayasa salah satu
bahasa pribumi untuk mempersatukan wilayah jajahan mereka. (Marilah kita ingat bahwa
Belanda, karena alasan-alasan obyektif, telah merekayasa politik bahasa, yakni menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Dan modernisme Indonesia berawal ketika politik bahasa
itu mencapai kematangannya.) Dengan itu Amerika Latin menghubungkan sekaligus
mempertentangkan dirinya terhadap Eropa. Itulah hubungan yang tidak perlu lagi dinyatakan
secara normatif, misalnya dengan menyatakan kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia seperti dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Bahasa Spanyol (dan bahasa Portugis di Brasil), dalam penggunaannya oleh para pengarang
Amerika Latin bagaikan cermin bagi sejarah yang koyak moyak oleh penaklukan dan kekalahan,
sejarah yang harus menghancurkan dirinya sendiri dan kemudian bangkit lagi dari abu
reruntuhannya seperti burung phoenix. Bertahun-tahun lalu, mungkin pada masa cinta pertama
saya dengan sastra, saya meyakini bahwa karya sastra adalah sesuatu yang direbut oleh
pengarangnya dari kenyataan, yakni dengan jalan menghancurkan kenyataan itu terlebih dulu.
Dengan kata lain: sebuah tour de force dari pengarangnya, kombinasi bakat dan teknik yang
leluasa hampir-hampir bersifat ilahiah untuk merebut inti kenyataan, yakni bagian
terdalam kenyataan yang tak tersentuh oleh hal-hal di luar sastra.

Pengarang dan penyair menempati posisi sangat khusus, dan akibatnya, sang aku dalam karya
sastra, meski sering bersifat tragik dan absurd, tetaplah pusat dan penguasa benda-benda.
Kritik sastra rupanya juga terseret oleh kepercayaan ini: ia hanya ingin mengusut dari mana
imajinasi berasal dan bagaimana imajinasi bekerja. Mungkin inilah pukulan pertama bagi saya
dari modernisme Indonesia. Sampai saya menerima pelajaran tentang imajinasi dari halaman
pertama novel Seratus Tahun Kebisuan.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia
terkenang akan sebuah sore yang jauh tatkala ia bersama ayahandanya menyaksikan es untuk
pertama kali. Ketika itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu bata,
terpacak di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya ditempati oleh batu-batu berwarna putih,
berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba.

Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk
menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya. Imajinasi bukanlah pembebasan
serta-merta. Melalui novel Gabriel Garcia Marquez itu kita memperoleh beberapa pelajaran.
Pertama, si tokoh justru terseret oleh masa lalunya, yakni sejarahnya yang kongkret, bukan
sejarah yang dinyatakan oleh yang lain justru pada saat paling gawat, saat hukuman matinya.

Meskipun kita selalu kehilangan kesempatan untuk merumuskan kapan hukuman mati itu
dilaksanakan. Di sini, waktu adalah irama yang berdetak dalam diri kita. Seseorang hampir mati,
dan kenyataan menjadi hidup pada saat itu juga. Kedua, manusia dan benda mulai pada posisi
yang sama: kenyataan adalah sesuatu yang dikenali, bukan terberi. Namun kemudian kita tahu,
penduduk Macondo miniatur Amerika latin tidaklah leluasa berbuat demikian, karena
tanpa mereka maui mereka diperkenalkan dengan temuan-temuan dari Eropa: magnet,
suryakanta, es, dan kemudian jalan kereta api dan partai politik.

Di sini sejarah adalah penguasaan oleh yang lain. Penamaan mereka terhadap benda-benda
ditelikung oleh temuan-temuan Eropa, yang jika diperlakukan dengan perilaku murni mereka
justru membuat mereka kandas. Inilah kesepian (soledad) Amerika Latin, karena pengenalan
tergerus oleh penaklukan. Bukan saja kesepian, tetapi labirin kesepian, atau seratus tahun
kesepian, yakni saat menunggu kesempatan kedua di bumi, jika sejarah hanyalah surga bagi
Eropa.

