Anda di halaman 1dari 10

A.

PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA EKONOMI


LIBERAL (1950-1959).
Pada masa ini, politik dan sistem ekonomi menggunakan sistem liberal yang
mengutamakan keuntungan dan berfokus kepada sistem pasar. Hal ini menyebabkan
banyaknya pengusaha pribumi yang masih lemah dalam faktor produksi kalah dalam
persaingan dengan kalangan nonpribumi. Dan membuat perekonomian Indonesia
memburuk. Dan beberapa upaya untuk mengatasi masalah ini antara lain :
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua
uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini
dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK
Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampak dari kebijakan ini tidak merugikan rakyat kecil karena yang memiliki uang
Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan
ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200
juta.

2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng


Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi pada masa Kabinet Natsir yang
direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Dengan programnya:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang
menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program
Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih
kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini.
Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai. Beban keuangan pemerintah semakin
besar. Sebab kegagalan program ini yaitu :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.

Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.


Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati
cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan
secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya, program ini, menjadi salah satu sumber defisit keuangan Negara.
Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa
defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri
keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan
pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para
pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.

3. Nasionalisasi De Javasche Bank


Pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai
pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini
menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi
diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24
tahun 1951.

4. Sistem Ekonomi Ali-Baba


Sistem ekonomi Ali-Baba dibentuk oleh Iskaq
perekonomian kabinet Ali I). Program ini memiliki tujuan:

Tjokrohadisurjo (menteri

Memajukan pengusaha pribumi.


Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.

Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam


rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan ekonomi Indonesia dengan adanya kerjasama antara pengusaha
pribumi dan non pribumi.

Ali menggambarkan pengusaha pribumi dan Baba menggambarkan pengusaha non


pribumi khususnya China. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi
diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenagatenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah
memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
asing. Namun program ini tidak berjalan dengan baik, sebab:

Kurangnya pengalaman pengusaha pribumi sehingga hanya dijadikan alat untuk


memperoleh bantuan kredit. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan


persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)


Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk
merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956
dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat


oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia


mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin
Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya
untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, pada
tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang

pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual


perusahaannya, namun pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan
Belanda tersebut.

6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)


Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidak stabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi
pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang
nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang
rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal
11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5
miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan merosotnya ekspor dan pendapatan negara.
Timbulnya gejolak ekonomi akibat perjuangan pembebasan Irian Barat dengan
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.
Terjadi ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

7. Musyawarah Nasional Pembangunan


Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah.
Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah
Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk
jangka panjang. Tetapi rencana pembangunan tersebut tidak berjalan baik, sebab:
*
*
*

Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.


Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/


Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik
Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

A. PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA EKONOMI


TERPIMPIN (1959-1967).
Sebelum ditetapkannya Dekrit Presiden, keadaan ekonomi Indonesia mengalami
masa suram, ini disebabkan oleh kekacauan politik pada masa ekonomi liberal
sehingga perekonomian tidak ditangani dengan serius, juga tindakan ekonomi salah
urus terhadap perusahaan-perusahaan asing, menyebabkan bertambahnya beban di
bidang ekonomi, dan diperparah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan
daerah seperti PRRI-Permesta sehingga menghambat pendapatan negara.
Pada 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Dekrit Presiden dengan demikin, saat itu Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus
pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini,
diharapkan kemakmuran dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mazhab
Sosialisme) akan terwujud. Namun, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.
Ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. Dimana semua
aktivitas ekonomi dipusatkan pada pemerintah, sementara daerah merupakan
perpanjangan pemerintah pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk
memperbaiki kondisi ekonomi negara serta menunjang pembangunan ekonomi adalah
sebagai berikut :
1. Devaluasi.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp. 1.000
dan Rp. 500 menjadi Rp. 100 dan Rp. 50. Mata uang pecahan Rp. 100 ke bawah tidak
didevaluasi. Tujuan Devaluasi yaitu membendung inflasi yang tetap tinggi, dan untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, juga untuk meningkatkan nilai
rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan. Selain itu dibelakukannya pembekuan
terhadap semua simpanan di bank yang melebihi jumlah Rp. 25.000. Namun, tindakan
itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi, sehingga pada tanggal 28 Maret 1963
Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi yang ternyata tidak berhasil
juga. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis

Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan


stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang
naik 400%.
Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp. 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.
Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan
angka inflasi.
2. Pembentukan Front Nasional.
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959.
Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah
menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan
pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front
nasional adalah menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan, dan
mengembalikan Irian Barat.
3. Pembentukan Kabinet Kerja.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali
perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut :
a. Mencukupi kebutuhan sandang pangan.
b. Menciptakan keamanan Negara.
c. Berjuang mengembalikan Irian Barat.
4. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959
dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas Depernas :
Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
dan Menilai Penyelenggaraan Pembangunan. Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun
Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan
Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan
pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan
dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti
dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh
Presiden Sukarno. Tugas Bappenas adalah menyusun rencana jangka panjang dan

rencana tahuanan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan
pembangunan, menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.
5. Deklarasi Ekonomi (Dekon).
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena berbagai peraturan
dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami
kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (SBE). Sulitnya memperoleh bantuan modal
dan tenaga dari luar negeri sehingga pembangunan yang direncanakan guna
meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga pada
tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara
menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang
menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah
mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah
diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki
sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang
bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai
tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam tahap pelaksanaannya, peraturan tersebut tidak mampu mengatasi
kesulitan ekonomi dan masalah inflasi, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia, kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak
dengan adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962,
mengakibatkan beban hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena tidak terwujudnya pinjaman
dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta, adanya masalah
ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia
dalam rangka Dwikora, politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin
memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
6. Kenaikan laju inflasi.
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi yaitu :
Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami
kemerosotan.
Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.
Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.
Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.
Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.

Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai


keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh.
Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai
kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran, diperparah
dengan tindakan pemerintah yang menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar
seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the
New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar
pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga
semakin bertambah tinggi, kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada
tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran
dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena
lemahnya devisa, pada tahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan
menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi
dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kebijakan pemerintah dalam keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini
diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang.
Sehingga menambah berat angka inflasi. Dampaknya dari kebijakan pemerintah
tersebut, uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama
akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih
tinggi dari uang rupiah baru, dan tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka
inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
7. Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri.
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih
80% penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut
diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor
berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan
berupa kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan
masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi
ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri
dan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan
bagi perdagangan dari negara yang memberikan pinjaman kepada Indonesia.

8. Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan


Operasi (KESOP).
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.
Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha
mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan
Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank
tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti
Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank
Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang
terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu
menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab
tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena
semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan
yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip
ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan
sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan
ekonomi). Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara
satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk
menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk
penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat
mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
9. Konfrontasi Ekonomi dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat.
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi
tersebut sebagai berikut :
Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan
pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
Selama tahun 1957 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan
Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang
penerbangan kapal-kapal Belanda, serta memboikot kepentingan-kepentingan
Belanda di Indonesia.
Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap 700 perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia, dan mengalihkan pusat pemasaran komoditi
RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia#Demokrasi_Terpimpin
http://koran.republika.co.id/koran/203/137181/Ekonomi_Indonesia_dari_Masa_ke_Masa
http://almuzaky.blogspot.com/2009/12/kondisi-ekonomi-masa-demokrasi.html

Anda mungkin juga menyukai