OBAT OTONOM
BLOK SARAF DAN PERILAKU
BERTHARIYANTI
1102010047
Kelompok A-6
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
OBAT OTONOM
Praktikum obat otonom ini dibagi atas dua bagian, yaitu praktikum obat otonom dengan
menggunakan hewan percobaan dan diskusi obat otonom dengan menggunakan kasus atau
skenario dari 4 OP yang diberikan.
Tujuan:
Setelah praktikum mahasiswa dapat :
1
Menggolongkan obat otonom yang digunakan dalam praktikum ini ke dalam obat
kolinergik, antikolinergik, adrenergik, dan antiadrenergik.
Penggaris
Lampu senter
Larutan pilokarpin 1%
Cara kerja
Pilihlah seekor kelinci putih dan taruhlah di atas meja. Perlakukanlah hewan secara baik.
Periksalah hewan dalam keadaan penerangan yang cukup dan tetap. Perhatikan lebar pupil
sebelum dan sesudah dikenai sinar yang terang. Amati apakah reflex konsesual seperti yang
terjadi pada manusia juga terjadi pada kelinci. Ukur lebar pupil dengan penggaris millimeter.
Rangsanglah kelinci dan catatlah lebar pupil dalam keadaan eksitasi. Ambil pilokarpin 1%
dan teteskan pada bola mata kanan. Perhatikanlah pupil sesudah satu menit dan ulangi jika
diameter pupil belum berubah setelah 5 menit. Setelah terjadi miosis, sekarang teteskan
larutan atroin 1% pada mata yang sama. Observasi pupil setiap satu menit dan ulangi
penetesan setalah 5 menit jika perlu untuk menghasilkan midriasis. Lihatlah reaksi pupil
tersebut terhadap sinar.
Hasil Observasi
Ukuran pupil saat diberi rangsangan cahaya tak langsung adalah 0,7 cm
Ukuran pupil sebelum diberi pilokarpin 0,9 cm.
Ukuran pupil setelah diberi pilokarpin 0,5 cm.
Kemudian pupil yang sama diberi atropin, hasilnya ukuran pupil menjadi 1 cm.
Analisis dan diskusi
1. Terjadi miosis pada pupil kelinci saat diberi rangsangan cahaya tidak langsung.
2. Pada pemberian pilokarpin, ukuran pupil kelinci yang tadinya berukuran 0,9 cm mengecil
menjadi 0,5 cm. Sedangkan pada pemberian atropin, ukuran pupil kelinci akan membesar
hingga berukuran 1 cm.
Kesimpulan
Pada pemberian atropine maka pupil akan membesar sedangkan pada pemberian pilokarpin
maka pupil akan mengecil. Atropin adalah antagonis reseptor kolinergik. Sedangkan
pilokarpin berkerja Sebagai miotikum, yaitu senyawa parasimpatomimetik kerja langsung
yang menyebabkan kontraksi sfinkter iris dan otot siliari, menghasilkan kontriksi pupil dan
spasmus akomodasi.
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan refleks konsensual?
Refleks konsensual atau refleks cahaya tak langsung adalah miosis pada pupil yang tidak
disinari, yang terjadi karena pupil sisi yang lain disoroti sinar lampu. Penyinaran terhadap
pupil sesisi akan menimbulkan miosis pada pupil kedua sisi.
2. Jelaskan sistem saraf yang dipengaruhi oleh pilokarpin dan atropin!
Sistem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak dan bagian
kelangkang sum-sum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap reseptor muskarinik
dan reseptor nikotik. Obat parasimpatis dibagi dalam 2 kelompok besar yakni: Kolinergik dan
Antikolinergik
Pilokarpin
Pilokarpin merupakan obat kolinergik/ Parasimpatikomimetika, yaitu adalah sekelompok zat
yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP),
karena melepaskan Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron, dimana tugas utama SP adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya asimilasi
Atropin
Mekanisme kerja :
Sebagai miotikum, yaitu senyawa parasimpatomimetik kerja langsung yang
menyebabkan kontraksi sfinkter iris dan otot siliari, menghasilkan kontriksi pupil
dan spasmus akomodasi.
