Iblis mengkhianati Tuhan Tuhan melaknat Iblis Tuhan menciptakan manusia Manusia mengkhianati Tuhan Manusia melaknat Tuhan Tuhan diciptakan manusia Siapakah yang patut dilaknat? … Terbelalak mata gagak. Sorotnya menatap atap yang disiram bayangan mentari. Atap yang terlihat tua itu, badannya kerontang dan tulang-tulangnya keropos. Dasar Tuhan Arab Politeistik, ia tak mau ditahan oleh atap lapuk yang menyedihkan itu. Liuknya gesit menggeliat di antara kekeroposan atap, membanjiri kantung cinta yang memuakkan. “Di sini murni, sini dulu, aku mau keluar, mencari angin.” ujar Zahar. Mulutnya keras, sekeras aroma yang keluar darinya. Empat botol minuman keras cap “Manusia” telah diteguk habis. Dengan keras, ia telan sekali lagi air yang lama disimpan di rongga mulutnya. Alkohol itu kini tidak hanya mengisi perutnya yang sengsara, namun telah merembes ke otak. Otak yang membuat segala rembesan kotoran ada dimana-mana. “Bang, lihatlah, perutku sudah melebihi hidungku. Apakah kau tidak mau melihat anakmu ini?” “Wanita brengsek, pandora sial! Lelaki mau senang kau tahan. Tak ikhlas aku didampingi olehmu!” “Makan ini!” cahaya yang sedari tadi damai mengokupasi daerah cembungan itu rusak, berserak, lalu tertumpah ke lantai. Asmir tergenang di kubangan nasib, mungkin hanya ban pedati kuda Tuhan yang mampu membangkitkannya ke jalan Lurus. … Gubuk reyot itu bergoyang, ketika tubuh kekar Zahar membanting kuping pintu yang saat ini mulai tua. Perabotan yang tak banyak dan tak berharga pun ikut bergoyang, tak terkecuali istrinya. “Dulu, aku memiliki berbagai macam hal, harta, wanita, tahta, bahkan tuhan aku miliki!” kata Zahar sambil terengah-engah pada pelacur tua di sudut malam. Bulir air asin turut terpental- pental dari mulutnya yang kekar, bacotnya sangat keras terdengar. Bahkan, anjing pun malu. “Apa yang kau lakukan malam-malam begini, muda?” sungguh halus tangan itu, meraba ketidaksungguhan kasar yang dibalur bulu-bulu hitam yang ramai. Seramai di sana, ketika awal bulan, manusia-manusia pencari pemuas nafus lalu lalang. Menebarkan bayangan di wajah mereka berdua yang sedikit terlindung bayangan sampah. Gerobak sampah tua itu tampak tegap, berdiri di tengah lokalisasi. Di sana mereka berada, sebuah tempat dimana semua kemaksiatan ditempatkan dalam satu tempat. Semuanya, organic dan non organic menjadi satu. Baunya semakin lama, semakin tak tercium, mungkin karena ditutupi aroma menjijikkan kenikmatan. Dipayungi metafora yang tersirat, mereka berbicara tentang indahnya hidup, tenangnya hidup dan bahagianya hidup yang tanpa hambatan. Politik, sosial, ekonomi pun mereka bicarakan. ‘Hidup hanya berbicara soal mencari uang. Dan itu tujuan hidup manusia.” “Sok tahu kamu, kamu tidak lihat pemulung, mereka mencari sampah bukan mencari uang?” “Hah, tapi sampah itu. Sampah itu akan berubah menjadi uang, kan?” “Iya, ya, ya” gelegak mereka. Pemulung muda yang sedang memulung kondom di hadapan mereka ikut berkata, “Kau,” katanya, “Kau mentertawakan, kami, padahal kau yang terlalu harus ditertawakan.” Kondom yang tertidur di gendongannya menangis, “Aku tak lagi berguna!”