Namun, jika pengenalan bisa dilakukan, yakni jika sejarah menjadi bagian dari eksistensi
mereka, berlangsunglah penghancuran, dan mereka harus mulai dari awal lagi. Terceriteralah
kemudian dalam novel itu, bahwa setelah terserang wabah insomnia, seluruh penduduk
Macondo hilang ingatan, sehingga Aureliano Buendia harus menyelamatkan mereka: ia
menulisi benda-benda dengan nama mereka semula: meja, kursi, jam, dinding, ranjang, sapi,
kambing, babi, ayam. Dan: Pada permulaan jalan menuju rawa-rawa mereka memasang papan
bertuliskan MACONDO dan sebuah papan lebih besar lagi di jalan utama bertuliskan TUHAN
MASIH ADA.

* * *

JELASLAH tidak ada tradisi yang diterima dengan serta-merta. Tradisi adalah himpunan
pecahan-pecahan yang tersembunyi di bagian tak sadar, menunggu kesempatan untuk
meledak, menunggu saat diberi nama. Meksiko, dan Amerika Latin secara umum, semenjak
saat kemerdekaannya, masih terus bergulat dengan masa lampaunya.

Meksiko, yang dalam kesaksian Carlos Fuentes, telah lahir sebanyak tiga kali. Kelahiran pertama
ditebus dengan hancurnya kebudayaan Pra-Kolombia, yakni kelahiran kolonialisme. Kelahiran
kedua, pembebasan dari Spanyol, dan Meksiko adalah bandul yang bergerak antara Amerika
Serikat dan Prancis. Ideologi universal yang dipercaya sebagai kekuatan yang lain hanyalah
topeng bagi luka-luka Meksiko yang lama. Kelahiran ketiga adalah Revolusi Meksiko pada awal
abad ini.

Orang-orang Meksiko mengenal satu sama lain dalam letupan kesadaran akan kami sebuah
nasionalisme romantik. Cita-cita revolusi kandas oleh momentum Amerika Serikat: negeri utara
itu menancapkan diri sebagai sisi lain Meksiko. Paz, lebih dari sekadar pribadi, adalah sebuah
faset dalam pencarian Meksiko. Pada masa kanak ia telah terpesona pada artifak-artifak Pra-
Kolombia, yakni seni yang dianggapnya paling enigmatik dan orisinal, karena ia bermula dan
berakhir pada dirinya sendiri, tidak mengenal otherness. Pada saat ia mulai menulis, Meksiko
membakar Amerika Latin dengan gerakan seni rupa yang besar, yang mengiringi Revolusi: kaum
muralis dan Rufino Tamayo.

Tak terlupakan adalah nyala api modernismo yang ditinggalkan Ruben Dario: bahwa bahasa
Spanyol bukanlah terberi, tetapi media yang bebas merdeka bagi pengucapan Amerika Latin,
artinya eksperimen harus dipercayai. Dan di depan Paz pula sosok para penyair Spanyol zaman
Barok berdiri teguh. Ia pun tak menampik gaung teman-temannya, para penyair berbahasa
Spanyol pada awal abad ini. Saya ingin meletakkan Paz periode ini, dengan meminjam terma
dari Julia Kristeva, dalam tahap semiotik, yakni suatu tahap pra-bahasa, tahap disintegrasi
ketika pola-pola muncul tetapi tidak mempunyai identitas tetap: mereka kabur dan berubah-
ubah.

Puisi-puisinya bagaikan celoteh atau melodi yang keluar dari mulut kanak-kanak. Dengan kata
lain: citra dari ketidakstabilan tubuh. Paz bagaikan zone erotogenik yang gampang terpesona
secara ekstrem ataupun acuh tak acuh sama sekali. Itulah keadaan perubahan yang permanen
yang bahkan bisa menjurus ke penghilangan diri. Pokoknya tidak ada identitas yang pasti. Inilah
rangsangan untuk bersentuhan langsung dengan pusat-pusat kebudayaan dunia, upaya untuk
membongkar posisi pinggiran. Dan Paz bersentuhan dengan surealisme secara aktual. Ia
memasuki tahap maturasi: pencerminan akan kesadaran diri yang berhadapan dengan bahasa
(bahasa di sini dipahami sebagai pola yang jelas dari tanda-tanda, dalam hal ini kepenyairan
adalah bahasa.) Surealisme, bagi Paz ketika itu, adalah gerakan seni terbesar yang terakhir pada
abad ini, adalah juga kesadaran yang menyadari adanya ketidaksadaran, atau rasio yang
menganggap kegilaan bagian dari dirinya, dan dengan demikian adalah perlawanan terhadap
masyarakat borjuis yang mapan, positif, tapi dekaden.