Mengurangi tekanan pada glaukoma sudut terbuka melawan efek sikloplegik.
Miotik digunakan secara topikal pada mata untuk menurunkan tekanan
intraokuler (IOP) pada perawatan glaukoma sudut terbuka primer. Juga
digunakan pada perawatan glaukoma noninflamatori sekunder. Penurunan IOP
dapat mencegah kerusakan saraf mata. Pilokarpin merupakan pilihan miotik yang
pertama karena memberikan kontrol IOP yang bagus dengan efek samping yang
relatif sedikit.
Efek sistemiknya dapat menyebabkan efek nikotinik terutama menyebabkan
rangsangan terhadap kelenjar keringat, air mata dan ludah.
Larutan tetes mata lebih dipilih ketika penurunan akut tekanan okular dan/ atau
efek miotik yang intensif dibutuhkan seperti dalam penanganan darurat glaucoma
sudut terbuka sebelum pembedahan, untuk reduksi tekanan okular dan
perlindungan lensa mata sebelum goniotomy atau iridectomy atau untuk
meringankan/ mengurangi efek midriatik dari agen-agen simpatomimetik.
Efek lokal:
Kegunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi
otot siliaris.Pada mata akan terjadi spasmo akomodasi, dan penglihatan akan terpaku
pada jarak tertentu sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Atropin
Mekanisme Kerja :
Memiliki aktivitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara
kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf
tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke
dalam mata maka kerjanya akan berhari-hari.
Efek lokal :
Indikasi:
Glaucoma sudut terbuka kronik.
Memberi efek miotik untuk mengatasi midriasis yang disebabkan oleh atropin.
Menurunkan tekanan intraokular dan memberi efek miosis intensif sebelum
pembedahan pada penanganan darurat glaukoma sudut terbuka.
Siklopedia pasca bedah atau prosedur pemeriksaan mata tertentu.
Kontraindikasi:
Radang iris akut, radang uvea akut, beberapa untuk glaucoma sekunder, radang akut
segmen mata depan, penggunaan pasca bedah sudut tertutup tidak dianjurkan
Atropin
Indikasi:
Radang iris, radang uvea, prosedur pemeriksaan refraksi, keracunan organofosfat
Kontraindikasi :
Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan saluran kemih,
atoni (tidak adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan, ileus
paralitikum, asma, miastenia gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal, penyakit hati dan
ginjal yang serius.
KASUS 1
Seorang gadis 12 tahun datang ke dokter dengan radang tenggorokan dan demam. Dokter
mendiagnosa sebagai faringitis akut yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolytic
group A. Ia diberikan injeksi Penisilin. Sekitar 5 menit kemudian, ditemukan kondisi
respiratory distress dan adanya wheezing, kulit dingin, takikardi, tekanan darah turun
sampai 70/20 mmHg. Dokter kemudian mendiagnosa sebagai reaksi anafilaktik terhadap
penisilin lalu memberikan injeksi epinefrin SC.
Pertanyaan:
1. Jelaskan efek pemberian epinefrin pada kasus di atas!
Tekanan darah sistolik meningkat, tekanan diastolik meningkat (jika dengan dosis
besar), dilatasi arteri koroner sehingga meningkatkan aliran darah arteri koroner,
cardiac output dan denyut jantung meningkat, dan bronkodilatasi.
2. Bagaimana mekanisme kerja epinefrin
Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang berefek relaksasi otot
polos bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot skelet; dosis kecil berefek
vasodilatasi melalui reseptor beta2-vaskuler; dosis besar menyebabkan konstriksi otot
polos vaskuler dan skelet.
3. Apa sebabnya epinefrin merupakan obat terpilih untuk reaksi anafilaktik?
Syok anafilaktik adalah repons alergi yang paling gawat yang ditimbulkan oleh
adanya reaksi antigen-antibodi. Tanda utamanya adalah bronkokonstriksi berat dan
hipotensi karena kolaps kardiovaskular. Pemberian epinefrin menyebabkan
bronkodilatasi, meningkatkan kemampuan jantung, dan vasokonstriksi pembuluh
darah untuk meningkatkan tekanan darah.
