Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai dengan
konsekuensi yang terkadang sangat merugikan, dan sering asimtomatik sampai
perkembangan tahap lanjut (Kumar dkk,2009). Penyakit ini telah menjadi
masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di
beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus
hipertensi terutama di negara berkembang dari sejumlah 639 juta kasus di tahun
2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini
didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk
saat ini (Armilawaty dkk,2007).
Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang
tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada
orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi
sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak
menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan
hipertensi esensial (Armilawaty dkk,2007).
Di Indonesia terdapat beberapa masalah kesehatan yang masih
membebani pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat.
Diantaranya adalah lemahnya sistem kesehatan nasional yang meliputi
terbatasnya ketersediaan, kualitas pelayanan kesehatan baik dari segi sumber
daya dan dana kesehatan, tingginya angka penyakit tidak menular seperti
hipertensi, dan pada saat yang sama terjadi peningkatan biaya untuk
penatalaksanaannya yang tidak terkontrol (Lubis, 2008).
Salah satu usaha untuk memperbaiki permasalahan tersebut adalah
memanfatkan pelayanan kesehatan primer. Peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan primer merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan status
2

kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan primer adalah pelayanan kesehatan
yang berorientasi memberikan pelayanan secara menyeluruh, tidak hanya
mengobati tetapi juga memberikan aspek preventif, promotif, dan rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan primer ini diwujudkan dengan kehadiran dokter keluarga di
masyarakat, tidak hanya menyeluruh tetapi juga bersifat kontinu, komprehensif,
dan berkesinambungan yang memperhatikan individu dari berbagai faktor,
biologi, ekonomi, psikologis dan social. Sehingga harapan yang didapat dari
dokter keluarga adalah tidak hanya melihat dari sisi sakit, tapi juga pencegahan
dari penyakit, dan berbagai faktor dari penderita yang dapat mempengaruhi
tingkat kesehatan individu (Lubis, 2008) .
Keunggulan dari dokter keluarga adalah pendekatan keluarga secara aktif,
dengan melakukan kunjungan keluarga atau penderita (home visit). Dari home
visit akan didapatkan hubungan dokter-pasien yang lebih terbuka pencegahan
yang meminimalkan dari segi ekonomi keluarga, penanganan penyakit yang
bersifat terus menerus, menyeluruh dan dapat meningkatkan kesehatan fisik,
mental, dan social seluruh anggota keluarga. Agar lebih memahami peran
penting dokter keluarga, maka sangat perlu dilakukan kunjungan rumah pasien
(Lubis, 2008) .











3

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien
Hipertensi dan keluarganya di Kecamatan Abeli Kota Kendari tanggal 25-
26 Agustus 2014
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan siklus
keluarga) dari keluarga pasien Hipertensi.
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien Hipertensi dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien Hipertensi dan
keluarganya
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan hipertensi dengan pendekatan kedokteran keluarga.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar setiap memberikan
penatalaksanaan kepada pasien hipertensi dilakukan secara holistik dan
komprehensif serta mempertimbangkan aspek keluarga dalam proses
penyembuhan
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluargamya bahwa keluarga
juga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan pasien.





4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Pressure VII, penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal
penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang
adalah 140 mmHg (tekanan sistolik) dan/atau 90 mmHg (tekanan diastolik).
Nilai yang lebih tinggi (sistolik) menunjukkan fase darah yang dipompa oleh
jantung, nilai yang lebih rendah (diastolik) menunjukkan fase darah kembali ke
dalam jantung (Depkes RI,2006).
B. Epidemiologi
Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang
ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi, merupakan
salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit
jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala,
sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti
gangguan fungsi jantung atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara
tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan
keluhan lain. Demikian disampaiakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kemenkes, Prof. dr. Tjandra Yoga
Aditama mengenai beberapa masalah hipertensi di Indonesia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar kasus
hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil
pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi
hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang
sudah mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat
hipertensi. Ini menunjukkan, 76% kasus hipertensi di masyarakat belum
5

terdiagnosis atau 76% masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita
hipertensi (Kemenkes RI, 2012).
Data epidemiologis menunjukan bahwa dengan makin meningkatnya populasi
usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan
bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan
diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun. Selain
itu laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade
terakhir tidak menunjukan kemajuan lagi (pola kurva mendatar), dan pengendalian
tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi. Sampai saaat
ini data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara- negara yang
sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES) menunjukan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang
dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di
Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991
(Yogiantoro, 2006).
Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara
berkembang yaitu dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi
1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita
hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawaty dkk, 2007).
Prevalensi berbagai bentuk hipertensi sekunder tergantung sifat populasi yang
diteliti dan bagaimana luasnya evaluasi yang dilakukan. Tidak ada data untuk
menjelaskan frekuensi hipertensi sekunder pada populasi umum, meskipun pada laki-
laki usia pertengahan dilaporkan ada 6 persen. Sebaliknya, pada pusat rujukan tempat
pasien mengalami evaluasi yang ekstensif, dilaporkan setinggi 35 % (Asdie, 2000).
C. Etiologi
Peyebab hipertensi yang sering kali menjadi penyebab di antaranya
aterosklerosis (penebalan dinding arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas
pembuluh darah), keturunan, bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke
6

jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan sistem saraf simpatis. Pada ibu
hamil kelebihan berat badan, tekanan psikologis, stres, dan ketegangan bisa
menyebabkan juga hipertensi. Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya
dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
a. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui
penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).
Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab; beberapa perubahan
pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan
meningkatnya tekanan darah.
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari
adanya penyakit lain.
Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10%
penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB
(Armilawaty dkk, 2007).
D. Klassifikasi
Menurut The Seventh Report of The Join National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Darah
TDS (mmHg) TDD (mmhg)
Normal < 120 Dan <80
Prahipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99
7