Pengalaman Paz yang pertama adalah pengalaman dengan yang disebutnya sebagai negasi dan
disonansi. Modernisme tidak tertarik terhadap obyek-obyek, melainkan struktur obyek-obyek,
karena obyek-obyek sudah dikorupsi oleh moralitas borjuis. Secara simultan pula, Paz
menerima pengaruh dari paham-paham yang sudah surut: Blake, kaum Romantisis Inggris dan
Jerman, kaum Simbolis Prancis. Apakah ini artinya? Percumbuan dengan pusat-pusat
kebudayaan dunia tidak dapat dianggap sebagai hal permanen karena ia, sekali lagi, sebagai
satu faset Amerika Latin telah terbeban oleh trauma penaklukan dan kekalahan. Bagaimana jika
ia terbongkar sebagai yang lain padahal sesungguhnya ia ingin membongkar yang lain dalam
rangka mengenali wujudnya sendiri? Dan bagaimana jika yang lain itu justru terbongkar dalam
dirinya sendiri, jika ia pulang?

Pertanyaan ini tidak saja menggoda Paz, tetapi juga Alejo Carpentier, Jorge Luis Borges, Pablo
Neruda, Gabriel Garcia Marquez, Carlos Fuentes, Mario Vargas Llosa, dan sejumlah pengarang
lain yang melakukan kontak langsung dengan Eropa. Maka, sampailah mereka di ambang reaksi
terhadap modernisme Eropa. Dan bertahun-tahun kemudian Paz menulis: Seni modern adalah
modern sebab ia kritis. Kini kita menyaksikan pembalikan: seni modern mulai kehilangan
kekuatannya untuk melakukan negasi. Selama beberapa tahun ini daya dobraknya tengah
menjadi pengulangan ritual: pemberontakan jadi prosedur, kritik menjadi retorik, perlawanan
jadi upacara. Negasi tidak lagi kreatif.

Saya tidak berkata bahwa kita hidup di akhir seni: kita hidup di akhir gagasan (tentang) seni
modern. Beratus-ratus tahun lamanya Eropa menjadi pusat kebudayaan dunia karena ia
mempercayai Rene Descartes. Bahwa pusat dari segala-galanya adala cogito atau kesadaran.
Pernyataan Kant yang telah saya kutip menyempurnakan kepercayaan Cartesian ini. Dilihat dari
sudut pandang Eropa sendiri, ini adalah pembebasan dari kegelapan epistemologis, yang berarti
juga humanisasi.

Penaklukan dilihat dalam kerangka bahwa humanisasi harus mendunia. Cogito melihat sesuatu
di luar dirinya sebagai yang harus ditaklukkan. Tetapi, apakah penaklukan total terjadi?
Kemungkinan besar tidak, karena cogito pada akhirnya dirongrong oleh yang tidak disadarinya,
yakni basis ekonomi (Marx), ketidaksadaran (Freud), dan bahasa (Saussure). Namun, posisi
antara pusat dan pinggiran sudah telanjur terjadi. Dan seni Eropa adalah anak dari kepercayaan
Cartesian. Ia menegaskan posisi puncak sang aku: memuntahkan diri dengan spontan
(romantisisme), menahan diri untuk menguasai detail (realisme), dan pada akhirnya
mengatakan bagaimana ia terancam keretakan.

Di sinilah ide modernisme mulai. Dengan penemuan Marx dan Freud, seni (yang menjadi)
modern berusaha membongkar kenyataan yang menyelubungi konflik ekonomi dan konflik
erotik: berusaha menemukan secercah kebenaran. Namun jika kebenaran itu ada, ia tak
berguna. Di sinilah dua anak kandung kepercayaan Cartesian, yakni seni modern dan
kapitalisme, menempuh dua jalur berbeda dan akhirnya bertentangan prinsip satu sama lain:
sebuah kontradiksi budaya dalam kapitalisme.

