Anda di halaman 1dari 12

A.

Definis
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal lebih dari 38,8C ) akibat suatu proses ekstrakranium(Deliana, 2002).
Kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang berhubungan dengan
demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab tertentu.
Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsy, yaitu
yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.(Livingston (1963) membagi kejang
demam menjadi dua kelompok, yaitu (Hardiono, 2006).
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure)

Kejang berlangsung singkat, < 15 menit

Kejang umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal

Umumnya berhenti sendiri

Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam

2. Kejang demam kompleks ((Complex Febrile Seizure)

Kejang lama > 15 menit

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial

Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

B. Etiologi dan faktor resiko


Penyebab kejang demam masih belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor
yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, yaitu:( Lumbantobing, 2007
a. Demamnya sendiri: kebutuhan O2 meningkat
b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu
juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonates, dan kadar natrium rendah.
Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan


3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam, bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulang
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10%-15% kemungkinan
berulang. Kemungkinan berulang paling besar pada tahun pertama.

C. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi anak 6 bulan- 5 tahun. 80%
merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus adalah kejang kompleks. 8%
berlangsung lama (>15 menit). 16% berulang dalam 24 jam. Kejang pertama terbanyak di
anatara umur 17- 23 bulan. Anak laki-laki sering mengalami kejang demam. Bila kejang
demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan, maka risiko
kejang demam ke dua 50% dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah
umur 12 bulan, risiko kejang demam ke dua turun menjadi 30%. Setelah kejang demam
pertama 2-4% anak akan berkembang menjadi epilepsi dan 4 kali risikonya dibandingkan
populasi umum. Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 25%.Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di Eropa
dan di Amerika Serikat. Di jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%
(Knudsen, 2000).

D. Patomekanisme

Gambar 01 patomekanisme (Behrman, 2000)

E. Penegakan diagnosis
1. Anamnesa
a. Didahului demam > 38 derajat celcius
b. Pada umur 6 bulan - 4 tahun
c. Kejang yang berlangsung singkat ( <15 menit)
d. Kejang dengan hilang sendiri
e. Timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam
f. RPK : riwayat kejang pada anggota keluarga (Alan, 2005).
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda rangsang meningeal: pemeriksaan kaku kuduk, tanda brudzinki I dan II,
dan tanda kernig. Rangsang meningeal (-)
b. Pemeriksaan reflex neurologis: reflex fisiologis dan reflex patologis. Reflex
patologis (-)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis..Pungsi lumbal dianjurkan pada :

< 12 bulan sangat dianjurkan

* 12-18 bulan dianjurkan

> 18 bulan tidak rutin

c. Elektroensefalografi
d. CT Scan dan MRI jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti:

Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesi)

Paresis N.VI

papiledema

4. Gold Standar
Kriteria Livingston setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat
diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :
1. Usia anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung < 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukan kelainan
Frekuensi bangkitan kejang dalam setahun < 4 kali
Apabila tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh criteria ini maka
digolongkan sebagai kejang demam komplek (Husein, 2005).
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:

Mencegah kejang demam berulang

Mencegah status epilepsy

Mencegah epilepsy dan atau mental retardasi

Normalisasi kehidupan anak dan keluarga

Pengobatan Fase Akut


Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang adalah menjaga
agar jalan napas tetap terbuka.Untuk menjaga agar jalan napas tetap terbuka
pakaian

dilonggarkan,

posisi

anak

dimiringkan

untuk

mencegah

aspirasi.Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur dan

jika perlu dilakukan intubasi.Kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit perlu


diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat
(diseka) dan pemberian antipiretik (Lumbantobing, 1995). Dapat diberikan
asetaminofen oral dengan dosis 10 mg/kgBB 4 kali sehari atau ibuprofen oral
20 mg/kgBB, 4 kali sehari (Melntyre & Hull, 1996).
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Dosis diazepam
untuk anak adalah 0,3 mg/kgBB, diberikan secara intravena pada kejang
demam fase akut. Atau bisa juga diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg
(Dreifuss et al, 1998). Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal
suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonates, 50 mg untuk
usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun
(Lumbantobing, 1995).
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang
dari 2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada
kelompok umur tersebut. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas
indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula
darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan
kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama
jika kejang atau pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal
(Garvey et al, 1998).