Hipertensi derajat 2 160 Atau 100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
Sumber : The Seventh Report of the Joint National Committee of Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Presure
E. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko hipertensi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Penjelasan
dari faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya usia,
risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di
kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di
atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa
kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan
diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada
tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur,
oleh karena terjadi perubahan struktur pada pembuluh darah yang menjadi lebih
kaku, sebagai akibat terjadi peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang
dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Denpasar, dan
Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi
sebesar 52,5% (Depkes RI, 2006).
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio
sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatan tekanan darah dibandingkan dengan
8

wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih
tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.
Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes
RI, 2006).
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer
(esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan
lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik
juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan rennin membran sel.
Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang
menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya. (Depkes RI,
2006).
2. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Kegemukan (obesitas)
Menurut Kaplan dan Stamler, kegemukan (obesitas) adalah persentase
abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass
Index) yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam
meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah
dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-
orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33%
memiliki berat badan lebih atau overweight (Depkes RI, 2006).
9

Obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan yang tidak seimbang. Di
mana seseorang lebih banyak mengkonsumsi lemak dan protein tanpa memperhatikan
serat. Kelebihan berat badan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular
karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti
volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga
memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (Anonim
b
, 2009).
Ada hubungan antara berat badan dan hipertensi, bila berat badan meningkat
di atas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat. Penyelidikan
epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi
pasien hipertensi. Pada penyelidikan dibuktikan bahwa curah jantung dan volume
darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita yang mempunyai berat badan normal dengan tekanan darah yang setara
(Anonim
b
, 2009).
Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja
yang mengalami kegemukan cenderung mengalami hipertensi. Ada dugaan bahwa
meningkatnya berat badan normal relatif sebesar 10% mengakibatkan kenaikan
tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi
kalori bagi orang-orang yang obes bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah
terjadinya hipertensi. Sedangkan hipertensi sangat erat dengan kejadian penyakit
jantung dan stroke (Anonim
b
, 2009).
Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan pengukuran berat
badan ideal, pengukuran presentase lemak tubuh dan pengukuran IMT. Indeks masa
tubuh juga digunakan untuk menilai keseimbangan energi seseorang. Di Indonesia
besaran IMT menggunakan batas ambang yang telah ditetapkan oleh Departemen
Kesehatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung IMT adalah sebagai berikut.
Indeks Massa Tubuh (IMT) =


Klassifikasi IMT orang dewasa dapat dilihat pada tabel ini :
10

Batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil
penelitian di beberapa negara berkembang. Batas Ambang IMT di Indoneesia sebagai
berikut :
Tabel 2. Klassifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Orang Indonesia
IMT (kg/cm
2
) Kategori Keadaan
<17
17,0-18,5
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Kurus
18,5-25,0 Normal
25,0-27,0
>27
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
Gemuk
Sumber : Depkes (2002)
Departemen Kesehatan RI (2002) telah menetapkan nilai IMT > 25,0-27,0
dikategorikan kelebihan berat badan tingkat ringan dan > 27 termasuk kelebihan berat
badan tingkat berat (obesitas). Pada orang yang menderita obesitas akan berisiko
meningkatkan prevalensi penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi, diabetes
mellitus, dan penyakit jantung. Mortalitas dan morbiditas karena penyakit lainnya
pada penderita obese akan meningkat dan umur harapan hidup menjadi pendek
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2007).
b. Stress
Stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu
dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang
berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan
sosial dari seseorang. Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik
atau lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk
mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar itu. Sudah lama diketahui bahwa stres atau
ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa
11

bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan
darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan
patologis. Gejala yang muncul berupa hipertensi atau penyakit maag. Stress juga
diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui saraf
simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila
stress berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap. Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan
bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa yang
mendadak yang menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun
akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat
dipastikan (Anonim
b
, 2009).
c. Merokok
Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya merokok, risiko
akibat merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap per hari.
Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan dari pada
mereka yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok, masuk kedalam aliran darah dan merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri, mengakibatkan proses aterosklerosis dan
hipertensi. Nikotin dalam tembakaulah penyebab meningkatnya tekanan darah
segera setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok,
nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru
dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah
mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada
kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
12

karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik
tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah
akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok.
Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan
menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada
pada level tinggi sepanjang hari. Secara langsung setelah kontak dengan nikotin
akan timbul stimulan terhadap kelenjar adrenal yang menyebabkan lepasnya
epinefrin (adrenalin). Lepasnya adrenalin merangsang tubuh melepaskan glukosa
mendadak sehingga kadar gula darah meningkat dan tekanan darah juga
meningkat, selain itu pernafasan dan detak jantung akan meningkat. Nikotin
mendesak pengeluaran insulin dari pankreas, berarti perokok sering mengalami
hiperglikemi (kelebihan gula dalam darah). Nikotin secara tidak langsung
menyebabkan pelepasan dopamin dalam otak yang mengontrol kesenangan dan
motivasi. Selain kerusakan organ di atas juga kerusakan kronis syaraf dan
perubahan perilaku (Anonim
b
, 2009).
d. Olahraga/aktivitas fisik
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan
melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah,
tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006).
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer
yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung
sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih
berat karena adanya kondisi tertentu (Anonim
b
).

13

Pada kasus diabetes mellitus, olahraga ringan dapat membantu pembakaran
kalori sehingga memacu insulin untuk metabolisme glukosa. Pada penderita jantung,
olahraga sangat bermanfaat karena dapat membakar lemak sehingga risiko
penumpukan kolesterol dapat dikontrol. Olahraga juga dikaitkan dengan peran
obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan
memudahkan timbulnya hipertensi (Anonim
b
).
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita DM dan hipertensi
karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot
jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering
otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri
(Anonim
b
).
e. Konsumsi alkohol
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah.
Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan
asupan alkohol, dan diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan baru
nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap
harinya. Di Negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika
disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya.
Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di
kelompok usia ini (Depkes, 2006).

14

f. Konsumsi garam berlebihan
Reaksi orang terhadap asupan garam yang di dalamnya mengandung
natrium, berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang
mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas,
pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada
kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga
memicu terjadinya hipertensi. Garam merupakan faktor penting dalam
patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku
bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3
gram/hari prevalensi hipertensinya rendah, sedangkan asupan garam antara 5-15
gram/hari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan
terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung
dan tekanan darah. Garam meyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena
menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume
dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang
ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8
gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 6 gram/hari yang setara dengan 110 mmol natrium atau 2400
mg/hari. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan
yang meningkatkan volume darah (Anonim
b
, 2009).
g. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kadar
kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tekanan perifer
pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat (Depkes, 2006).

