BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan berkualitas merupakan
investasi berharga dalam upaya pembangunan suatu bangsa. SDM yang sehat
akan menampilkan performa yang baik di usia produktif. Salah satu penentu
kualitas kesehatan dan produktivitas manusia adalah pemenuhan kebutuhan
asupan zat gizi yang seimbang. Kekurangan gizi menyebabkan SDM kehilangan
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sejak usia balita.
Perhatian pemenuhan gizi sejak usia balita tentu merupakan prioritas utama suatu
bangsa.
Balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang
pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya. Balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering
menderita akibat kekurangan gizi (Djaeni, 2008).
Kekurangan protein yang kronis pada balita menyebabkan pertumbuhan
balita terlambat dan tampak tidak sebanding dengan umurnya. Pada keadaan yang
lebih buruk, dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan (Suhardjo,
1996). Menurut data yang dirilis Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(2009), sedikitn1ya 200 juta balita di bawah usia lima Tahun (balita) di dunia ini
hidup dalam kondisi gizi buruk. Hal ini membuat direktur organisasi pangan PBB,
Food and Agriculture Organization (FAO), meminta para pemimpin dunia untuk
serius memerhatikannya. Balita-balita yang mengalami gizi buruk itu merupakan
bagian dari milyaran manusia di dunia yang kini terancam kelaparan (Anonim,
2009).
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, menunjukkan
bahwa persentase balita gizi buruk di Indonesia sebesar 5,4%. Walaupun angka
ini menurun dibandingkan hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Tahun
2005 (8,8%), tetapi menunjukkan bahwa balita gizi buruk masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat; jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka
termasuk masalah berat (Depkes RI, 2008).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang
mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan
yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Balita (1-5 Tahun) merupakan kelompok
umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi atau termasuk salah
satu kelompok masyarakat yang rentan gizi (Djaeni, 2000).
Di negara berkembang anak-anak umur 1-5 tahun merupakan golongan
yang paling rawan terhadap gizi. Kelompok yang paling rawan di sini adalah
periode pasca penyapihan khususnya kurun umur 1 3 tahun. Anak-anak
biasanya menderita bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi
rendah (Suhardjo, 1996).
Menurut Zeltin (2000), masa balita (usia 1-5 tahun) merupakan tahap
perkembangan yang pesat jika tidak didukung dengan gizi yang seimbang maka
balita jatuh pada kondisi gizi kurang. Arah dan kebijaksanaan pembangunan
bidang kesehatan, di antaranya menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan
diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan termasuk di dalamnya keadaan
gizi masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan dan
kesejahteraan rakyat pada umumnya (Suhardjo, 2003).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sumatera Utara (Dinkes Sumut),
sepanjang 2012 tercatat 746 anak mengalami gizi buruk. Selanjutnya, dari 33 kota
dan kabupaten di Propinsi Sumut, Kota Medan menempati posisi tertinggi
penderita gizi buruk, dengan jumlah 143 kasus. Kemudian disusul Kabupaten
Dairi 110 kasus, Madina 62 kasus, Asahan 45 kasus dan Tapanuli Selatan 41
kasus.
Pada tahun 2011 kota Medan memiliki 124 anak gizi buruk dan 1896 anak
gizi kurang, yaitu di 14 kelurahan dari 21 kecamatan di Kota Medan, dimana
hampir separuhnya kecamatan di Medan Utara adalah penyumbang gizi buruk
tertinggi. Pada tahun 2010 dan 2011, ada 9 kecamatan yang ada di Medan
merupakan rawan gizi buruk, tiga diantaranya adalah berasal dari Medan Utara
yakni Medan Marelan, Medan Labuhan dan Medan Belawan.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah penelitian adalah
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan pengaruh pengetahuan ibu
1.4.
Manfaat Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pencegahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah
proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi.
Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. Pencegahan identik dengan
perilaku.
2.2.
Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan adalah suatu respons
faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor.
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Teori WHO
Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabakan seseorang itu
berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok, yaitu pemikiran dan
perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, sumber-sumber
atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku, dan kebudayaan
masyarakat. Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (kesehatan).
2.3.
Konsep Balita
Perkembangan seorang anak secara umum digambarkan melalui periode-
periode. Salah satunya adalah periode Bawah Lima Tahun (BALITA) merupakan
salah satu periode manusia setelah bayi sebelum anak-anak awal. Rentang usia
balita dimulai dari 1 sampai 5 tahun. Periode usia ini disebut juga periode usia
prasekolah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita
karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang memengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan
berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Djaeni,
2000).