4. Terangkan apa yang terjadi bila epinefrin diberikan pada syok hipovolemik!
Pemberian epinefrin pada syok anafilaktik menyebabkan bronkodilatasi,
meningkatkan kemampuan jantung, dan vasokonstriksi pembuluh darah untuk
meningkatkan tekanan darah.
Stetoskop
Tensimeter
Gelas ukur
Stopwatch
Metronom
Obat: evedrin, propanolol, atropin, dan placebo
Cara kerja
Tentukan 4 orang percobaan yang akan diberikan obat yang berbeda dengan perlakuan yang
sama. Ukur tekanan darah, nadi, respiratory rate dan produksi saliva OP. Perintahkan OP
untuk melakukan exercise (lari di tempat) selama 2 menit sebanyak 120x/menit. Ukur
kembali tekanan darah, nadi, respiratory rate dan produksi saliva OP. Kemudian berikan obat
dengan prinsip double blind, yaitu secara acak dan tidak diketahui obat otonom golongan
yang mana. Observasi terus TD, nadi, RR dan saliva OP setiap 20 menit, 40 menit dan 80
menit. Perintahkan kembali OP untuk melakukan exercise (lari di tempat) selama 2 menit
sebanyak 120x/menit. Dan ukur kembali tekanan darah, nadi, respiratory rate dan produksi
saliva OP.
Hasil Observasi
OP 1
Basal
Post excercise
Menit 20
Menit 40
Menit 60
Post excercise
TD
110/70
160/70
130/70
130/80
120/80
135/70
HR
70
90
84
72
68
80
RR
20
16
16
20
-
Saliva
11 ml
8 ml
7 ml
6 ml
-
OP 2
Basal
Post excercise
Menit 20
Menit 40
Menit 60
Post excercise
TD
110/70
130/70
100/70
100/70
110/70
145/70
HR
60
70
64
56
52
80
RR
15
24
16
16
-
Saliva
9 ml
11 ml
4 ml
2 ml
-
OP 3
Basal
Post excercise
Menit 20
Menit 40
Menit 60
Post excercise
TD
110/70
130/70
110/70
120/70
115/70
150/70
HR
80
120
100
88
96
128
RR
20
20
20
20
28
Saliva
4 ml
10 ml
8 ml
8 ml
-
OP 4
Basal
Post excercise
Menit 20
Menit 40
Menit 60
Post excercise
TD
110/70
140/70
135/80
135/90
125/85
140/70
HR
90
108
88
88
92
120
RR
30
20
20
20
-
Saliva
4 ml
4 ml
6 ml
5 ml
-
Kesimpulan
Evedrin adalah obat golongan adrenergik yang memberikan efek yang sama dengan stimulasi
sitem saraf simpatis. Sedangkan propanolol adalah obat golongan antiadrenergik yang
memberikan efek penurunan TD dan bronkokonstriksi. Pemberian placebo tidak memberikan
perubahan yang signifikan pada TD, HR, RR maupun saliva. Sedangkan Atropin adalah obat
golongan antikolinergik yang memberikan efek bronkodilatasi .
III. TEORI
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada sistem saraf otonom. Cara kerja obat otonom
adalah mempengaruhi transmisi neurohormonal dengan cara menghambat atau
mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi sistem
kolinergik maupun adrenergik, yaitu:
1)
2)
3)
4)
Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan:
1)
2)
3)
4)
5)
Obat Midriatikum
Obat midriatikum adalah obat yang digunakan untuk membesarkan pupil mata. Juga
digunakan untuk siklopegia dengan melemahkan otot siliari sehingga memungkinkan mata
untuk fokus pada obyek yang dekat. Obat midriatikum menggunakan tekanan pada efeknya
dengan memblokade inervasi dari pupil spingter dan otot siliari.
