Anda di halaman 1dari 8

1

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION)


YANG BERLAKU DI INDONESIA
Oleh : Sunarno *)

Pendahuluan

Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk .
Pasal 12 UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 17 Tahun 2006 (selanjutnya disebut UU Kepabeanan) , menyebutkan bahwa barang
impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai
pabean untuk perhitungan bea masuk. Ini berarti bahwa besaran bea masuk tergantung pada
besaran tarif dan besaran nilai pabean. Semakin besar nilai pabean , semakin besar pula bea
masuk yang harus dibayar importir.

Nilai pabean sebenarnya adalah merupakan harga barang impor yang harus diberitahukan
oleh importir kepada pihak pabean. Harga barang impor tercantum didalam dokumen invoice
yang dikeluarkan pemasok di negara pengekspor. Sesuai dengan prinsip self assesment ,
dokumen invoice wajib dilampirkan oleh importir pada saat menyerahkan PIB (
Pemberitahuan impor Barang) kepada pihak pabean. Importir yang nakal cenderung untuk
memanipulasi harga barang didalam PIB dengan maksud agar ia dapat membayar Bea
Masuk dan Pajak dalam rangka impor yang lebih rendah . Caranya ialah dengan mengubah
harga barang dengan cara memalsukan dokumen pelengkap pabean , yaitu invoice, dengan
mengubah uraian barang, jenis barang, kualitas, spesifikasi tehnis dan sebagainya menjadi
samar-samar, tidak lengkap dan tidak jelas. Dikalangan Importir dan Pejabat Bea dan Cukai,
invoice semacam ini sering disebut sebagai invoice pasar pagi.

Fungsi kontrol pemerintah didalam mengawasi kebenaran pembayaran bea masuk , cukai dan
pajak dalam rangka impor ada ditangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan
memberikan kewenangan pemeriksaan pabean, yang meliputi penelitian dokumen dan
pemeriksaan fisik barang (pasal 3 UU Kepabeanan) . Khusus mengenai penetapan nilai
pabean, diatur didalam pasal 16 ayat (2) UU Kepabenan . dimana disebutkan bahwa
2
Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
sebelum diajukan pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak
pemberitahuan pabean. Bagaimana dasar-dasar penetapan nilai pabean itu diberlakukan ?


Sistem penetapan nilai pabean yang pernah diberlakukan.

Sebelum tahun 1985 , Indonesia menganut sistem harga patokan (atau dalam terminolgi
pejabat pabean pada saat itu disebut sebagai priscourant), dimana nilai pabean dipatok
secara tetap dan tertentu untuk selama periode tertentu. Importir yang memberitahukan nilai
pabean lebih rendah dari harga patokan akan terkena tambah bayar bea masuk dan Pajak
dalam rangka impor serta terkena sanksi administrasi . Harga Patokan ditetapkan oleh dan
berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri
Perindustrian.

Dalam prakteknya ketiga menteri tersebut sangat jarang melakukan peninjauan kembali atas
harga patokan yang telah ditetapkannya, sehingga keputusan harga cenderung ketinggalan
jaman, tidak aktual dan tidak mengikuti perkembangan jenis-jenis barang yang kemudian
muncul. Untuk mengatasi hal ini muncul terminologi Catatan Harga yang berasal dari
Direktur Jenderal Bea dan Cukai , Kantor Wilayah Bea dan Cukai atau Kantor Inspeksi Bea
dan Cukai. Catatan Harga ini kemudian dijadikan dasar penetapan nilai pabean oleh
Pejabat Bea dan Cukai. Namun tidak semua barang impor mempunyai catatan harga ,
sehinggga sangat mudah bagi Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengaturan-pengaturan lebih
lanjut yang dapat bermuara pada kepentingan-kepentingan pribadi.

Didalam perkembangan selanjutnya muncul argumen bahwa institusi kepabeanan pada
waktu itu dipandang sebagai intitusi yang sangat tidak efisien , penuh biaya tinggi dan
menghambat arus barang impor dan ekspor . Akhirnya dengan Instruksi Presiden No. 4
Tahun 1985, Presiden mengeluarkan instruksi yang diantaranya adalah sebagai berikut :

3
a. impor barang dengan nilai FOB USD 5,000.- atau lebih dilakukan pemeriksaan oleh
Surveyor yang ditunjuk (yaitu PT Surveyor Indonesia / SGS) untuk melakukan
pemeriksaan di negara pengekspor (pre-shipment inspection) .
b. ekspor barang tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Pabean .

Dibidang impor , pemeriksaan nilai pabean dilakukan oleh Surveyor di negara pengekspor
yang didasarkan pada harga pasar di negara pengekspor (prevailing on the market price in
the country of exportation). Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS) yang dikeluarkan
Surveyor, disamping meliputi jumlah, jenis dan kualitas barang, juga meliputi harga barang.
Jika suatu importasi sudah dilindungi dengan dokumen LPS, maka Pejabat Pabean tidak
lagi diperkenankan melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan atas tarif dan nilai
pabean , kecuali ada informasi yang sangat akurat dan dilakukan dengan izin Direktur
Jenderal Bea dan Cukai .