Jika modernisme dipahami sebagai puncak pemujaan dan kebangkrutan cogito, ada dua
jalan reaksi yang ditempuh oleh Paz dan generasinya. Jalan pertama, seperti yang dilakukan
oleh Gabriel Garcia Marquez, ketika ia menyatakan bahwa Eropa adalah tawanan abstraksi-
abstraksi. Eropa sudah terlalu lama, dan terlalu banyak, memberi nama. Dan nama-nama itu
adalah bagian dari sejarahnya, yakni sejarah yang mencintai penaklukan.

Kami telah diajari untuk melupakan waktu asal-muasal kami, yakni waktu yang serta-merta,
sirkular dan mitis atas nama waktu yang progresif dan irreversible demi masa depan yang
terbatas, padahal itu adalah masa depan mereka. Kami adalah sejarah tersendiri: dalam diri
kami terkandung pecahan-pecahan Eropa, yang harus dibaca dan ditulis kembali. Kami harus
mulai lagi memberi nama-nama, karena pilihan yang lain hanyalah kematian.

Paling tidak ada dua kecaman yang dilancarkan ekstrem ini pada sastra Eropa. Novel-novel
Eropa, terutama dari abad ke-19, hanya bermain di dalam kota dan rumah-rumah. Itu tak lain
adalah penggambaran milik dan pemilikan pribadi yang, jika tak aman, memerlukan pahlawan
untuk menyelamatkannya. Jika sastra Eropa mengetengah alam di luar Eropa, yang mewadahi
pertemuan antara manusia Eropa dan manusia kulit berwarna sub-manusia yang terjadi
adalah eksploitasi kultur primitif demi penelanjangan diri. Maka, para penulis Amerika Latin itu
menemukan Amerika Serikat sebagai cermin baru.

Mengapa? Mungkin, karena Amerika Serikat pada mulanya adalah juga utopia Eropa (ia, seperti
halnya Amerika Latin, ditemukan oleh Eropa melalui Columbus), tetapi akhirnya ia mendahului
Eropa dalam waktu progresifnya. Ia adalah anak reformasi, sementara Amerika Latin anak
Kontra-Reformasi. Ia non-intelektual, ia Protestan, percaya pada pengaturan moral, dan
tumbuh dari kota-kota kecil.

Modernisme di sana (tidak dalam isi, tapi dalam bentuk, demikianlah kata Daniel Bell) tidaklah
merupakan konsekuensi dari filsafat, tetapi lebih merupakan reaksi terhadap fungsi, seperti
yang terjadi dalam jazz dan fotografi. Modernisme itu baru dipertegas ketika ia menerima
orang-orang buangan: seniman dan cendekiawan Eropa antara dua perang dunia. Ia sangat
berpengalaman dalam regionalisme (Melville, Cooper, Whitman), dan akhirnya yang melahirkan
William Faulkner, yang pengaruhnya tak terelakkan dalam prosa Amerika Latin tiga dasawarsa
ini.

Faulkner adalah eksperimentalis yang leluasa menggunakan pergantian dan penyejajaran
berbagai sudut pandang namun dengan keterikatan yang kuat pada geografi (Yoknapatawpha
County bagi Faulkner, Macondo bagi Garcia Marquez.) Jalan kedua ditempuh oleh orang-orang
seperti Jorge Luis Borges dan Octavio Paz. Bagi mereka, Eropa sudah pudar karena sudah
melewati puncaknya, tetapi tak mungkin ditolak karena ia merupakan sejarah yang kongkret.
Perjalanan ke Eropa adalah sebuah donquixotisme: sebuah perjalanan untuk melancarkaan
kritik terhadap yang sudah dibaca di rumah dan yang di luar rumah dilihat sebagai
kenyataan.

Seberapa layak kita memperlakukan Eropa, dan bagiannya, yang mana saja berarti untuk
aktualisasi kita. Menulis berarti menuliskan kembali. Para literati Eropa adalah kawan kita
menulis. Amerika Latin dan Eropa mestilah sama-sama bercermin. Di sini anggapan tentang
pusat kebudayaan dengan sendirinya ditolak. Teks Eropa harus dibongkar dan dituliskan
kembali. Borges membongkar dan menuliskan lagi, misalnya, teks Cervantes dan Dante.

