Anda di halaman 1dari 21

KAUSALITAS DAN INFERENSI KAUSAL

Disusun Oleh :
Tono Haryono

NPM 130120140008

Andi Wijayakesuma

NPM 130120140009

Rizki Hapsari Nugraha

NPM 130120140010

Michael VL Tumbol

NPM 130120140011

Zamziri

NPM 130120140012

Deinike Wanita Marwan

NPM 130120140013

Ginna Megawati

NPM 130120130025

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN DASAR


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Salah satu tujuan utama penelitian epidemiologi adalah untuk
mengidentifikasi

penyebab

penyakit.

Penyebab

penyakit

dapat

didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi insiden. Eliminasi faktor


penyebab akan mengakibatkan perubahan dalam insidensi penyakit.
Sebenarnya, dari beberapa penjelasan peneliti, tidak terdapat konsesus
universal pada definisi penyebab dan beberapa jenis penyebab.(1)
Inferensi kausal dari studi epidemiologi merupakan hal kompleks dan
telah menjadi pokok perdebatan yang luas. Terdapat banyak asosiasi antara
faktor-faktor risiko dan efek kesehatan yang ada sehingga menyebabkan
keraguan mengenai kausalitasnya. Dimungkinkan hal yang paling realistis
mengenai inferensi kausalitas adalah yang dikemukakan oleh Weed, yang
menyatakan bahwa tujuan epidemiologi bukanlah untuk membuktikan
hubungan penyebab-efek kecuali untuk memperoleh pengetahuan tentang
faktor-faktor penentu dan distribusi penyakit serta untuk menerapkan
pengetahuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Di sisi lain,
Bradford Hill telah merumuskan seperangkat kriteria untuk menilai
kausalitas. Kriteria Hill merupakan pengembangan dari serangkaian
kriteria yang dirumuskan pada laporan surgeon generals report on
smoking and health. Kriteria kausalitas ini secara luas telah diterima dan
terdapat sedikit perubahan marjinal yang diajukan sejak kriteria ini
pertama kali diterbitkan. Kriteria Hill tidak hanya digunakan dalam bidang
epidemiologi. Guzelian et al mengusulkan kerangka kerja untuk
pembuktian ilmiah dalam bidang toksikologi yang sangat bergantung pada
kriteria inferensi kausal Bradord Hill.(2), (3)
1.2.

TUJUAN
1) Mendeskripsikan definisi kausalitas
2) Mendeskripsikan inferensi kausa

BAB II
ISI
2.1.

DEFINISI
Mervyn Susser mengajukan bahwa untuk hubungan kausal dalam
epidemiologi memiliki atribut-atribut seperti asosiasi, urutan waktu, dan
arah. Sebuah kausa adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan efeknya,
yang muncul sebelum atau paling tidak pada saat yang bersamaan dengan
efek tersebut, dan bertindak terhadap efeknya. Dalam prinsipnya, sebuah
kausa dapat diharuskan-tanpanya efek tidak akan muncul-dan/atau
memadai-dengannya efek akan muncul walaupun tidak ada atau ada faktor
lain yang terlibat di dalamnya.(4)
Berdasarkan Weed (2001) terdapat definisi kausalitas epidemiologi
antara lain : (3), (4)
(1) Produksi
Sesuatu yang menciptakan atau menghasilkan akibat. Kausa
dipandang sesuatu yang memproduksi hasil.
(2) Necessary causa (kausa yang diperlukan)
Merupakan keadaan yang mutlak untuk terjadinya suatu akibat.
Tanpa keadaan tersebut tidak dapat dihasilkan akibat. Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut :
i. A diperlukan dan mencukupi untuk mengakibatkan B
ii. A diperlukan tetapi tidak mencukupi untuk mengakibatkan B
iii. A tidak selalu diperlukan tetapi mencukupi untuk mengakibatkan B
iv. A tidak diperlukan dan tidak mencukupi untuk mengakibatkan B
(3) Sufficient component causa (kausa komponen mencukupi)
Kausa komponen mencukupi terdiri dari beberapa komponen,
tak satupun diantaranya secara dini mencukupi terjadinya suatu
penyakit. Tetapi ketika semua komponen hadir maka terbentuklah
mekanisme kausal yang mencukupi.

