Anda di halaman 1dari 23

1.

MM Asma
1. Definisi Asma
Definisi pasti dari asma masih sulit untuk dipahami, hal ini terutama karena penyebab
dari penyakit ini masih belum diketahui. Terlebih lagi karena asma bukanlah penyakit
dengan penyebab yang jelas, tetapi lebih sebagai suatu sindroma dimana bermacam
faktor presipitasi dapat menyebabkan manifestasi klinis dan patologis.
GINA (Global Institute for Asthma) mendefinisikan asma secara lengkap sebagai
berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan
bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas
terhadap pelbagai rangsangan.
Batasan ini sangat lengkap, tetapi dalam penerapan klinis untuk anak tidak
praktis, oleh karena itu KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi
batasan sebagai berikut: Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma
atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.
GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi
kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan
episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar
bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.


2. Etiologi Asma
Asma adalah penyakit yang dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul segala usia,
meskipun demikian, umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di
bawah lima tahun dan orang dewasa pada usia sekitar tiga puluh tahunan.
1. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
1. Reaksi antigen-antibodi
2. Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
3. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
1. Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
2. Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
3. Iritan : kimia
4. Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
5. Emosional : takut, cemas dan tegang
6. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus
Ada beberapa faktor pencetus yang erat hubungannya dengan serangan asma, yaitu
faktor alergen, keletihan, infeksi, ketegangan emosi, serta faktor lain seperti bahan
iritan, asap rokok, refluks gastroesofagal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia,
endokrin, serta faktor anatomi dan fisiologi.
Alergen makanan
Makanan sebagai penyebab atopi khususnya dermatitis atopik dan serangan
asma banyak ditemukan pada masa bayi dan anak yang masih muda. Pada bayi dan
anak berumur di bawah 3 tahun terutama adalah alergi susu sapi, telur dan kedelai
yang umumnya dapat mentolerir kembali sebelum anak berumur 3 tahun. Pada anak
besar dan dewasa penyebab utama adalah ikan, kerang-kerangan, kacang tanah dan
nuts dan penyebabnya ini sering menetap, walaupun demikian dapat diprovokasi tiap
6 bulan.
Alergen hirup
Dibagi atas 2 kelompok, yaitu:
1. Alergen di dalam rumah (indoors) seperti tungau debu rumah, bulu kucing,
bulu anjing atau binatang peliharaan lainnya. Alergen ini banyak dijumpai di
negara-negara tropis, juga terdapat di negara-negara dengan 4 musim.
2. Alergen di luar rumah (outdoors), seperti serbuk sari (pollen) khususnya di
negara-negara 4 musim; tree pollen pada musim semi, grass pollen pada
musim panas, jamur pada musim panas dan gugur.
Tungau debu rumah
Tungau debu rumah (TDR), termasuk spesies laba-laba, banyak terdapat di dalam
debu rumah, dan di tempat tidur. Di negara tropis TDR adalah penyebab utama
penyakit alergi, khususnya asma bronkial, rinitis alergi dan belakangan ini diduga
sebagai penyebab dermatitis atopik.
TDR tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, bahkan dengan mikroskop pun sulit
dilihat tanpa sinar dari samping. Untuk hidup, TDR jenis Dermatophagoides
pteronyssinus diperlukan suhu sekitar 25-30
o
C, dengan kelembaban nisbi diatas 50%
dan untuk jenis D. farinae dapat bertahan hidup sampai suhu 15
o
C dan kelembaban
nisbi 40%. Populasi TDR banyak ditemukan pada permukaan kasur baik dari kapuk
maupun dari busa, sebab untuk makanan TDR diperlukan serpihan kulit manusia.
Infeksi saluran napas
Sekitar 42% eksaserbasi asma dihubungkan dengan infeksi virus, terbanyak
respiratory syncytial virus (RSV) pada masa bayi dan anak kecil dan parainfluenza
virus pada anak yang lebih besar. Akibat infeksi virus terjadi kerusakan sel epitel
saluran napas dan pajanan alergen pada reseptor aferen nervus vagus dan berakibat
suatu bronkospasme dan serangan asma. Mengi pertama pada bayi perlu
dipertimbangkan antara bronkiolitis atau sebagai serangan pertama asma. Keduanya
bisa disebabkan oleh RSV dan sulit dibedakan satu dengan yang lain. Demikian pula
pada perjalanan penyakit selanjutnya, dimana penderita dengan bronkiolitis
mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk berlanjut dengan mengi di
kemudian hari dibandingkan anak normal. Infeksi bakteri umumnya jarang ada
hubungannya dengan serangan asma.
Emosi
Emosi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatikus, sehingga terjadi pelepasan
asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma. Faktor pencetus dapat bersumber dari
masalah antara kedua orang tua, antara orang tua dengan anak, atau masalah dengan
guru di sekolah.
Latihan jasmani
Asma yang diinduksi latihan jasmani (Exercise Induced Asthma = EIA) dapat terjadi
akibat lari bebas di udara yang dingin dan kering. Bila berlari di udara yang hangat
dan lembab, EIA jarang timbul. Setelah berlari 2 menit umumya terjadi dilatasi
bronkus dan anak merasa lebih enak, tetapi setelah berlari antara 5-8 menit terjadilah
konstriksi bronkus (respons dini), dan pada beberapa pasien juga dapat diikuti dengan
respons lambat antara 4-6 jam sesudah konstriksi bronkus yang pertama.
Faktor lain
1. Bahan iritan. Iritan sebagai pencetus asma mencakup bau cat, hair spray,
parfum, udara dan air dingin, juga ozon dan bahan industri kimia yang dapat
menimbulkan hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi.
2. Asap rokok. Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup,
seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin, nitrogen dioksida,
dan akrolein. Asap rokok atau asap obat nyamuk bakar dapat menyebabkan
kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar, dan menghambat
aktivasi fagosit serta efek bakterisid makrofag, sehingga terjadi
hiperreaktivitas bronkus.
3. Refluks gastroesofagus. Refluks isi lambung ke saluran napas dapat
memperberat asma pada anak dan merupakan salah satu penyebab asma
nokturnal.
4. Obat dan bahan kimia. Aspirin dapat sebagai pencetus serangan asma melalui
proses alergi dan non alergi. Angka kejadiannya pada orang dewasa adalah
antara 4-28%, tetapi jarang pada anak. Obat lain yang perlu diperhatikan
sebagai pencetus serangan asma adalah obat antiiflamasi seperti indometasin,
ibuprofen, fenilbutason, asam mefenamat, dan b-bloker. Bagi penderita yang
alergi terhadap aspirin, mempunyai kemungkinan besar juga alergi terhadap
bahan-bahan kimia seperti tartrazin (pewarna kuning untuk kapsul obat) dan
sodium benzoat sebagai pengawet makanan atau minuman.
5. Hormon. Asma dapat timbul atau diperberat oleh menstruasi, segera sebelum
atau setelah menstruasi. Pemakaian pil KB, terkadang dapat memperberat
asma.