. “Dan uang itu mereka belikan makanan. Berarti makanan itu sampah!” “Ha, ha, ha,” Zahar dan Anita mentertawai diri mereka sendiri. Di tengah ketertawaan mereka. Ada tamparan bayangan yang menyibak luka Nita. Luka yang ia bawa nikmat, ketika melayani para kelamin ganda. “Kenapa kau menangis dalam tertawamu Nita?” tanya Zahar. “Tidak, aku tidak menangis.” … Nafas malam terus mengendusi tubuh mereka, bukan mereka saja tetapi semua. Selimut gelap yang tak memiliki harga itu pun tak segan-segan menutupi tubuh mereka yang diselimuti baju fana. Seperti pasar, alam ini menyediakan segalanya, kecuali ketaatan. “Aku merasa aneh melihatmu tadi datang mencariku.” “Kau datang dari sudut jalan dengan berjalan cepat, seakan-akan kau dikejar istrimu yang sedang hamil.” “Lalu, matamu mengintai setiap wanita di lokalisasi ini, bahkan kepada remang-remang lampu di berbagai tembok kios.” “Dan akhirnya aku memilihmu?” tanya Zahar “Iya. Kenapa kau memilihku, wanita yang sengaja duduk di atas karpet bau ini, di bawah besi tua gerobak sampah?” “Tak kenapa-kenapa, tubuhmu indah,” jawab Zahar “Meski kau duduk di bawah itu, namun kau tak seperti itu.” ‘Dasar lelaki, kau hanya mencari tubuh saja. Padahal tubuh hanya perantara jiwa.” Zahar tersentak dengan apa yang Nita bicarakan. Air ludahnya hampir menguap, giginya yang jarang hampir tertutup asap pembakaran sampah yang semakin lama semakin tebal itu. Lalu, Zahar memegang dagu Nita penuh misteri, tak pelak Nita menampik gerakan Zahar. “Tubuh membutuhkan makanan, minuman dan seks. Itu hanya untuk kelanggengan jiwa menuju Tuhannya.” Kata Zahar, “Kata-katamu sugguh indah wanita, seindah peranmu di dunia sebagai ladang, ladang yang kosong dan tak berharga.” Saat itu malam tak sunyi, tamparan langsatan membumbung bersama deru nafsu di lokalisasi. Buta, tak ada yang melihat fana. Tak tampak aroma susila, bahkan sopan santun dianggap harta. “Mari, kita menuju ke bangku panjang itu,” ajak Nita. Ia mengacungkan jarinya lebih jauh dari dadanya yang mancung. Rupanya, singlet yang ia kenakan tak mampu menahan itu. Rambut juga malas menutupinya, bukan karena pendek tapi tak panjang. ‘Tunggu dulu, Zahar,” “Apa lagi?” kejut Zahar di tengah deru mesin seks yang sedang beroperasi. Tawa, tangis, senang, gelisah, lagu, syair, dendangan campur baur di tempat itu. Seperti di depannya, tempat pembuangannya. Gemeretak pecahan keramik yang mereka injak, seakan kembali menydarkan Nita. Wanita yang berparas bulat itu, mulutnya sebentar-sebentar mulai terbuka. “Aku mengingat suamiku.” “Aku ingat apa yang ia katakan dulu, sebelum aku jadi begini.” “Sebentar Nit, aku ingin membeli rokok dulu.” Sementara Zahar membeli rokok, Nita masuk ke dalam salah satu kamar kecil di lokalisasi itu. Tak lama ia keluar lagi, membawa sesuatu. “Bang, hati-hati, Nita dikenal di sini sebagai seorang pelacur gila.” “Ia selalu dipukuli kekasihnya.” Ujar manusia setengah badan. Badan yang lain tertutupi oleh logistik kepelacuran. “Wajahnya tak apa-apa? “Kau lihat kepalanya, bang.” “Mengapa kau tahu, mas?” “Kamu sering melihatnya dipukuli lelaki yang menikahinya.” Tak menjawab. Lalu, Zahar melemparkan beberapa lembar uang ke mulut tonggos pemuda itu. “Buat apa aku bersama pria pengangguran yang telah menghamili wanita lain?” “Aku telah berusaha menjadi istri mandul yang baik, hingga suatu saat ia mengecewakanku.” mata Nita masih tertuju ke plakat itu. Bulu matanya yang lentik seakan turut membantu penglihatannya pada cermin tak berguna, yang tak mampu orang mengaca, meski ia disebut kaca. “Apa kau selalu disiksa suamimu, kenapa?” “Karena aku melacurkan diri,” “Untuk apa kamu melacurkan diri?” “Agar aku bisa membiayai perkawinanku dengan Kardi.” “Seumur hidup aku belum pernah hidup mewah, lewat ini aku ingin hidup mewah,” lanjut Nita, sambil menatap wajah Zahar