Pengobatan Profilaksis terhadap Kejang Demam Berulang


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menkautkan
keluarga dan bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan
otak yang menetap (Lumbantobing, 1995).
Profilaksis Intermittent pada Waktu Demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan
diberikan pada waktu pasien demam yaitu dengan suhu rektal lebih
dari 38C.Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke
otak.Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam
berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat.Diazepam dapat diberikan melalui oral
maupun rektal. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang 10 kg dan 10 mg untuk pasien
dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5
mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien
menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Efek samping diazepam
adalah ataksia, mengantuk dan hipotoni (Lumbantobing, 1995;
Soetomenggolo, 1999).
Klonazepam juga dapat digunakan sebagai obat anti
konvulsan intermittent dengan dosis 0,03 mg/kgBB per dosis tiap 8
jam selama suhu diatas 38C dan dilanjutkan jika masih demam.
Efek samping klonazepam yaitu mengantuk, mudah tersinggung,
gangguan

tingkah

laku,

depresi

dan

salivasi

berlebihan

(Soetomenggolo, 1999).
Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini
adalah (Lumbantobing, 1995; Soetomenggolo, 1999) :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada
kelainan atau gangguan perkembangan neurologis.

2. Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat


genetik pada orang tua atau saudara kandung.
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau
diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
4. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari
12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu
episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan
selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian
dihentikan

secara

bertahap

(Lumbantobing,

selama

1995;

1-2

bulan

Soetomenggolo,

1999).Pemberian profilaksis terus menerus hanya


berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di
kemudian hari (Soetomenggolo, 1999).
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kgBB perhari
dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya

kejang

demam

(Saing,

1999;

Soetomenggolo, 1999). Obat lain yang dapat digunakan


adalah asam valproat yang memiliki khasiat sama
dengan fenobarbital. Dosis asam valproat adalah 15

40

mg/kgBB

perhari

(Soetomenggolo,

1999).

Gambar 1. Bagan Memberantas Kejang (Husein, 2005).


a. Memastikan jalan nafas anak tidak tersembut
b. Pemberian oksigen melalui face mask
c. Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badaqn per rectal atau jika telah terpasang
selang infus 0,2 mg/kg per infuse
d. Pengawan tanda-tanda adanya depresi pernafasan

Terapi awal dengan diazepam

Usia

Dosis

IV

(0,2mg/kg)_

(infus) Dosis per rectal (0,5mg/kg)

<1 tahun

1-2mg

2,5-5mg

1-5 tahun

3mg

7,5mg

5-10 tahun

5mg

10mg

>10 tahun

5-10mg

10-15mg

Jika kejang masih berlanjut:


1. Pemberian diazepam 0,2mg/kg/infuse diulangi. Jika belum terparang selang
infuse 0,5mg/kg/rectal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernafasan
3. Pemberian fenobarbital 20-30mg/kg/infuse dalam 30 menit
4. Pemberian fenitoin hendaknya disertai dengan monitor EKG
5. Jika kejang berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone.
2. Non farmakologi
Beberapa yang harus diperhatikan pada orang tua:

Anak harus dibaringkan ditempat yang datar dengan posisi menyamping,


bukan terlentang untuk menhindari bahaya tersedak

Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut anak seperti sendok, atau
penggaris karena benda tersebut dapat menyumbat jalan nafas.

Jangan memegangi anak untuk melawan kejang

Dapus
Behrman, Kliegman, Arvin 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 3, Edisi ke 15, Jakarta :
EGC
Alan R, Trihono, Partini P. 2005. Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional. Jakarta:
FKUI

Deliana, Melda. 2002. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak . sari Pediatri, Vol.4
Hardiono Pusponegoro, Ismael Sofyan. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI
Husein Alatas, Hassan Rusepno. 2005. Kejang Demam dalam Buku Kuliah Kesehatan
Anak.Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

Knudsen FU. 2002. Febrile Seizures : Treatment and Prognosis. Epilepsia; 4 1(1): 2-9
Melntyre J, Hull D. 1996.Comparing efficacy and tolerability of ibuprofen and paracetamol in
fever.Arch Dis Child 74:164-7.
Lumbantobing SM. 1995. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, hal 152
Garvey MA, Gailland WD, Rusin JA, et al. 1998. Emergency brain computed tomography in
children with seizures: who is most likely to benefit ?J Pediatr; 133:664-9.
Soetomenggolo TS. 1999. Kejang demam dalam Soetomenggolo TS, Ismael S, Panyunting.
Neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, h. 244-52.

Anda mungkin juga menyukai