1. Epidemiologi Asma
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan
asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar
5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000,
dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
Prevalensi asma pada anak di Indonesia cukup tinggi, meski data rinci untuk tiap
wilayah belum ada, namun data pada anak sekolah di beberapa kota besar di
Indonesia, seperti Medan, Palembang, Jakarta, bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang, Denpasar berkisar antara 3,7-16,4%. Sedangkan pada anak SMP di Jakarta
5,8%.
Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang
Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di
Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2
5 %5 (3-8%2 dan 5-7%7) penduduk Indonesia menderita asma. Berdasarkan laporan
Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM), prevalensi asma di
Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar (4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di
Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi asma pada siswa SMP sebesar
8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada tahun 2005 dilakukan
evaluasi pada siswa SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%2. Penyakit Asma
dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum usia 5
tahun9. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan,
sedangkan pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada
anak dan bayi lebih tinggi daripada orang dewasa.

2. Klasifikasi Asma
Asma dibedakan jadi dua jenis, yakni asma bronkial dan kardial. Penderita asma
bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti
debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala
kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara
tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa
datang.
Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang yang
mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan
ini akibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput
lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.
Sedangkan asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut asma
kardial. Gejala asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak
napas yang hebat. Kejadian ini disebut nocturnal paroxymul dyspnea. Biasanya
terjadi pada saat penderita sedang tidur.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajad berat ringannya dan
gambaran dari obstruksi saluran nafas. Yang terpenting adalah berdasarkan derajad
berat ringannya serangan, karena berhubungan secara langsung dengan pengobatan
yang akan diberikan.
A
.
Ditinjau dari segi Imunologi, asma dibedakan menjadi :

1. Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi :

1.1. Asma Ekstrinsik Atopik
3


Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1.Gejala klinis dan keluhan cenderung
timbul pada awal kehidupan, 85 % kasus terjadi sebelum usia 30 tahun .
Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada
waktu puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda pula. Prognosis
tergantung pada serangan pertama yaitu berat ringannya gejala yang timbul.
Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang berat, maka
prognosisnya lebih jelek. Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE
spesifik, dan pada riwayat keluarga didapatkan keluarga yang menderita
asma.
1.2. Asma Ekstrinsik Non Atopik
3


Sifat dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan
bermacam alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan
atau timbul setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes
kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam
serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala cenderung
pada akhir masa kehidupan, yang disebabkan karena sekali tersensitisasi,
maka respon asma dapat dicetuskan oleh berbagai macam rangsangan non
imunilogik seperti emosi, infeksi, kelelahan dan faktor sikardian dari siklus
biologis.
2 Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi
3


2.1. Asma I ntrinsik
2.2. Asma I diopatik

Asma jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen
ekstrinsik sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif.
Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan
pada penderita dewasa, dimulai pada umur diatas 30 tahun dan disebut late
onset asthma. Serangan sesak pada tipe ini dapat berlangsung lama dan
seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai
kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma
ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar IgE serum
dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik. Tes serologis dapat menunjukkan
adanya faktor reumatoid misalnya sel LE. Riwayat alergi keluarga jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan asma ekstrinsik yaitu 12 sampai 48 %.


B
.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit menurut Global Initiative For Asthma

C
.
Ditinjau Dari Gejala Klinis
8.11


1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak,
Sa O
2
9> 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV
1
lebih
dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus
dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal
sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun
timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO
2
92-95% udara
ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV
1
antara 1-2 liter, sesak nafas
kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan
untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang
dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO
2
9s 91%, PEFR 80 liter
per menit, FEV
1
0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat
seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus
paradoksus 9> 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi
ekspirasi yang jelas.
Asma Episodik Jarang
75% populasi asma anak
Episode yang terjadi <1x per 46 minggu,
wheezing setelah aktivitas berat,
Tanpa gejala diantara episode serangan
Fungsi paru yang normal diantara serangan
Terapi profilaksis tidak dibutuhkan
Asma Episodik Sering
20% populasi asma
Serangan lebih sering
wheezing pada aktivitas sedang
dapat dicegah dengan pemberian 2-agonis
Gejala terjadi kurang 1x/minggu
Fungsi paru diantara serangan normal atau hampir normal
Perlu controller (pengendali)
Asma Persisten
5% anak asma
Episode akut yang sering,
wheezing pada aktivitas ringan
diantara interval gejala membutuhkan b2-agonis lebih dari 3 kali/minggu baik
karena terbangun malam hari maupun dada terasa berat pada pagi hari
Perlu controller (pengendali)