Setiap penulis menciptakan sendiri para pendahulunya, dan karyanya mengubah masa lampau
sebagaimana masa depan, demikianlah kata Borges. Maka, identitas dimengerti sebagai suatu
penggandaan: suatu kesadaran yang terurai menjadi yang membaca (dan menulis) dan yang
dibaca (ditulis). Dengan demikian, posisi aku yang original, yang menguasai secara tunggal
berbagai sumber teks, ditolak. Sastra bukanlah sebuah kategori yang agung, karena posisi pusat
pengarang dibongkar. Seni modern adalah kegilaan yang (menjadi) bijak, kata Paz.

* * *

KONTAK Paz dengan salah satu puncak modernisme, yakni surealisme, ibarat mengoyak lagi
psike dari sejarah Amerika Latin. Seandainya surealisme hanyalah sekadar teknik yang bisa
dipakai, mungkin Paz tidak akan merelakan kejatuhan modernisme. Namun sejarah Amerika
Latin adalah kenyataan yang sureal, seperti contoh-contoh berikut ini.

Raja Aztec Mentezuma mengira Hernan Cortez si Penakluk adalah Dewa Quetzalcoatl yang
membalas dendam. Sebelas ribu ekor keledai masing-masing mengangkut seratus pon emas
meninggalkan Cuzco pada suatu hari untuk membayar upeti pada Raja Atahualpa namun
mereka tak pernah sampai ke tujuan. Jenderal Antonio Lopez de Santana diktator Meksiko
tiga kali mengadakan upacara pemakaman besar -besaran untuk kaki kanannya yang hilang
dalam sebuah perang.

Sastra Amerika Latin mulai dengan kronik-kronik yang ditulis oleh orang-orang Spanyol dan
Mestizo pertama yang berada di Meksiko pada masa penaklukan dan sesudahnya. Maka, suatu
psychic automatism seperti yang dipraktekkan kaum surealis adalah suatu pembebasan dari
kesadaran aku untuk menjadi yang lain. Dalam keadaan demikian khazanah Meksiko menjadi
siap dihidupkan lagi. Meksiko dan Paz menjadi kita yang hadir pada wilayah yang lain, atau
sebaliknya. Pada periode ini Paz menulis sajak-sajak panjang seperti Batu Matahari yang
didasarkan pada bentuk kalender Aztec: tentang aku yang terpecah-pecah dan terserap oleh
berbagai perbatasan dan tentang mitologi matahari Aztec.

Dalam sajaknya Kendi Pecah kita baca kalimat-kalimat ini: Kita mesti tidur dengan mata
terbuka, kita mesti bermimpi dengan tangan-tangan kita, kita mesti bermimpi tentang sungai
yang mencari alurnya sendiri, tentang matahari yang memimpikan semestanya sendiri, kita
mesti bermimpi habis-habisan, kita mesti bernyanyi sampai nyanyian mencabuti akar, batang,
reranting, burung-burung, bintang-bintang, kita mesti bernyanyi sampai impian di sisi orang
yang tertidur membuahkan gandum merah-kuping kebangkitan, air keibuan, sumber di mana
kita minum dan mengenal diri kita dan bangkit, sumber yang berkata bahwa kita adalah
manusia, air yang bicara sendiri di malam hari dan memanggil nama kita, sumber kata-kata
yang berkata aku, kau, ia, kita, di bawah pohon besar, patung hujan yang hidup, di mana kita
mengucap kataganti dengan takjub, mengenal diri kita dan mempercayai nama-nama kita.

Kalimat-kalimat di atas tidak mempunyai kepastian subyek. Si subyek memecah karena ledakan
kita dan mengalihkan diri pada benda-benda dan pada gilirannya terjadi yang sebaliknya:
sebuah daur ulang. Suatu pengenalan dengan keretakan subyek: bahwa hal itu tidak dapat
ditopengi melainkan harus dikenali dalam wacana. Kesadaran tergusur dari dominasinya sampai
ia harus mengingat yang dikatakan oleh darah, air pasang, tanah, dan tubuh dan kembali ke
titik permulaan. (Sajak ini kurang lebih memperlihatkan pengaruh Tanah Gersang, satu bukti
bahwa Paz dengan cepat menumpuk arsip-arsip kaum modernis Eropa dalam dirinya.) Dan di
sini juga Paz sampai di ambang kritik terhadap modernisme. Mungkin lebih tepat dikatakan:
suatu pembongkaran terhadap khazanah Eropa yang, karena melewati begitu banyak puncak,
hanya meledak ke arah dalam (implosi).