(4) Kausa probabilistik


Hal ini merupakan faktor yang yang meningkatkan probabilitas
terjadinya akibat. Menurut definisi probabilistik, kejadian suatu
penyakit pada seseorang dapat disebabkan karena kemungkinan
(peluang). Definisi probabilistik lebih inklusi daripada definisi kausa
komponen mencukupi, karena dapat menjelaskan konsep kausa yang
diperlukan dan mencukupi.
(5) Kontra faktual
Setiap orang memiliki perbedaan antara satu dan lainnya dalam
banyak hal. Urutan waktu memegang peranan penting untuk terjadinya
perubahan.
Kausalitas merupakan hubungan yang rumit. Contoh kasus umum
adalah saat lampu menyala. Salah satu penyebab lampu menyala adalah
menekan tombol on, akan tetapi jika satu atau lebih faktor yang lain tidak
ada, maka lampu pun tidak akan menyala. Meskipun ada kecenderungan
untuk mengatakan bahwa menekan tombol sebagai kasus yang unik dari
menyalakan lampu, namun mekanisme kausa yang komplit sebenarnya
jauh lebih rumit, dan menekan tombol hanyalah salah satu komponen dari
sekian banyak komponen lainnya.(5)
Proses mempelajari serangkaian peristiwa yang menyebabkan
kejadian luar biasa (KLB) penyakit di dalam suatu komunitas yang
melibatkan pengembangan hubungan sebab akibat akan menghasilkan
kesimpulan. Kausalitas / hubungan kausal berkaitan dengan hubungan
sebab akibat yang digunakan untuk memastikan bagaimana kejadian atau
lingkungan yang berbeda berhubungan satu sama lain.(1)
2.2.

KONSEP PENYEBAB
Pada kausalitas terdapat 2 tipe penyebab utama, antara lain : (5)
(1) Necessary cause
Necessary cause mengacu kepada faktor-faktor yang harus ada dari
suatu penyakit dan tidak ada bila tidak terkena penyakit tertentu.

(2) Sufficient cause


Sufficient cause adalah faktor itu sendiri yang dapat menimbulkan
penyakit, dengan tidak memperhatikan adanya faktor-faktor lain.
Dalam beberapa kasus, terdapat berbagai kombinasi antara
necessary dan sufficient. Adapun beberapa kombinasi kasus adalah
sebagai berikut : (5)
(1) Necessary dan sufficient
Pada kasus ini, faktor yang harus ada pada suatu penyakit dan
tidak ada bila tidak terkena penyakit pada seseorang. Contoh : tidak
ada kejadian fraktur, jika tidak ada kecelakaan.
menyebabkan
Faktor A
Tidak ada Faktor A

Penyakit
Tidak ada Penyakit

Bagan 1. Necessary dan sufficient

(2)

Necessary tapi bukan sufficient


Pada kasus ini, jika faktor A sendiri tidak dapat menimbulkan

penyakit, jadi harus bergabung dengan faktor B dan C. Namun


kekurangan faktor A tidak akan menimbulkan penyakit sebagaimana
mestinya. Contoh : pada kasus scabies, tidak hanya faktor sanitasi saja
yang berpengaruh, melainkan kontak dengan penderita scabies.
A+ B+C

Penyakit

Bagan 2. Necessary tapi bukan sufficient

(3)

Sufficient tapi bukan necessary


Penyakit disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor A merupakan

salah satu penyebab. Contoh : pada kasus aging, banyak faktor yang
berpengaruh seperti paparan sinar ultraviolet, hormonal, penggunaan
kosmetik, dll.

A
B

Penyakit

C
Bagan 3. Sufficient tapi bukan necessary

(4)Bukan Sufficient ataupun Necessary

Pada kasus ini, tiap-tiap dari faktor A sampai G merupakan


penyebab. Contoh :

Stress dan kurang tidur akan menyebabkan

cephalgia (nyeri kepala). Begitu pula jika stress disertai pola makan
kurang baik akan menyebabkan cephalgia (nyeri kepala).
+

B
Penyakit

D
F

Bagan 4. Bukan Sufficient ataupun Necessary

2.3.

PENDEKATAN KAUSALITAS
Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan untuk mengetahui
hubungan sebab-akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit antara lain :
(4), (5)

(1) Pendekatan determinisme


Hubungan antara variabel terikat (penyakit) dan variabel bebas
(faktor penelitian) berjalan sempurna, persis dengan yang digambarkan
pada model matematik. Disini diasumsikan tidak terdapat satu jenis
kesalahan (error) pun yang mempengaruhi sifat hubungan kedua
variabel itu.