3. Patogenesis Asma
Konsep patogenesa asma telah berubah, dari gejala fisiologik penyakit (tahun 1960-
1970) dan kini beralih ke komponen seluler. Dengan melakukan tes provokasi alergen
pada individu yang sensitif, akan terjadi obstruksi bronkus yang terlihat dengan
menurunnya volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV
1
). Fase ini dikenal sebagai
reaksi asma segera (RAS) atau Early Asthmatic Reaction (EAR), dimana obstruksi
mencapai puncaknya pada 15 sampai 20 menit setelah paparan dengan alergen, dan
berakhir kurang lebih 60 menit kemudian.
Reaksi imunologi yang timbul akibat paparan alergen, pada awalnya menimbulkan
fase sensitisasi. Fase ini merangsang terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma dan
IgE ini akan melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Rangsangan berikutnya oleh alergen yang serupa menimbulkan reaksi fase awal. Hal
ini dikarenakan terjadinya degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan mediator-
mediator yang ada di dalam granul sel mast yaitu histamin, neutral protease dan
proteoglikan (preformed molecules) dan prostaglandin, leukotrien dan sitokin (newly
generated molecules). Histamin mempunyai efek vasoaktif langsung dan spasmogenik
otot polos. Sedangkan PGD
2
mempunyai aktivitas bronkospasme yang sangat kuat
dan memperberat hiperrespon saluran nafas terhadap inhalasi histamin dan metakolin.
LTC
4
, LTD
4
dan LTE
4
menyebabkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan
hipersekresi mukus. Mediator-mediator tersebut menyebabkan terjadinya perubahan
pada bronkus, yaitu akan terjadi spasme dari bronkus, hipersekresi kelenjar, udema
dan peningkatan permeabilitas kapiler dan hal ini secara klinis merupakan manifestasi
serangan asma akut.
5.10.18.20

Setelah 4 sampai 6 jam kemudian, akan terjadi proses selanjutnya yaitu reaksi asma
lambat (RAL) atau late phase reaction (LPR), dan biasanya menetap dalam 24 sampai
48 jam Reaksi asma lambat berhubungan dengan perekrutan sel inflamasi kedalam
saluran nafas. Cairan BAL pada fase APR menunjukkan peningkatan level histamin
dan tryptase, yang mencerminkan aktivasi sel mast. Eosinofilia saluran nafas dimulai
4 sampai 6 jam setelah paparan alergen pada LPR. Eosinofil dan limfosit dalam
saluran nafas teraktivasi yang ditunjukkan oleh marker aktivasi sel permukaan dan
pelepasan granul protein eosinofil. Jumlah makrofag saluran nafas juga meningkat
5.10.11

Oleh pengaruh sitokin yaitu IL-3, IL-4, Granulocyte Monocyte Colony Stimulating
Factor (GM-CSF) yang dihasilkan oleh sel mast dan T limfosit yang teraktivasi, akan
menyebabkan aktivasi sel-sel radang seperti eosinofil, neutrofil, monosit, makrofag,
basofil dan limfosit. Masing-masing sel radang berkemampuan mengeluarkan
mediator inflamasi. Eosinofil yang teraktivasi memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, TNF
dan GM-CSF. IL-5 dan GM-CSF yang akan meningkatkan rekrutmen eosinofil
kedalam saluran nafas, yang menyebabkan terjadinya eosinofilia pada asma. Eosinofil
juga mengandung granul-granul protein kationik seperti Major Basic Protein (MBP),
Eosinophil Cationic Protein (ECP), Eosinophil-Derived Neurotoxin dan Eosinophil
Peroxidase (EPO). MBP dan ECP sangat toksik terhadap sel epitel, sedangkan EDN
sesuai dengan namanya, akan merusak neuron yang bermielin sehingga saluran nafas
lebih peka terhadap rangsang. Sedangkan EPO menyebabkan pelepasan histamin dari
sel mast. Makrofag melepas bermacam sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-o),
mediator lemak (TXA
2
, LTB
4
, LTC
4
, LTD
4
dan PGD
2
), PAF dan histamin releasing
factor. Basofil juga mengandung MBP, selain itu juga menghasilkan sitokin (IL-4, IL-
5 dan IL-13) dan mediator lemak (LTC
4
, LTD
4
, LTE
4
dan PAF). Limfosit T
dibedakan menjadi dua berdasar marker membrannya, yaitu limfosit T CD4
+

helper dan CD8
+
cytotoxic . Yang dominan pada orang asma adalah
limfosit T CD4
+
yang dibagi menjadi dua subset yaitu sel TH
1
dan TH
2
yang
diperkirakan berasal dari prekursor limfosit yang disebut sel TH0. Sel TH
1
dan TH
2

memproduksi sitokin yang serupa seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-10, IFN-, GM-
CSF dan TNF-o..
5.10.11

Mekanisme perekrutan sel inflamasi kedalam saluran nafas difasilitasi dan diatur oleh
molekul adesi dan sitokin. Molekul adhesi adalah protein permukaan sel yang berupa
selektin (ELAM-1), integrin dan Ig gene superfamily (ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1,
PECAM-1). Molekul adhesi ini mempermudah mempermudah mobilisasi sel radang
dari intravaskuler menuju jaringan tempat radang atau organ sasaran.
5.10

Patogenesa Asma Non Imunlogi:
21

1. Drug I nduced Asthma (DI A)
21


Beberapa penderita asma yang sudah mendapat terapi optimal menunjukkan
keadaan sesak yang memburuk tanpa adanya tanda infeksi virus, paparan alergi
dan irirtan. Dalam hal ini perlu dipikirkan suatu Drug induced Asthma.
Penyebabnya adalah reaksi farmakologis idiosinkrasi dimana, mekanismenya bisa
melalui mekanisme imunologik (IgE) dan akibat efek iritan langsung. Obat-obatan
yang dapat menyebabkan DIA adalah aspirin NSAID (indometasin, diklofenak dan
naprosin), antibiotika (penisilin, nitrofurantoin, cefalosporin dan terasiklin), dan
beta adrenergic blocking agent (propanolol, atenolol, metoprolol, nadolol,
pindolol).

