Menyingkap Kiamat 2012
Menyingkap Kiamat 2012
1/8
Dari sejumlah karya, buku Apocalypse 2012: An Investigation into Civilization's End tulisan
Lawrence E. Joseph --yang telah diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama-bisa menjawab keingintahuan mengenai kiamat 2012. Penulis tidak saja menyuguhkan cerita
Harmagedon dari aspek ramalan bangsa Maya, melainkan juga mengajak pembaca berkelana
memasuki rahasia bumi, matahari, tata surya, kosmis, galaksi, dan luar angkasa.
Joseph tidak saja menggali isi buku, jurnal ilmiah, hasil simposium, hingga ramalan dukun
terkait 2012. Ia juga mencari pengetahuan pada sejumlah temuan misi luar angkasa NASA
(badan antariksa Amerika Serikat) dan ESA (badan antariksa Eropa). Tak ketinggalan pula, ia
berusaha menyingkap tabir rahasia 2012 dengan bertanya kepada para fisikawan dan ilmuwan
luar angkasa yang tergila-gila pada prospek 2012.
Di dunia internet, ratusan situs meramaikan pro dan kontra soal ramalan bangsa Maya. Bahkan
resep teknis dan spiritual dalam menghadapi kiamat pun tersajikan. Yang paling menarik
adalah penjelajahan memasuki ranah astronomi. Bagaimana superorganisme seperti bumi
mengalami evolusi dalam interaksi dengan matahari, planet lain, serta energi dan materi yang
ada di ruang angkasa.
Mengapa 2012?
Angka 2012 mendadak menggetarkan banyak orang. Muncul karena bangsa Maya
--berdasarkan sistem "perhitungan panjang"-nya-- meramalkan bahwa pada 21 Desember 2012
(21/12/12) akan terjadi gangguan pada rotasi bumi. Pada waktu itu, tata surya, dengan
matahari sebagai pusatnya, akan menutupi pemandangan pusat galaksi Bimasakti dari bumi.
Ini terjadi setiap 26.000 tahun sekali.
Ketika itu terjadi, maka terputusnya pancaran dari pusat galaksi akan merusak mekanisme
normal di bumi dan tata surya. Konsekuensi fenomena itu adalah bencana dan dislokasi dalam
skala global karena pergeseran konfigurasi planet, sekecil apa pun. Tentu, sebagai sebuah
ramalan, kebinasaan yang bakal terjadi pada 2012 adalah prospek. Bisa terjadi, tapi ada
kemungkinan luput.
Bahkan, kalaupun bencana itu tiba, belum tentu seluruh permukaan bumi luluh lantak dan
semua kehidupan musnah. Namun skenario terburuk telah menjadi pemikiran banyak ilmuwan
dan astronom. Sebab kini tugas ilmu pengetahuan tidak sekadar membongkar rahasia alam
semesta. Meramalkan, memprediksi, dan mencari alternatif keluarnya secara ilmiah adalah
sebagian dari tanggung jawab para ilmuwan.
Kini para ilmuwan terus sibuk mencari korelasi bintik matahari dan ledakan-ledakan surya yang
lain dengan fenomena di muka bumi, seperti badai, topan, letusan vulkanik, dan berbagai
gempa besar. Lebih dari 10 satelit penelitian matahari diluncurkan sejak Helios I dan II
mengangkasa pada pertengahan 1970. Mayoritas satelit dikirim NASA dan ESA. Pada 1980,
misalnya, misi Maksimum Matahari dikirim guna mengamati aktivitas surya pada puncak daur
bintik matahari.
Lalu, pada 1990, satelit Ulysses diluncurkan dengan tujuan khusus pada bagian tertentu
spektrum matahari, seperti sinar-X, ultraviolet, dan angin surya. Satelit yang disponsori NASA
2/8
dan ESA itu, menurut kantor berita Reuters, 30 Juni lalu, akan segera mengakhiri tugasnya.
Misi tersebut berumur empat kali lebih lama dari prediksi semula. Satelit sebesar mobil VW itu,
dengan kecepatan 56.000 kilometer per jam, telah menempuh perjalanan hampir 8,85 milyar
kilometer atau sepadan dengan tiga kali putaran orbit matahari.