15

F. Patofisisologi
a. Mekanisme vasokonstriktor renin-angiotensin pada pengaturan tekanan
arteri










Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus
menyebabkan pembentukan angiotensin I yang lebih banyak selama waktu tersebut.
Dalam beberapa detik hingga beberapa menit setelah pembentukan angiotensin I,
terdapat dua asam amino tambahan yang di pecah dari angiotensin I untuk
membentuk angiotensin II. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru, yang
dikatalisis oleh suatu enzim yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endothelium
pembuluh paru (Guyton dan Hall, 2007).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan juga
mempengaruhi fungsi sirkulasi melalui cara lain. Walaupun demikian angiotensin II
menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat
akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama
disebut angiotensinase (Guyton dan Hall, 2007) .
Gambar.1 Mekanisme vasokonstriksi renin angiotensin
Renin (ginjal)
Zat-zat renin
(angiotensinoge
n)

Angiotensin I
Angiotensin II
Vasokonstriksi
Retensi garam dan air
oleh ginjal
Peningkatan tekanan arteri
Converting enzim (paru)

Mengalami inaktivasi
angiotensinase

16

Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh yang pertama
yaitu vasokonstriksi di berbagai daerah di tubuh terjadi dengan cepat. Vasokonstriksi
terjadi terutama di arteriol dan jauh lebih lemah di vena. Konstriksi di arteriol akan
meningkatkan tahanan perifer total, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri.
Konstriksi di vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung,
sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton dan
Hall, 2007).
Cara kedua yang membuat angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah
dengan menurunkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan
meningkatkan volume cairan ekstrasel, yang kemudian meningkatkan tekanan arteri
selama berjam-jam dan berhari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini, yang
bekerja melalui volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat dari mekanisme
vasokonstriksi dalam menyebabkan peningkatan tekanan arteri (Guyton dan Hall,
2007).

b. Peningkatan volume cairan










Gambar.2 Urutan langkah-langkah peningkatan volume cairan ekstrasel dalam
menyebabkan peningkatan tekanan arteri
Peningkatan cairan ekstrasel
Peningkatan volume darah
Peningkatan aliran balik darah vena ke jantung
Peningkatan tekanan pengisian sirkulasi rata-rata
Peningkatan curah jantung
Peningkatan tekanan arteri
Autoregulasi
Peningkatan resistensi
perifer total
17

Berdasarkan skema tersebut dapat menggambarkan bahwa seluruh mekanisme
yang mengakibatkan kenaikan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan tekanan
arteri. Urutan peristiwanya yaitu :
1. Kenaikan volume cairan ekstrasel
2. Meningkatkan volume darah
3. Meningkatkan tekanan pengisian sirkulasi rata-rata
4. Meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung
5. Meningkatkan curah jantung
6. Meningkatkan tekanan arteri
Pada skema tersebut ada dua cara yang dapat meningkatkan tekanan arteri
yaitu melalui pengaruh langsung yang menyebabkan kenaikan curah jantung dan
tidak langsung yang menyebabkan kenaikan tahanan perifer melalui autoregulasi
aliran darah. Mekanisme tersebut terjadi ketika darah yang mengalir melalui suatu
jaringan jumlahnya berlebihan maka pembuluh darah jaringan setempat akan
berkonstriksi dan menurunkan aliran darahnya kembali normal. Fenomena ini disebut
autoregulasi yang secara sederhana berarti pengaturan aliran darah oleh jaringan
itu sendiri. Bila kenaikan volume darah meningkatkan curah jantung, aliran darah di
seluruh jaringan tubuh akan meningkat sehingga mekanisme autoregulasi ini akan
menyebabkan konstriksi pembuluh darah di seluruh tubuh. Keadaan ini selanjutnya
akan meningkatkan tahanan perifer total (Guyton dan Hall, 2007).
Pada akhirnya, karena tekanan arteri sama dengan curah jantung dikali
tahanan perifer total, maka peningkatan sekunder pada tahanan perifer total yang
disebabkan oleh mekanisme autoregulasi membantu dalam meningkatkan tekanan
arteri (Guyton dan Hall, 2007).
c. Aldosteronisme primer
Jenis lain dari hipertensi beban volume adalah yang disebabkan oleh
kelebihan aldosteron dalam tubuh. Aldosteron meningkatkan kecepatan reabsorbsi
garam dan air oleh tubulus ginjal, sehingga mengurangi hilangnya garam dan air
18

dalam urin namun pada saat yang sama menyebabkan kenaikan volume darah dan
volume cairan ekstrasel yang mengakibatkan hipertensi. Dan bila asupan garam
dinaikan hipertensi akan menjadi lebih berat. Selain itu, bila keadaan ini menetap
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun maka tekanan arteri yang berlebihan
sering menyebabkan perubahan patologis pada ginjal sehingga membuat ginjal
meretensi garam dan air lebih banyak lagi selain yang disebabkan secara langsung
oleh aldosteron (Guyton dan Hall, 2007).
G. Gejala klinis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik
yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi dengan
pemeriksaan fisis. Jika gejala membuat pasien datang ke dokter, dapat
digolongkan menjadi 3 kategori yaitu :
1. Kenaikan tekanan darah itu sendiri
2. Penyakit vaskuler hipertensif
3. Penyakit yang mendasari pada kasus hipertensi sekunder
Meskipun dengan populer dianggap gejala kenaikan tekanan darah, sakit
kepala hanya karakteristik untuk hipertensi berat, paling sering terletak pada
daerah oksipital, terjadi ketika pasien bangun pada pagi hari, dan berkurang
secara spontan setelah beberapa jam. Keluhan lain yang mungkin berhubungan
adalah pusing, palpitasi, mudah lelah, dan impotensi. Keluhan yang mengarah ke
penyakit vaskuler termasuk epitaksis, hematuria, pandangan kabur karena
perubahan retina, episode lemah atau pusing yang disebabkan oleh iskemia
serebral sementara, angina pectoris, dan dispnea yang disebabkan oleh gagal
jantung. Nyeri karena diseksi aorta atau bocornya aneurisma merupakan gejala
yang kadang-kadang terjadi. Contoh gejala yang berhubungan dengan penyakit
yang mendasarinya pada hipertensi sekunder adalah poliuria, polidipsia, dan
kelemahan otot sekunder terhadap hipokalemia pada pasien dengan
aldosteronisme primer atau berat badan bertambah dan emosi yang labil pada
19