Pada aspirin induced asthma, reaksi paru mungkin bukan karena mekanisme
imunologis, melainkan oleh karena aspirin berkemampuan menghambat jalur
cyclooxygenase, suatu enzim kunci dalam biotransformasi asam arakidonat.
Inhibisi dari cyclooxygenase merupakan mekanisme sentral pada AIA, diikuti
pelepasan leukotrien dan terjadi bronkospasme. AIA berhubungan dengan dosis
obat yang dikonsumsi, tidak berhubungan dengan atopi, tes kulit hasilnya negatif.
Terapi dengan kortikosteroid memberi hasil baik. Reaksi AIA tidak dapat dicegah
dengan antihistamin, aminofilin, sodium kromolin. NSAID merupakan obat yang
paling sering menimbulkan DIA. Adapun patofisiologi dari drug induced asthma
tertera pada gambar 2.
2. Exercised I nduced Asthma (EIA)
21


Banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda. Latihan lari merupakan rangsangan
yang paling poten untuk terjadinya bronkospasme. Semula hal ini diduga karena
ada penurunan pH (lactic acidosis) berperan dalam EIA. Dikemukakan hipotesis
respiratory heat loss pada EIA, saluran nafas mengalami pendinginan bila bernafas
dengan udara dingin dan kering, karena udara tersebut harus dihangatkan dan
dibuat humid sesuai dengan keadaan tubuh sebelum udara mencapai alveoli, dan
untuk hal tersebut diatas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas. Hal
seperti ini juga terjadi pada hiperventilasi tanpa latihan. Teori terbaru menyatakan
bahwa exercise menghasilkan : hiperventilasi, efek intrinsik langsung,
meningkatkan sympathetic drive dan pelepasan inhibitory prostaglandin

4. Patofisiologi Asma
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus,
udema mukosa dan infiltrasi dengan
sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil,
basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-
sel epitel. Dilepaskannya berbagai
mediator inflamasi seperti histamin,
lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang
mengakibatkan adanya konstriksi
bronkus, edema mukosa dan
penumpukan mukus yang kental dalam
lumen saluran nafas. Sumbatan yang
terjadi tidak seragam/merata di seluruh
paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi. Sumbatan
jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata
di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi
dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru
menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk
ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit
atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan
resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin
mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang
bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada
awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi
sehingga kadar PaCO2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot
nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung
naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai
tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula
asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot
nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal,
namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi
dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak
ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.
Sesuai dengan definisi asma, maka hiperreaktivitas bronkus merupakan
dasar terjadinya asma bronkial. Hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan
respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus
terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara dingin, alergen,
dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi.
Derajat hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan
pada faktor pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya intensitas
faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada
hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat hiperreaktivitasnya, makin
kecil intensitas faktor pencetus yang diperlukan untuk timbulnya serangan
asma.
Proses inflamasi saluran napas pasien asma tidak saja ditemukan pada
pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi
ini dapat terjadi lewat jalur imunologik maupun nonimunologik. Akibat
interaksi antigen dengan IgE spesifik yang sudah terikat pada sel mast pada
mukosa saluran napas, dan/atau basofil di dalam peredaran darah, akan
terjadi influks Ca
++
ke dalam sel mast dan basofil, dengan akibat cAMP
menurun di dalam sel mast/basofil, dan terjadi degranulasi dan pelepasan
histamin dan mediator lain (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).
Pada pajanan alergen dapat terjadi 3 kemungkinan, yaitu: respons asma
cepat, respons asma cepat dan diikuti respons asma lambat, atau respons
asma lambat saja.Pada EAR terjadi penyempitan bronkus dengan segera,
kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan alergen, dan berlangsung selama 1-
2 jam. Mediator yang dilepaskan oleh sel mast/basofil adalah histamin, ECF,
NCF, dan lain-lain. Akibat pelepasan mediator ini akan terjadi spasme otot
polos bronkus, inflamasi, edema, dan hipersekresi. Selain itu juga terjadi
peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil sebagai akibat pelepasan ECF dan
NCF oleh sel mast dan hiperreaktivitas bronkus. Pada LAR proses
penyempitan bronkus lebih lambat, lebih kurang 4-8 jam sesudah pajanan
alergen, dan dapat berlangsung sampai 12-48 jam. Respons lambat ini
disebabkan oleh reaksi inflamasi saluran napas sebagai akibat aktivasi
eosinofil, dan pelepasan mediator oleh sel mast/basofil seperti leukotrien,
PAF, prostaglandin, bradikinin, serotonin, dan lain-lain. Hiperreaktivitas
bronkus akibat LAR dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan
beberapa bulan. Bila EAR diikuti dengan LAR disebut sebagai dual response.
Polutan seperti ozon dan asap rokok secara langsung menyebabkan
kerusakan epitel saluran napas tanpa melalui reaksi imunologik, dengan
akibat terpaparnya dan rangsangan pada ujung nervus vagus, demikian pula
infeksi virus dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus lewat jalur
nonimunologik dan imunologik.
5. Patologi Asma
Hiperresponsivitas saluran nafas dan keterbatasan aliran udara akut merupakan dua
manifestasi uatama dari gangguan fungsi paru pada penderita asma.
Hiperresponsivitas saluran nafas. Komponen penting asma yang mendasari ketidak
stabilan saluran nafas adalah adanya respon bronkokonstriksi terhadap bermacam
stimulus eksogen maupun endogen. Banyak mekanisme telah diusulkan untuk
menjelaskan hiperresponsivitas saluran nafas ini, tetapi beberapa kejadian
menggambarkan bahwa inflamasi saluran nafas merupakan faktor kunci. Akibat klinis
dari hiperresponsivitas saluran nafas tercermin pada peningkatan variasi dari ukuran
saluran nafas dalam sehari atau antar hari.
11

Keterbatasan aliran udara. Episode berulang dari keterbatasan aliran udara pada
asma mempunyai empat bentuk, dan masing-masing berhubungan dengan respon
inflamasi saluran nafas.
1. Bronkokonstriksi akut. Mekanisme keterbatasan aliran udara akut bervariasi
tergantung dari rangsangan. Bronkokonstriksi akut allergen-induced, disebabkan
oleh pelepasan mediator IgE dependent termasuk histamin, prostaglandin dan
leukotrien dari sel mast saluran nafas yang menyebabkan kontraksi otot polos.
Reaksi ini kadang disebut sebagai respon asma segera Keterbatasan aliran udara
akut juga terjadi karena saluran nafas pada penderita asma hiperresponsif terhadap
banyak rangsangan seperti inhalasi alergen, aktivitas, udara dingin, bahan kimia
dan ekspresi emosional yang berlebihan seperti menangis dan tertawa.
Bronkokonstriksi akut dengan cepat dapat dihilangkan dengan bronkodilator
inhaler, seperti short acting |
2
-agonis.
11