dalam-dalam. Gelombang udara menyapu tubuh mereka berdua. Pucuk tak gugur, meski harap tak mereka miliki. Kehidupan mereka bagaikan sebuah telur di tengah jalan raya. Jalan raya yang dilalui berbagai kendaraan, baik itu baik, baik itu buruk. … “Kau aneh Nita!” “Tunggu dulu, Zahar, aku mencitaimu.” kata Nita. Nita menarik tangan Zahar ke dalam sebuah kamar kecil di lokalisasi itu. Mereka berdua sangat antusias memasuki ruang itu. Gelap dan lembab, bukan goa tempat turun pertama ayat Tuhan, namun tempat anak manusia menimba harta sekaligus nafsu. “Nita?” “Ada apa?” “Ada darah, biarkan aku membersihkannya dengan baju ini.” Dengan ikhlas, Zahar membersihkan darah itu, tak sempat lagi ia mengingat wanita yang ia nikahi lebih lama dari waktu pengabdian jabatan yang dia inginkan. ‘Mulut Zahar mulai mendekati mulut Nita…” … “Manusia hanya diciptakan dari tanah liat, tanah lempung hitam. Ia dibentuk seindah-indahnya oleh sang Maha Kuasa.” ‘Apa?” tanya Zahar. “Maaf, aku kembali teringat suamiku lagi.” “Jika aku boleh tahu, siapa yang dia hamili?” “Dia memperkosa istri pejabat di kota ini.” ‘Kau kecewa?” “Apa Zahar kecewa meninggalkan istrinya. Seperti itulah perasaanku.” Di atas kasur yang keras itu, yang di sisi-sisinya terdapat meja yang menggendong beberapa hiasan bermateri seksual, mereka berbaring. Wajah Nita tampak terkulai lemas, darah makin banyak bercucuran, menghiasai sprei seperti kain perca. Wanita yang rela menjual harga dirinya, demi seorang suami bejat itu terus digerayangi oleh pria yang sama bejatnya. Nita bukalah wanita, tapi perempuan yang berjalan menuju jalan yang benar, di atas jalan yang salah. Bukankah kaki akan sakit jika berjalan di bara api? Namun, untuk menuju surga, bara api harus ia jalani. “Kau personal yang berbeda dengan isteriku,” “Dia amat borjuis, aku habis bersamanya,” keluh Zahar Tak ada yang bisa menahan pergumulan mereka, mungkin hanya Tuhan dan ajal yang bisa menghentikan “kebutuhan raga” itu. “Mari kita bermain cinta,” kata Zahar. “Aku ingin kau memakai itu,” tubuh Nita menggigil. Mulutnya semakin pucat, namun hal itu diacuhkan oleh Zahar yang telah terkurung oleh hawa nafsu. “Dengan kondom?” “Dengan bangga, Tuhan memperlihatkan ciptaan baruNya itu kepada umatnya yang lain, Jin, Iblis dan Malaikat. Apa yang di dapat oleh Tuhan? Pembangkangan! Tuhan yang memerintahkan makhluknya yang terdahulu untuk sujud kepada manusia ini sebagai simbol penghormatan akan kekuasaan Tuhan ternyata ada yang menentang, siapa itu? Dia Iblis.” “Apa yang kau bicarakan, Nita?” henti Zahar. Zahar melihat nanar tubuh Nita yang menggigil keras. Tak kuasa, air dari tubuhnya pun makin banyak membencanai persenggaman itu dengan aroma. “Kenapa berhenti?” “ Apa yang kau bicarakan!” desak Zahar “Tidak ada,” “Jelaskan!” “Apa yang harus kujelaskan padamu?” “Aku hanya ingin bersenggama, lalu pulang dengan membawa uang mengobati penyakitku ini,” “Penyakit?” “Hah, masa bodoh!” “Sini kau!” Kembali perzinahan itu dilakukan. Bagai turunnya wahyu pertama, Zahar mendesak Nita, namun Nita tak bersedia melakukannya. “Pelan-pelan Zahar!” rintih Nita “Bangsat, apa kau menghendaki itu, hai wanita tak suci?” Rintihan Nita, lama-lama kembali berubah menjadi gumaman. Melawan detik waktu yang berserakan di antara lagu dangdut dan desahan. “Sang Iblis. Iblis bukanlah makhluk baru di Surga. Ia merupakan hamba Tuhan yang taat. Setiap saat ia mengitari singgasana Tuhan, letih dan lelah tidak ia hiraukan. Namun, ketika