Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN

HEWAN II

PENYAKIT EPILEPSI




Disusun oleh:
Ria Septi Widayati (09008114)
Deisy Puspitasari (09008115)
Yessy Indah Rahma Putri (09008117)
Reni Paramita Ditasari (09008149)
Ninik Mulyaningsih (09008170)

Pendidikan Biologi B


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami ucapkan puji dan syukur pada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Penyakit Epilepsi
dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Struktur dan Perkembangan
Hewan II tentang gangguan atau penyakit pada sistem saraf. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna karena
menemukan berbagai kesulitan. Sehingga Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.

Yogyakarta, 21 April 2011


PENULIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan
listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang.
Lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga penerimaan serta
pengiriman impuls dalam/dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi.
Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk
penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan ilmu
klenik, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses
kelahiran, luka kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan
mungkin juga karena genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab
pastinya tetap belum diketahui.
Semua orang beresiko mendapat epilepsi. Bahkan, setiap orang beresiko satu
di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya
resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena
menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure
walaupun sudah lepas dari narkotik.
Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang penyakit epilepsi atau ayan,
melatarbelakangi penulis menyusun makalah ini. Makalah ini membahas hal-hal
mengenai penyakit epilepsi, penyebab, klasifikasi penyakit epilepsi, mekanisme
terjadinya epilepsi dan pengobatannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari penyakit epilepsi?
2. Apa penyebab epilepsi?
3. Apa saja klasifikasi dari penyakit epilepsi?
4. Bagaimana patofisiologi dari epilepsi?
5. Bagaimana pengobatan epilepsi?


BAB III
PEMBAHASAN

A. DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy
(IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau
gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan
oleh ILAE dan IBE yaitu:
Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologi dan
konsekuensi sosial yang ditimbulkan
(Octaviana, 2008).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik (Baiquni, 2010).
B. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan
penyebabnya
2. Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa
sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir
atau pada masa perkembangan anak.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi,
minum alcohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis
dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
(Anonim, 2009).
C. KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan
situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut
bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.


Data 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan parsial
1. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1. Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa
di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip
dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja
atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-
tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ada
kehilangan kesadaran selama serangan.
3. Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya kesadaran
hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4. Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka.
5. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti
sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering
asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa
berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat
lain.
6. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi
seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama
beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat.
Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related (focal, partial) epilepsies
1. Idiopatik
a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2. Symptomatic
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG
interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari
lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak
diketahui.
c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik

Epilepsi Umum
1. Idiopatik
a. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b. Benign myoclonic epilepsy in infancy
c. Childhood absence epilepsy
d. Juvenile absence epilepsy
e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g. Other generalized idiopathic epilepsies
2. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a. Wests syndrome (infantile spasms)
b. Lennox gastaut syndrome
c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d. Epilepsy with myoclonic absences
3. Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
b. Early myoclonic encephalopathy
c. Specific disease states presenting with seizures
(Octaviana, 2008).
D. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang
menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Anonim, 2009).
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode
protein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile
seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

C
L
C
L
i
g





Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi
pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures
plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (Octaviana, 2009)
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
Generalized epilepsies with febrile
seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A,
CACNB4
ACNA1H
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsi
Reseptor GABA

GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan
otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut
pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini
bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa
penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab
atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar (Sudir
Purba, 2008)

E. PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang
abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut
sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika
penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka
diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar
sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami
1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami
kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-
kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak
menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk
memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum
berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-
kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-
kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi
serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh,
melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah
kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan
agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar
sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas,
biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang
menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat
tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi
(Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar
pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang
ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-
pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol),
klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin
(Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal),
fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril),
topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter,
1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa
potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan
SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan
bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai
penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif,
karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu
andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein
yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2
di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy
(IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya.
Berdasarkan penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu epilepsi
primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya dan
epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui. Penyebab
spesifik dari epilepsi adalah kelainan yang terjadi selama perkembangan
janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. Kelainan yang
terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia),
kerusakan karena tindakan. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada
otak. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada
anak-anak. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak. Penyakit seperti fenilketonuria
(FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang
yang berulang.
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar
pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang
ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-
pilepsi. Penggunaan levetirasetam sebagai obat antikonvulsan mendasar pada ikatan
dengan protein SV2A di vsikel. Efektivitas levetirasetam sebagai anti konvulsan dapat
digunakan pada penderita-penyakit susunan saraf lainnya yang tidak berefek pada
gangguan kognitif.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Epilepsi. http://medicafarma.blogspot.com/. diakses 17 April 2011
Baiquni, mulki.2010. Patofisiologi Epilepsi.
http://www.scribd.com/doc/37947482/patofisiologi-epilepsi. diakses 17 April 2011
Oktaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical application Vol. 2,No.4 Edisi November - Desember 2008.
Sudir Purba, Jan. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptoratau Neurotransmitter. Medicinus
Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical application Vol. 2,
No.4 Edisi November - Desember 2008.

Anda mungkin juga menyukai