2. Penebalan dinding saluran nafas. Keterbatasan aliran udara juga terjadi akibat
edema dari dinding saluran nafas dengan atau tanpa kontraksi otot polos atau
bronkokonstriksi. Bronkodilator dapat menghilangkan sedikit dari komponen ini,
tetapi lebih efektif untuk menggunakan obat anti inflamasi seperti kortikosteroid.
Komponen respon asma ini disebut sebagai reaksi asma lambat. Kerusakan dan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, menyebabkan penebalan mukosa dan
pembengkakan saluran nafas diluar otot polos. Ini menyebabkan udema dinding
saluran nafas dan hilangnya elastic recoil pressure.
11

3. Pembentukan mukus plug kronis. Merupakan keterbatasan aliran udara yang sulit
diatasi dan sedikit dipelajari.Umumnya membutuhkan waktu enam minggu atau
lebih untuk menghilangkannya dengan pemberian kortikosteroid. Hal ini terutama
disebabkan peningkatan sekresi mukus yang bersama dengan eksudasi protein
serum dan sel debris membentuk mukus plug yang kental yang menutup saluran
nafas perifer pada asma berat.
11

4.
Remodeling dinding saluran nafas. Keterbatasan aliran udara kadang tidak
membaik dengan pemberian kortikosteroid. Dasar seluler dan molekuler dari
resistensi steroid ini mungkin pada level reseptor transduksi steroid atau mungkin
berhubungan dengan perubahan struktur dari matriks saluran nafas akibat
inflamasi saluran nafas yang berat dan dalam waktu lama.
11

Dari pandangan klinis diatas, inflamasi saluran nafas merupakan variabel terpenting,
sehingga elemen terpenting sebagai obat kontroler adalah sodium kromoglikat,
nedokromil dan kortikosteroid.

6. Manifestasi Asma
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang,
terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.Yang
dimaksud serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut.

7. Diagnosis & DB Asma
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
1. Dewasa
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
7. Emboli Paru

8. Anak
1. Benda asing di saluran napas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis


1. PF & PP Asma
A. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-
penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh
badan, mulai dari kepala sampai ke kaki. Kelainan fisik pada penderita asma
tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan saat
pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi
pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat
terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali
lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi
paru yang terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga
dada, dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan
susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga
tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan
cuping hidung.
Diagnosa klinis asma sering didapat dari gejala seperti sesak, mengi, dada terasa
berat dan batuk, biasanya memburuk pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapai
gejala diatas bukanlah diagnosa pasti. Yang penting adalah serangan berulang
tersebut sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi, iritan, aktivitas fisik dan
infeksi virus. Tanda klinis penting yang lain adalah bahwa gejala diatas dapat
hilang secara spontan atau dengan pemberian bronkodilator dan kortikosteroid.
Variabilitas gejala berdasar musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi
juga membantu untuk diagnosa. Karena gejala asma sangat bervariasi dalam
sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi bisa menjadi normal. Selama
eksaserbasi, kontrasksi otot polos saluaran nafas, udema dan hipersekresi
cenderung menutup saluran nafas terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari
hiperinflasi dan peningkatan obstruksi saluran nafas pada saat eksaserbasi akan
meningkatkan kerja nafas secara bermakna. Hal ini yang menyebabkan tanda
klinis sesak, mengi dan tanda-tanda hiperinflasi paru.
8.11
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma,
tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada
penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi
untuk menegakkan diagnosis.

B. Pemeriksaan Faal Paru

Pengukuran faal paru menghasilkan penilaian langsung maupun tidak langsung
dari obstruksi jalan nafas. Penilaian obstruksi saluran nafas, reversibilitas dan
variabilitasnya sangatlah penting untuk menegakkan diagnosa asma. Penilaian hal-
hal diatas mendasari strategi penanganan asma yang baru. Banyak parameter dan
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).
Variasi diurnal memakai PEF lebih dari 20% adalah diagnostik untuk asma, tetapi
perlu diingat bahwa asma intermitten ringan atau pada penyakit yang sangat berat,
variabilitas sebesar ini tiodak dijumpai.
8.11

C. Penilaian Status Alergi

Skin tes dengan memakai alergen merupakan pemeriksaan utama untuk
mengetahui adanya reaksi alergi dan Prick Test adalah yang tersering digunakan.
Tes ini sangat sederhana, cepat, murah dan sangat sensitif, tetapi bila tidak
dilakukan dengan baik dapat menyebabkan terjadinya false positif maupun negatif.
Pengukuran IgE spesifik dalam serum mempunyai nilai yang tinggi, tetapi tidak
dapat mengalahkan skin tes dan relatif lebih mahal. Riwayat paparan dengan
alergen yang berhubungan dengan gejala harus dipastikan melalui anamnesa. Tes
provokasi bronkus kadang dikerjakan, tetapi jarang untuk kepentingan diagnostik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
7. Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
ditegakkan bila didapatkan :
1. Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1
(forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik
pertama) 15%
2. Kenaikan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
1. Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan dari nilai normal
akan menunjang diagnosis

2. Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya
komplikasi pada saat serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada
anak > 5 tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi.


3. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP
1)
dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan
nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan
acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP
1
/ KVP < 75% atau
VEP
1
< 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP
1
/ KVP < 75% atau VEP
1
<
80% nilai prediksi.
2. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP
1
> 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral
10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma

1. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun
penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan
koperasi penderita dan instruksi yang jelas. Manfaat APE dalam diagnosis asma:
1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
1. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE
pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai
APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
1. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE
pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan
dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan
APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari
nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut
paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.
1. Tatalaksana & Pencegahan Asma
Penggunaan obat dan terapi Farmakologis pada anak dengan gangguan asma
mencakup penggunaan agen kontrol seperti kortikosteroid inhalasi, cromolyn
terhirup atau nedokromil, long-acting bronkodilator, teofilin, pengubah
leukotriene, dan strategi yang lebih baru seperti penggunaan anti-
immunoglobulin antibodi E (IgE) (omalizumab). Obat bantuan termasuk short-
acting bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dan ipratropium
Agonis b
2
-Adrenergik Obat golongan ini digunakan untuk mengobati bronkospasme
pada episode asma akut, dan digunakan untuk mencegah bronkospasme terkait
dengan latihan-induced asma atau asma nokturnal. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa short-acting beta2-agonis seperti albuterol dapat menghasilkan hasil yang
merugikan (misalnya, penurunan arus puncak atau peningkatan risiko eksaserbasi)
pada pasien homozigot untuk arginin (Arg / Arg) pada posisi asam amino ke-16 dari
beta-adrenergik reseptor gen dibandingkan dengan pasien homozigot untuk glisin
(Gly-Gly). Temuan serupa dilaporkan untuk long-acting beta2-agonis, seperti
salmeterol.Sebagai bronkodilator, b
2
-Agonis adalah obat yang paling poten dan
berkerja cepat dan paling banyak dipakai untuk mengatasi serangan asma. Ada 2
golongan b
2
-agonis yang tersedia di Indonesia yaitu yang bekerja cepat dan bekerja
lambat, dan diberikan dalam bentuk inhalasi (metered dose inhaler), dengan nebulizer,
atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler). Selain bekerja sebagai bronkodilatasi,
b
2
-agonis meningkatkan fungsi clearance daripada silia, mengurangi edema dengan
menghambat kebocoran kapiler dan mungkin menghambat kerja sel mast. Efek
samping b
2
-agonis adalah tremor, takikardia dan anak cemas, yang semuanya ini akan
berkurang bila b
2
-agonis diberikan lewat hirupan. Untuk serangan asma dipakai b
2
-
agonis yang bekerja cepat seperti, salbutamol, terbutalin atau pirbeterol, sedangkan
salmeterol dan formeterol dipergunakan sebagai pengendali asma dengan
mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi dan sebaiknya b
2
-agonis
kerja lambat tidak dipergunakan sebagai monoterapi.
1. Albuterol sulfat (Proventil HFA, Ventolin HFA, ProAir HFA)
Golongan beta2-agonis ini adalah bronkodilator yang paling umum digunakan
yang tersedia dalam berbagai bentuk (misalnya, solusi untuk nebulization,
MDI, PO solusi). Hal ini paling sering digunakan dalam terapi penyelamatan
untuk gejala asma akut. Digunakan sesuai kebutuhan. Penggunaan jangka
panjang dapat dikaitkan dengan tachyphylaxis karena beta2-reseptor
downregulation dan hyposensitivity reseptor.
2. Pirbuterol (MAXair Autohaler)
Pirbuterol tersedia sebagai inhaler napas-actuated atau biasa. Kemudahan
administrasi dengan perangkat napas-actuated membuat pilihan yang menarik
dalam pengobatan gejala akut pada anak-anak muda yang dinyatakan tidak
dapat menggunakan MDI. Autohaler ini memberikan 200 mcg per aktuasi.
Long-Acting Beta2-Agonists Long-acting bronkodilator (LABA) tidak digunakan
untuk pengobatan bronkospasme akut. Mereka digunakan untuk pengobatan
pencegahan asma nokturnal atau latihan-induced gejala asma, misalnya. Saat ini, 2
LABA tersedia di Amerika Serikat: salmeterol (Serevent) dan formoterol (Foradil).
Salmeterol dan formoterol tersedia sebagai produk kombinasi dengan kortikosteroid
inhalasi di Amerika Serikat (Advair, Symbicort, Dulera). NET dapat meningkatkan
kemungkinan episode asma yang parah dan kematian ketika orang-episode terjadi.
Sebagian besar kasus ini terjadi pada pasien dengan asma berat dan / atau akut
memburuk, mereka juga terjadi pada beberapa pasien dengan asma kurang parah.
LABAs tidak dianggap lini pertama obat untuk mengobati asma. LABAs tidak boleh
digunakan sebagai obat terisolasi dan harus ditambahkan ke rencana pengobatan asma
hanya jika obat lain tidak mengontrol asma, termasuk penggunaan kortikosteroid
rendah atau menengah-dosis. Jika digunakan sebagai obat terisolasi, LABAs harus
diresepkan oleh subspecialist (yaitu, pulmonologist, alergi).
1. Salmeterol (Serevent Diskus)
Ini persiapan long-acting suatu agonis beta2-digunakan terutama untuk
mengobati gejala nokturnal atau latihan-induced. Ini tidak memiliki tindakan
anti-inflamasi dan tidak diindikasikan dalam pengobatan episode
bronchospastic akut. Ini dapat digunakan sebagai tambahan untuk
kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi efek negatif dari steroid. Obat
disampaikan melalui DPI Diskus.
2. Formoterol (Foradil Aerolizer)
Formoterol mengurangi bronkospasme dengan relaksasi otot polos bronchioles
dalam kondisi yang berhubungan dengan asma.
Metilxantin Yang tergolong dalam metilxantin adalah teofilin dan aminofilin. Cara
kerja obat ini adalah menghambat kerja ensim fosfodiesterase dan menghambat
pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Obat ini dapat dipergunakan
sebagai pengganti b
2
-agonis untuk mengatasi serangan asma atau kombinasi dengan
b
2
-agonis oral atau inhalasi.
1. Teofilin (Theo-24, Theochron, Uniphyl)
Teofilin tersedia dalam formulasi short-acting dan long-acting. Karena
kebutuhan untuk memantau konsentrasi serum, agen ini jarang digunakan.
Dosis dan frekuensi tergantung pada produk tertentu yang dipilih. Teofilin
atau aminofilin lepas lambat dapat diberikan bersama dengan steroid inhalasi
sebagai pengendali asma, juga pada asma berat aminofilin masih dapat dipakai
dengan memberikannya secara parenteral. Untuk memperoleh fungsi paru
yang baik, diperlukan konsentrasi aminofilin dalam darah antara 5-15 mg/ml
dan efek samping terjadi bila kadar aminofilin dalam darah berada di atas 20
mg. Pemberian aminofilin intravena pada serangan berat/status
asmatikus dipertimbangkan. Bila dengan obat-obat standar di atas belum ada