Diperkirakan, ketika jarak Ulysses dengan matahari sekitar 705 juta kilometer, transmisi kontak
wahana tak berawak dengan bumi itu akan mati. Ed Smith, peneliti di laboratorium pendorong
jet NASA, Pasadena, California, menyatakan bahwa data yang diperoleh selama misi
memperlihatkan gambaran yang belum pernah ada mengenai siklus aktivitas matahari dan tata
surya serta konsekuensinya. "Hal itu akan menjadi bahan riset para peneliti untuk beberapa
tahun mendatang," katanya, seperti dikutip Reuters.
Lebih dari 1.000 artikel ilmiah dan dua buku dihasilkan dari informasi yang diperoleh Ulysses.
Selain mengungkap adanya angin surya dan faktor-faktor penyebabnya, Ulysses juga
mendalami partikel-partikel yang dipancarkan matahari ke seluruh tata surya. Ternyata aliran
kuat partikel-partikel sub-atom yang memancar dari surya hingga 1 juta mil per jam berkurang
hingga level terendah dalam 50 tahun terakhir.
Data berharga lainnya adalah info mengenai kawasan kutub matahari, debu antariksa di tata
surya, planet Jupiter, dan objek transitnya. Info baru yang bisa diketahui manusia, menurut Ed
Smith dari NASA, adalah soal heliosfer. "Ulysses telah memformat ulang pengetahuan soal
heliosfer dan menyuguhkan informasi tentang lingkungan sekitar tata surya yang belum banyak
terungkap," ujar Smith.
Heliosfer adalah selubung pelindung yang dihasilkan matahari melalui anginnya bagi bumi dan
tujuh planet lain yang mengitarinya. Angin surya itu berperan menyapu radiasi dan sinar kosmik
yang datang dari galaksi lain. Secara teori, heliosfer yang melemah akan membuat masuknya
sinar kosmik ke tata surya makin besar. Radiasi sinar kosmik yang makin kuat tentu makin
membahayakan para astronot ketika berada di luar angkasa.
Ancaman Bintik Surya
Selain Ulysses, generasi satelit terbaru yang memelototi aktivitas surya dalam relasinya dengan
bumi adalah SOHO (Solar and Heliospheric Observatory --Pengamatan Surya dan Heliosfer)
yang meluncur pada 2 Desember 1995. Tugas utamanya adalah mengidentifikasi lontaran CME
(coronal mass ejections) atau ledakan bintik matahari, letupan surya, angin surya, dan
semacamnya, yang menuju ke bumi. Info itu berguna bagi para ilmuwan untuk mengupayakan
perlindungan terhadap satelit, pembangkit listrik surya, dan berbagai teknologi yang sensitif
terhadap surya.
Faktanya, kini hanya sedikit satelit yang diberi perisai letupan surya dengan alasan mahal, tidak
praktis, dan membatasi fungsi satelit. Bisa dibayangkan, jika serentetan badai surya massif
terjadi sepanjang 2012, maka kelumpuhan telekomunikasi kamersial karena gangguan pada
satelit-satelit akan terjadi. Kini SOHO terus memberikan informasi ke kontrol misi yang dikelola
NASA di Goddard Space Flight Center di Maryland, tak jauh dari Washington.
CME adalah gas awan superpanas yang keluar dari surya dan melesat melalui ruang
3/8
4/8
bumi-- saling menarik. Pengaruh terbesar muncul jika gabungan planet berada dalam posisi
segaris 0 derajat atau bisa saja membentuk bujur sangkar 90 derajat. Sejumlah konfigurasi
mampu memicu keretakan lapisan luar matahari dan mengaduk-aduk isinya.
Richard Michael Pesichnyk dan ilmuwan angkasa lainnya memegang keyakinan bahwa sudut
antarplanet menentukan pengaruh relatif planet-planet. Demikian pula, pusat massa tata surya
tidak berada di inti matahari. Pusat massa itu selalu berubah, sebagai dampak pola orbit dan
jajaran planet. Menurut Thomas Burgess, fisikawan kuantum benda-benda padat, jajaran planet
dapat bergerak ke titik yang hanya berjarak 1 juta mil atau 1,6 juta kilometer dari matahari.
Jika hal itu terjadi, matahari akan mengembung ke arah pusat massa tata surya. Semakin besar
daya tarik gravitasi terhadap matahari, semakin besar pula kemungkinan permukaan matahari
merekah dan bocor, melepaskan apa yang disebut "radiasi terpenjara", yang puluhan ribu tahun
terperangkap dalam selubung luar matahari.