pasien dengan sindroma Cushing. Pada pasien feokromasitoma datang dengan
sakit kepala episodic, palpitasi, diaphoresis, dan pusing postural (Asdie, 2000).
H. Evaluasi hipertensi
Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk (Yogiantoro, 2006) :
1. Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya
atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan
menentukan pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular.
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah meningkat di atas 140/90
pada setidaknya tiga kali pengukuran atau di atas 125/80 pada pemantauan tekanan
darah 24 jam. Manset besar harus digunakan pada lengan yang besar. Jika tidak, akan
terjadi kesalahan pembacaan yang tinggi. Awal bunyi pertama menandakan tekanan
sistolik dan akhir bunyi terakhir merupakan bunyi diastolik. Retinopati hipertensif
mengkonfirmasi adanya hipertensi dan dapat mengindikasikan hipertensi maligna.
Hipertensi seringkali dikaitkan dengan obesitas, kelebihan asupan alkohol, resistensi
insulin, dan gout. Pemeriksaan penunjang dasar meliputi urinalisis, hitung darah
lengkap, elektrolit serum, profil lipid dan glukosa (lebih baik dengan puasa), dan
elektrokardiografi (EKG), idealnya dengan ekokardiografi untuk mengidentifikasi
hipertrofi ventikel kiri. Hipokalemia mengarah pada hiperaldosteronisme primer.
Pemeriksaan penunjang lanjutan dapat meliputi asam urat, katekolamin plasma dan
urin, atau kadar asam vanililmandelat (vanillylmandelic acid, VMA) untuk
menyingkirkan feokromasitoma, tes fungsi adrenal untuk memeriksa kelebihan
steroid, dan angiografi renal untuk menyingkirkan stenosis arteri renalis
(OCallaghan, 2009)
20

I. Komplikasi
1. Stroke dan serangan iskemik transien lebih sering ditemukan pada penderita
hipertensi. Selama stroke, tekanan darah dapat meningkat secara akut dan perlu
kehati-hatian untuk menurunkannya terlalu cepat atau terlalu mendadak.
Resistensi vaskular serebral akan meningkat karena efek hipertensi jangka
panjang, juga kemungkinan efek akut edema serebral, dan reduksi berlebihan
tekanan perfusi arteri serebral dapat meningkatkan iskemia serebral (Gray dkk,
2005).
2. Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan peningkatan kekakuan dinding terhadap
pengisian diastolik dan gelombang a (sistol atrium) yang menonjol pada
ekokardiografi. Gagal ventikel kiri (disfungsi sistolik dan diatolik) dapat terjadi,
seringkali tanpa dilatasi ventrikel. Terapi dengan antihipertensi terutama
penghambat enzim pengkonversi angiotensin (angiotensi converting
enzyme/ACE). Telah terbukti mengurangi hipertrofi ventrikel kiri jika tekanan
darah diturunkan. Penyakit jantung koroner sering terjadi pada hipertensi, dan
bersama dengan disfungsi ventrikel kiri mungkin menyebabkan tingginya angka
kematian penyakit jantung.
Risiko kejadian jantung (kematian, infark miokard, gagal jantung, aritmia
ventrikel) akan berkurang jika hipertensi diturunkan. Jika tekanan diastolik
diturunkan di bawah 80 mmHg risiko akan mulai meningkat lagi, disebut sebagai
kurva berbentuk J, meskipun pengamatan ini masih diperdebatkan. Peningkatan
gejala penyakit jantung pada tekanan diastolik yang rendah mungkin disebabkan
karena rendahnya tekanan perfusi koroner, yang dengan miokard yang menebal
disertai resistensi arteriol yang meninggi akibat proses hipertensi, menyebabkan
iskemia jantung terutama pada malam hari ketika tekanan darah biasanya paling
rendah (Gray dkk, 2005).
Penyakit jantung koroner tidak selalu disertai dengan gejala yang jelas
menunjukkan bahwa seseorang menderita penyakit jantung koroner. Terutama untuk
21

individu yang jarang melakukan aktifitas fisik berat yang membuat beban jantung
bertambah. Salah satu tes yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang
menderita penyakit jantung koroner adalah dengan melakukan treadmill (Karolina,
2012) .
Tes treadmill merupakan salah satu uji latih jantung (cardiac stress test) yaitu
sebuah tes untuk mengetahui respon jantung terhadap latihan. Ada dua cara yang
dikenal sebagai uji latih jantung yaitu treadmill atau dengan sepeda ergometri. Tes ini
merupakan pilihan pertama pada pasien dengan risiko penyakit jantung koroner
seperti memiliki riwayat merokok, riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner,
hipertensi, diabetes mellitus dan memilik riwayat kadar kolesterol yang tinggi.
Menurut American Heart Association tes ini memiliki sensitifitas (kemampuan alat
tes untuk mengidentifikasi positif orang yang memiliki penyakit) sebesar 73-90 %
dan spesifisitas (kemapuan alat tes untuk mengidentifikasi negatif orang yang tidak
memiliki penyakit 50-74 % (Karolina, 2012).
Pada pelaksanaan tes ini elektroda ditempatkan di berbagai bagian di dada dan
sebuah alat pengukur tekanan darah dipasang dilengan. Pasien disarankan untuk tidak
makan, minum, dan merokok dua jam sebelum tes. Tes ini dilakukan dengan berjalan
diatas treadmill dengan peningkatan kecepatan berjalan secara bertahap sementara
elektrokardiogram merekam reaksi jantung terhadap beban yang semakin meningkat.
Selama pelaksanaan tes, akan dilakukan monitor rekam jantung, tekanan darah,
pernapasan, denyut jantung dan keluhan yang dilakukan selama pelaksanaan tes.
Sebelum pelaksanaan tes, akan dilakukan pencatatan riwayat penyakit pasien dan
kemampuan aktifitas fisik, serta dilakukan pemeriksaan awal dalam keadaan istirahat.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah pasien memiliki gejala yang
menjadi kontraindikasi mutlak maupun relatif dari tes ini (Karolina, 2012).
Tes ini sangat membantu dokter untuk menentukan apakah seseorang
menderita penyakit jantung koroner atau memperkirakan beban jantung maksimal,
sehingga sangat bermanfaat karena bisa dilakukan evaluasi sejak awal dan bisa
dilakukan terapi sedini mungkin, dan diharapkan menurunkan komplikasi dan
22