Namun, dunia di luar Eropa mengalami hal yang justru karena ia mendefinisikan dirinya dari
sudut pandang pusat kebudayaan dunia. Paz tidak memilih satu posisi diametral terhadap
Eropa (dan Amerika Serikat). Yang ia lakukan adalah perjalanan keluar-masuk, menyaksikan dan
menyentuh kulit Eropa yang mengelupas selapis demi selapis. Memang, Paz menyaksikan yang
kemudian dikatakan oleh Milan Kundera: Jika Tuhan sudah pergi dan manusia bukan lagi tuan,
lalu siapakah tuan kini? Bumi ini bergerak terus tanpa tuan. Itulah the unbearable lightness of
being. Eropa menjadi korban dari bobotnya sendiri, yakni penumpukan temuan-temuan atas
dasar kepercayaan Cartesian, dan kini ia menginginkan pembongkaran atas dirinya sendiri.

Jika kaum (pasca)-strukturalis dan dekonstruksionis sebagai faset Eropa berupaya
membongkar dan membalikkan tradisi filsafat aku karena Eropa sudah terlalu lama berkuasa,
Paz, sebagai faset Meksiko yang pernah menjadi korban Eropa, hanyalah perlu melintasi
fragmen-fragmen aku yang hadir serempak di mukanya untuk memastikan bahwa Meksiko
adalah yang lain.

Demikianlah, penaklukan adalah risiko dari rekonsiliasi yang terlambat (orang-orang Aztec
mengusir Quetzalqoatl, dan kemudian sang dewa menyamar sebagai penakluk berkuda dan
bersenjata petir yang datang dari arah timur). Bertahun-tahun kemudian Paz pergi ke arah
timur, ke India, dan ia berziarah ke Galta, sebuah kota kuno yang memuliakan Hanuman: Pada
sebuah tebing batu pegunungan, Hanuman menulis Mahanataka, yakni kisah yang sama
dengan Ramayana.

Valmiki membacanya, dan ia cemas jika karya Hanuman membayang-bayangi puisi besarnya. Ia
memohon Hanuman untuk merahasiakan kisahnya kepada siapa pun. Dewa kera itu mengalah
pada permintaan si penyair: ia pun menjebol pegunungan batu itu dan membenamkannya ke
dasar laut. Maka tinta dan pena Valmiki adalah metafor bagi petir dan hujan yang telah
digunakan Hanuman untuk menuliskan riwayat hidupnya.

Bagi Paz, Hanuman telah menghancurkan teks-nya agar Valmiki dapat menuliskannya lagi
dengan leluasa. Hanuman adalah metafor bagi bahasa: bahwa bahasa mengatasi cara
pengungkapan diri. (Prinsip ini menunjukkan kesejajaran dengan prinsip para penyair Simbolis
yang menolak puisi sebagai ungkapan aku yang mengaku, the confessional I). Di sini ingin juga
ditunjukkaan bahwa tidak ada kesadaran yang mendominasi: Galta adalah jalan menuju
Hanuman, Hanuman adalah jalan menuju Valmiki, Valmiki adalah jalan menuju puisi, dan Paz
adalah jalan menuju Galta.

Kita menolak makna absolut yang pernah dianggap hadir dalam teks. Roland Barthes
mengumumkan kematian pengarang karena ia sudah terlalu lama memerintah sejarah sastra.
Karena pembaca harus lahir, yakni pembaca yang tanpa sejarah, riwayat hidup, dan psikologi.

Ada perbedaan penting: pengarang-nya Barthes harus dibunuh karena ia menempatkan diri
sebagai pusat semenjak Abad Pertengahan, dan Hanuman-nya Paz menyingkir dengan sukarela
karena ia tidak mungkin menulis di luar sejarah (ia telah menulis yang ilahiah untuk dirinya
sendiri.)

Penyair bukanlah ia yang menamai benda-benda, tetapi ia yang menghapuskan nama benda-
benda, seseorang yang menemukan bahwa benda-benda tidaklah mempunyai nama dan bahwa
nama yang biasa kita sebut bukanlah milik mereka. Dengan menulis kita meniadakan benda-
benda, kita mengubahnya menjadi makna: dengan membaca kita meniadakan tanda-tanda, kita
memeras makna daripadanya, dan segera kita menghamburkan makna itu maka makna
menjadi zat purbani.