Pada kondisi normal, radiasi itu merambat dari matahari secara stabil dan hampir konstan.
Namun, ketika permukaan matahari terkoyak, "radiasi terpenjara" itu akan meletup,
menimbulkan ledakan besar. "Radiasi terpenjara dapat lolos dari matahari lewat robekan atau
gelembung negatif," kata Burgess, seperti dikutip Lawrence E. Joseph. Gelembung negatif itu
berwujud cekungan di permukaan matahari. Kondisi ini membuat radiasi akan mudah
menembus massa yang lebih sedikit.
Runyamnya, menurut perhitungan Burgess, jumlah total terbesar daya tarik-menarik
planet-planet terhadap matahari bakal terjadi pada akhir 2012. Bintik surya maksimum yang
diperkirakan terjadi tahun itu akan makin memperburuk situasi karena bakal membantu
desakan matahari dengan tekanan maksimum.
Di samping itu, kutub magnetik matahari yang berganti posisi setiap 22 tahun, pada puncak
setiap daur kedua, diprediksi akan terjadi pada 2012. Hal ini bakal meningkatkan ancaman
bahaya. Kemungkinan ledakan besar mematikan akan dialami bumi sejak kemunculan
manusia.
Perisai Magnetik Bumi Terkoyak
Daya serangan radiasi matahari itu akan makin besar ketika medan magnet pelindung bumi
ternyata juga terkoyak. Para ahli geofisika telah lama meneliti rekahan sebesar California yang
muncul di medan magnet pelindung bumi dari Hermanus Magnetic Observatory, Tanjung Barat
Daya, Afrika Selatan. Pieter Kotze, seorang ahli geofisika di Magnetic Observatory, telah
mendokumentasikan penipisan medan magnet pelindung bumi.
Kotze mendapatkan data itu melalui komputer canggih yang dapat menganalisis data dari
sensor elektromagnetik yang tertanam di bawah tanah. Medan magnet bumi berasal dari
perputaran inti besi cair bumi. Memang hukum inersia dan hukum yang mengatur listrik serta
magnetisme tidak bisa dianulir. Namun medan magnet pelindung yang membentengi
permukaan bumi dari radiasi proton dan elektron yang berlebihan tidak bersifat abadi.
Berlimpahnya radiasi surya ternyata juga akan menghalangi sinar kosmis. Padahal, sinar
5/8
kosmis berupa partikel dan gelombang luar angkasa yang sangat aktif berperan dalam
sebagian besar formasi awan di sekitar bumi. Awan, terutama yang melayang rendah,
membantu menghalangi radiasi inframerah panas dari matahari. Proses ini sangat membantu
menjaga permukaan bumi tetap dingin.
Terkoyaknya medan magnet bumi atau magnetosfer adalah sebuah ancaman. Pasalnya,
medan magnet bumi berfungsi memantulkan radiasi surya dan menyalurkannya ke sabuk yang
mengelilingi atmosfer luar planet bumi. Magnetosfer ini berupa medan elektromagnetik raksasa
yang menyembur dari kedua kutub, laiknya perilaku bijih besi di sekitar magnet batang dan
mengembang jauh di atmosfer.
Menurut Kotze, medan magnet antarplanet (interplanetary magnetic field, yang pada intinya
merupakan medan magnet yang memancar dari matahari, juga mempengaruhi ukuran dan
bentuk magnetosfer. Ternyata medan magnet antarplanet bisa memperkuat magnetosfer
dengan masukan energi surya. Pada waktu lain, medan magnet antarplanet menekan medan
magnet bumi, membuat makin padat, membelokkannya, dan bisa mengoyaknya.
Perisai pelindung bumi itu secara elementer bertugas melindungi organisme hidup di
permukaan bumi. Magnetosfer bumi menyalurkan radiasi surya ke dua sabuk, yang dikenal
sebagai sabuk radiasi Van Allen. Sabuk yang ditemukan James A. Van Allen melalui Explorer I
dan Explorer II pada 1958 itu terbentang pada ketinggian 10.000 hingga 65.000 kilometer.