perbaikan, berikan loading dose 4-5 mg/kg BB, diencerkan dengan NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan dosis
rumatan 0,7-0,9 mg/kg BB/jam atau 5-6 mg/kg BB/8 jam. Efek samping yang
sering dijumpai adalah iritasi lambung, insomia, palpitasi, dan pada dosis yang
berlebihan dapat terjadi konvulsi. Agen-agen ini digunakan untuk kontrol
jangka panjang dan pencegahan gejala, terutama gejala nokturnal.
Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat anti-inflamasi yang paling poten untuk
pengobatan penyakit asma. Kerja obat ini melalui pelbagai cara, antara lain
menghambat kerja sel inflamasi, mengambat kebocoran pembuluh darah kapiler,
menurunkan produksi mukus dan meningkatkan kerja reseptor b-reseptor.
Steroid inhalasi
Steroid adalah anti-inflamasi paling ampuh agen. Bentuk inhalasi yang topikal aktif,
buruk diserap, dan paling mungkin menyebabkan efek samping. Mereka digunakan
untuk kontrol jangka panjang gejala dan penindasan, kontrol, dan pembalikan
peradangan. Bentuk inhalasi mengurangi kebutuhan untuk kortikosteroid sistemik.
Steroid inhalasi memblokir respon asma terlambat untuk alergen, mengurangi
hyperresponsiveness napas, menghambat produksi sitokin, protein aktivasi adhesi,
dan migrasi sel inflamasi dan aktivasi, dan sebaliknya beta2-reseptor downregulation
dan subsensitivity (di episode asma akut dengan menggunakan NET). Walaupun
pemberian steroid secara inhalasi mempunyai efek samping yang minimal (kecuali:
kandidiasis oral), pada pemberian lama dan dosis tinggi akan menghambat
pertumbuhan, sekitar 1-1,5 cm/tahun untuk bulan-bulan pertama pemakaian, dan pada
pemakaian jangka panjang ternyata tidak berpengaruh banyak pada pertumbuhan.
Walaupun demikian, perlu dipertimbangkan untuk dikombinasi dengan b-agonis kerja
lambat, teofilin kerja lambat atau leukotriene receptor antagonist,bila untuk
pengendali jangka panjang pasien resisten terhadap steroid inhalasi atau dosis steroid
perlu ditingkatkan.
1. Ciclesonide (Alvesco)
Ciclesonide adalah aerosol inhalasi kortikosteroid diindikasikan untuk
pengobatan pemeliharaan asma sebagai terapi profilaksis pada pasien dewasa
dan remaja berusia 12 dan lebih tua y. Tidak diindikasikan untuk
menghilangkan bronkospasme akut.
Kortikosteroid memiliki berbagai efek pada beberapa jenis sel (misalnya, sel
mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, limfosit) dan mediator (misalnya,
histamines, eikosanoid, leukotrien, sitokin) yang terlibat dalam peradangan.
Pasien individu mengalami waktu variabel onset dan tingkat bantuan gejala.
Manfaat maksimal tidak mungkin dicapai selama 4 minggu atau lebih setelah
memulai terapi.
Setelah stabilitas asma dicapai, yang terbaik adalah untuk titrasi dengan dosis
efektif terendah untuk mengurangi kemungkinan efek samping. Untuk pasien
yang tidak memadai menanggapi dosis awal setelah 4 minggu terapi, dosis
yang lebih tinggi dapat memberikan kontrol asma tambahan.
2. Beklometason (Qvar)
Beklometason menghambat mekanisme bronkokonstriksi, menyebabkan
relaksasi otot polos secara langsung, dan dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas sel-sel inflamasi, yang, pada gilirannya, mengurangi
hyperresponsiveness napas. Hal ini tersedia sebagai 40 mcg / aktuasi atau 80
mcg / aktuasi.
3. Flutikason (Flovent Diskus, Flovent HFA)
Flutikason memiliki aktivitas vasokonstriksi dan anti-inflamasi yang sangat
poten. Memiliki potensi hipotalamus-hipofisis axis hambat yang lemah
adrenocortical ketika dioleskan. Ini tersedia sebagai produk aerosol MDI
(HFA) atau DPI (Diskus).
4. Budesonide dihirup (Pulmicort Flexhaler atau Respules)
Budesonide memiliki aktivitas vasokonstriksi dan anti-inflamasi yang sangat
poten. Memiliki potensi hipotalamus-hipofisis axis hambat yang lemah
adrenocortical ketika dioleskan. Ini tersedia sebagai DPI di 90 mcg / aktuasi
(memberikan sekitar 80 mcg / aktuasi) atau 180 mcg / aktuasi (memberikan
sekitar 160 mcg / aktuasi). Sebuah susp nebulasi (yaitu, Respules) juga
tersedia untuk anak-anak.
5. Furoate mometasone inhalasi bubuk (Asmanex Twisthaler)
Furoate adalah kortikosteroid untuk inhalasi. Hal ini diindikasikan untuk asma
sebagai terapi profilaksis.
TATALAKSANA ASMA JANGKA PANJANG
Obat asma dibagi 2 kelompok, yaitu:
1. obat pereda (reliever), yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma yang timbul.
2. obat pengendali (controller) yang digunakan untuk mengatasi masalah dasar
asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Pemakaian obat ini terus
menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat
penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan
1. ASMA EPISODIK JARANG Cukup diobati dengan obat pereda seperti b-
agonis inhalasi, atau nebulisasi kerja pendek dan bila perlu saja, yaitu jika ada
serangan/gejala. Teofilin makin kurang perannya dalam tatalaksana serangan
asma, sebab batas keamanannya sempit. NAEPP menganjurkan penggunaan
kromoglikat atau b-agonis kerja pendek sebelum aktivitas fisik atau pajanan
dengan alergen.
2. ASMA PERSISTEN SEDANG NAEPP merekomendasikan kromoglikat
atau steroid inhalasi sebagai obat pengendali. Pada anak sebaiknya obat
pengendali dimulai dengan kromoglikat inhalasi dahulu, jika tidak berhasil
diganti dengan steroid inhalasi. Bila dengan steroid saja asma belum dapat
dikendalikan dengan baik, atau dosis steroid perlu ditingkatkan, sebagai terapi
tambahan dapat digunakan b-agonis atau teofilin lepas lambat, atau
leukotriene receptor antagonist (zafirlukastataumontelukast)atau leukotriene
synthesis inhibitor (Zueliton).
3. ASMA PERSISTEN BERAT Pada asma berat sebagai obat pengendali
adalah steroid inhalasi. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan
asma berat, dianjurkan untuk menggunakan steroid dosis tinggi dahulu, bila
perlu disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Apabila dengan steroid
inhalasi dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap
selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga
tercapai dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya. Sementara
itu penggunaan b-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. Sebaliknya bila
dengan steroid hirupan asmanya belum terkendali, maka perlu
dipertimbangkan tambahan pemberian b-agonis kerja lambat, teofilin lepas
lambat, atau leukotriene modifier.
Jika dengan penambahan obat tersebut, asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut
diteruskan dan dosis steroid inhalasi dinaikkan, bahkan bila perlu diberikan steroid
oral. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil dan diberikan selang sehari pada pagi hari.
Tatalaksana asma jangka panjang
Derajat
asma
Pengendali (Controller) Pereda (Reliever)
Persisten be
rat
Terapi harian:Anti inflamasi: kortikosteroid
inhalasi (dosis tinggi) danBronkodilator
kerja panjang:
2
agonis inhalasi/tablet kerja
panjang, theophylline sustained-
release atauKortikosteroid/Prednisone 2mg/kg/h
ari (max 60 mg perhari)
Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis
rendah atau dosis tinggi)
Bronkodilator
kerja cepat:

2
agonis
inhalasiIntensitas
terapi tergantung
pada seringnya
eksaserbasi
Persisten
sedang
Terapi harian:Anti inflamasi: salah satu dari
kortikosteroid inhalasi (dosis rendah) atau
cromolyn atau nedokromil (anak-anak biasanya
dimulai dari kromolin atau nedokromil).Dan
jika diperlukan:Bronkodilator jangka panjang:
salah satu dari b
2
-agonis inhalasi atau tablet kerja
panjang, theophylline sustained-release atau
leukotriene receptor antagonist (LRA)
Bronkodilator
kerja cepat: -2
agonis inhalasi
untuk mengatasi
gejala.Meski
demikian, penggu
naan -2 agonis
lebih dari 3-4 kali
perhari atau
penggunaan
teratur setiap hari
mengindikasikan
perlunya
pengobatan
tambahan
Episodik
ringan
Tidak diperlukan terapi harian
Bronkodilator
kerja cepat:

2
agonis inhalasi
untuk mengatasi
gejala.Intensitas
terapi tergantung
pada seringnya
eksaserbasi
2
agon
is inhalasi, cro-
molyn sebelum
olahraga

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang
mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga

Upaya pencegahan asma pada anak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pada anak
yang asmanya belum bermanifestasi dan yang telah bermanifestasi.

Tindakan pencegahan pada anak yang belum bermanifestasi :
1. Mencegah terjadinya sesitisasi pada anak ; walau faktor genetic merupakan
faktor penting, tetapi manifestasinya dipengaruhi faktor lingkungan.
Penghindaraan terhadap makanan-makanan yang mempunyai tingkat
alerginitis tinggi baik pada ibu hamil dan yang menyusui maupun sang anak.
2. Orang tua, terutama ibu dianjurkan tidak merokok.
3. Pencegahan terjadinya infeksi saluran nafas dan akibatnya.
4. Pemberian asi eksklusif akan memberikan kekebalan dan efek imunologis
pada anak.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada asma anak
1. Hindari makan makanan yang mengandung kola, bersoda, kacang-kacangan,
minuman dingin/es, goreng-gorengan.
2. Hindari tungau debu yang sering terdapat pada debu kasur dan bantal kapuk,
selimut, lantai, karpet gordin , perabot rumah . sebaiknya laci / rak dibersihkan
dengan lap basah, gordin dan selimut dicuci setiap 2 minggu , karpet, majalah,
mainan , buku dan pakaian yang jarang dipakai diletakkan di luar kamar tidur
dan lantai dipel setiap hari.
3. Hindarkan zat-zat yang mengiritasi ; obat semprot rambut, minyak wangi,
asap rokok, asap obat nyamuk , bau cat yang tajam, bau bahan kimia, udara
yang tercemar,udara dan air dingin,.
4. Sebelum melakukan aktivitas fisik sebaiknya jangan melakukan aktivitas fisik
yang berat, sebelum melakukan aktivitas fisik sebaiknya melakukan
pemanasan terlebih dahulu, dan jika perlu pemberian obat sebelum
beraktivitas.

Tindakan pencegahan pada anak yang telah bermanifestasi ;
1. Menhindarkan faktor pencetus ; alergan makanan, inhalan, bahan iritan,
infeksi virus/bakterial, hindari latihan fisik yang berat, perubahan cuaca dan
emosi sebagai faktor pencetus.
2. Penggunaan obat-obatan, untuk mengatasi serangan asma.

1. Komplikasi & Prognosis Asma
Komplikasi
Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas
3. Chronik persistent bronchitis
4. Bronchiolitis
5. Pneumonia
6. Emphysema.

Anda mungkin juga menyukai