(2) Pendekatan probabilitas


Dalam pendekatan probabilitas digunakan teori statistik unuk
meyakinkan apakah terdapat hubungan yang valid antara faktor
penelitian dan penyakit. Penaksiran hubungan yang valid adalah
penaksiran hubungan yang telah memperhitungkan faktor peluang,
perancu dan bias. Contoh : dalam meneliti melasma dan umur, maka
orang yang seumuran belum tentu memiliki melasma yang sama. Maka
dengan metode statistik yang baik, dapat disimpulkan bahwa melasma
akan meningkat seering bertambah umur. Selain itu, dengan metode
statistik, dapat diprediksikan kemunculan melasma pada usia tertentu.
2.4.

MODEL KAUSALITAS
1) Model determinasi murni
Model determinasi dikemukakan pertama kali oleh Jacob
Henle, empat puluh tahun sebelum para ahli mikrobiologi berhasil
mengisolasi dan menumbuhkan bakteri dalam kultur. Pada tahun 1840,
ia membuat model kausasi yang melibatkan relasi antara sebuah agen
sebagai penyebab dan sebuah hasil sebagai akibat. Pada perkembangan
selanjutnya, model tersebut dilanjutkan oleh muridnya Robert Koch
(1982), untuk menjelaskan hubungan basil tuberkulosis dan penyakit
tuberkulosis. Model tersebut dikenal sebagai postulat Henle-Koch.
Suatu agen adalah penyebab penyakit jika memenuhi kriteria sebagai
berikut :
i) Agen tersebut selalu dijumpai pada setiap kasus penyakit pada
keadaan yang sesuai (necessary cause)
ii) Agen tersebut hanya mengakibatkan penyakit yang diteliti, tidak
menyebabkan penyakit lain (spesifIsitas efek)
iii) Jika agen diisolasi sempurna dari tubuh dan berulang-ulang
ditumbuhkan dalam kultur yang murni, ia dapat menginduksi
terjadinya penyakit. (2)(5)
iv) Pada model determinasi murni, hubungan kausal antara agen dan
penyakit digambarkan memliki bentuk konstan, satu lawan satu,

sehingga satu faktor dapat memprediksi kejadian satu faktor lain


dengan sempurna. (2)(5)
Penyakit B

Faktor A

Bagan 5. Model Determinasi Murni

2) Model kausasi majemuk


i)

Klaster faktor penyebab


Konsep

ini

dikemukakan

oleh

Rothman

(1976)

mengemukakan konsep relasi faktor-faktor penyebab dan penyakit


yang disebut klaster faktor penyebab (cluster of causal factors).
Klaster ini merupakan sejumlah faktor suatu kelompok, bukan
faktor

tunggal. Antar

faktor

saling

mempengaruhi

untuk

menyebabkan suatu efek. (5)


ii)

Segitiga epidemiologi
Model segitiga cocok untuk menerangkan penyebab penyakit
infeksi. Sebab peran agen (seperti mikroba) mudah diisolasikan
dengan jelas dari lingkungannya. Untuk penyakit non ineksi,
etiologi penyakitnya pada umumnya tidak duhubungkan dengan
peran agen yang spesifik. Jika bisa diidentifikasi, para ahli lebih
memandang bahwa agen adalah bagian integral dari lingkungan
secara keseluruhan (biologik, sosial dan fisik).(3), (5)

Gambar 1. Segitiga Epidemiologi

iii)

Jala-jala kausasi (Web of Causation Model)


Prinsip konsep ini adalah setiap efek (penyakit) tak pernah
tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung pada
sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas sebelumnya. Faktor
penyebab tersebut biasa disebut promotor dan inhibitor. Konsep ini
dicetuskan oleh McMahon dan Pugh (1970). (2), (3)

iv)

Model roda (The Wheel)


Model roda merupakan model yang menggunakan hubungan
manusia dan lingkungan. Ukuran komponen roda bersifat relatif
tergantung pada masalah spesiik dari penyakit yang bersangkutan.
Contoh kasusnya pada penyakit herediter seperti Sindrom Down,
proporsi inti genetik lebih besar, sedangkan penyakit cacar, status
imunitas serta lingkungan lebih penting ketimbang faktor genetik.(2)

Gambar 2. Model Roda

2.5.