2.4.
Pengetahuan (knowledge)
Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang.
Menurut Setiawati (2008), pengetahuan adalah hasil proses pembelajaran
dengan melibatkan indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecap.
Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap
mengambil keputusan dan dalam berperilaku.
2.5.
2.5.1. Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan
memengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan pelaku pendidikan. Dari batasan ini
tersirat unsur-unsur pendidikan, yakni : a) input adalah sasaran pendidikan, b)
proses (upaya yang direncakan untuk memengaruhi orang lain, c) out put
(melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Soetjiningsih (1995), pendidikan orang tua merupakan salah satu
faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan
yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya,
pendidikannya dan sebagainya.
2.5.2. Pekerjaan
Bagi perkerja wanita, bagaimanapun juga mereka adalah ibu rumah tangga
yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban
dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti wanita harus
lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak, dan hal-hal yang menyangkut
masalah rumah tangganya.
Pada kenyataannya banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi hambatan
itu, sekalipun mereka mempunyai kemampuan teknis yang cukup tinggi jika
mereka tidak mampu menyeimbangkan peran gandanya tersebut akhirnya mereka
akan keteteran. Akan tetapi bukan berarti wanita yang tidak bekerja merupakan
jaminan bahwa anak-anaknya akan menjadi lebih baik dibanding dengan anakanak dari wanita yang bekerja (Anoraga, 1998).
2.5.3. Pendapatan
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan
itu mungkin disebabkan menganggur atau setengah menganggur karena susahnya
memperoleh lapangan kerja-tetap sesuai dengan yang diinginkan (Sayogya, 1994).
10
2.6.
Gizi
11
Zat Iodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh, karena merupakan komponen
dari hormon Thyroxin. Terapi penyakit ini pada penderita dewasa umumnya tidak
memuaskan. Oleh sebab itu, penanggulangan yang paling baik adalah
pencegahan, yaitu dengan memberikan dosis iodium kepada para ibu hamil
(Notoatmodjo, 2003).
12
terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi
berkaitan erat dengan masalah pangan (Baliwati, 2004).
Malnutrition (gizi salah, malnutrisi) adalah keadaan patologis akibat
kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi
(Supariasa, 2001).
Kwashiorkor
Marasmus
13
Kwashiorkor-marasmus
14
LLA/U, BB/TB, dan LLA/TB. Baku yang digunakan adalah Harvard. Garis baku
adalah persentil 50 baku Harvard.
BB/U*)
TB/U*)
LLA/U
BB/TB*)
LLA/TB
Gizi baik
100-80%
100-95%
100-85%
100-90%
100-85%
Gizi
< 80-60%
< 95-85%
< 85-70%
< 90-70%
< 85-75%
< 60%
< 85%
< 70%
< 70%
< 75%
kurang
Gizi
buruk**)
*) Garis baku adalah persentil 50 baku Harvard
**)Kategori
gizi
buruk
termasuk
marasmus,
marasmik-kwashiokor
dan
kwashiokor.
Adapun cara yang dilakukan untuk menilai status gizi anak usia 0-5 tahun
adalah dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Indeks LLA/U
digunakan pada anak usia -5 tahun dan 6-17 tahun dan LLA/TB pada anak usia
1-10 tahun. Setiap indeks tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing (Irianto, 2007).
15
Pendidikan gizi dan kesehatan bagi ibu-ibu dari anak balita tersebut.
16
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.
pencegahan gizi buruk pada balita di Desa Binaan Bagan Deli Lingkungan V
Kecamatan Medan Belawan digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut:
1.Pengetahuan Ibu
2. Sosial Ekonomi Keluarga
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pendapatan
- Jumlah anak
3.2.
Definisi Operasional
1. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden
mengenai gizi buruk. Pengetahuan dikategorikan menjadi:
a. Pengetahuan buruk jika responden bisa menjawab 6 pertanyaan
mengenai gizi buruk.
b.
17
5. Jumlah anak adalah banyaknya anak kandung yang dilahirkan hidup oleh ibu.
Berdasarkan Kamus Istilah BKKBN dalam Gunawan (2009), jumlah anak
dalam satu keluarga dibedakan atas keluarga kecil dan keluarga besar.
c. Keluarga kecil : apabila responden memiliki 1-2 orang anak
d. Keluarga besar : apabila responden memiliki >2 orang anak
sedang,
apabila
responden
cukup
mampu
melakukan
18
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional, yang
4.2.