Obat untuk midriatikum bisa dari golongan obat simpatomimetik dan antimuskarinik,
sedangkan obat untuk Siklopegia hanya obat dari golongan antimuskarinik. Obat
midriatikum-siklopegia yang tersedia di pasaran adalah Atropine, Homatropine dan
Tropicamide dengan potensi dan waktu kerja yang berbeda begitu juga kegunaan secara
klinisnya.
1
Atropin
Atropine, adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester
organik asam tropik dan tropin. Atropin merupakan antimuskarinik pertama yang
digunakan sebagai obat, Atropin sangat potensial sebagai obat midriatikum-siklopegia
dengan panjang waktu kerja lebih dari dua minggu.
Homatropin
Homatropine adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari kombinasi asam mandelat
dengan tropine. Durasi kerja Homatropin lebih pendek dibanding dengan Atropin.
3
Tropikamid
Tropicamide, adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia sebagai obat mata pada
akhir tahun 1950-an. Tropikamid mempunyai waktu kerja dan lama kerja lebih
pendek dibandingkan dengan antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai daya
serapnya (difusi) terbesar dan proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi ke kornea
lebih tinggi.
Obat Miotikum
Obat miotikum adalah obat yang menyebabkan miosis (konstriksi dari pupil mata).
Pengobatan glaukoma bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam mata dan mencegah
kerusakan lebih lanjut pada penglihatan. Obat Miotikum bekerja dengan cara membuka
sistem saluran di dalam mata, dimana sistem saluran tidak efektif karena kontraksi atau
kejang pada otot di dalam mata yang dikenal dengan otot siliari.
Betaxolol dan Pilokarpin adalah contoh obat Miotikum yang sering digunakan. Betaxolol
adalah senyawa penghambat beta adregenik. Pilocarpine adalah alkaloid muskarinik yang
diperoleh dari daun belukar tropis Amerika dari genus Pilocarpus. Pilokarpin bekerja sebagai
reseptor agonis muskarinik pada sistem saraf parasimpatik.
Pilocarpine digunakan untuk glaukoma untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat
tekanan yang dapat berisiko kebutaan, Pilokarpin mengatasi gejalanya dengan menurunkan
tekanan pada mata penderita glaukoma.
Pilokarpin bekerja pada reseptor muskarinik (M3) yang terdapat pada otot spingter iris, yang
menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil mata mengalami miosis. Pembukaan
terhadap jala mata trabekular secara langsung meningkatkan tekanan pada cabang skleral.
Aksi ini memfasilitasi pengeluaran cairan pada kelopak mata sehingga menurunkan tekanan
intraokular (dalam mata).
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin
(ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan
menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah
sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting
seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan
getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan
mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan,
antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata
dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya
pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran
urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga
pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal.
Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni: \
A. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang
dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas
lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah
ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M 1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik
dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak
dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam
neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M 2 terdapat
dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang
bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam
kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan
setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M 1 atau M2 diaktifkan,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G, yang
selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP 3) yang akan
meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau
menghambat enzim-enzim atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya,
aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan
mempertinggi konduktan K+, sehingga denyut dan kontraksi otot jantung akan menurun (Mary J.
Mycek, dkk, 2001).
B. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap
muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat
reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu
reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda
dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik
secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular
secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (Mary J. Mycek, dkk, 2001). Stimulasi reseptor ini oleh
kolenergika menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama
sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga
stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi
terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskuler (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat
dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung meliputi karbachol, pilokarpin,
muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung
terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya
adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali
arekolin (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat antikolinesterase seperti
fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara
reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase,
ACh segera akan dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara
irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai
enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat di bidang
pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai
senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya.
(Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin.
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata
sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan
terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga
merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata,
dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah obat
terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma
bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman
trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat
cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat
diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih
lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga
mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan
gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
Kontraindikasi : radang iris akut, radang uvea akut, beberapa untuk glaucoma sekunder,
radang akut segmen mata depan, penggunaan pasca bedah sudut tertutup tidak dianjurkan.