KRITERIA PENENTUAN KARYA ILMIAH YANG VALID ATAU


SAH
Sama halnya dengan kriteria kausal yang tidak dapat digunakan
untuk menentukan validitas dari suatu inferensi/penarikan kesimpulan,
maka tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan validitas
data atau bukti. Terdapat metode valid yang dapat digunakan, namun
penaksiran ini tidak akan sama seperti kriteria yang telah baku. Beberapa

kesulitan dapat dipahami melalui pembahasan pandangan bahwa bukti


ilmiah biasanya dapat ditinjau sebagai suatu bentuk ukuran. Jika suatu
studi epidemiologi digunakan untuk menilai hubungan antara paparan
merokok tembakau dengan risiko kanker paru-paru, maka hasilnya dapat
dijadikan sebagai ukuran dari efek kausa, seperti rasio dari risiko kanker
paru-paru diantara perokok dan risiko diantara bukan perokok. Seperti
pengukuran pada umumnya, pengukuran dari efek kausa berkaitan dengan
kesalahan pengukuran (measurement error). Dalam studi ilmiah, kesalahan
pengukuran diibaratkan sebagai kesalahan yang kita perkirakan saat kita
berusaha mengukur panjang dari potongan suatu karpet. Sebagai tambahan
pada statistical error, kesalahan pengukuran biasanya berhubungan
dengan desain studi, termasuk

pemilihan subjek, informasi yang

diperoleh, dan perancu yang tidak dikontrol serta sumber bias lainnya.
Pada suatu kasus, tidak cukup untuk menggambarkan bahwa suatu studi
memiliki atau tidak memiliki sumber error, karena hampir setiap studi
memiliki tipe error. Maka dari itu, perhatian utama adalah untuk
mengukur kesalahan/error. Karena tidak ada titik potong (cutoff) yang
tepat menghitung banyak error yang dapat ditoleransi (sebelum suatu studi
valid), maka tidak ada alternatif kuantifikasi kesalahan penelitian dalam
memperluas probabilitas. Meskipun tidak ada kriteria absolut untuk
mengukur kevalidan suatu bukti ilmiah, namun masih memungkinkan
untuk menentukan validitas suatu penelitian. Sebagai gantinya, kita harus
menggunakan seluruh kritisi, dengan tujuan

mendapatkan kuantifikasi

evaluasi dari keseluruhan error yang yang terjadi dalam penelitian/studi. (5)
2.6.

FILOSOFI INFERENSI KAUSAL


1) Induktivisme
Ilmu pengetahuan modern mulai muncul antara abad ke-16 dan
17, ketika pengetahuan dibutuhkan untuk teknologi (seperi artileri dan
nagiasi transoseanik). Karya Francis Bacon berjudul Novum
Organum (1620) dan Advancement of Learning (1605) telah
menjadikan simbol metode logika induktif. Filsuf yang menggemari

persepsi warna dan benda konkrit itu tidak melihat relevansi


argumentasi

abstrak

untuk

memahami

alam.

Bacon

tidak

menggunakan penalaran priori untuk mencari kebenaran pasti.


Pengetahuan dibentuk melalui pengamatan-pengamatan benda dan
peristiwa khusus, lalu bergerak menuju generalisasi yang makin luas.
Pernyataan-pernyataan

umum

tidak

seperti

matematika,

dapat

dibuktikan salah melalui eksperimen. Dengan demikian generalisasi


yang dibuat masih bersifat mungkin. Astronomi adalah contoh ilmu
pengetahuan yang berkembang menurut aliran empirisme. Dalam
astronomi, pengamatan terhadap perubahan posisi benda langit
digunakan untuk memprediksi jarak benda langit itu terhadap bumi.
Kecintaannya kepada alam menyebabkan Bacon lebih dipandang
sebagai naturalis ketimbang filsuf. (5)
2) Refutasionisme
Pada tahun 1920-an, paling mencolok adalah para paham
positivism yang logis mengarah terhadap kesimpulan ilmiah yang
tepat, ke dalam kesimpulan matematis. Sebaliknya, para filsuf dan
ilmuwan lainnya, telah memulai memikirkan bahwa hipotesis ilmiah
tidak dapat dilakukan atau dibuktikan dibandingkan pemikiran logis. (5)
Popper menegaskan syarat-syarat pertumbuhan pengetahuan
dimulai dengan merumuskan hipotesis melalui pemikiran deduktif dan
imajinasi kreatif, lalu hipotesis itu diuji dengan keras dan disanggah;
penyanggahan itu dipergunakan untuk merumuskan hipotesis baru dan
teori baru. Jadi pengamatan empirik ditujukan untuk membuktikan
kesalahan (refutation, falsification) teori dan gagasan. (5)
Berdasarkan Popper, kemajuan ilmu pengetahuan disebabkan
oleh proses eliminasi yang disebut dengan conjecture and refutation.
Para ilmuwan membentuk hipotesis berdasakan intuisi, conjecture dan
pengalaman yang telah dilalui. Ilmuwan yang baik menggunakan
logika