4.3.
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita di
Desa Binaan Bagan Deli Lingkungan V Kecamatan Medan Belawan.
4.3.2
Sampel
Perkiraan besar sampel minimal untuk penelitian ini diambil berdasarkan
N .Z 21 / 2 . p(1 p)
( N 1)d 2 Z 21 / 2 . p(1 p)
dimana:
n
Z
P
1-/2
19
= Jumlah di populasi
N .Z 21 / 2 . p(1 p)
n
( N 1)d 2 Z 21 / 2 . p(1 p)
100.(1,28) 2 .0,5(1 0,5)
40 ,96
1,3996
= 29,2655
Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel sebesar 30 orang.
Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik consecutive sampling.
Untuk menjadi sampel pada penelitian ini, individu dalam populasi harus
memenuhi kriteria, yakni ibu-ibu yang memiliki balita.
4.4
data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada
responden dengan bantuan kuesioner.
20
0,440
Valid
Reliabel
0,360
Valid
Reliabel
0,385
Valid
Reliabel
0,491
Valid
Reliabel
0,531
Valid
Reliabel
0,542
Valid
Reliabel
0,415
Valid
Reliabel
0,644
Valid
Reliabel
10
0,542
Valid
Reliabel
11
0,567
Valid
Reliabel
12
0,597
Valid
Reliabel
13
0,818
Valid
Reliabel
14
0,438
Valid
Reliabel
15
0,573
Valid
Reliabel
0,801
Valid
Reliabel
0,587
Valid
Reliabel
0,416
Valid
Reliabel
0,676
Valid
Reliabel
0,723
Valid
Reliabel
0,402
Valid
Reliabel
0,447
Valid
Reliabel
0,422
Valid
Reliabel
21
4.5
10
0,601
Valid
Reliabel
11
0,641
Valid
Reliabel
12
0,541
Valid
Reliabel
13
0,546
Valid
Reliabel
14
0,716
Valid
Reliabel
15
0,480
Valid
Reliabel
memeriksa
hasil
kuesioner
responden,
selanjutnya
coding
untuk
22
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.
Hasil Penelitian
5.1.1.
10
19
33.3
63.3
23
Buruk
Total
1
30
3.3
100
b. Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa sebagian besar responden
berpendidikan SD sebanyak 13 orang (43,3%), diikuti yang berpendidikan SMP
sebanyak 9 orang (30%), SMA sebanyak 6 orang (20%) dan yang tidak
bersekolah sebanyak 2 orang (6,7%) (Tabel 5.2).
2
13
6.7
43.3
SMP
30
SMA
20
Total
30
100
c. Pekerjaan
Mayoritas responden yang tidak bekerja, yaitu sebanyak 28 orang (93,3%) dan
minoritas responden yang bekerja, yaitu sebanyak 2 orang (6,7%) (Tabel 5.3).
28
2
93.3
6.7
Total
30
100
d. Pendapatan
Dalam penelitian ini, mayoritas pendapatan responden adalah dibawah UMP
( UMP atau Rp 1.851.500/ bulan), yaitu sebanyak 25 orang (83,3%), dan
minoritas dengan UMP diatas Rp. 1.851.00 sebanyak 5 orang (16,7%) (Tabel 5.4)
24
25
5
30
83.3
16.7
100
e. Jumlah anak
Jumlah anak adalah banyaknya anak kandung yang dilahirkan hidup oleh ibu,
dibagi atas keluarga kecil (1-2 orang anak) dan besar (>2) (Gunawan,2009).
Dalam penelitian ini mayoritas responden adalah dengan keluarga kecil, yaitu
sebanyak 21 orang (70%), dan keluarga besar sebanyak 9 orang (30%). Lihat
Tabel 5.5.
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Keluarga kecil
Keluarga besar
Total
21
9
30
70.0
30.0
100
Pencegahan
Total
Benar
N
Salah
N
1.
2.
28 93.3
29 96.7
2
1
6.7
3.3
30 100
30 100
3.
4.
28 93.3
6.7
30 100
25 83.3
16.7 30 100
25
5.
6.
8.
9.
28 93.3
6.7
10.
23 76.7
23.3 30 100
11.
7.
12.
13.
14.
15.