meningkatkan harapan hidup bagi para penderita penyakit jantung koroner (Karolina,
2012).
3. Retinopati
Retinopati sering terjadi dan dibagi dalam stadium menurut keparahannya
(OCallaghan, 2009) yaitu :
a) Stadium 1: spasme arteri, arteri berbelit, gambaran silver-wire.
b) Stadium 2 : nipping arteriovena.
Vena terlihat lebih sempit ketika arteri melintas diatasnya.
c) Stadium 3 : perdarahan, termasuk perdarahan api.
Ekstravasasi lipid menyebabkan eksudat, eksudat keras merupakan eksudat
lama, sedangkan eksudat lunak atau bercak cotton-wool menunjukkan
hipertensi berat yang akut.
d) Stadium 4 : papil edema.
Pembengkakan diskus optikus.
4. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan
keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan
menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada hipertensi kronis (Corwin,
2009).
5. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna.
Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial di seluruh susunan saraf pusat.
Neuron-neoron disekitanya kolaps dan terjadi koma serta kematian(Corwin,
2009).
6. Kejang dapat terjadi pada wanita preeclampsia. Bayi yang lahir mungkin
memiliki berat lahir kecil masa kehamilan akibat perfusi plasenta yang tidak
adekuat, kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu mengalami
kejang selama atau sebelum proses persalinan (Corwin, 2009).

23

J. Penatalaksanaan
Tujuan terapi untuk pasien hipertensi adalah:
1. Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian.
2. Target nilai tekanan darah adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi tidak
komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus serta
ginjal kronik.
3. TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskular daripada TDD
dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol hipertensi
(Yulinah dkk, 2008).
a. Terapi non-farmakologi
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, seperti :
1) Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan
2) Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension)
3) Mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2.4 g/hari (6
g/hari NaCl)
4) Melakukan aktivitas fisik seperti aerobik
5) Mengurangi konsumsi alkohol
6) Menghentikan kebiasaan merokok
Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya
ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.




24

b. Terapi farmakologi
1) Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatknya tekanan darah dan
keberadaan compelling indication.
2) Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan
diuretic thiazide. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi
kombinasi, salah satu obatnya diuretic thiazide kecuali terdapat
kontraindikasi.
3) Ada 6 compelling indication yang spesifik dengan obat anti hipertensi serta
memberikan keuntungan yang unik.
4) Diuretic, blocker, inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE),
Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB)
merupakan agen primer berdasarkan pada data kerusakan organ target atau
morbiditas dan kematian kardiovaskular.
5) Blocker,
1
-agonis sentral, inhibitor adrenergik, dan vasodilator merupakan
alternatif yang dapat digunakan penderita setelah mendapatkan obat pilihan
pertama.













25

BAB III
KUNJUNGAN RUMAH

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Wa Mima
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : RT 0011/ RW 01/ Kelurahan Lapulu
Tabel.1 Daftar Anggota Keluarga yang tinggal dalam 1 rumah

No. Nama
Anggota
Umur
L/P
Hubungan
Keluarga
Pendidikan/
Pekerjaan
Imunisasi Keadaan
fisik
1. La Usa 60 thn/
L
KK Wiraswasta Tidak tahu Sehat
2. Wa Mima 54 thn/
P
Istri IRT Tidak tahu Sakit

B. Genogram






= Pasien


26

C. Anamnesis
1. Keluhan utama : pusing
2. Keluhan tambahan : perasaan tegang di leher dan sakit kepala
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan keluhan pusing berputar yang disertai tegang di leher
dan sakit kepala. Sakit kepala dapat timbul > 3 kali dalam sehari dan terasa
lebih berat jika pasien capek dan stress. Keluhan yang dirasakan pasien
membuat kepala pasien terasa berat dan menjalar hingga ke leher. Selain
nyeri kepala, selama seminggu belakangan ini pasien merasa lehernya sering
tegang atau kaku dan sulit tidur. Keluhan yang dirasakan pasien sejak 3
tahun yang lalu tetapi cenderung hilang timbul. Saat itu pasien sempat
berobat ke puskesmas dan dikatakan bahwa pasien menderita penyakit darah
tinggi dan dokter kemudian memberikan obat untuk dapat menurunkan
tekanan darah tingginya, namun pasien mengakui tidak rutin menkonsumsi
obat-obatan tersebut.
Semenjak pasien tediganosa sakit pasien tidak terlalu rutin minum
obat. Pasien lebih sering mengkosultasikan penyakitnya kepada orang pintar.
Tetap beberapa bulan yang lalu keluhan yang dirasakan pasien mulai
memberat sehingga keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke dokter
praktek.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat hipertensi (+) sejak tahun 2011
Riwayat diabetes mellitus (-)
5. Riwayat kebiasaan pasien
Sering mengkonsumsi makanan yang tinggi garamnya, gorengan dan jarang
berolahraga.
6. Riwayat penyakit keluarga
Pasien tidak mengetahui riwayat penyakit kedua orag tuanya.
Pasien juga menyangkal ada saudaranya yang menderita penyakit hipertensi
27

D. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit ringan
Tanda Vital
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Frekwensi nadi : 84 x/menit
Frekwensi napas : 18 x/menit
Suhu : 37
o
C
Berat badan : 47 Kg
Tinggi badan : 145 Cm
IMT : 22,3 kg/m
2
Kepala : Normosefal
Kulit : Tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva palpebra tidak anemis
sklera tidak ikterik
palpebratidak edema
Telinga : Nyeri tekan processus mastoideus tidak ada
selaput pendengaran tidak ada kelainan
pendengaran baik
Hidung : Dalam batas normal
Tenggorok: Faring tidak hiperemis
Leher : Tekanan vena jugularis normal
Tidak terdapat pembesaran KGB.
Thorax : :
Pulmo
Inspeksi : dada simetris kira=kanan, retraksi intercosta (-)
Palpasi : Vocal premitus normal kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : BP : Vesikuler BT : Rh-/- Wh : -/-
Cor
28

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Pekak
Auskultasi: Bunyi jantung I II murni regular
Tidak terdengar gallop maupun murmur
Abdomen :
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani
Auskultasi: bising usus kesan normal
Genito Urinaria : Tidak dilakukan