deduktif

untuk

memprediksi

hipotesis

dan

kemudian

membandingkan penelitian dengan prediksi. Hipotesis dimana prediksi


sejalan dengan hasil penelitian (Popper biasa menyebutkan dengan

istilah corroborated) dapat digunakan sebagai penjelasan fenomena


alamiah. Pada suatu saat, suatu hipotesis dapat ditolak melalui
penelitian di masa depan dan digantikan dengan hipotesis lain yang
konsisten dengan penelitian. Cara pandang inferensi ilmiah ini disebut
dengan refutasionisme atau falsifikasi. (5)
3) Konsensus dan Naturalisme
Filsuf

abad

ke-20,

terutama

Thomas

Kuhn

(1962)

mengemukakan peranan komunitas ilmiah dalam menentukan validitas


suatu teori. Setiap pengamatan tergantung pada teori. Pengamatan
yang tidak sesuai dengan teori akan disebut anomali. Diharapkan
anomali ini dapat dijelaskan tanpa harus menyalahkan teori. Contoh
epidemilogi, pengamatan terhadap perokok pasif memiliki angka
kanker paru lebih tinggi dibandingkan perokok pasif. Anomali ini
dapat dijelaskan, bahwa perokok pasif, lebih banyak menginhalasi tar
yang dapat tersimpan pada paru. (5)
Suatu pemikiran dimana ilmu pengetahuan merupakan proses
sosiologi, baik deskriptif maupun normatif, merupakan hal yang
menarik, suatu pemikirian bagaimana meneliti para ilmuwan bekerja,
sehingga kita bisa mempelajari bagaimana ilmuwan dapat bekerja.
Pemikiran saat ini mengarah ke perkembangan filosoi naturalistik atau
ilmu penelitian yang memeriksa perkembangan ilmiah untuk
mendapatkan

kunci

dari

berbagai

metode

penelitian

untuk

mengembangkan penemuan. (5)


4) Bayesianisme
Pada paham Bayesianisme, pada logika klasik, argument
deduktif tidak akan membuktikan suatu kebenaran atau menyangkal
hipotesis jika premis tidak 100 % benar. Jika dikaitkan dengan
argument logis yang disebut modus tollens maka jika H merupakan B,
dan jika B salah, maka H pun pasti salah. Argumen ini valid secara
logika, namun kesimpulannya merupakan asumsi saja. (5)
Secara filosofis, paham ini mengusulkan suatu cara mengubah
atau merevisi derajat kepercayaan sesorang sebagai respons terhadap

bukti baru. Misalnya bila H adalah hipotesis dan E adalah suatu bukti
yang baru ditemukan, maka menurut paham Bayeisanisme, tatkala
sesorang

menemukan

E,

ia

harus

menyesuaikan

derajat

kepercayaannya terhadap H. Bila E semakin tinggi maka derajat


kepercayaan terhadap H juga akan meningkat. (5)
2.7.

INFERENSI KAUSAL
Secara praktis, para epidemiologis memisahkan penjelasan kausa
dari penjelasan nonkausa. Jika seperangkat kriteria necessery causa dan
sufficient causa dapat digunakan untuk membedakan hubungan kausa dari
nonkausa dalam studi epidemiologi, maka hal ini akan mempermudah para
ilmuan dalam meneliti. Dengan kriteria seperti itu, semua konsep
mengenai logika atau tidak adanya teori dalam inferensi kausa dapat
diabaikan: hanya diperlukan untuk mengkonsultasikan daftar kriteria
untuk melihat jika hubungan itu bersifat kausa.(1), (5)
Kriteria yang umumnya digunakan adalah yang diusulkan oleh
Bradord Hill. Kriteria ini merupakan pengembangan dari kriteria
sebelumnya dalam surgeon generals report on smoking and health, yang
didahului oleh aturan induksi oleh John Stuart Mill dan aturan yang
diberikan oleh Hume. Hill menyatakan bahwa aspek-aspek berikut tentang
hubungan yang digunakan dalam usaha untuk membedakan hubungan
kausa dari nonkausa : (1) strength/kekuatan, (2) konsistensi, (3) spesifitas,
(4) kronologi waktu, (5) biological gradient, (6) plausibilitas (dapat
diterima akal), (7) koherensi/keselarasan, (8) bukti eksperimen dan, (9)
analogi. Kriteria tersebut diambil dari induk aslinya, namun membutuhkan
pembahasan yang lebih spesifik mengenai kegunaannya masing-masing. (1),
(5)