28 93.3
6.7
30 100
30 100
Pertanyaan yang paling banyak dijawab dan paling tepat oleh responden
pada pencegahan gizi buruk pada balita adalah pernyataan nomor 2 dan 15
(96,7%), selanjutnya pertanyaan nomor 1,3,9,12, dan 14 (93,3%), dan responden
tidak menjawab dengan benar dan tepat paling banyak ada dipertanyaan nomor 7
(56,7%) (Tabel 5.6).
Mayoritas responden memiliki upaya pencegahan baik yakni sebanyak 22
orang (73,3%) dan yang memiliki upaya pencegahan sedang sebanyak 7 orang
(23,3%), sedangkan yang memiliki upaya pencegahan buruk hanya 1 orang
responden (3,3%). Lihat Tabel 5.7
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Buruk
Sedang
Baik
Total
1
7
22
30
3.3
23.3
73.3
100
26
Mayoritas
pencegahan
responden
berdasarkan
pengetahuan
yakni
Buruk
N
0
1
0
1
%
0
3,3
0
3,3
Pengetahuan
Sedang
n
%
0
0
4
13,3
3
3,3
7
16,6
Baik
n
%
1
3,3
14
46,7
7
23,3
22
73,3
Total
N
1
19
10
30
%
3,3
63.3
33,3
100
Tidak sekolah
N
%
0
0
1
3,3
1
3,3
2
6,7
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
N
%
n
%
1
3,3
0
0
2
6,6
4
13,3
10
33,3
5
16,7
13
43,3
9
30
SMA
n
%
0
0
6
6
0
0
20
20
Total
N
1
7
22
30
%
3,3
23.3
73,3
100
27
Pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
n
%
n
%
1
3,3
0
0
23,3
0
0
7
66,7
2
6,7
20
28
93,3
2
6,7
Total
N
0
7
22
30
%
3,3
23.3
73,3
100
< UMP
n
%
1
3,3
20
6
60
18
25
83,3
UMP
n
%
0
0
1
3,3
4
13,3
5
16,7
Total
n
1
7
22
30
%
3,3
23,3
73,3
100
Pencegahan
Buruk
Sedang
Baik
n
1
4
16
Jumlah Anak
> 2
%
n
%
3,3
0
0
13,3
3
10
53,3
6
20
Total
N
1
7
22
%
3,3
23,3
73,3
28
Total
5.2.
21
70
16,7
30
100
Pembahasan
Gizi buruk adalah keadaan di mana asupan zat gizi sangat kurang dari
kebutuhan tubuh. Menurut Zeltin (2000), masa balita (usia 1-5 tahun) merupakan
tahap perkembangan yang pesat jika tidak didukung dengan gizi yang seimbang
maka balita jatuh pada kondisi gizi kurang. Faktor-faktor yang memengaruhi
tingginya kejadian gizi buruk pada balita adalah tingkat sosial ekonomi
masyarakat yang rendah sehingga memengaruhi pola konsumsi pangan keluarga
termasuk balita. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi
buruk pada balita adalah pengetahuan ibu yang rendah terhadap gizi balita
menyebabkan ibu kurang mengerti tentang pola asupan makanan bergizi dan cara
yang tepat memberi makan kepada balitanya. Untuk mengetahui hal ini, peneliti
mendapat informasi mengenai bagaimana pengetahuan dan sosial ekonomi
keluarga dalam melakukan pencegahan terhadap gizi buruk, yakni melalui
konfirmasi dengan melakukan wawancara dengan ibu-ibu yang memiliki balita.
Wawancara ini menggunakan kuesioner yang berisikan pertanyaan seputar
pengetahuan tentang gizi dan gizi buruk, yang kemudian dirangkum untuk
mengetahui pencegahan gizi buruk oleh ibu pada balitanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapati pengetahuan ibu-ibu yang
memiliki balita di lingkungan V Kelurahan Bagan Deli dalam melakukan
pencegahan gizi buruk sebagian besar pada kategori sedang (63,3%) sedangkan
kategori baik sebesar 33,3%, dan kategori buruk sebesar 3,3%. Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan Kurniawan (2007) di kecamatan Andir
Bandung dimana didapati mayoritas (66,7%) responden memiliki pengetahuan
baik mengenai pencegahan gizi buruk. Sedangan menurut Maimonah (2009)
sebagian besar (70%) ibu di kecamatan
pengetahuan yang baik tentang kebutuhan gizi balita. Perbedaan hasil penelitian
tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi masyarakat
seperti
29
30
31
32
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam
tingkat
pengetahuan
mayoritas
responden
memiliki
33
6.2.
Saran
Terdapat beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua
34
DAFTAR PUSTAKA
35