sang manusia datang, Iblis yang merupakan hamba Tuhan yang taat tak terima dengan kenyataan. Ia menganggap, manusia bukanlah makhluk yang berada. Ia hanya dari tanah hitam yang kotor, najis dan belum menunjukkan ketaatannya kepada Ilahi.” “Hai, lagi-lagi kau berbicara sendiri?” kecup Zahar di antara dua bibirnya yang basah. “Badanku menggigil, seakan ada lonceng yang bergetar di jiwaku,” Nita menatap yakin mata Zahar. “Ayo Nita, sudah lama aku tak merasakan ini!” “Saya tidak mau sujud Tuhan!” kata Iblis. “Engkau menciptakan manusia dari tanah, sedangkan aku dari api!” “Aku bangga Tuhan dengan ini!” “Seisi surga hening. Tuhan pun berkata, “Keluar kau, terkutuk, hingga akhir zaman engkau akan menjadi musuhKu!” Kamar itu pun hening seperti keadaan surga. Hanya sepasang lilin yang berada di kedua sudut kamar. Kelambu pun mencegah nyala lilin ke dalam. “Lihat, di sana ada lilin dan kelambu, siap untuk membakarmu.” “Kenapa kau berbicara begitu Zahar?” “Apa yang kau bicarakan, Tuhan Surga, Malaikat, Iblis, manusia, sebelumnya kau membicarakan suamimu yang bejat itu,” “Apakah kau benar-benar gila Nita?” Zahar terus meneriaki wajah Nita. Wajah yang kini basah di sapu air mata. ”Dengan kilatan merah Iblis hanya menangis, “Ya Tuhan, aku hanya bangga akan perbuatanku, asal-usulku, aku mencintaiMu Tuhan!” “Tuhan, beribu-ribu tahun aku menyembahMu, tapi semua ini hancur karena kedatangan manusia laknat itu. Ia merusak romantisme kita Tuhan!” Zahar terus menggoyang-goyangkan tubuh Nita, ke kanan dan ke kiri. Rambutnya pun menjadi tak indah lagi, tak peduli beribu larva kutu yang meloncat ke kemaluan Zahar. “Apa yang terjadi dalam surga itu menjadikan semua makhluk terdiam. Aliran sungai di kolong surga yang tadinya deras mulai tenang, Emas-emas yang berada di sekitar surga menampakkan kecemasannya, kilaunya samar menyuram.” “Apa yang kau bicarakan Nita?” Nita hanya terengah-engah. Matanya menerawang ke atas. “Dasar pelacur gila, lelah aku datang ke sini, karena aku bosan melihat babi berperut besar di rumah. Tapi kamu seperti ini?” … “Zahar dimana kamu, perutku sakit sekali, tolong Tuhan!” Asmir merayap di dinding bambu yang tajam. Kultinya yang langsat tertusuk-tusuk anak-anak bambu yang murtad dari badannya. “Aku ingin masuk ke kamar mandi,” ujar Asmir perih. … “Keluar kau terkutuk!” Tuhan mengusir umatNya yang taat itu. “Tertunduk lesu sang Iblis, makhluk yang taat dan tabah menjalani perintah Tuhan, namun karena kehadiran manusia ia dibuang. Oooh Iblis, malang sekali nasibmu.” Tamparan mendarat dalam menghantam pipi halus Nita. “Kenapa kau memukulku Zahar?” tanya Nita bergetar. Matanya masih melihat ke atas, lampu yang kuning meski tak cerah. “Nita, kau tahu sulitnya perjalananku ke sini?” “Demimu aku meninggalkan isteriku, Nita!” “Tergopoh-gopoh ia menahan amarah, kecewa, sekaligus penderitaan. Tak ada sepatah kata yang keluar, setapak demi setapak, ia meninggalkan pintu surga. Geram.” “Angin surga berhenti berhembus, ia tidak mau menyentuh kulit sang pembangkang. Setiap iblis bergerak, angin berhenti, takut terkena kulit iblis. Di perjalanan itu, iblis terus memikirkan apa yang telah ia lakukan. Merah bukan sebatas warna, Iblis yang berani terus beribadah kepada Tuhan tak kuasa menahan marah. Namun, karena kecintaannya pada Tuhan, ia terus berjalan di atas Surga.” “Tuhan izinkan aku membuktikan kepadaMu, manusia itu akan mengingkariMu!” “Silahkan, Iblis!” Di satu tarikan nafas, Nita berkata seperti