Ekstremitas
Edema : Tidak ada udema
Akral dingin : Tidak
Cap refill : Normal
PemeriksaanKelenjar limfe
Leher; Kanan :
Normal
Kiri :
Normal
Axilla Kanan :
Normal
Kiri :
Normal
Inguinal Kanan :
Normal
Kiri :
Normal

D Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
1. Pemerikasaan fungsi ginjal: ureum dan kreatinin
2. Pemerikasaan elektrolit serum : kalium
3. Pemeriksaan profil lipid : kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida
29

4. Pemerikasaan glukosa darah : GDS maupun GDP
5. Pemeriksaan asam urat
6. Pemeriksaan foto thoraks
7. Pemeriksaan elektrokardiografi
8. Pemeriksaan echocardiogram
E Alasan diperlukan pemeriksaan penunjang
1. Pemerikasaan fungsi ginjal: ureum dan kreatinin
Pemeriksan ini diperlukan untuk keadaan funsi ginjal yang sering
dihunbungakan dengan penyebab hipertensi maupun dari kompilkasi
penyakit hipertensi itu sendiri.
2. Pemerikasaan elektrolit serum : kalium
Pemerikasaan ini dilakukan untuk mengindikasikan terjadinya
hiperaldosteronisme primer yang dapat menjadi penyebab penyakit
hipertensi
3. Pemeriksaan profil lipid : kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida
Peningkatan profil lipid dalam tubuh dapat menjadi penyebab factor
risiko terjadi hipertensi.
4. Pemerikasaan glukosa darah : GDS maupun GDP
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya hiperglikemia yang dapat
menjadi faktor risiko
5. Pemeriksaan asam urat
Peningkatan kadar asam urat dapat menjadi faktor risiko kejadian
hipertensi
6. Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini berperan untuk mengetahui adanya pembesaran jantung
maupun vaskularisasi dan aorta yang melebar.
7. Pemeriksaan elektrokardiografi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya hipertrofi ventrikel kiri dan
30

atrium kiri dan adanya penyaki jantung koroner atau aritmia.
8. Pemeriksaan echocardiogram
Pemeriksaan ini berperan untuk mengetahui penebalan dinding ventrikel
kiri.
F Hasil laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
G Diagnosis kerja
Hipertensi grade II
H Diagnosis Banding
Hipertensi sekunder
I Penyelesaian masalah yang dihadapi pasien
Memberikan pasien penatalaksanan baik farmakologis maupun non
farmakologis seperti : terapi amlodipin 10 mg 1 kali sehari, pasien dapat pula
di edukasi untuk mengurangi makanan yang tinggi garam, makan yang
digoreng, rajin berolahraga meskipun hanya alan maupun lari-lari kecil di
sekitaran rumah serta mengurangu tingkat stress.
J Pasien ini perlu dirujuk
Pasien ini perlu dirujuk ketika didapatkan gejala-gejala yang lebih
berat seperti sakit kepala hebat, nyeri dada, sesak, dan terjadi kelumpuhan
secara tiba-tiba serta keluhan tersebut sangat mengganggu aktifitas sehari-
hari.
K Penjelasan yang diberi pada pasien dan keluarganya tentang penyakit
yang di derita
Beberapa penjelasan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya
tentang penyakit yang sedang di derita yaitu apa itu penyakit hipertensi,
penyebab dan faktor-faktor risikonya, kompilkasi, dan penatalaksanaan yang
dapat dilakukan untuk mengobati penyakit ini.
Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan pengingkatan
31

tekanan darah seseorang yaitu 140/90 mmHg. Penyebab hipertensi dapat
dikategorikan berdasarkan penyebabnya yaitu hipertensi primer yang
tidak/belum diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang dapat
disebabkan akibat dari adanya penyakit lain, seperti penyakit ginjal maupun
kelainan hormonal. Faktor risiko dari hipertensi dapat dibagi menjadi faktor
risiko yang tidak dapat diubah seperti umur, jenis kelamin dan keturunan dan
faktor risiko yang dapat diubah seperti kegemukan, stress, merokok,
konsumsi alkohol berlebih, olahraga, konsumsi garam berlebihan, dan
hiperlipidemia.
Menjelaskan pula penyakit hipertensi ini merupakan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan dengan menerapkan pola
hidup, dan teratur minum obat. Penyakit hipertensi juga dapat menyebabkan
komplikasi yang berbahaya jika tidak diobati seperti gagal jantung, stroke,
penglihatan juga dapat terganggu.
Olehnya itu pasien disarnakan untuk mengokonsumsi obat
antihipertensi secara rutin dan membiasaakan pola hidup sehat seperti
mengkonsumsi makanan yang rendah garam, berolahraga walaupun hanya
sekedar lari-lari kecil, dan menghindari stress
L Penjelasan yang disampaikan tentang peranan pasien dan keluarganya
dalam proses penyembuhan penyakit yang diderita
Pasien harus memiliki semangat untuk tetap sehat dengan selalu
aktif mengontrol tekanan darahnya atau setiap ada keluhan serta secara rutin
mengkonsumsi obat anti hipertensi. Keluarga juga sangat berperan dalam hal
mengingatkan pasien agar mengkonsumsi obatnya secara teratur, mengontrol
makanan yang akan dikonsumsi pasien dan menjaga pasien agar pasien selalu
merasa nyaman dan tidak terbebani oleh pikiran yang dapat menjadi pencetus
stress.