Untuk importasi barang dengan harga kurang dari FOB USD 5,000,-, Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai masih mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan fisik , tarif dan nilai
pabean. Dasar penetapan nilai pabean adalah harga sebenarnya yang umumnya tercermin
pada harga yang tercantum dalam invoice atas barang yang dijual ke Indonesia . Harga
invoice harus memenuhi criteria tertentu. Kriteria harga invoice diragukan kebenarannya
adalah :
a. uraian barang dan atau harga satuan tidak jelas ;
b. harga invoice tidak sama dengan harga PIUD (pemberitahuan pabean pada saat itu);
c. berdasarkan keyakinan profesi (professional judgement) harga invoice dinilai tidak
wajar.

Dalam hal harga invoice diragukan maka digunakan sebagai data pembanding data barang
identik atau barang serupa yang terdapat pada Profil Harga I atau Profil Harga II.

Kemudiann dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun lebih Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
telah melakukan reformasi di segala bidang sehingga pada akhirnya dengan berlakunya UU
4
No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan , Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 ini menjadi
tidak berlaku lagi.

WTO Valuation Agreement dan implementasinya di Indonesia .

Perundingan perdagangan multilateral GATT Putaran Uruguay di Maroko, tanggal 15 April
1994 telah menyetujui terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization). Salah satu agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut adalah
Persetujuan tentang pelaksanan Article VII GATT (Agreement on Implementation of Article
VII of GATT). Persetujuan ini sering disebut sebagai WTO Valuation Agreement .
Persetujuan ini menggariskan bahwa untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan
salah satu cara dari 6 (enam) cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut:

a. Metode I : Metode nilai transaksi (article 1 dan 8) ;
b. Metode II : Metode nilai transaksi barang identik (article 2);
c. Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa (article 3);
d. Metode IV : Metode deduksi (article 5);
e. Metode V : Metode komputasi (article 6); dan
f. Metode VI : Metode fall-back (article 7).

Prinsip-prinsip dari Agreement on Implementation of Artcle VII of GATT 1994 adalah
sebagai berikut :

1. Sistem penetapan nilai pabean yang netral dan tidak digunakan sebagai instrument
proteksi dengan menaikkan nilai pabean yang digunakan sebagai dasar pemungutan bea
masuk ;
2. Sistem penetapan nilai pabean yang tidak digunakan sebagai sarana untuk mengatasi
dumping.
3. Sistem penetapan nilai pabean yang dapat melindungi iklim perdagangan dari persaingan
dagang yang tidak sehat akibat adanya penetapan harga yang terlalu rendah ( under
valuation) .
5
4. Sistem penetapan harga yang berlaku umum tanpa membedakan asal usul pemasukan.
5. Harga yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung bea masuk (nilai pabean)
didasarkan pada criteria yang wajar dan sederhana dan tidak bertentangan dengan praktek
perdagangan.
6. Sistem penetapan harga yang mengurangi tatacara formal sampai batas minimum dan
penetapan nilai pabeannya didasarkan atas dokumen perdagangan yang diajukan .
7. Sistem penetapan nilai pabean yang tidak menghambat kecepatan pengeluaran barang .
8. Ketentuan penetapan nilai pabean yang diterbitkan oleh instansi pabean disebarluaskan
sedemikian rupa sehingga memungkinkan perdagangan untuk membuat penghitungan
terlebih dahulu dengan cukup meyakinkan tentang jumlah nilai yang akan dikenakan bea;
9. Sistem penetapan nilai pabean yang pelaksanaannya memperhatikan kepentingan
pengamanan rahasia perusahaan.

Indonesia sebagai negara berkembang telah meratifikasi persetujuan pendirian WTO dengan
undang-undang No. 7 Tahun 1994 . Dengan demikian persetujuan ini mengikat bagi
Indonesia , termasuk segala agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut yang
diantaranya diantaranya adalah Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994.
Konsekuensinya adalah, Indonesia harus menyesuaikan segala ketentuan yang berkaitan
dengan nilai pabean sesuai dengan ketentuan agreement dimaksud. Sebagai Negara
berkembang Indonesia diberi waktu sampai tahun 2000. Namun Indonesia tidak usah
menunggu selama itu , karena pada tahun 1995 ketentuan penetapan nilai pabean
berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan didalam pasal 15 UU
Kepabeanan.

Nilai pabean di tingkat regional.

GATT / WTO Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah sistem internasional
untuk menetapkan nilai pabean barang impor. Tujuan utama dari WTO Valuation
Agreement adalah untuk menciptakan sistem penetapan nilai pabean yang netral, adil dan
seragam yang tidak memberikan ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau
fiktif. WTO Valuation Agreement juga menghendaki agar dasar bagi penetapan nilai pabean
6
sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan yang sedang
ditetapkan nilai pabeannya tersebut. Dengan demikian penerapan WTO Valuation Agreement
memerlukan adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea dan cukai.

WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 bagi anggota WTO
termasuk tujuh negara anggota ASEAN yang merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah
dinyatakan dalam Asean Customs Policy Implementation and Work Programe (PIWP),
semua administrasi bea dan cukai di ASEAN telah setuju untuk memasukkan WTO
Valuation Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan mereka masing-
masing. Dalam usaha menerapkan system nilai pabean yang baru ini, WTO Valuation
Agreement memberikan sedikit keleluasaan bagi anggotanya agar ketentuan nilai pabean
yang baru dapat diterapkan secara cepat. Sebagai akibatnya di kawasan ASEAN terdapat
perkembangan yang berbeda-beda dalam penerapan ketentuan WTO Valuation Agreement.

Masing-masing Negara anggota ASEAN telah mengambil langkah-langkah dalam rangka
standarisasi pelaksanaan Agreement sehingga sesuai dengan standar internasional yang
berlaku. Sebagai contoh , berbagai pelatihan dan seminar tentang WTO Valuation Agreement
telah dilaksanakan di wilayah ASEAN untuk petugas bea dan cukai dan dunia usaha.
Disamping itu , masing-masing Negara anggota ASEAN telah melakukan usaha untuk
merevisi dan mengamandemen perundang-undangan mereka agar ketentuan penetapan nilai
pabean sesuai dengan Agreement dapat diwujudkan. Beberapa administrasi bea dan cukai
Negara anggota ASEAN juga melakukan pembenahan struktur organisasi.

Selain dari usaha diatas, Negara anggota ASEAN beranggapan bahwa adanya semacam
petunjuk umum yang seragam tentang manajemen dan penerapan Agreement bagi Negara
ASEAN adalah penting. Petunjuk umum (Customs Valuation Guide) ini, yang dimanatkan
oleh PIPW , dirancang untuk membahas berbagai isu dalam penetapan nilai pabean dari
sudut pandang dan pendekatan regional ASEAN, dan diharapkan dapat memberikan bantuan
besar kepada Negara anggota ASEAN dalam usaha memberlakukan ketentuan nilai pabean
WTO baik dalam peraturan perundang-undangan maupun praktik adminstrasinya. Namun
demikian perlu diingat bahwa Asean Customs Valuation Guide tidaklah dimaksudkan untuk
7
menjadi cara alternative dalam menginterpretasikan Agreement, karena Asean Customs
Valuation Guide akan selaras dengan Agreement dalam segala hal.

Asean Customs Valuation Guide selanjutnya akan dikembangkan lebih lanjut untuk
menampung perkembangan sesuai dengan hasil pertemuan Doha Ministrial Decision yang
berkaitan dengan Agreement. Tiap-tiap Negara anggota ASEAN diharapkan dapat
memberikan konstribusi aktif dalam perkembangan studi kasus.

Indonesia selaku country coordinator dalam nilai pabean dengan dibantu Sekretariat ASEAN
bertanggung jawab untuk pemutahiran Asean Customs Valuation Guide secara teratur dan
periodic berdasarkan masukan dan saran dari Negara anggota ASEAN lainnya.


Penutup

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pendirian Badan Dunia WTO dengan UU No. 7
Tahun 1994. Oleh karena itu semua agreement yang terlampir pada persetujuan tersebut juga
mengikat bagi Indonesia, termasuk diantaranya adalah persetujuan tentang nilai pabean yang
dimuat dalam Agreement on Implementation of Article VII of GATT. Di bidang nilai pabean
Indonesia telah mengubah sistem perundang-undangannya sehingga selaras dengan WTO
Valuation Agreement dengan mengadopsinya didalam pasal 15 UU Kepabeanan sejak tahun
1995 , dimana 6 (enam) metode penetapan nilai pabean diberlakukan.

Beberapa ketentuan pelaksanaan dari pasal 15 UU Kepabeanan juga telah diterbitkan untuk
memudahkan Pejabat Bea dan Cukai melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan
penelitian dan menetapkan nilai pabean . Sudah saatnya Importir juga memahami benar-
benar semua ketentuan tentang nilai pabean yang berlaku saat ini sehingga mereka
mengetahui tentang bagaimana seharusnya nilai pabean harus diberitahukan kepada pihak
pabean .
Lebih lanjut pembahasan tentang nilai pabean akan dibahas dalam materi Sistem Nilai
Pabean pada Diklat Ahli Kepabeanan.
8

*) Penulis adalah Instruktur pada Diklat Ahli Kepabeanan

Bahan bacaan :

a. Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Satu Sistem Penetapan Nilai Pabean Yang Berlaku
Internasional , 1994
c. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 17 tahun 2006 .
d. Asean Customs Valuation Guide , Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Cetakan Pertama,
November 2006.

Anda mungkin juga menyukai