itu. Antara sadar dan tidak sadar. “Omong kosong yang kau bicarakan!” Di luar, malam makin dalam, membentangkan misteri kehidupan mereka. … “Hai kalian yang di dalam, apa yang kalian perbuat?” teriak salah satu pengunjung di luar kamar, di gang lokalisasi. Angin saling menampar di udara malam itu. Malam itu seakan menjadi malam yang malam- malam lain tak mengerti kenapa malam itu terjadi. Tak pernah pemahaman yang sempurna hadir di sana. Seakan kejadian itu menjadikan semua makhluk bumi teringat, “Aku adalah pembangkang Tuhan!” “Apa yang kau katakana Nita?” “Hai perempuan lacur, aku hanya mau menidurimu tidak lebih!” Mahkota yang indah yang bertahta di kepala yang tinggal di akar yang terletak di daerah yang berwarna kuning langsat itu ditarik-tarik oleh sang manusia yang diciptakan. “Mengapa manusia khianat kepada Tuhannya, padahal ia telah kujadikan makhluk yang sebaik- baiknya?” Tak ada yang bisa diperbuat oleh sekawanan lebah. Sekawanan lebah hanya bisa meraung-raung di kupingnya sendiri. Mereka menggumuli tempat sampah yang memang menjadi tempatnya itu. Di tempat itu, bagaikan seekor bangkai yang isi perutnya berceceran, lebah-lebah menggumuli mereka, membuat mereka terus bertanya-tanya apa yang terjadi. “Bukan. Bukan, tak lain manusia Aku ciptakan hanya untuk beribadah kepadaKu!” “Apakah kamu tak berpikir, bagaimana kau diciptakan?” “Sudah ku bela-bela kamu dihadapan Iblis, ku beri nikmat kamu akan sebaik-baiknya bentuk dan berbagai macam kenikmatan yang saat ini melapisi kelaminmu, mengisi perutmu, berada di hatimu dan apa yang keluar dari kepalamu?” “Mengapa kalian semua tidak bersyukur?” Nita terus mengoceh Berbagai macam barang yang menghiasai tempat itu berterbangan, seakan hari itu menjadi hari terangnya benda-benda. Tempat itu menjadi neraka. Berbagai macam makhluk berada di dalamnya. Seakan tempat itu menjadi pembakaran dunia. Satu. Dua. Tiga hingga tak terhingga seluruh mayat yang bernyawa bangkit dari peraduannya. Dengan diselimuti berbagai sperma dan tumpahan air orgasme, mereka berlarian mencari Iblisnya. “Benar. Kataku Tuhan. Manusia hanya akan mengingkariMu!” Nita tak berdaya di pangkuan Zahar yang tersesat. Tersesat di dalam kenikmatan yang ia ciptakan. Bukankah kenikmatan yang sejati itu adalah ketika kenikmatan menjadikan kemanusiaan? Ataukan kenikmatan yang sejati itu, ketika meimbulkan penyesalan? “Dasar ustadzah munafik!” teriak salah satu mayat bernyawa di sebuah rumah. Lama kelamaan teriakannya menghilang berganti bau gosong yang tak tertutupi kenikmatan. “Mengapa kau membakar rumah-rumah itu Nita?” “Banyak orang mati di dalamnya?” diantara banyak makhluk yang dulu Tuhan banggakan, Nita dan Zahar duduk. Tak bisa dicerna oleh pendengaran lagi apa yang mereka utarakan. Utara tak dikenal, begitupun selatan. Hanya ke ara keselamatan yang mereka cari. “Bukankah jalan keselamatan Aku sudah berikan. Namun mengapa kau tidak menghiraukannya?” “Kau malah memperturuti otakmu, hatimu, perutmu, bahkan kelaminmu!” … Api dari sampah itu tak segan melahap Tuhan sekalipun. Begitupun jiwa yang mengingkari Tuhannya. Di tengah badai hasrat dan ketakutan. Apakah mereka lebih takut dengan api yang panasnya berhenti ketika kita mati, ataukan pendustaan yang dalam ketika kita mendustakan banyak nikmat yang alam dan Tuhan berikan. Bukankah itu penderitaan yang sedalam- dalamnya? “Aku menciptakan otak, hati, perut dan kelamin hanya untuk berpusara kepadaKu, hai pemimpin makhluk hidup yang