32

M Penyuluhan yang dilakukan pada pasien dan keluarganya.
Penyuluhan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya yaitu
berupa Penjelasan tentang penyakit hipertensi, penyebab dan faktor risikonya,
komplikasinya dan kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mengontrol tekanan
darah agar tetap stabil
N Upaya pencegahan yang disampaikan pada keluarganya ( pencegahan
primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tertier)
1. Pencegahan primer
- Health promotion: penyuluhan tentang penyakit hipertensi
- Specific protection: menghindari faktor-faktor risiko hipertensi dengan
menerapkan pola hidup sehat misalnya pola makanan, olah raga rutin,
stress fisik dan emosional serta cukup istirahat.
2. Pencegahan sekunder
- Early diagnosis dan prompt treatment: melakukan skrining keluarga
dengan mengukur tekanan darah semua anggota keluarga dan jika ada
anggota keluarga yang mengalami hipertensi juga maka segera diberi
pengobatan sehingga dapat mencegah atau memperlambat terjadinya
komplikasi dari hipertensi dan menganjurkan kepada semua anggota
keluarga jika mengalalmi suatu keluhan agar segera ke fasilitas
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan
3. Pencegahan tersier
- Disability limitation: pola hidup (pola makan dan olahraga) harus
baik, pengobatan harus adekuat sehingga mencegah terjadinya
komplikasi maupun kematian
- Rehabilitation: jika sudah timbul komplikasi dari penyakit pasien
makan dianjurkan untuk segera ditangani di rumah sakit sehingga
komplikasi yang dialami dapat dicegah perburukannya atau bahkan
diminimalisir misalnya fisioterapi.
33

KEGIATAN YANG DILAKUKAN SAAT KUNJUNGAN RUMAH
Melakukan kunjungan rumah, memantau kondisi pasien, melakukan diagnosis
holistik, melakukan pengobatan dan tindakan holistik.
A Perjalanan penyakit saat ini :
Pasien dengan keluhan pusing berputar yang disertai tegang di leher
dan sakit kepala. Sakit kepala dapat timbul > 3 kali dalam sehari dan terasa lebih
berat jika pasien capek dan stress. Keluhan yang dirasakan pasien membuat
kepala pasien terasa berat dan menjalar hingga ke leher. Selain nyeri kepala,
selama seminggu belakangan ini pasien merasa lehernya sering tegang atau
kaku dan sulit tidur. Keluhan yang dirasakan pasien sejak 3 tahun yang lalu
tetapi cenderung hilang timbul. Saat itu pasien sempat berobat ke puskesmas
dan dikatakan bahwa pasien menderita penyakit darah tinggi dan dokter
kemudian memberikan obat untuk dapat menurunkan tekanan darah tingginya,
namun pasien mengakui tidak rutin menkonsumsi obat-obatan tersebut.
Semenjak pasien tediganosa sakit pasien tidak terlalu rutin minum obat.
Pasien lebih sering mengkosultasikan penyakitnya kepada orang pintar. Tetap
beberapa bulan yang lalu keluhan yang dirasakan pasien mulai memberat
sehingga keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke dokter praktek.
B Riwayat penyakit keluarga :
Pasien tidak mengetahui riwayat penyakit kedua orag tuanya.
Pasien juga menyangkal ada saudaranya yang menderita penyakit hipertensi.
C Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi (+) sejak tahun 2011
Riwayat diabetes mellitus (-)


34

Diagnosis holistik
D Aspek personal
Pasien berobat dengan harapan tekanan darahnya dapat turun
setelah mengkonsumsi obat, tetapi dari hasil wawancara dapat disimpulkan
kalau selama 3 tahun pasien mengetahui menderita penyakit darah tinggi
pasien tidak terlalu rutin berobat. Pasien juga cenderung tidak memahami
mengenai penyakitnya itu sendiri. Terkadang pasien lebih mempercayai
untuk berobat ke orang pintar (dukun) dibanding pergi ke puskesmas.
Pasien juga merupakan orang yang sangat pendiam dan tertutup,
hal ini ditunjukkan pada saat melakukan wawancara pasien cenderung
menjawab seadanya. Pasien memliki kecenderungan untuk menyimpan
masalahnya sendiri sehingga dapat berdampak menjadi suatu stressor yang
dapat menjadi pencetus penyakit hipertensi.
E Aspek risiko internal
Faktor risiko terjadinya hipertensi pada pasien ini adalah usia
pasien sudah lebih dari 40 tahun, konsumsi makan yang tinggi garam
dalam waktu yang lama, jarang berolahraga dan stress.
F Aspek psikososial keluarga
Di rumah pasien hanya tinggal bersama suaminya. Empat orang
anaknya sudah berkeluarga sehingga sudah tidak tinggal bersama dan satu
orang anaknya pergi merantau sebagai petugas pelayaran. Anaknya yang
menikah tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya sehingga masih
berkesempatan untuk menjenguk orangtuanya. Hubungan suami dan anak-
anaknya baik begitu pula hubungan dengan tetangga baik.


35

Diagnosis sosial, ekonomi, pencarian pelayanan kesehatan dan perilaku
G. Sosial

Hubungan dengan suami dan anak-anaknya baik,
tetapi pasien tampaknya merasa kesunyian karena hanya
tinggal berdua bersama suaminya. Tidak ada masalah
baik di rumah maupun dengan tetangganya. Pendidikan
pasangan suami-istri ini hanya sampai SR, tetapi mereka
dapat menyekolahkan anaknya sampai SMA.
H. Ekonomi
.
Sebelum sakit pasien adalah seorang penjahit
pakaian, suaminya adalah seorang tukang batu, tetapi
karena usia mereka sudah lanjut, saati ini mereka lebih
menggantungkan ekonominya pada anaknya yang bekerja
di pelayaran yang selalu mengirimkan uang setiap bulan
berkisar Rp500.000,00 sampai Rp750.00,00. Uang yang
dikirimkan hanya cukup untuk makan, sehingga untuk
kebutuhan lainnya pasien biasanya meminta kepada
anaknya yang lain. Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan keadaan ekonomi pasien tersebut adalah
menengah ke bawah.
I. Penggunaan
pelayanan
kesehatan
.

Pasien lebih sering pergi ke dukun dibandingkan
ke puskesmas. Beberapa bulan yang lalu oleh karena
tekanan darahnya tidak pernah turun akhirnya anaknya
membawa ibunya ke dokter praktek, tetapi sampai saat ini
mereka tidak membawa lagi ibunya untuk kembali
kontrol ke dokter ataupun ke puskesmas.
J. Perilaku yang tidak
menunjang kesehatan.