Dalam pandangan Lawrence E. Joseph, banyak ilmuwan yang belum menemukan jawaban
mengapa medan magnet mulai menipis. Perkiraan terbesar, karena adanya turbulensi di medan
magnet antarplanet sampai kekacauan fluktuasi inti cair bumi. Fenomena penipisan itu
mengundang spekulasi bertukarnya posisi kedua kutub planet bumi. Riset terhadap sampel inti
es dan sedimen dari dasar laut mengindikasikan bahwa kutub magnetik pernah bertukar
tempat. Terakhir kali terjadi kira-kira 780.000 tahun lalu.
Pergeseran kutub itu membawa konsekuensi dahsyat pada muka bumi. Geolog William Hutton
menyatakan, pergeseran kutub tipe kemerosotan mantel bumi akan memicu pergeseran awal
ekuator di atas permukaan bumi. Ketika ekuator bergerak memasuki daerah baru di permukaan
bumi, kawasan itu akan mengalami perubahan daya sentrifugal dan ketinggian permukaan laut.
Gejala ini akan menyebabkan pembagian baru daratan dan laut serta akan terjadi gerakan
tektonis di kerak bumi. Bencana seismik dan tektonis pun bakal sulit terhindarkan.
Meskipun pergeseran itu akan terjadi dalam waktu lama, yang pasti, memudarnya medan
magnet bakal melemahkan efek perlindungannya. Permukaan bumi akan jauh lebih rentan
terhadap radiasi, yang terus membombardir dari luar angkasa.
Kejadian alam yang mengagetkan para ilmuwan adalah retaknya perisai radiasi surya dan
kosmis selama sembilan jam, sepanjang 160.000 kilometer, yang dikenal dengan sebutan
anomali Atlantik Selatan. Menurut Kotze, penipisan medan magnet bumi kemungkinan memicu
penipisan lapisan ozon. Ini terjadi, ketika radiasi proton matahari menembus perisai magnetik
bumi, reaksi kimia di atmosfer terpengaruh. Suhu pun meningkat tajam dan tingkat ozon di
6/8
7/8
Model Baranov itu, dari telaah para ilmuwan Rusia, Eropa, dan Amerika Serikat,
mengindikasikan kaitan hingga 96% antara data Voyager, informasi NASA dan ESA, serta
evaluasi dasar energi dan ruang yang dikerjakan Dmitriev. Isinya dugaan bahwa heliosfer akan
berada dalam gelombang kejut selama 3.000 tahun selanjutnya. Sejumlah observasi pada
planet-planet luar sejak 2006 memperlihatkan sejumlah anomali.
Uranus dan Neptunus mengalami pergeseran kutub magnetik. Jupiter memperlihatkan efek
gelombang kejut dan melipatgandakan medan magnetnya hingga melebar sampai ke Saturnus.
Bahkan, sejak Maret 2006, muncul bintik merah baru di Jupiter, seukuran bumi. Di lokasi bintik
merah, yang disebut Oval BA, itu kini terjadi badai elektromagnetik tanpa henti.
Efek gelombang kejut itu juga dialami planet-planet dalam. Atmosfer Mars, misalnya, semakin
padat. Komposisi kimia dan kualitas optikal atmosfer Venus berubah menjadi makin bercahaya.
Juga matahari, yang berada di pusat heliosfer, karena susunan materinya menjadi lebih rentan
terhadap efek energi dibandingkan dengan planet lain. Bumi sendiri --dan planet yang lain-berada dalam bahaya ganda sebagai dampak langsung gelombang kejut dan pergolakan yang
muncul di matahari.
Menurut hipotesis Gaia Lovelock, yang dikemukakan Gaia James Lovelock, pada prinsipnya
bumi berupa superorganisme. Ia bukan bongkahan batu dan air yang tak bernyawa. Esensi
hipotesis itu adalah sistem umpan balik negatif, di mana biosfer menyesuaikan dan mengatur
dirinya sebagai kompensasi atas gangguan eksternal.
Nah, mekanisme adaptif biosfer ketika memasuki badai awan energi itu bisa berupa apa saja.
Jika tiba-tiba panas karena memasuki awan energi antarbintang, biosfer akan mencari jalan
untuk mendinginkan tubuhnya. Salah satu jalan adalah dengan ledakan supervulkanik, yang
bisa membawa bumi pada zaman es. Tantangan biosfer bakal makin besar karena awan energi
antarbintang juga akan menyuntikkan kilat dan gelombang panas, cahaya, serta radiasi
elektromagnetik ke sistem iklim bumi.
G.A. Guritno
[Ragam, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 30 Juli 2009]
8/8