ku rencanakan!” “Bagaikan bulan terhadap bumi dan bumi terhadap matahari. Semua itu harus berorientasi kepadaku dan melanjutkan eksistensimu sebagai makhluk yang Ku junjung tinggi keberadaannya!” Namun, Zahar belum mengerti. Matanya melihat langit lalu berkata, “Mengapa Tuhan, mengapa engkau mempertemukanku dengan pelacur yang bermantra ini. Aku hanya ingin kenikmatan, Tuhan!” “Belum mengertikah kamu?” “Mengapa kamu tunduk kepada alatmu sendiri, hai manusia.” “Hai manusia yang dulu Aku ciptakan, hingga surga menjadi gempar, Iblis, hambaKu yang paling taat gusar, karena Aku lebih mencintaimu, namun sekarang kau tak mengerti?” Kuduk mereka semakin memanas. Lama-kelamaan mereka tenggelam di lautan yang Iblis itu. Kata-kata Nita pun habis, lalu terakhir. “Betulkan Tuhan!” … “Zahar, dimana kau?” “Anak jaddah ini ingin keluar dari rahimku.” “Mengapa aku lebih menyenangi pria lain ketika engkau tak di rumah, apalagi pria itu adalah suami dari wanita yang taat. Terlalu aku!” Asmir perlahan merambat ke peraduannya. Cairan pertanda semakin banyak yang keluar. Tak tertahankan ketika manusia yang dibanggakan itu segera menjelma. Meja tak bisa berkata, ia dapat ditaruh lilin. Begitupun lilin tak bisa mengingatkan manusia, bukankah tugas manusia yang saling mengingatkan? … Gagak tak tertawa ketika bulan sedih, melainkan ia gusar karena matahari hadir. Bukan di langit melainkan di bumi yang semakin memanas. Mata gagak tak bisa memadamkannya, malahan ia terus menjilat-jilat dengan nikmat kandungan di dalam ibu.. “Zahar, pelacur itu. Pelacur itu adalah istri dari anakmu. Kesombonganmu terhadap hidup mengantarkan ini, Zahar!” kata Gagak. Rumah itu tak bisa menahan tubuhnya hangus, begitupun gagak yang terbang, lalu ia berteriak, “Selamat menikmati malam yang panas, yang kau kreasikan, karena keuggulanmu.” … Beberapa petugas pemadam sedang sibuk melakukan tugasnya. Mereka berlarian ke segala arah membawa selang yang panjang-panjang. Sesekali warga di sekitar menyirami rumah maksiat itu, tempat sampah dunia itu dengan air selokan. “Aku jijik di sini, melihat dan membasuh manusia yang tak memiliki keunggulan lain, kesadaran,” kata air selokan. Petugas pemadam kebakaran terus berusaha memadamkan api yang berada di sini, begitupun di sana. “Api sudah melahap semuanya. Api telah memenangkan ini. Inikah pilihan bebas mereka?” kata Udin, petugas pemadam. “Din, apakah di sana diketemukan mayat?” ujar Herman lewat telepon genggam. “Perempuan melahirkan,” “Di sini ada dua orang. Sepertinya wanita dan pria.” Semakin lama, terang kembali gelap. Hanya tersisa aroma manusia. manusia yang sudah tiada. Tiga. Satu pria, dua wanita. “Herman,” kata Josua “Inilah tempat sampah dunia, ketika tempat lain terlihat kesuciannya.” “Benar,” kata Herman. Teriakan desahan berganti teriakan minta tolong. Saat ini teriakan mobil merah memukul-mukul gendang telinga manusia. Tempat yang sebelumnya dibungkus oleh berbagai macam keindahan, saat ini ikan pun lezat, bila berada di tengahnya. “Kau dengar cerita tentang pelacur yang berkata-kata?” “Ya. Bahkan pelacur dapat menyampaikan titah Tuhan, padahal manusia sama, mengapa kita tidak?” jawab Josua. “Jangan lupa mengingatkanku untuk beribadah ke gereja,” “Kau juga, Josua. Jangan lupa memukul kepalaku bila kotoran ada di sana dan kita saling melengkapi dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.” “Begitulah kita. Manusia yang dibangga-banggakan oleh alam dan pencipta.” tutup Josua. …