Pasien jarang berolahraga, konsumsi makanan
yang tinggi garam dan sejak sakit pasien lebih sering
untuk berdiam diri di rumah.
36

K. Data sarana pelayanan kesehatan dan lingkungan kehidupan keluarga
Faktor Keterangan Kesimpulan tentang faktor
pelayanan kesehatan
Sarana pelayanan
kesehatan yang digunakan
oleh keluarga
Puskesmas dan Rumah
sakit
Memuaskan
Cara mencapai sarana
pelayanan kesehatan tsb
Menggunakan kendaraan
roda 2

Tarif pelayanan kesehatan
yang dirasakan
(sangat mahal,mahal,
terjangkau, murah, gratis)
Mahal, karena tidak
memiliki kartu BPJS
Kualitas pelayanan
kesehatan yang dirasakan
(sangat baik, baik, biasa,
kurang baik, buruk)
Baik
L. Lingkungan tempat tinggal
Kepemilikan rumah :
(milik sendiri, kontrak, menumpang.)
Daerah perumahan :
(kumuh, padat, berjauhan, bersih, mewah,)
Milik sendiri

Tidak padat, kurang
bersih
Karakteristik rumah dan lingkungan Kesimpulan tentang
faktor lingkungan tempat
tinggal
Luas rumah : 4 x 6 m
2
Bertingkat / tidak Tidak bertingkat
Jumlah penghuni rumah : 2 orang
Luas halaman rumah : 2m x 3m
Kondisi halaman : Kurang bersih
Lantai rumah dari : semen
37

Dinding rumah dari : Papan
Kondisi dalam rumah : Kurang bersih
P. INTERVENSI PADA KELUARGA
Hari / Tanggal

INTERVENSI YANG DILAKUKAN DAN RENCANA TINDAK
LANJUT.
Kunjungan
pertama,
Senin, 25
Agustus 2014



Beberapa intervensi yang diberikan pada pasien ini yaitu :
1. Melakukan edukasi mengenai penyakit hipertensi.
2. Merencanakan pola makan pasien sesuai dengan penyakitnya
seperti mengkonsumsi makanan yang rendah garam, mengurangi
makanan yang tinggi lemak.
3. Menghindari terpaparnya asap rokok.
4. Olahraga atau latihan fisik..
5. Mengurangi stress.
6. Minum obat secara rutin.
Tindak lanjut
Selasa, 26
Agustus 2014


Follow up pasien tentang edukasi dan intervensi yang telah
diberikan yaitu pasien hanya memahami kurang lebih 50% tentang
hipertensi, tetapi pasien memiliki keinginan untuk berobat dan
mengubah pola hidupnya.







38

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Adapun simpulan dari hasil kunjungan rumah yaitu :
1. Diagnosis holistik dari hasil kunjungan rumah pada pasien ini yaitu dari
aspek klinis diagnosis pasien adalah hipertensi grade II, dari aspek personal
pasien lebih mempercayai pengobatan non-medis, dari aspek risiko internal
usia pasien lebih dari 40 tahun, kebiasan pasien konsumsi garam yang tinggi,
serta stress, dari aspek sosial pasien tampak kesunyian karena hanya tinggal
bersama suaminya, dari aspek ekonomi pasien merupakan ekonomi
menengah ke bawah.
2. Intervensi yang dilakukan kepada pasien ini yaitu melakukan edukasi
mengenai penyakit hipertensi, merencanakan pola makan pasien sesuai
dengan penyakitnya seperti mengkonsumsi makanan yang rendah garam,
mengurangi makanan yang tinggi lemak, menghindari terpaparnya asap
rokok, olahraga atau latihan fisik, mengurangi stress, dan minum obat secara
rutin.
B. Saran
Adapun saran yang diberikan kepada pasien yaitu:
1. Saran kepada Mahasiswa
a. Lebih memahami dan aktif dalam menganalisa permasalahan kesehatan
baik pada keluarga maupun lingkungannya.
b. Lebih sering berhubungan dengan masyarakat khususnya dalam keluarga
untuk menindak lanjuti suatu penyakit yang dialami oleh keluarga
tersebut.
2. Saran kepada Puskesmas
Diharapkan dapat lebih sering melakukan pendekatan kepada
masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan dalam usaha promotif dan
39

preventif kesehatan masyarakat khususnya penyakit yang tergolong berat
seperti hipertensi.
3. Penderita
a. Membicarakan masalahnya kepada orang terdekat atau orang yang
dipercaya, sehingga mengurangi beban pikirannya.
b. Berusaha untuk lebih memahami penyakit yang dideritanya.
c. Tetap rajin mengontrol kesehatannya ke pelayanan kesehatan masyarakat
terdekat.




















40

DAFTAR PUSTAKA
Anonimn
b
. 2009. Faktor Resiko Hipertensi yang dapat Dikontrol.
http://www.smallcrab.com/kesehatan/25-healthy/511-faktor-resiko-
hipertensi-yang-dapat-dikontrol diakses 25 Agustus 2014
Armilawaty, Amalia, H., Amiruddin, R. 2007. Hipertensi dan Faktor Risiko dalam
Kajian Epidemiologi. Bagian Epidemiologi FKM Unhas.
http://ridwanamiruddin.com/2007/12/08/hipertensi-dan-faktor-
risikonya-dalam-kajian-epidemiologi/ diakses pada tanggal 25
Agustus 2014
Asdie, A.H. 200. Harisson PRINSIP-PRINSIP ILMU PENYAKIT DALAM Vol.3.
Jakarta: EGC.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
http://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/pedoman-penemuan-
dan-tatalaksana-hipertensi1.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus
2014 .
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Gray, H., Dawkins, K., Simpson, I., Morgan, J. 2005. Lecture Notes Kardiologi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC
Karolina, W. 2012. Tes Treadmill, Cara Mudah uintuk Mengetahui Penyakit Jantung
Koroner. http://jantungsehat.web.id/?p=325 diakses pada tanggal 25
Agustus 2014.
Lubis, F. 2008. Dokter Keluarga sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayan
Keluarga.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile
/566/563 diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
OCallaghan, CA. 2009. At a Glance SISTEM GINJAL, Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga.
Robins, Kumar, Cotran. 2009. Buku Ajar Patologi, Edis 7. Jakarta: EGC.
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004.
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf
diakses tanggal 25 agustus 2014.
Yogiantoro, M. 2006. Hipertensi Esensial, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jilid I, Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyaki Dalam FK UI.
Yulinah E, Retnosari, Joseph, I Ketut, Prayitno, Kusnandar. 2009. Iso Farmakoterapi.
Jakarta: PT. ISFI.
41

LAMPIRAN

Anamnesis dan pemeriksaan fisik




42






43

Kondisi Rumah Pasien

Anda mungkin juga menyukai