1) Strength (kekuatan)
Pada dasarnya bahwa hubungan/asosiasi yang kuat lebih
bersifat kausa. Jika asosiasi ini dapat dijelaskan melalui beberapa
faktor lainnya, maka efek dari faktor itu harus lebih kuat dibanding
asosiasi yang diamati sehingga akan menjadi terbukti. Asosiasi yang

lemah, pada sisi yang lain, lebih dapat dijelakan melalui bias yang
tidak terdeteksi. Hill juga mengemukkan bahwa asosiasi yang lemah
tidak mengesampingkan adanya hubungan kausa/sebab-akibat. Contoh
yang umumnya digunakan adalah hubungan antara merokok dan
penyakit kardiovaskuler. Penjelasan yang membuat hubungan menjadi
lemah adalah bahwa etiologi penyakit kardiovaskuler sangat luas.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa merokok adalah penyebab
penyakit kardiovaskuler. Contoh lainnya adalah perokok pasif dan
kanker paru-paru, suatu asosiasi yang lemah bahwa sedikit
pertimbangan menjadi nonkausa. (1), (5)
2) Konsistensi
Makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada
populasi dan lingkungan yang berbeda, makin kuat pula keyakinan
hubungan kausal. Kriteria konsistensi juga sangat penting untuk
meyakinkan masyarakat peneliti tentang hubungan kausal. (1), (5)
3) Spesifitas
Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan
kausal. Begitu pula, makin spesifik penyebab, makin kuat
kesimpulan hubungan kausal. Kriteria yang memerlukan spesifitas
yaitu suatu kausa yang menimbulkan satu efek, bukan banyak efek. Di
sisi lain, Weiss dengan argumennya yang meyakinkan bahwa spesifitas
dapat digunakan untuk membedakan beberapa hipotesis kausa dari
hipotesis nonkausa, sementara hipotesis kausa memprediksi hubungan
dengan satu hasil tetapi tidak ada hubungan dengan hasil yang lainnya.
Dengan demikian, spesifitas mempunyai peran bila spesifitas
disimpulkan secara logis dari pertanyaan hipotesis kausa. (1), (5)
4) Kronologi waktu
Kronologi waktu mengacu pada perlunya suatu kausa untuk
mendahului

munculnya

suatu

efek.

Hubungan

kausal

harus

menunjukkan sekuen waktu yang jelas, yaitu paparan faktor penelitian


(anteseden) mendahului kejadian penyakit (konsekuen). Jika suatu

faktor adalah penyebab suatu penyakit, maka ia harus ada sebelum


terjadinya penyakit. (1), (5)
5) Biological gradient
Keyakinan hubungan antara paparan dan penyakit makin kuat jika
ada dukungan pengetahuan biologik. Namun demikian, ketiadaan
dukungan pengetahuan biologik tidak dapat dengan sendirinya
dikatakan bukan hubungan non-kausal. Sebagai contoh, banyak
merokok berarti lebih terpapar karsinogen dan lebih merusak jaringan,
sehingga lebih berpeluang terjadinya karsinogenesis. (1), (5)
6) Plausibilitas
Plausibilitas (diterima akal) adalah hipotesis yang masuk akal
secara biologis, namun jauh dari objektifitas atau absolut. Suatu kausa
yang adekuat, seharusnya membenarkan kejadian yang tidak disengaja
dari pengalaman sederhana. Cheever mejelaskan hal yang tidak masuk
akal kemudian menjadi penjelasan yang benar, bahwa paparan tikus
menyebabkan infeksi tifus. Problema seperti itu dapat diterima akal
namun

tidak

didasarkan

data.

Namun

bukan

berarti

bahwa

pengetahuan biologi harus dibuang ketika mengevaluasi hipotesis baru,


namun hanya sekedar menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam
aplikasi ilmu pengetahuan. Pendekatan Bayesian berusaha mengatasi
masalah ini melalui perlunya kuantitas, pada skala probabilitas (0-1),
tentunya bahwa salah satu harus diyakini sebelumnya, sebagaimana
dalam hipotesis baru. Pendekatan Bayesian juga memberikan suatu
cara menguji kuantifitas yang diyakini tersebut untuk menolak
hipotesis baru. Meski demikian, pendekatan Bayesian tidak dapat
merubah plausibilitas menjadi suatu kriteria kausa objektif. (1), (5)
7) Koherensi
Diambil dari the surgeon generals report on smoking and
health, istilah koherens berarti bahwa interpretasi kausa-efek pada
suatu asosiasi yang tidak bertentangan dengan apa yang diketahui dari
riwayat alami dan biologi suatu penyakit. Contohnya adalah ketika Hill
menjelaskan mengenai koherensi, seperti efek histopatologi merokok