Eropa telah menderita karena terlalu lama dan terlalu banyak memberi nama. Cogito telanjur
mempercayai bahwa dirinya berjarak dari kenyataan dan mengira pengenalan dan penamaan
adalah niat baik, padahal itu adalah kehendak untuk berkuasa. Jika ia melawan kekuasaan atau
tatanan yang mapan dari nama-nama, ia mengira dirinya berada di luar kekuasaan. Bertahun-
tahun kemudian kepercayaan Cartesian (dan Kantian) ini dikhianati dari dalam.

Bukan cogito yang menjadi pusat dan membuat pola besar dunia, justru dialah yang
dipolakan: ia bukan sebab melainkan akibat (Lacan) kekuasaan tidak terkonsentrasi, misalnya
pada negara, tetapi terbagi secara halus, terkandung dalam praktek pengenalan, dalam wacana
(Foucault). Namun, jika jalan pikiran ini diterima begitu saja, Eropa akan sampai pada
kontradiksi baru. Ia menolak pusat dalam dirinya sendiri, padahal ia telanjur menciptakan
ketimpangan di dunia luar karena penaklukannya.

Dunia Ketiga jelas-jelas tersedot pada kekuasaan nama-nama, yang dikatakan dengan sopan
sebagai masyarakat informasi. Maka, alternatif bagi si kulit berwarna adalah menghapuskan
nama benda-benda, menemukan bahwa benda-benda tidak mempunyai nama dan nama-nama
yang kita sebut bukanlah milik mereka.

Dalam konteks ini wacana bukanlah sebuah hermeneutika (tentang) kecurigaan. Karena aku
bukan lagi tuan di rumah sendiri karena terkendali oleh pola yang tak disadarinya, melainkan
penampakan aku di dalam yang lain atau penampakan yang lain di dalam aku, aku yang
berusaha pulang, aku yang adalah kita yang tak pernah tiba di tempat kita sekarang.

Dalam sajak-sajaknya yang kemudian Paz memperlihatkan aku yang bening dan berlapis-lapis,
selang-seling lapisan aku dan lapisan yang lain, yang saling memandang tanpa kekuasaan nama-
nama. Seperti dalam sajak Seteguk bayangan:

Aku tengah di mana aku pernah: aku berjalan di belakang bisikan, langkah kaki dalam diriku,
mendengar dengan mataku, bisikan berada dalam pikiranku, akulah langkah kakiku, aku
mendengar suara-suara yang kupikirkan, suara-suara yang memikirkanku seperti aku
memikirkan mereka, akulah bayangan yang dibentuk oleh kata-kataku.

Amerika Latin adalah tempat orang seperti para conquistadores, Charles Darwin, dan Claude
Levi-Strauss merealisasikan dirinya. Ia adalah bahan yang menyumbang pada tradisi besar
Eropa, mulai fajar sampai senja harinya, tanpa sadar. Sebagai realisasi dari utopia Eropa, ia
tetap ditempatkan di luar sebagai yang lain. Baru belakangan ia, melalui Paz dan generasinya,
menyaksikan Eropa ingin membebaskan diri dari rasa bersalahnya namun itu pun sebuah
active forgetting of history. Karena sejarah bagi Eropa adalah penumpukan pengetahuan
melalui kekuasaan atau sebaliknya, yakni suatu risiko dari Cartesianisme.

Bagi Paz dan generasinya, senjakala modernisme adalah kontradiksi antara dua anak sah dari
kepercayaan Cartesian (dan Kantian): antara modernisme dan kapitalisme, dan modernisme
harus bertekuk lutut, atau menerima akibat-akibat kapitalisme sebagai bagian dari
eksistensinya. Maka, akibat-akibat modernisme adalah bahan mentah bagi Amerika Latin.
Sejarah bukanlah beban, bukanlah tradisi: mengenali sejarah adalah menerima diskontinuitas.

Sejarah menjadi paradoks, sebab Borges menulis juga sejarah, yakni sejarah tentang malam hari
dan sejarah tentang keabadian. Sejarah adalah wabah insomnia (Garcia Marquez). Sejarah
adalah aku kenangan yang menemukan dirinya sendiri (Paz).

Anda mungkin juga menyukai