terhadap epitelium bronkial (dalam acuan hubungan antara merokok


dan kanker paru-paru) atau perbedaan insiden kanker paru-paru
menurut jenis kelamin. Kriteria koherensi menegaskan pentingnya
kriteria konsistensi dan kredibilitas biologik. (1), (5)
8) Bukti eksperimen
Belum jelas apa yang dimaksudkan Hill dengan bukti
eksperimen. Namun diprediksi berdasarkan eksperimen laboratorium
pada hewan coba, atau bukti dari percoban manusia. Dalam praktek,
pembuktian eksperimental seringkali tidak praktis, tidak layak, atau
bahkan tidak etis, terutama jika menyangkut faktor-faktor penelitian
yang bersifat merugikan manusia (misalnya, merokok, paparan bahanbahan kimia, obat-obat yang dihipotesiskan teratogenik). (1), (5)
9) Analogi
Analogi berdasar pada daya imajinasi para ilmuwan. Tidak
adanya

analogi

mencerminkan

tidak

adanya

imajinasi

atau

pengalaman, bukan kepalsuan dari hipotesis. Hill sendiri menentang


kegunaan dari sudut pandang ini (beliau tidak memakai kata kriteria
dalam makalahnya). (1), (5)
Kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan
kausal. Pada beberapa situasi, kriteria analogi memang bisa dipakai,
misalnya jika sebuah obat mengakibatkan cacat lahir, maka bukan
tidak mungkin obat lain yang mempunyai sifat farmakologi serupa
akan memberikan akibat yang sama. (1), (5)
2.8.

PENELITIAN

MENGENAI

EFEK

MENGENAI

INFERENSI

KAUSAL KRITERIA HILL


Kriteria Hill merupakan kriteria terbaik dalam inteferensi kausal
hingga saat ini. Namun, tidak terdapat informasi mengenai bagaimana
kriteria tersebut dapat diukur serta kriteria tersebut tidak dapat
dikombinasikan ke dalam satu probabilitas untuk memperkirakan
kausalitas. Pada tahun 2009, Swaen melakukan penelitian yang bertujuan
untuk menyediakan dasar empiris untuk mengukur kriteria Bradford Hill

dan

mengembangkan

metode

transparan

untuk

memperkirakan

probabilitas pada kausalitas. Sebanyak 159 agen yang termasuk kategori


karsinogen 1 atau 2 A pada klasifikasi International Agency or Research
of Cancer (IARC) dievaluasi dengan mengaplikasikan kesembilan kriteria
Hill. (1),(6)
IARC telah mengevaluasi bahan-bahan karsinogenik ke dalam
bahan kimia, campuran dan tingkat pajanan. Evaluasi ini telah dilakukan
oleh ahli dan ilmuwan interdisipliner sehingga terjadi klasifikasi berikut :
1) Kategori 1 merupakan bahan atau pajanan yang bersifat karsigonik
pada manusia.
2) Kategori 2A merupakan bahan atau pajanan yang mungkin
karsinogenik (probable human carcinogen)
3) Kategori 2B merupakan bahan atau pajanan yang mungkin
karsinogenik (possible human carsinogen)
4) Kategori 3 merupakan bahan yang tidak terklasifikasi
5) Kategori 4 merupakan bahan yang mungkin tidak karsinogenik
terhadap manusia. (6)
Analisis diskriminant digunakan untuk memperkirakan seberapa
besar pengaruh dari setiap kriteria Hill (tabel 1) dengan menghitung dari
konstanta yang telah ditentukan. (6)
Tabel 1. Analisis Diskrimian Kriteria Hill oleh Swean
Kriteria Hill

Penjelasan

Fungsi
Diskriminan
untuk kategori 1
(91 agen)
-14.77999

Fungsi
Diskriminan
untuk kategori
2A
(69 agen)
-10.08346

Kekuatan asosiasi dalam relative


risk, seharusnya diinterpretasikan ke
dalam tingkatan dimana kofounding
dapat menjelaskan asosiasi

0.06223

0.01923

0.04061

0.01803

Konstanta

1. Kekuatan
(strength)

2.

Konsitensi

Apakah
asosiasi
sama
beberapa penelitian ?

pada

3.

Spesifisitas

Aplikasi terhadap efek. Apakah


pajanan berkaitan dengan outcome
spesifik?

-0.02787

-0.03877

4.

Kronologi
waktu

Kondisi ini nyaris selalu ditemui


dan tidak dapat terpisahkan dari

0.07657

0.08281

false positive dan true positive


5.

Dosis respon

Apakah relative risk meningkat saat


intensitas pajanan meningkat?

-0.03528

-0.03534

6.

Plausabilitas

Apkah bahan kimia atau metabolit


mencapai organ target? Apakah
terdapat bukti toksikologi ? Apakah
penelitian in vitro dan in vivo dapat
menguatkan bukti ?

0.23025

0.21689

7.

Koherensi

Apakah efek yang berkaitan dengan


jalur etiologi telah diteliti ?

0.0009621

-0.00334

Apakah efek yang diobservasi


menurun ketika pajanan dihentikan?

0.00843

-0.00659

8. Bukti
eksperimen
9.

Analogi

Apakah efek yang sama dari bahan


kimia telah diteliti?

-0.01294

-0.01011

Di antara sembilan kriteria, tiga kriteria ini memiliki pengaruh


yang paling besar, yaitu kekuatan, konsistensi dan bukti eksperimen.
Model ini memprediksi dengan benar sebanyak 130 dari dari 159 agen
(81.8%).(6)
Penelitian berikutnya meneliti mengenai efek merokok terhadap
kejadian kanker paru berdasarkan kriteria Hill (tabel 2) dengan tambahan
probabilitas dari setiap kriteria. (6)
Tabel 2. Pendekatan Kriteria Hill pada kasus merokok dan kanker
paru
Kriteria Hill

Penjelasan

Probabilitas dari
setiap kriteria
menjadi benar
(%)

Konstanta

1. Kekuatan
(strength)

Probabilitas ><
Weight pada
Kategori 1

Probabilitas ><
Weight pada
Kategori 2A

-14.77999

-10.08346

Asosiasi
kuat
yang
dilaporkan
tidak
berdasarkan kofounding

95

5.91185

1.182685

2.

Konsitensi

Hampir semua penelitian


positi

95

3.85795

1.71285

3.

Spesifisitas

Berbagai efek telah diteliti

80

-2.2296

-3.1016

Secara jelas, merokok


menyebabkan kanker paru

100

7.657

8.281

Respon dosis yang kuat


diteliti dalam berbagai

95

-3.3516

-3.3573

4. Kronologi
waktu
5.

Dosis
respon

penelitian
6.

Plausabilitas

Rokok
merupakan
genotoksik dan mutagenik
serta asosiasi pada model
hewan coba telah ada

90

20.7225

19.5201

7.

Koherensi

Efek terhadap perubahan


epitel telah dilakukan

80

0.076968

-0.2672

8.

Bukti
penelitian

Setelah berhenti merokok,


angka kanker menurun

95

0.80085

-0.62605

9.

Analogi

Derivat tar telah diteliti


sebagai penyebab kanker
paru

80

-1.0352

-0.8088

17.630818

13.09635

Jumlah
Hasil
akhir
probabilitas

17.630818/17.630818+13.0963
5

= 98.94 %

Berdasarkan tabel 2 mengenai efek merokok dan kanker paru,


didapatkan hasil bahwa kronologi waktu memiliki peran yang penting
dalam kejadian kanker paru akibat merokok (probabilitas 100 %). (6)

BAB III
KESIMPULAN

1. Inferensi kausal dari studi epidemiologi merupakan hal kompleks dan telah
menjadi pokok perdebatan yang luas. Terdapat banyak asosiasi antara faktorfaktor risiko dan efek kesehatan yang ada sehingga menyebabkan keraguan
mengenai kausalitasnya.
2. Kriteria Hill merupakan kriteria terbaik dalam inteferensi kausal hingga saat
ini. Untuk menilai kriteria Hill secara kuantitatif, telah dilakukan analisis
diskriman yang salah satunya dilakukan oleh Swean.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hofler, M. Analytic Perspective. The Bradford Hill considerations on causality
; a counterafctual perspective. BioMed Central 2009 ; 2(11) ; 1-7

2. Kang, J. Overview and Practice of Causal Inference in Observational Studies.


Biometrics & Biostatistics International Journal [serial online] 2014, 1(1) [3
screens]. Available from URL : http://ftp.cs.ucla.edu/pub/stat_ser/r354corrected-reprint.pdf
3. Pearl, Judea. An Introduction to Causal Inference. The International Journal of
Biostatistics 2010 ;6(2) ;1-2
4. Hernan, Robins. Causal Inference. 2011. Available from URL :
http://www.tc.umn.edu/~alonso/hernanrobins_v1.10.11.pdf.
Diakses
September 18, 2014.
5. Rothman, KJ. Greenland, S., Poole, C., Lash, T. Modern Epidemiology. 3rd
edition. US : Lippincot Williams & Wilkins ; 2008
6. Swaen, G., Amelsvoort, Lv. A weight evidence approach to causal inference.
Journal of Clinical Epidemiology 2009 ; 62 ; 270-277

Anda mungkin juga menyukai